Biografi
Nama lengkapnya adalah Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli rahimahumullah. Dikalangan masyarakat Aceh, beliau lebih dikenal dengan panggilan Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng Kalee. Beliau dilahirkan pada tanggal 13 Rajab 1303 (17 April 1886) di Kampung Meunasah Ketembu, Kabupaten Pidie, Aceh, (Alizar, 2011).
Ayahandanya bernama Tengku Muhammad Hanafiyyah, terkenal dengan gelar Teungku Chik Krueng Kalee I atau Teungku Haji Muda, seorang ulama besar yang memimpin Dayah (Pondok) Krueng Kalee yang terletak di Kabupaten Aceh Besar. Beliau juga merupakan sahabat karib pahlawan nasional Indonesia, Teungku Syaikh Muhammad Saman Tiro atau dikalangan masyarakat Aceh dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Sementara ibundanya bernama Nyak Hafsah binti Teungku Syaikh Ismail atau Teungku Chik Krueng Kalee II. (Alizar, 2011).
Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Teungku Hj. Nyak Safiah di Siem; Teungku Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Teungku Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee meninggalkan tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Teungku H. Syech Marhaban, Menteri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. (Yasir, 2011).
Pendidikan Syaikh Hasan Krueng Kalee
Syaikh Hasan menerima didikan awal agama dari kedua orangtuanya sendiri. Saat usia remaja, beliau diantar ke Kedah, Malaysia untuk berguru pada Tok Syaikh Muhammad Arsyad rahimahullah, Pondok Yan, Kedah. Tok Syaikh Muhammad Arsyad adalah ulama Aceh yang telah membuka pondok di Yan, Kedah sekitar tahun 1900, beliau dikenal sebagai Teungku Di Balai. Syaikh Hasan duduk mengaji di Pondok Yan, Kedah selama beberapa tahun dan pada 1910 beliau dengan restu gurunya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pengajian di sana. Beliau bermukim sekitar 6 tahun di Makkah dan meneguk manisnya ilmu dari para ulama di sana. (Alizar, 2011).
Pengaruh Syaikh Hasan Krueng Kalee
Pada tahun 1916, Syaikh Hasan pulang ke Kedah dan mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Pondok Yan, Kedah. Kemudian beliau diminta oleh pamannya kembali ke Aceh untuk meneruskan kepemimpinan di Dayah Krueng Kalee. Di bawah asuhannya, Dayah Krueng Kalee semakin terkenal dan menjadi sebuah pusat pendidikan agama yang masyhur, tempat mendidik begitu banyak ulama dan pendakwah di Nusantara. (Alizar, 2011).
Selain belajar pelajaran fiqh, tauhid, tasawwuf dan yang setaranya, Syaikh Hasan turut mendalami bidang falak dan berhasil menguasainya sehingga sejak di Makkah beliau telah dijuluki dengan Syaikh Muhammad Hasan al-Aasyie al-Falaki. (Alizar, 2011). Di antara para ulama yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Ahmad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh Sa`id Sunbul (Mufti Syafi`i Makkah), Syaikh 'Abdullah Ismail, Syaikh Hasan Zamzami, Syaikh Utsman bin Muhammad Fadhil Aceh, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dan lain masih banyak lagi lainnya. (Alizar, 2011).
Murid-Murid Syaikh Hasan Krueng Kalee
Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah:
Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah:
- Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
- Teungku Hasan Leubok, ulama dan qadhi Aceh Besar.
- Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
- Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
- Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
- Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur.
- Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
- Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, ulama dan pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
- Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Selatan.
- Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
- Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur.
- Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie. (Alizar, 2011).
Karya Tulis Abu Hasan Krueng Kalee
Untuk mengabadikan isi pendidikan, beliau wujudkan dalam beberapa karya tulis diantaranya :
Untuk mengabadikan isi pendidikan, beliau wujudkan dalam beberapa karya tulis diantaranya :
1. Risalah Lathifah fi Adabi Al-Zikry.
Buku ini mengandung pelajaran tentang petunjuk samadiyah dan tahlil, yang diamalkan oleh wali-wali dan auliya-auliya Allah. Buku tersebut dipublikasi atau diterbitkan oleh Pustaka Aceh Raya Banda Aceh dan pertama sekali diterbitkan pada tahun 1958, (Fauziah, 1986).
