Nama lengkapnya ‘Umair bin Sa’ad bin ‘Abid al-Ausy al-Anshory. Ayahnya bernama Sa’ad, seorang qori’, ikut dalam peperangan bersama Rasulullah. Ayahnya wafat pada waktu terjadi perang Qodasia.
Waktu kecilnya sederhana karena ayahnya tidak meninggalkan harta sebelum meninggal. Maklul, ayahnya juga bukan orang kaya. Meski demikian beliau tidak terlalu gelisah dengan kekurangan harta. Kemiskinan yang dideritanya kemudian berubah setelah ibunya dinikahi al-Julas bin Suwaid, seorang kaya dari Aus (kabilah besar dari Uzd yang tinggal di Madinah).
Beliau masuk Islam pada waktu berumur kurang dari sepuluh tahun. Konon, malah beliau lebih dulu masuk Islam ketimbang ayahnya. Dirinya merasa tenang dan damai dengan ajaran Islam. Meskipun usianya masih kecil, beliau tidak pernah absen sholat di belakang Rasulullah. Keadaan inilah yang membuat keceriaan di wajah ibunya. Keimanan di hatinya terwujudkan dalam tindakan nyata.
sebagai orang yang beriman kepada Islam yang ajarannya dibawa Rasuullah, beliau tidak lepas dari cobaan dan ujian. Suatu hari ayah tirinya berkata, “Sekiranya Muhammad benar-benar utusan Allah dan terpercaya, tentu kita lebih buruk dari keledai.” Ucapan ini muncul ketika beliau mencoba mengajak ayah tirinya ikut berjuang dengan jiwa dan hartanya bersama pada waktu perang Yarmuk (perang antara umat Islam dengan bangsa Rum). Beliau merasa iri dengan sahabat yang lain karena mereka mau menyumbang jiwa dan hartanya demi tegaknya ajaran Islam. Meskipun kaya, hanya saja ayah tirinya enggan untuk memberikan sumbangan.
Beliau betul-betul kaget dan terpukul dengan ucapannya itu. Setelah itu beliau memohon kepada ayah tirinya untuk bertaubat atas ucapannya itu. Tapi ayah tirinya enggan untuk bertaubat. Hingga akhirnya beliau melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah pun memanggil keduanya. Ketika ditanya Rasulullah tentang ucapannay itu, ayah tirinya menyangkal dan tidak mengaku. “Ya Allah berilah bukti nyata terhadap kebenaran Rasulullah” beliau berdo’a. Hingga detik itu ayahnya tirinya belum mengaku. Akhirnya beliau membaca firman Allah dalam surah at-Taubah ayat; 74, “Mereka bersumpah kepada Allah…hanya saja mereka mengatakan itu dengan hati kufur…”
Tubuhnya gemetar mendengar firman Allah tadi. Mulutny ngilu dan susah untuk bicara. Setelah itu ayah tirinya menoleh ke Rasulullah sambil berkata; “Wahai Rasul, saya bertaubat.” Benarlah apa yang dikatakan ‘Umar bin Sa’ad.
Selama berjuang bersama Rasulullah, beliau ikut dalam semua peperangan. Para sahabat memanggilnya dengan sebutan ‘Nasij wahdahu’ (orang yang menganyam sendirian). Ketika Umar menjadi Kholifah, beliau ditugaskan untuk menjadi wali di Hamsh, kota di Syam (Syiria) antara Damaskus dan Halb. Beliau berusaha untuk menolak tawaran itu. Hanya saja Umar tetap meminta. Akhirnya beliaupun menerima amanah itu.
Suatu hari beliau berkhutbah di hadapan penduduk Hamsh, “Wahai manusia sekalian, Islam itu benteng yang kokoh dan pintu yang tebal dan kuat. Bentengnya Islam adalah keadilan dan pintunya adalah al-hak/kebenaran(bukan kebohongan). Sekiranya benteng itu runtuh dan pintu itu rusak maka akan musnahlah agama ini. Islam akan tetap menjadi kokoh selama penguasa/pemimpin keras pendiriannya. Penguasa yang keras bukan dengan pukulan tapi berlaku adil dan berbicara benar.”
Mengenai pribadinya, Umar bin Khottob berkata; “Saya ingin bahwa orang-orangku seperti ‘Umair bin Sa’ad dimana saya dapat meminta tolong kepada mereka untuk khidmah umat Islam.”
Dari Ibn Sirrin diceritakan bahwa karena kehebatan ‘Umair dan ketakjuban beliau padanya maka digelari ‘nasij wahdahu’. Al-Mufadhol bin al-Hgulaby berkatal “Orang-orang yang paling zuhud dari kaum Anshor ada tiga; Abu Darda, Syadad bin Aus dan ‘Umair bin Sa’ad.”
Beliau wafat tahun 45 Hijriah.
Sumber:
Meniti Jalan Para Sahabat
Meniti Jalan Para Sahabat
Post a Comment Blogger Disqus