Mistikus Cinta

0
Khalwat
Pendahuluan
Di dalam Burdah, dikatakan: Ego bagaikan bayi, jika dibiarkan tetap menyusu, sampai tua pun ia akan tetap menyusu, tetapi bila disapih dari susuan ibunya maka ia akan tersapih dengan sendirinya tanpa harus mengalami hal-hal yang mengkhawatirkan. Janganlah melenyapkan ego dengan memperturutkannya, sebab misalnya nafsu makan, bila dipuaskan dengan makanan, bukan berarti nafsu itu akan lenyap, tetapi ia akan datang lagi dengan keinginan yang lebih besar.

Ada perbedaan besar antara meminta atau ingin melakukan khalwat dengan diperintahkan untuk melakukan khalwat. Sebenarnya, dalam segala hal berlaku seperti itu, ada perbedaan antara meminta melakukan sesuatu dan diperintahkan untuk melakukannya. Ketika kalian meminta sesuatu, bahkan sesuatu yang sulit, itu seolah-olah kalian memintanya untuk kesenangan kalian. Hal ini karena ego terlibat di dalamnya.

Jika kalian meminta untuk melakukan khalwat dan mendapat izin untuk melakukannya, akan mudah untuk bisa bertahan karena ego mendapatkan apa yang ia inginkan. Di sisi lain, jika tiba-tiba ego dihadapkan dengan suatu perintah dari syekh untuk memasuki khalwat, akan menjadi sangat sulit bertahan karena ini mengharuskan seseorang untuk menundukkan egonya untuk menuruti kehendak syekh.

Ego tidak akan menyerah dengan sukarela. Ia akan menyerang kalian dengan semua bala tentaranya dan metode-metode setani. Ia akan berusaha untuk membuat realitas dari perintah syekh itu menjadi mustahil untuk diterapkan atau diterima. Ini adalah realitas khalwat yang tidak saya cari. Saya diperintahkan untuk memasuki khalwat ini tanpa pemberitahuan oleh Mawlana Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani. Nama beliau artinya “orang yang adil dan benar.”

Saya berharap bahwa dengan Keadilan dan Kebenaran dari Tuhan, Allah akan memberikan keberhasilan dalam menyelesaikan khalwat ini karena Tuhan mempunyai kendali penuh dan mutlak terhadap kejahatan yang diperintahkan oleh ego dan Tuhan mempunyai kemampuan untuk memurnikannya dari keinginan ego, memutuskannya dari keterikatan terhadap dunia materi, melindunginya dari tipu daya setan dan menyembuhkannya dari semua penyakitnya.

Ego adalah seorang pengecut, karena ia datang untuk mengalahkan kalian dengan berbagai batalion liar yang hina, dengan pikiran duniawinya, dan kejahatan yang berbaris di bawah panjinya. Dengan cara ini, ia dapat mengalahkan kalian—kecuali seorang guru yang sempurna mendidik, mengarahkan dan melatih kalian. Ia akan menjadi seperti singa yang mengaum, melindungi anaknya dari segala hal yang membahayakan. Kita berharap bahwa, dengan berkah guru kita Syekh Muħammad Nazim Adil al-Haqqani, kita akan menikmati kedamaian dan ketenangan dari serangan ego, yang beragenda untuk melawan kita tanpa henti.

[Dikutip dari buku, Fifty Days: the Divine Disclosures During a Holy Sufi Seclusion (Lima Puluh Hari: Penyingkapan Ilahiah selama Khalwat) oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani] 

Sup adalah makanan awliyaullah. Di Masjid Sayyidina Muhyiddiin ibn Arabi di Syam, setiap hari ada 100 orang miskin di sana. Setiap hari mereka membawa 1, 2 atau 3 panci besar sup, terutama campuran daal dan zukini (zuchinni, sejenis ketimun) dan memberikannya kepada orang-orang dengan roti. Seseorang yang berkata, “Oh, aku ingin ayam; Oh, aku mau daging; Oh, aku mau ini...” mereka akan mengusirnya.

Jika mereka datang untuk Allah, makanlah apa yang ada di sana. Mereka datang untuk ego, sehingga mereka harus membuat segala macam makanan. Orang-orang yang pergi ke restoran setiap hari, mereka bersikap egoistik (Tetapi bukan orang yang membuka restoran, karena itu hanyalah rezeki bagi mereka), tetapi orang-orang yang datang ke sana tidak puas dengan roti atau nasi, di mana di setiap negeri (khususnya jika kalian ingin mengatakannya negara-negara dunia ketiga), di mana berkah berada….

