Mistikus Cinta

0


Sekitar 40 kilometer ke arah selatan dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Barat di Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, terdapat setitik oase menyejukan berupa wisata religi umat Islam. Terletak di Desa Cijenuk, RT/RW 07/07, Kecamatan Cipongkor, situs cagar budaya tersebut adalah kompleks pemakaman umum yang didalamnya bersemayam salah satu tokoh penyebar islam di Jawa Barat khususnya Bandung Barat. Pangeran Raja Atas Angin atau Eyang Dalem Cijenuk, begitulah sosoknya dikenal oleh masyarakat setempat dan para peziarah.

Dikunjungi ribuan peziarah setiap tahun, sosok Pangeran Raja Atas Angin masih terasa asing di telinga masyarakat Indonesia karena tidak begitu tenar seperti tokoh penting lain di Jawa Barat. Minimnya penelitian dari lembaga dan pemerintah terkait membuat tokoh islam ini semakin tidak dikenali dan bahkan dilupakan. Padahal, Eyang Dalem Cijenuk memiliki peranan besar dalam perkembangan agama, kultural, dan sosial terutama di wilayah selatan Jawa Barat. Hingga kini, kisahnya hanya dituturkan turun temurun dari mulut ke mulut oleh para sesepuh di Cijenuk.

Dari sumber yang beredar di lingkup sesepuh dan masyarakat sekitar, setidaknya ada dua versi asal muasal Pangeran Raja Atas Angin. Yang jelas, ia memiliki nama asli Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i. Pendapat pertama dikemukakan pemangku Yayasan Syekh Maulana Muhammad Syafe’i bahwa tokoh yang bersemayam di pemakaman umum Desa Cijenuk itu berasal dari Cirebon. Ia dipercaya sebagai salah satu putra dari selir Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang memerintah Kesultanan Kanoman antara tahun 1798 hingga 1803 Masehi.


Pendapat ini diperkuat dengan adanya nama Pangeran Raja Atas Angin atau Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i dalam dokumen silsilah Kesultanan Kanoman kala pengurus yayasan terkait mengunjungi Cirebon pada 1982 silam. Bahkan, perwakilan kesultanan bertolak ke Desa Cijenuk untuk melakukan tirakat demi memastikan kebenaran siapa yang disemayamkan disana. Sejak saat itu, terbitlah surat keputusan bahwa sang tokoh berasal dari Cirebon dan perwakilan sesepuh kesultanan memandu penyelanggaraan haul tahunan Pangeran Raja Atas Angin.

Namun merujuk pada nama, asal-usul sang tokoh syiar agama islam Bandung Barat ini menghasilkan pendapat berbeda. Ia diyakini berasal dari Kesultanan Banten karena tersemat nama “Maulana” yang identik dan biasa dipakai para Sultan Banten sebelum tahun 1638 Masehi. Sultan Banten paling tenar yang memakai nama tersebut antara lain: Sultan Maulana Hasanuddin (masa pemerintahan: 15521570 M), Sultan Maulana Yusuf (masa pemerintahan: 15701585 M), dan Sultan Maulana Muhammad (masa pemerintahan: 15851596 M).

Pendapat kedua menyebutkan Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i adalah saudara kandung Syekh Maulana Mansyur Cikaduen. Mereka merupakan putra Abu al-Fath ‘Abdul-Fattah atau lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Kesultanan Banten dari tahun 1651 hingga 1683 Masehi. Pangeran Raja Atas Angin disebutkan sebagai keturunan kesembilan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia diduga sebagai sosok putra mahkota yang memilih keluar keraton untuk menyiarkan agama islam ke wilayah selatan Jawa Barat.


Terlepas dari mana asal-usulnya, Pangeran Raja Atas Angin memiliki andil besar dalam perkembangan agama dan budaya di Tanah Priangan yang kala itu masih dijajah Belanda. Syiar islamnya mencakup wilayah Pandeglang-Banten, Bogor, Cianjur, Surade-Sukabumi, hingga Cisewu-Garut. Rute yang dilalui Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i disebut-sebut sama persis dengan jalur yang ditempuh Sultan Maulana Yusuf untuk menghindari tentara Belanda. Di akhir pengembaraan, ia menemukan lokasi berbukit yang cocok dijadikan pusat syiar agama Islam sekaligus tempat persembunyian dari pantauan pasukan Belanda yang kini dikenal sebagai Desa Cijenuk.

Menelusuri Jejak Syiar Islam Pangeran Raja Atas Angin Cijenuk

Seperti kompleks pemakaman pada umumnya, Pemakaman Umum Desa Cijenuk di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat terasa sunyi dan senyap. Namun, area makam seluas 2,25 hektar itu memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri. Di sana, bersemayam tokoh penting yang berjasa dalam islamisasi atau penyebaran agama Islam di wilayah selatan Jawa Barat terutama Bandung Barat. Tak banyak diketahui masyarakat luas apalagi generasi muda, ia adalah Eyang Dalem Cijenuk yang memiliki nama asli Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i. Ia digelari Pangeran Raja Atas Angin karena keistimewaan yang dimilikinya.


Dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut, asal-usul Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i masih menjadi perdebatan hingga kini. Sosoknya kurang familier terutama akibat kurangnya penelitian dari lembaga maupun pemerintah terkait. Teori pertama menyebut bila ia berasal dari Cirebon dan merupakan salah satu putra dari selir Sultan Anom IV Muhammad Chaeruddin yang memerintah Kesultanan Kanoman dari tahun 1798 hingga 1803 Masehi. Sementara teori kedua menyebut bila ia putra dari Abu al-Fath ‘Abdul-Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Kesultanan Banten antara tahun 1651 hingga 1683 Masehi.

