Dikunjungi ribuan peziarah setiap tahun, sosok Pangeran Raja Atas Angin masih terasa asing di telinga masyarakat Indonesia karena tidak begitu tenar seperti tokoh penting lain di Jawa Barat. Minimnya penelitian dari lembaga dan pemerintah terkait membuat tokoh islam ini semakin tidak dikenali dan bahkan dilupakan. Padahal, Eyang Dalem Cijenuk memiliki peranan besar dalam perkembangan agama, kultural, dan sosial terutama di wilayah selatan Jawa Barat. Hingga kini, kisahnya hanya dituturkan turun temurun dari mulut ke mulut oleh para sesepuh di Cijenuk.
Dari sumber yang beredar di lingkup sesepuh dan masyarakat sekitar, setidaknya ada dua versi asal muasal Pangeran Raja Atas Angin. Yang jelas, ia memiliki nama asli Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i. Pendapat pertama dikemukakan pemangku Yayasan Syekh Maulana Muhammad Syafe’i bahwa tokoh yang bersemayam di pemakaman umum Desa Cijenuk itu berasal dari Cirebon. Ia dipercaya sebagai salah satu putra dari selir Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang memerintah Kesultanan Kanoman antara tahun 1798 hingga 1803 Masehi.
Namun merujuk pada nama, asal-usul sang tokoh syiar agama islam Bandung Barat ini menghasilkan pendapat berbeda. Ia diyakini berasal dari Kesultanan Banten karena tersemat nama “Maulana” yang identik dan biasa dipakai para Sultan Banten sebelum tahun 1638 Masehi. Sultan Banten paling tenar yang memakai nama tersebut antara lain: Sultan Maulana Hasanuddin (masa pemerintahan: 1552₋1570 M), Sultan Maulana Yusuf (masa pemerintahan: 1570₋1585 M), dan Sultan Maulana Muhammad (masa pemerintahan: 1585₋1596 M).
Pendapat kedua menyebutkan Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i adalah saudara kandung Syekh Maulana Mansyur Cikaduen. Mereka merupakan putra Abu al-Fath ‘Abdul-Fattah atau lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Kesultanan Banten dari tahun 1651 hingga 1683 Masehi. Pangeran Raja Atas Angin disebutkan sebagai keturunan kesembilan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia diduga sebagai sosok putra mahkota yang memilih keluar keraton untuk menyiarkan agama islam ke wilayah selatan Jawa Barat.
Menelusuri Jejak Syiar Islam Pangeran Raja Atas Angin Cijenuk
Seperti kompleks pemakaman pada umumnya, Pemakaman Umum Desa Cijenuk di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat terasa sunyi dan senyap. Namun, area makam seluas 2,25 hektar itu memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Di sana, bersemayam tokoh penting yang berjasa dalam islamisasi atau penyebaran agama Islam di wilayah selatan Jawa Barat terutama Bandung Barat. Tak banyak diketahui masyarakat luas apalagi generasi muda, ia adalah Eyang Dalem Cijenuk yang memiliki nama asli Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i. Ia digelari Pangeran Raja Atas Angin karena keistimewaan yang dimilikinya.
Perjalanan spiritual Pangeran Raja Atas Angin dimulai dari mempelajari ajaran tauhid kepada para pemuka agama terkemuka baik dari dalam maupun luar negeri. Dahaga akan ilmu ia tuntaskan dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW di kota suci Makkah. Sebagai bangsawan, ia disebut-sebut sebagai pewaris utama alias putra mahkota yang berhak atas takhta kesultanan. Namun diyakini sebagai keturunan kesembilan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia memilih mengembara untuk menyiarkan ajaran tauhid yakni agama Islam.
Di tengah ancaman Belanda, ia beserta rombongan mengembara ke Pandeglang-Banten, Bogor, Cianjur, Surade-Sukabumi, hingga Cisewu-Garut. Di akhir perjalanan, ia menemukan sebuah daerah perbukitan di pelosok Bandung Selatan yang penduduknya masih menganut agama leluhur. Lokasi tersebut dianggap sesuai untuk dijadikan pusat syiar agama Islam. Apalagi, letaknya jauh dari pusat pemerintahan Belanda yang berada di Kota Bandung, Sumedang, dan Cianjur. Di masa sekarang, lokasi persinggahan Pangeran Raja Atas Angin dikenal sebagai Kecamatan Sindangkerta, dimana “sindang” berarti “singgah”, dan “kerta” bermakna “aman”.