Alhamdulillah Allah memberkati kita semua dengan berkah-Nya tetapi berkah yang kalian temukan di negeri-negeri itu tidak dapat kalian temukan di sini. Di sana kalian dapat menjumpai orang yang makan nasi di pegunungan, mereka bisa hidup hingga 100, 110 tahun dan makanan mereka hanyalah nasi di daun pisang dan mereka sangat bahagia hanya dengan makanan yang sedikit itu. Mereka mendapat lebih banyak energi daripada orang yang makan bermacam-macam makanan. Jadi bila bicara soal makanan, itu hanyalah sesuatu ketika kalian menerima tamu dan kalian harus berbaik hati dalam menyediakan makanan. Jika kalian tidak bermurah hati, itu tidak apa-apa, karena pendapatan kalian tidak terlalu banyak, maka kalian hanya membuat sup, pasti tamunya akan mengatakan alhamdulillah…

Nabi (saw), sarapan pagi beliau adalah air hangat dengan madu, dan di waktu dhuha 7 butir kurma dengan air, dan di sore hari roti kering dengan minyak zaitun dan vinegar (sejenis cuka). Beliau mencelupkan rotinya ke dalam minyak dan vinegar. Itulah makanan yang mereka makan dan lihatlah makanan yang kita makan sekarang. Dan sekarang orang-orang tidak mengucapkan alhamdulillah atau syukran lillah. Dengan berterima kasih kepada Allah, Allah akan terus mengirimkan berkah dan rezeki. Kita lupa untuk mengucapkan Bismillahi ‘r-Rahmani ‘r-Rahiim di awal dan mengucapkan alhamdulillah di akhir. Jadi di Masjid Muhyiddiin ibn Arabi, di sana ada orang kaya dan orang miskin, mereka datang untuk mendapatkan berkah. Mereka meminum sup itu dan itu adalah berkah.

Di sini ada berkah di dalam sup. Awliyaullah di dalam khalwatnya tidak makan, kecuali sup. Nabi-nabi biasanya menjadi penggembala karena itu mengajarkan kesabaran, dan makanan mereka adalah sup lentil, daal. Dan Nabi (s) makan lebih sedikit lagi. Jika Nabi (s) meletakkan batu-batu untuk mengganjal perutnya dari kelaparan, bagaimana dengan kita? Siang dan malam kita harus mengucapkan syukran lillah bahwa kita mempunyai segala macam makanan, bukan hanya sup, tetapi juga makanan kecil/kudapan. Saya tidak pernah mengenal kudapan di negeri kami, seperti sereal, dan pretzel (sejenis kue dari Eropa--penerj.) dan seterusnya. Mungkin kami tinggal di hutan rimba.

[Kutipan diambil dari chat log SufiLive, 15 Oktober 2011, Suhba Syekh Muhammad Hisyam Kabbani]

Yang berikut ini berasal dari transkrip suhbat, Who is The Guide oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani:

Grandsyekh (q) berkata bahwa Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) menempatkan seorang murid di dalam khalwat selama empat puluh hari, dan mengatakan kepadanya, “Jika terjadi sesuatu yang aneh pada dirimu, katakan padaku.” Setiap hari mereka mengirimi makanan, satu mangkuk kecil lentil dalam 24 jam. Itulah makanannya, sebagai latihan. Ketika kalian makan sedikit, kalian akan terjaga, tidak bisa tidur. Mereka tidak ingin kalian tidur; mereka ingin agar kalian tetap terjaga.

Ketika kalian makan terlalu banyak, kalian tidur tanpa perasaan. Kamu makan banyak? [Mawlana bertanya kepada seseorang]. Orang-orang Somalia sangat terkenal memakan domba besar yang diisi nasi dan daging. Itulah sebabnya mereka saling memakan satu sama lain di Somalia! (tertawa) Suatu hari, murid dalam khalwat itu berkata kepada Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), “Wahai Syekhku! Hari ini aku mengalami kejadian aneh.” Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) berkata, “Apa yang terjadi padamu?”