Perjalanan spiritual Pangeran Raja Atas Angin dimulai dari mempelajari ajaran tauhid kepada para pemuka agama terkemuka baik dari dalam maupun luar negeri. Dahaga akan ilmu ia tuntaskan dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad SAW di kota suci Makkah. Sebagai bangsawan, ia disebut-sebut sebagai pewaris utama alias putra mahkota yang berhak atas takhta kesultanan. Namun diyakini sebagai keturunan kesembilan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia memilih mengembara untuk menyiarkan ajaran tauhid yakni agama Islam.

Di tengah ancaman Belanda, ia beserta rombongan mengembara ke Pandeglang-Banten, Bogor, Cianjur, Surade-Sukabumi, hingga Cisewu-Garut. Di akhir perjalanan, ia menemukan sebuah daerah perbukitan di pelosok Bandung Selatan yang penduduknya masih menganut agama leluhur. Lokasi tersebut dianggap sesuai untuk dijadikan pusat syiar agama Islam. Apalagi, letaknya jauh dari pusat pemerintahan Belanda yang berada di Kota Bandung, Sumedang, dan Cianjur. Di masa sekarang, lokasi persinggahan Pangeran Raja Atas Angin dikenal sebagai Kecamatan Sindangkerta, dimana “sindang” berarti “singgah”, dan “kerta” bermakna “aman”.

Tidak berdiam di satu tempat, Pangeran Raja Atas Angin memperluas cakupan area dakwahnya di kawasan selatan Kabupaten Bandung Barat. Ia bergeser ke arah utara ke sebuah daerah yang kemudian dikenal sebagai Kampung Panaruban. Nama kampung itu berasal dari “takharub” yang artinya “mendekatkan diri (kepada yang Maha Kuasa)”. Untuk selanjutnya, nama Kampung Panaruban berubah menjadi Kampung Gerendung yang berasal dari kata “gerendung” atau “gerendeng”. Hal itu disebabkan karena metode syiar berupa dzikir yang dilakukan Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i terdengar “ngagerendeng” yang bermakna “suara halus”.

Di Kampung Gerendung itulah, Pangeran Raja Atas Angin mendirikan sebuah tempat yang menjadi pusat dakwahnya. Berasal dari masyarakat sekitar, murid alias santri yang menimba ilmu agama padanya semakin lama semakin banyak. Di kemudian hari, pusat syiar agama Islam tersebut dijuluki “Jenuk” yang mempunyai makna “tempat berkumpul”. Kala itu, terdapat sebuah istilah “batur jenuk balarea” yang berarti “semua orang bersaudara”. Kini, istilah “Jenuk” yang sering dituturkan penduduk dijadikan nama kampung yang dikenal sebagai Desa Cijenuk.

Sang tokoh syiar Islam tetap berdiam di kampung tersebut hingga akhir hayatnya. Di pemakaman umum Desa Cijenuk juga bersemayam istri Pangeran Raja Atas Angin, yakni Nyimas Rangga Wuluh, beserta kedua putri mereka, yaitu Nyimas Rangga Wulan dan Nyimas Rangga Wayan. Selain anggota keluarga, terdapat pula tiga makam yang diyakini sebagai pendamping Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i dalam berdakwah menyiarkan ajaran tauhid. Mereka adalah Eyang Jaga Wulan, Eyang Jaga Raksa, dan Eyang Jaga Wadana.

Untuk kenyamanan para peziarah yang mencapai ribuan setiap tahunnya, Yayasan Syekh Maulana Muhammad Syafe’i membangun infrastruktur secara bertahap. Saat ini, kompleks pemakaman yang berlokasi di Desa Cijenuk, RT/W 07/07, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat telah memiliki ruang majelis utama yang berada tepat di depan makam Pangeran Raja Atas Angin dengan daya tampung 1000 orang. Terdapat pula Masjid al-Karomah, balai perkumpulan, kantor pengurus yayasan, toilet, tempat wudhu, area parkir, dan warung. Dana pembangunan fasilitas berasal dari kantong pribadi pendiri yayasan dan infaq para peziarah.

Tak hanya berkunjung setiap hari, peziarah dapat mengikuti pengajian mingguan yang diadakan yayasan setiap malam Senin. Selain Hari Raya Idul Fitri, puncak ziarah terjadi di bulan Rabiul Awwal dimana acara haul tahunan Pangeran Raja Atas Angin dipandu dan dibimbing langsung para tokoh agama dan masyarakat terkemuka. Salah satunya oleh perwakilan sesepuh dari Kesultanan Kanoman Cirebon. Dikenal sebagai tradisi “Muludan”, para peziarah datang dari dalam serta luar Pulau Jawa, dan bahkan luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darusalam.

Semangat dakwah Pangeran Raja Atas Angin diteruskan anak-cucunya dengan mendirikan pusat pembelajaran islam atau pesantren. Kini, wilayah selatan Kabupaten Bandung Barat yang terdiri dari Cihampelas, Cililin, Cipongkor, Sindangkerta, Gununghalu dan Rongga dikenal sebagai tujuan santri dari berbagai wilayah Bandung Raya untuk menimba ilmu keagamaan. ‘Kelompok’ kecamatan tersebut bahkan mendapat julukan kultural berupa “Kota Santri” dan “Pabrik Haji”. 

 


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Pangeran Raja Atas Angin (Syekh Maulana Raden Muhammad Syafe’i) | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top