Mistikus Cinta

0
Habib Al ‘Ajami
Habib bin Muhammad al ‘Ajami al Bashri, seorang Persia yang menetap di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang merawikan hadist-hadist dari Hasan al Bashri, Ibnu Sirin, dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya.

Kisah Habib Si Orang Persia

Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. Ia tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya, maka ia menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Pada suatu hari Habib pergi ke rumah seorang yang berutang kepadanya. Namun yang hendak ditemuinya sedang tak ada di rumah. Maka Habib meminta ganti rugi kepada isteri orang itu.

“Suamiku tak ada di rumah, “Isteri orang yang berutang itu berkata kepadanya, “Aku tak mempunyai sesuatu pun untuk diberikan kepadamu tetapi kami menyembelih seekor domba dan lehernya masih tersisa, jika engkau suka akan kuberikan kepadamu.”

“Bolehlah!” si lintah darat menjawab. Ia berpikir bahwa setidaknya ia dapat mengambil leher domba itu dan membawanya pulang, “Masaklah!”

“Aku tak mempunyai roti dan minyak, “si wanita menjawab.

“Baiklah,” si lintah darat menjawab, “Aku akan mengambil minyak dan roti, tapi untuk semua itu engkau harus membayar ganti rugi pula.” Lalu ia pun pergi mengambil minyak dan roti.

Kemudian si wanita segera memasaknya di dalam belanga. Setelah masak dan hendak dituangkan ke dalam mangkuk, seorang pengemis datang mengetuk pintu.

“Jika yang kami miliki kami berikan kepadamu,” Habib mendamprat si pengemis, “Engkau tidak akan menjadi kaya, tetapi kami sendiri akan menjadi miskin!”

Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia sudi memberikan sekadar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup belanga, ternyata semua isinya telah berubah menjadi darah hitam. Melihat ini, wajahnya menjadi pusat pasi. Segera ia mendapatkan Habib dan menarik lengannya untuk memperlihatkan isi belanga itu kepadanya.

“Saksikanlah apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk dan hardikanmu kepada si pengemis!” Si wanita menangis. “Apakah yang akan terjadi atas diri kita di atas dunia ini? Apa pula di akhirat nanti?”

Melihat kejadian ini dada Habib terbakar oleh api penyesalan. Penyesalan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidupnya.

“Wahai wanita! Aku menyesal segala perbuatan yang telah kulakukan!”

Keesokan harinya Habib berangkat pula untuk menemui orang-orang yang berutang kepadanya. Kebetulan sekali hari itu adalah hari Jum’at dan anak-anak bermain di jalanan. Ketika melihat Habib, mereka berteriak-teriak, “Lihat, Habib sang lintah darat sedang menuju ke sini, ayo kita lari, kalu tidak niscaya debu-debu tubuhnya akan menempel di tubuh kita dan kita akan terkutuk pula seperti dia!”

Seruan-seruan ini sangat melukai hati Habib. Kemudian ia pergi ke gedung pertemuan dan di sana terdengarlah olehnya ucapan-ucapan itu bagaikan menusuk-nusuk jantungnya sehingga akhirnya ia jatuh terkulai.

Habib bertaubat kepada Allah dari segala perbuatan yang telah dilakukannya, setelah menyadari apa sebenarnya yang terjadi, Hasan al Bashri datang memapahnya dan menghibur hatinya. Ketika Habib meninggalkan tempat pertemuan itu seseorang yang berutang kepadanya melihatnya, dan mencoba untuk menghindari dirinya.

“Jangan lari!” Habib berkata. “Pada waktu yang sudah-sudah engkaulah yang menghindari diriku, tetapi sejak saat ini akulah yang harus menghindari dirimu.”

Habib meneruskan perjalanannya, anak-anak tadi masih juga bermain-main di jalan. Melihat Habib, mereka segera berteriak, “Lihatlah Habib yang telah bertaubat sedang menuju ke mari. Ayolah kita lari! Jika tidak, niscaya debu-debu di tubuh kita akan menempel di tubuhnya sedang kita adalah orang-orang yang telah berdosa kepada Allah.”

“Ya Allah ya Tuhanku!” seru Habib, “Baru saja aku membuat perdamaian dengan-Mu, dan Engkau telah menabuh genderang-genderang di dalam hati manusia untuk diriku dan telah mengumandangkan namaku di dalam keharuman.”

Kemudian Habib membuat sebuah pengumuman yang berbunyi, “Kepada siapa saja yang menginginkan harta harta benda milik Habib, datang dan ambillah!”

Orang-orang datang berbondong-bondong, Habib memeberikan segala harta kekayaannya kepada mereka dan akhirnya ia tak mempunyai sesuatu pun juga. Namun masih ada seseorang yang datang untuk meminta, kepada orang ini Habib memberikan cadar isterinya sendiri. Kemudian datang pula seorang lagi dan kepadanya Habib memberikan pakaian yang sedang dikenakannya, sehingga tubuhnya terbuka. Dan ia lalu pergi menyepi ke sebuah pertapaan di pinggir sungai Eufrat, dan di sana ia membaktikan diri untuk beribadah kepada Allah. Siang malam ia belajar di bawah bimbingan Hasan namun betapa pun juga ia tidak dapat menghapal Al-Qur’an, dan karena itulah ia dijuluki ‘ajami atau si orang Barbar.