“Seekor tikus berbicara kepadaku dengan Bahasa Arab yang sempurna”, kata murid itu. Bagus sekali ada tikus yang bisa berbahasa Arab. Itu bagus, karena di dalam khalwat segala sesuatu bisa terjadi, jangan dipikir bahwa itu berlebihan. Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) berkata, “Apa yang terjadi?” “Ya Sayyidi,” kata murid itu, “Ketika engkau mengirimiku makanan, aku mulai memakannya, tetapi waktu shalat tiba. Tikus ini datang dari sebuah lubang di dalam kamar dan mendatangi makanan itu lalu mulai memakannya. Aku sedang shalat tetapi aku melihatnya. Aku ingin segera menyelesaikan shalatku karena tikus ini memakan makananku. Segera setelah aku mengucapkan as-salamu `alaykum, aku berlari menuju tikus itu dan ia melarikan diri ke lubangnya. Kemudian aku meletakkan sehelai kertas untuk menutup lubang itu lalu melanjutkan shalatku.

Tikus itu mendorong kertas tadi dan kemudian melanjutkan makannya; setelah itu pergi lagi. Aku mengucapkan as-salamu `alaykum, menyelesaikan shalatku dengan cepat dan mengusir tikus itu. Tikus itu pergi ke lubangnya dan mengeluarkan kepalanya lalu berbicara dalam bahasa Arab yang sempurna, ‘Wahai idiot! Apakah menurutmu jika namaku tidak tertulis untuk makanan itu, aku akan berhasil menyentuhnya?’ Wahai Syekhku, ini adalah kejadian paling aneh yang menimpa diriku.”

Sayyidina Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) berkata, “Wahai anakku, engkau telah gagal menjalani ujianmu, karena Amanatmu akan diberikan kepadamu, rahasiamu, tetapi engkau menghalanginya.” “Oh, aku tidak melakukan apa-apa”, kata murid itu. Syekhnya berkata, “Wahai anakku, apakah menurutmu tikus itu bisa berbicara bahasa Arab? Kau tidak boleh melihat tikusnya.

Kau harus melihat siapa yang berada di belakangnya. Itu adalah aku yang berbicara kepadamu, mengatakan kepadamu bahwa engkau telah melakukan sesuatu yang salah. Kau harus membiarkan tikus itu makan karena namanya tertulis untuk memakan makanan itu. Engkau telah kehilangan Amanatmu. Aku sudah siap untuk memberikannya, tetapi para awliyaullah melarangku. Mereka menghentikan aku dan berkata, ‘Jangan, ia belum siap,’ karena engkau tidak melihatku di dalam bentuk tikus itu.”

Itu adalah hal besar. Beliau memperlihatkan kepadanya bahwa bahkan detail terkecil itu, awliyaullah, mata mereka selalu terbuka terhadap murid-muridnya. Mereka tahu apa yang terjadi. Setiap detailnya mereka tahu, tetapi kadang-kadang mereka tidak mengatakannya. Apakah kalian pikir Mawlana tidak tahu tentang kondisi AC di sini, bahwa mereka tidak menyalakannya? Awliyaullah tetap tenang. Tetapi kita mempunyai izin untuk tidak tinggal diam, kita boleh memberikan kritik.

Jika tidak ada izin untuk mengkritik, kita mengunci lidah dan mulut kita. Jadi sampai sejauh ini awliyaullah mengawasi murid-muridnya. Bahkan dalam waktu mereka, dua puluh empat jam, dalam setiap saat kehidupan mereka. Grandsyekh (q) biasa mengatakan, “Ketika kalian menggerakkan tubuh kalian di tempat tidur ke kiri atau ke kanan, ketika kalian tidur; aku dapat mendengar gerakan kalian lebih keras daripada guntur. Ketika guntur datang, aku dapat mendengar gerakan murid-muridku, bahkan ketika ia berada di Timur dan aku di Barat, aku dapat mendengarnya.”

Jadi, mereka meletakkan ilmu ini di dalam kalbu kalian, untuk mengetahui larangan-larangan ini satu per satu. Mawlana Syekh Nazim, semoga Allah memanjangkan umur beliau (amiin), berkata kepada saya bahwa Grandsyekh (q) memerintahkannya untuk berkhalwat selama enam bulan di Madinatul-Munawwara. Beliau diperintahkan untuk melaksanakan kelima shalat di Masjid an-Nabawi (s) di Rawdhah Syariif, jadi, beliau harus pergi lebih awal untuk setiap shalat. Itu sudah lama. Tidak seperti sekarang, begitu padat di sana. Dan selama pergi ke Masjid beliau harus melihat setiap langkahnya, di mana beliau menjejakkan kakinya. Beliau tidak boleh melihatnya lebih jauh dari itu. Pergi, shalat, dan kembali; lalu melanjutkan khalwatnya.