Syaikh Krueng Kalee berpendapat berdasarkan hadits Rasulullah Saw, siapa yang mengucapakan La Ilaha Illallah sedangkan ia membenarkannya baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya niscaya ia akan masuk surga. Sebagaimana bunyinya: “Barang siapa mengucapakan La Ilaha Illallah sedangkan ia membenarkannya baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya niscaya ia akan masuk delapan pintu surga, mana-mana yang mereka sukai." (Fauziah, 1986).
Dari hadits Rasulullah Saw di atas dapat dipahami bahwa seseorang yang membaca Qul huwa Allahu ahad sepuluh ribu kali ia akan akan dibebaskan oleh Allah dari api neraka. Begitu juga seseorang yang membaca Qul huwa Allahu ahad sepuluh ribu kali bagi orang mati mereka dibebaskan oleh Allah dari api neraka. Demikian juga seseorang yang mengucapakan kalimat la ilaha illa Allah baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya ia akan masuk surga. (Fauziah, 1986).
2. Jawahir Al-Ulum fi Kasyafil Maklum (ditulis pada tahun 1334 H.)
Buku ini mengupas masalah kelebihan dan kebaikan menuntut ilmu pengetahuan ditinjau dari ilmu tasawwuf setebal 300 halaman. (Fauziah, 1986).
3. An ‘amatu Al-faidhah fi Isti’mali Qa’idati Al Rabithah (ditulis pada tahun 1327 H.)
Kitab ini Berjumlah 35 halaman, mengupas tentang rabithah yaitu hubungan murid dengan gurunya, yang bersambung sampai kepada Nabi Saw. (Fauziah, 1986).
4. Sirajus Salikin ‘ala Minhajil ‘Abidin (ditulis pada tahun 1332 H)
Berjumlah 300 halaman. Buku ini menguraikan tentang isi buku Minhajul ‘Abidin karangan Imam Ghazali, agar orang mudah memahami dan membahas kitab tersebut. (Fauziah, 1986). Pola hidup Teungku Haji Hasan Krueng Kalee lebih menjurus kepada kehidupan sufi yang mengutamakan pangamalan ibadah, (Fauziah, 1986). Pada tanggal 7 Mei 2007, bertepatan dengan 19 Rabiul Akhir 1428 H. Sebuah forum tingkat tinggi ulama Aceh menggelar pertemuan kedua di Mesjid Raya Baiturrahman, dalam pertemuan yang menghadirkan ratusan ulama Aceh ini menyimpulkan bahwa ada empat orang ulama Aceh yang telah sampai pada tingkat Ma’rifatullah, diantara keempat ulama tersebut salah satunya adalah Abu Hasan Krueng Kalee, (Yasir, 2011).
Pada tanggal 1-2 Oktober 1932 ketika diadakan Musyawarah Pendidikan Islam di Lubuk, Aceh Besar, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee terlibat didalamnya. Pada kegiatan ini membicarakan masalah pembaruan dan perbaikan pendidikan Islam. Ulama-ulama terkemuka hadir menjadi peserta pada kegiatan tersebut, diantaranya adalah Teungku H. Hasballah Indrapuri, Teungku H. Abdul Wahab Seulimum, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Teungku H. Hasan Krueng Kalee, Teungku H. Trienggadeng dan masih banyak lagi lainnya.
Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari musyawarah pendidikan Islam tersebut adalah :
- Tiada sekali-kali terlarang dalam agama Islam kita mempelajari ilmu keduniaan yang tidak berlawanan dengan syariat, malah wajib dan tidak layak ditinggalkan untuk mempelajarinya.
- Memasukkan pelajaran-pelajaran umum itu ke sekolah-sekolah agama memang menjadi hajat sekolah-sekolah itu.