Tidak berdiam di satu tempat, Pangeran Raja Atas Angin memperluas cakupan area dakwahnya di kawasan selatan Kabupaten Bandung Barat. Ia bergeser ke arah utara ke sebuah daerah yang kemudian dikenal sebagai Kampung Panaruban. Nama kampung itu berasal dari “takharub” yang artinya “mendekatkan diri (kepada yang Maha Kuasa)”. Untuk selanjutnya, nama Kampung Panaruban berubah menjadi Kampung Gerendung yang berasal dari kata “gerendung” atau “gerendeng”. Hal itu disebabkan karena metode syiar berupa dzikir yang dilakukan Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i terdengar “ngagerendeng” yang bermakna “suara halus”.
Di Kampung Gerendung itulah, Pangeran Raja Atas Angin mendirikan sebuah tempat yang menjadi pusat dakwahnya. Berasal dari masyarakat sekitar, murid alias santri yang menimba ilmu agama padanya semakin lama semakin banyak. Di kemudian hari, pusat syiar agama Islam tersebut dijuluki “Jenuk” yang mempunyai makna “tempat berkumpul”. Kala itu, terdapat sebuah istilah “batur jenuk balarea” yang berarti “semua orang bersaudara”. Kini, istilah “Jenuk” yang sering dituturkan penduduk dijadikan nama kampung yang dikenal sebagai Desa Cijenuk.
Sang tokoh syiar Islam tetap berdiam di kampung tersebut hingga akhir hayatnya. Di pemakaman umum Desa Cijenuk juga bersemayam istri Pangeran Raja Atas Angin, yakni Nyimas Rangga Wuluh, beserta kedua putri mereka, yaitu Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan. Selain anggota keluarga, terdapat pula tiga makam yang diyakini sebagai pendamping Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i dalam berdakwah menyiarkan ajaran tauhid. Mereka adalah Eyang Jaga Wulan, Eyang Jaga Raksa, dan Eyang Jaga Wadana.
Untuk kenyamanan para peziarah yang mencapai ribuan setiap tahunnya, Yayasan Syekh Maulana Muhammad Syafe’i membangun infrastruktur secara bertahap. Saat ini, kompleks pemakaman yang berlokasi di Desa Cijenuk, RT/W 07/07, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat telah memiliki ruang majelis utama yang berada tepat di depan makam Pangeran Raja Atas Angin dengan daya tampung 1000 orang. Terdapat pula Masjid al-Karomah, balai perkumpulan, kantor pengurus yayasan, toilet, tempat wudhu, area parkir, dan warung. Dana pembangunan fasilitas berasal dari kantong pribadi pendiri yayasan dan infaq para peziarah.
Tak hanya berkunjung setiap hari, peziarah dapat mengikuti pengajian mingguan yang diadakan yayasan setiap malam Senin. Selain Hari Raya Idul Fitri, puncak ziarah terjadi di bulan Rabiul Awwal dimana acara haul tahunan Pangeran Raja Atas Angin dipandu dan dibimbing langsung para tokoh agama dan masyarakat terkemuka. Salah satunya oleh perwakilan sesepuh dari Kesultanan Kanoman Cirebon. Dikenal sebagai tradisi “Muludan”, para peziarah datang dari dalam serta luar Pulau Jawa, dan bahkan luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darusalam.
Semangat dakwah Pangeran Raja Atas Angin diteruskan anak-cucunya dengan mendirikan pusat pembelajaran islam atau pesantren. Kini, wilayah selatan Kabupaten Bandung Barat yang terdiri dari Cihampelas, Cililin, Cipongkor, Sindangkerta, Gununghalu dan Rongga dikenal sebagai tujuan santri dari berbagai wilayah Bandung Raya untuk menimba ilmu keagamaan. ‘Kelompok’ kecamatan tersebut bahkan mendapat julukan kultural berupa “Kota Santri” dan “Pabrik Haji”.
Post a Comment Blogger Disqus