Pengertian Khalwat
Khalwat menurut bahasa ialah menyendiri, mengasingkan diri, dan memencilkan diri. Sedangkan menurut istilah ialah, menyendiri pada suatu tempat tertentu, jauh dari keramanian dan orang banyak, selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah tertentu lainnya. Khalwat juga bisa berarti mengosongkan kalbu dari berbagai pemikiran selain Allah.

Kalangan sufi diantara Al-Ghazali, berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di gua Hira sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Tsur sesudah menjadi rasul. Khalwat Nabi SAW di gua Hira adalah tafakur tentang segala makhluk ciptaan Allah SWT. Sedangkan khalwat Rasulullah SAW setelah menjadi rasul adalah memohon kepada Allah SWT agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena nabi berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai hakikat ruh tanpa mengatakan “Insya Allah”.

Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif (ahli ilmu pengetahuan) kaum Sufi, ia menasehatkan untuk berkhalwat selama 40 hari setiap tahun dan menjalaninya dengan shalat dan puasa. Filosofi (hikmah) dalam menetapkan lama waktu khalwat selama empat puluh hari adalah sebagai berikut. Pada setiap pagi (dalam khalwat), sebuah hijab mestilah tersingkap dan lahirlah kedekatan (kepada Allah) agar-dalam waktu empat puluh hari-empat puluh buah hijab terangkat, memperhalus watak manusia, kembali dari kejauhan menuju ke negeri kedekatan kepada Allah (gabungan dari keindahan dan keagungan; esensi “ilm dan ma’rifah); dan untuknya mestilah disahihkan dan dilukiskan visi tentang keagungan dan keazalian; pandangan niatnya haruslah di jaga dari semua kotoran dunia agar sumber hikmah memancar dari hati dan lisannya.

Tanda khalwat adalah dipertahankannya kondisi tersingkapnya hikmah itu. Penyingkapan hikmah bisa dijumpai dengan bukti tersingkapnya hijab dan berbagai manifestasi yang tak diragukan lagi.

Namun dalam pandangan kaum Sufi, khalwat tidak hanya sebatas empat puluh hari saja. Berpisah dari manusia dan menyibukkan diri dengan Allah sangat mereka inginkan, dan ini berlangsung selama hayat dikandung badan. Keuntungan melakukan khalwat selama empat puluh hari adalah bahwa ketika kurun waktu itu sudah rampung dilalui, manifestasinya mulai tampak dan kelihatan.

Seorang murid tarekat yang berkhalwat hendaklah melepaskan diri untuk sementara dari alam sekitar, seluruh harta miliknya, dan keluarga serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat jama’ah atau shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini ia harus terus menerus mengingat Allah SWT dan tidak memperhatikan apa yang di dengar dan dilihatnya agar dirinya tidak terganggu. Selama itu pula ia harus tetap ber-suci dengan wudlu, tidak tidur kecuali bila amat-amat letih dan tidak putus-putusnya berzikir.

Khalwat diibaratkan sebagai peleburan besar yang dengan nyala api kezuhudan nafsu dilebur. Dimurnikan dari segala kotoran, indah bercahaya seperti laksana sebuah cermin. Dengan cermin ini, tampaklah segala sesuatu yang tersembunyi. Khalwat adalah juga himpunan dari segala sesuatu yang saling bertentangan di dalam nafsu (nafs) berbagai latihan rohani, misal sedikit makan, sedikit berbicara, menghindari berkumpul-kumpul dengan manusia, selalu berzikir, menolak berbagai macam pikiran, dan senantiasa melakukan kontemplasi yang disertai rasa takut (muraqabah). Latihan-latihan rohani (riyadhat) berarti meninggalkan keinginan hawa nafsu dan berbagai syarat dalam berusaha.

Barang siapa berniat melakukan khalwat, maka ia harus membersihkan niatnya dari polusi keinginan akan segala sesuatu yang bersifat duniawi dan berdoa untuk (kesejahteraan dan kebahagiaan) akhirat, pahala atas amalan-amalan sesuai dengan niat. Semakin lebih baik niat seorang dari amalnya, maka semakin penuh pahala yang diperolehnya. Niatnya haruslah semata-mata dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan banyak beribadah dan menjauhi keinginan untuk memperoleh kedudukan lebih tinggi, kemunafikan, keajaiban, dan memperoleh kekuatan dari Al-Qur’an.