Waktu berlau, Habib sudah benar-benar dalam keadaan papa, tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib meninggalkan rumahnya menuju tempat pertapaan untuk melakukan kebaktiannya kepada Allah dan apabila malam tiba barulah ia pulang.

“Dimana sebenarnya engkau bekerja sehingga tak ada sesuatu pun yang engkau bawa pulang?” isterinya mendesak.

“Aku bekerja pada seseorang yang sangat Pemurah,” jawab Habib, “Sedemikian Pemurahnya Dia sehingga aku malu meminta sesuatu kepada-Nya, apabila saatnya nanti pasti ia akan memberi, karena seperti katanya sendiri, “Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu.”

Demikian setiap hari Habib pergi ke pertapaannya untuk beribadah kepada Allah. Pada waktu shalat Zhuhur pada hari yang kesepuluh, sebuah pikiran mengusik batinnya, “Apakah yang akan kubawa pulang nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku?”

Lama ia termenung di dalam perenungannya itu. Tanpa sepengetahuannya, Allah Yang Maha Besar telah mengutus pesuruh-pesuruh-Nya ke rumah Habib. Yang seorang membawakan gandum sepemikulan keledai, yang lain membawa seekor domba yang telah di kuliti, dan yang terakhir membawa minyak, madu, rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Semua itu mereka pikul disertai seorang pemuda gagah yang membawa sebuah kantung berisi 300 dirham perak. Sesampainya di rumah Habib, si pemuda mengetuk pintu.

“Apakah maksud kalian datang kemari?” tanya isteri Habib setelah membukakan pintu.

Majikan kami telah menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini,” pemuda gagah itu menjawab, “Sampaikanlah kepada Habib, “Bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.” Setelah berkata demikian mereka pun berlalu.

Setelah matahari terbenam Habib berjalan pulang. Ia merasa malu dan sedih. Ketika hampir sampai ke rumah, terciumlah olehnya bau roti dan masakan-masakan. Dengan berlari isterinya datang menyambut, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya, sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada waktu yang sudah-sudah.

“Wahai suamiku,” si isteri berkata, “majikanmu adalah seorang yang sangat baik dan pengasih. Lihatlah segala sesuatu yang telah dikirimkannya kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan, “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipatgandakan jerih payahmu maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”

Habib terheran-heran, “Sungguh menakjubkan! Baru sepuluh hari aku bekerja, sudah sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkan-Nya kepadaku, apa pulakah yang akan dilimpahkan-Nya nanti?”

Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan dunia dan membaktikan dirinya untuk Allah semata-mata.

Keajaiban-keajaiban Habib

Pada suatu seorang wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati.

“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah darinya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib, “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku.”

Apakah engkau memiliki uang ?” Tanya Habib kepada wanita tua itu.

“Aku mempunyai dua dirham.” Jawabnya.

“Berikanlah uang itu kepada orang-orang miskin.”

Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu, “Pulanglah, puteramu telah kembali.”

Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang putera telah ada dan sedang menantikannya.

“Wahai! Anakku telah kembali!” wanita itu berseru. Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.

“Apakah yang telah engkau alami?” Tanya Habib kepada putera wanita itu.

“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar olehku sebuah suara yang berkata, “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia kerumahnya sendiri.”

Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokkan harinya di Padang Arafah. Pada waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berutang Habib membeli banyak bahan-bahan pangan dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantung uangnya dan menaruhnya di bawah lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih utang, barulah kantung itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantung itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua utangnya.

Rumah habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas tanah.

Tidak berapa lama kemudian Hasan al Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan, ia bergumam, “Dasar Habib seorang barbar, tak peduli berapa harga mentel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bias-bisa hilang nanti”.

Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga Mantel itu. Tidak lama kemudian habib pun kembali.

“Wahai, imam kaum Muslimin,” Habib menegur Hasan setelah member salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”

“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakana, kepada siapakah engkau menitipkan mantel ini?”

“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu”. Jawab Habib.

Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.

Hasan terheran-heran lalu berkata, “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu”.

Habib tidak memberikan jawaban.

Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan itu ada daging domba panggang, penganan yang manis-manis, dan uang lima ratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan itu ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang itu kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan itu di samping Hasan.

Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu Habib berkata kepadanya, “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.

Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.

“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” Tanya mereka kepada Habib.

“Ya, aku telah melihatnya”, jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini”.

Para perwira itu memasuki pertapaan Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Hasan.

“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka”, Hasan mengisahkan, “namun mereka tidak melihat diriku”.

Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela habib, “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku”.

“guru, karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap”.

“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” Tanya hasan.

“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan Katakanlah, Allah itu esa sepuluh kali. Setelah itu aku berkata, “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan Kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia”.

Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir suangai Tigris sambil merenung-renung. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.

“Imam, mengapakah engkau berada di sini?” Habib bertanya.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga tiba”, jawab Hasan.

“guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam dirimu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air”.

Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsan. Ketika ia siuman orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai imam kaum Muslimin, apakah yang telah terjadi pada dirimu?”

“Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah iti ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan, “Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala”, sedang hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?”

Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib, “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan kesaktian-kesaktianmu itu?”

Habib menjawab, “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas”.

Hasan berkata, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain”.


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Habib Al ‘Ajami | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top