- Orang perempuan berguru kepada orang laki-laki itu tidak ada halangan dan tidak tercegah pada syara, (Yasir, 2011). Selain dikenal sebagai ulama sufi, menurut Yasir (2011) beliau juga pengembang Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama di Aceh sepanjang hidupnya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee ikut aktif berjuang menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin perjuangan bukan hanya tokoh politik saja, tetapi juga dipelopori oleh ulama. Para ulama tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan bergabung dalam suatu organisasi seperti PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dan lain-lain. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Teungku H. Hasan Krueng Kalee menandatangi sebuah pernyataan bersama mengenai perang kemerdekaan. Bersama tiga orang ulama besar yaitu Teungku H. Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku H. Hasballah Indrapuri dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Pernyataan itu menegaskan bahwa: "Menurut keyakinan kami bahwa perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut perang sabil. Maka percayalah wahai bangsaku bahwa perjuangan ini adalah sebagai sambungan perjuangan dahulu di Aceh yang dipimpin oleh almarhum Teungku Chik Di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain. Dan sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu, mengangkat langkah menuju ke muka untuk mengikuti jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah-perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air, agama dan bangsa." (Yasir, 2011).
Pernyataan tersebut tertanggal 15 Oktober 1945. Untuk menggerakkan masyarakat agar berjihad dalam satu barisan yang teratur, barisan sabil atau barisan mujahidin. Pada tanggal 25 Oktober Teungku H. Hasan Krueng Kalee mengeluarkan sebuah seruan tersendiri yang sangat penting. Seruan ini ditulis dalam bahasa Arab kemudian dicetak oleh Markas Daerah Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh ketua umumnya Ali Hasjmy tertanggal 8 November 1945 Nomor 116/1945 dan dikirim kepada para pemimpin dan ulama diseluruh Aceh. Setelah seruan itu tersiar luas, maka berdirilah barisan Mujahidin di seluruh Aceh yang kemudian menjadi Mujahidin Devisi Teungku Chik Di Tiro. (Yasir, 2011).
Himbauan jihad di atas telah menggerakkan masyarakat tampil menuju medan perjuangan di tanah Aceh untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankannya. Mereka umumnya tergabung dibawah organisasi misalnya PUSA, Pemuda PUSA, Kasyafatul Islam, Muhammaddiyah, Pemuda Muhammaddiyah, PERTI, PERMINDO (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia), maupun organisasi-organisasi Islam lainnya. (Yasir, 2011). Pada masa itu Teungku Haji Hasan Krueng Kalee merupakan salah seorang penasehat PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), yaitu salah satu organisasi yang bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui organisasi tersebut guna meningkatkannya menjadi wadah pendidikan yang lebih berdaya guna. Organisasi ini menjadi pelopor dalam menggerakkan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, seperti yang dikemukakan oleh Prof. A. Hasjmy dalam salah satu tulisannya. (Yasir, 2011).
Pada awal tahun 1942 Pusa (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) menggerakkan sebuah pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Aceh, adalah hal yang logis karena para pemuda yang aktif dalam pemberontakan tersebut sebagian besar mereka yang telah ditempa iman dan semangat jihadnya dalam madrasah-madrasah, yang sistem pendidikan dan kurikulumnya telah diperbaharui. (Yasir, 2011). Dapat diketahui bahwa hanya dua organisasi Islam yang tampil sebagai pelopor yang menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap penjajahan Belanda, meskipun banyak juga organisasi-organisasi lain yang mulai tumbuh di Aceh.
Dengan demikian para ulama tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah maupun Persatuan Ulama Seluruh Aceh, juga para pemuda yang telah ikut aktif dalam pemberontakan terhadap Belanda. Melalui wadah organisasi ini pula bersama-sama dengan ulama-ulama lain seperti disebutkan di atas, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa tentang perlunya seluruh rakyat berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan jalan jihad fi sabilillah, hal ini terjadi pada tanggal 15 Oktober 1945. (Yasir, 2011).
Melihat uraian di atas jelaslah bagaimana pengaruh Teungku H. Hasan Krueng Kalee terhadap kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Seiring dengan itu fatwa syahid yang beliau keluarkan masih terus relevan dan memberi motivasi sendiri bagi masyarakat Aceh dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Meskipun pada masa setelah kemerdekaan, mulai muncul organisasi Islam yang lain, namun Teungku Haji Hasan Krueng Kalee tetap menyalurkan aktifitasnya melalui organisasi PERTI. (Yasir, 2011).
Referensi:
Fauziah Ibrahim, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee Sebagai Tokoh Pendidikan Islam di Aceh, Skripsi: IAIN Ar-Raniry, 1986.
Post a Comment Blogger Disqus