Dalam khalwat, sesudah menyucikan niat, bertobat, dan senantiasa beribadah kepada Allah, ia harus memenuhi tujuh syarat:
  1. Selalu dalam keadaan berwudlu, jika ia menemukan suatu kelemahan dalam dirinya, maka ia harus berwudlu lagi agar cahaya kesucian lahiriyahnya bertambah terang dalam dirinya dan membantu mencerahkan hati.
  2. Selalu berpuasa, ia selalu berpuasa sunnah, agar segenap waktunya dipenuhi dengan keberkahan.
  3. Sedikit makan, sewaktu sarapan, jumlah makanan tidak boleh lebih dari satu rithl (yakni sama dengan satu pound atau 0,454 kilogram-peny). Lebih baik baginya jika ia hanya maka roti dan garam. Jika ia memulai dengan satu rithl, maka ia harus menguranginya menjadi setengah rithl pada sepuluh hari terakhir (dari periode empat puluh hari). Jika ia kuat memulai dengan setengah rithl, maka ia harus menguranginya menjadi seperempat rithl.
  4. Sedikit tidur, ia harus menahan kantuk selagi masih mampu dilakukannya. Tidur yang sesuai dengan kebutuhan di hitung sebagai ibadah bila diperlukan untuk menghilangkan kelelahan perasaan dan nafs (yang menyebabkan kelelahan jiwa dalam beribadah dan melemahkan kesenangan dalam beribadah). Dengan tidur, kesucian perasaan dan kelegaan batin (yang menyebabkan wajd dalam jiwa) akan kembali kepadanya. Kemudian segenap waktunya digunakan sepenuhnya dalam beribadah.
  5. Sedikit bicara, ia harus menjaga indahnya setiap kali berbicara dengan orang lain.
  6. Menafikkan berbagai pikiran. Dengan zikir dan dengan menyibukkan hati dalam menolak berbagai macam pemikiran.
  7. Terus menerus beramal, secara lahiriyah maupun bathiniyah, ia mestilah menghiasi dirinya dengan jubah ibadah, ia selalu beramal di waktu dan saat yang terbaik dan diutamakan, jadi, “seorang dalam peringkat awal” mestilah membatasi dirinya pada perintah-perintah ilahi dan shalat-shalat sunnah, dan di lain waktu pada zikir.Amaliah dan zikir tersebut dipandang oleh penganut tarekat sebagai wasilah atau saran perantara. Adapun tujuannya adalah menetapkan secara berkesinambungan perhambaan lahir dan batin kepada Allah SWT serta menghadirkan hati secara terus-menerus untuk mengingat Allah SWT.
Dalam hal ini, amalan terbaik adalah ketekunan dan keteguhan hati. Karenanya, jika timbul kebencian dalam nafs, maka amalan terbaik adalah, maka amalan terbaik adalah mengaiti shalat dengan bacaan Al-Qur’an; sebab, membaca Al-Qur’an lebih mudah dilakukan ketimbang mengerjakan shalat. Jika membaca Al-Qur’an menyebabkan lelah, maka amalan terbaik adalah berzikir. Jika lidah sudah lelah melakukan zikir, maka amalan terbaik adalah zikir dalam hati. Yang mereka sebut dengan moraqabah (kontemplasi disertai rasa takut), yakni memperhatikan berbagai manifestasi (tajalli) Allah-berkenaan dengan keadaan dirinya sendiri. Jika ia merasa lelah atau lesu dalam melakukan muraqabah, maka ia boleh melakukan istirahat dan tidur barang sejenak.

Begitulah, setelah nafs sudah tidak lelah, ia bisa melakukan berbagai amalan lagi dengan senang hati. Sangatlah tidak tepat jika ia memaksa nafs bekerja. Ahli khalwat mestilah menghabiskan waktunya untuk menyimak bacaan, bacaan ini agar berbagai peristiwa gaib bisa diungkapkan.



Referensi: 
Pendahuluan dikutib dari eShaykh - 24 Oktober 2011 – Staff eshaykh
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), Hal 36.
Syaikh Syihabuddin Umar Suhrowardi, Awarif Al-Ma’arif (terj). (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Hal 88.


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Khalwat | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top