Hagiografi Nabi Khidir as.
Dalam Surah al-Kahfi ayat 65, Nabi Khidir as diungkapkan sebagai hamba di antara hamba-hamba Allah yang mendapatkan rahmat dan ilmu langsung dari sisi-Nya.
Allah berfirman, Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Surat Al-Kahfi ayat: 65).
Para ahli kitab tafsir menjelaskan “Rahmat dari sisi Allah” sebagai wahyu dan kenabian, sedangkan “Ilmu dari sisi Allah” sebagai ilmu laduni, yakni ilmu di balik peristiwa kasatmata, baik yang telah lalu maupun yang akan terjadi.
Menurut berbagai riwayat, Nabi Khidir adalah seorang nabi yang diutus Allah untuk menyeru kaumnya kepada tauhid dan keimanan terhadap para nabi, rasul dan kitab-kitab mereka. Salah satu tanda kenabian atau mukjizatnya adalah setiap kali ia duduk di atas kayu kering ataupun tanah gersang, maka berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau royo-royo. Itulah alas an mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau “Yang Hijau”.
Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai berikut :
“Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap salat di atas hamparan hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau”.
Menurut berbagai riwayat, nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh.
Cerita Nabi Khidir dalam a- Kahfi ayat 60 dimulai dengan kata-kata Nabi Musa kepada seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun sebagai berikut :
“Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai di pertemuan dua laut; atau aku berjalan sampai bertahun-tahun”.
Tekad ini muncul lantaran Allah mewahyukan kepada nabi Musa as untuk berguru kepada Khidir as.
Imam Ja’far ash-Shadiq menuturkan bahwa setelah Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa, menurunkan Taurat kepadanya dan memberinya berbagai karunia dan mukjizat, sifat kesombongannya yang manusiawi timbul hingga bertuturlah ia :
“Aku tidak melihat ciptaan yang lebih berilmu dari padaku”.
Mendengar ungkapan itu, Allah segera member Jibril perintah berikut :
“Selamatkan hamba-Ku ini sebelum ia hancur, dan katakan kepadanya untuk menemui dan berguru kepada seorang ‘abid yang tinggal di pertemuan dua laut.
Kepada Musa, Allah memberikan dua pertanda untuk menunjukkan tempat tinggal Khidir, yaitu pertemuan dua laut dan hidupnya kembali ikan yang sudah mati. Mengenai pertemuan dua laut ini, riwayat yang dibawa oleh Ibn Babawayh dan al-Qummi menyebutkan bahwa tempat itu berada di sekitar wilayah Suriah dan Palestina, mengingat alur cerita berkaitan dengan orang-orang yang tinggal di Nazaret. Riwayat lain yang dibawa as-Suyuthi menyebutkan bahwa pertemuan dua laut itu berada di Lembah Kura Aras, wilayah dekat Azerbaijan.
Soal ikan, sebagian riwayat menyebutkan bahwa ikan itu sudah digoreng, tapi sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ikan itu belum digoreng tapi sudah digarami. Menurut sejumlah, pertemuan dua laut itu juga merupakan sumber air kehidupan (ma’ al-hayah), sehingga orang yang meneguknya akan kekal abadi dan dan bangkai yang berada di sekitarnya akan hidup kembali.
Al-Qur’an menuturkan bahwa Yusya’ lupa menceritakan peristiwa hidup-kembali dan hilangnya ikan ke laut kepada Nabi Musa, sehingga ketika Nabi Musa merasa lapar dan memintanya untuk menyiapkan makanan, Yusya’ teringat kembali akan peristiwa itu. Yusya’ pun menuturkan peristiwa mencengangkan yang terjadi pada ikan itu. Kepada Yusya’ Nabi Musa mengatakan bahwa itulah tempat yang dituju. Sesampainya di tempat itu, Nabi Musa dan Yusya’ menemukan bongkahan batu besar yang memancarkan air.
Di dekat sumber air itu, Nabi Musa menemukan Nabi Khidir dan berkata kepadanya:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu bias mengajariku hal ikhwal yang telah diajarkan kepadmu secara benar”.
Nabi Khidir menjawab :
“Sesungguhnya kamu tidak akan bersabar mengiringiku. Bagaimana pula kamu sanggup bersabar tentang sesuatu yang belum kamu ketahui”. Menghubungkan kesabaran dengan pengetahuan ini sangat relevan, sebab orang memang sering tidak bias bersabar atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata :
“Manusia adalah musuh apa yang tidak diketahuinya”.
Mendengar jawaban tersebut, Musa menegaskan niatnya untuk bersabar dan taat mengikuti perintah Khidir. Selanjutnya, Nabi Khidir meminta Musa untuk tidak bertanya-tanya dan bersabar menunggu keterangan mengenai hal-hal yang akan terjadi sepanjang perjalanan.
Cerita selanjutnya terungkapkan dalam Al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 71 hingga 82.
Allah berfirman, Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (Surat Al-Kahfi ayat : 71)
Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (Surat Al-Kahfi ayat : 72)
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". (Surat Al-Kahfi ayat : 73)
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (Surat Al-Kahfi ayat : 74)
Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (Surat Al-Kahfi ayat : 75)
Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (Surat Al-Kahfi ayat : 76)
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (Surat Al-Kahfi ayat : 77)
Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Surat Al-Kahfi ayat : 78)
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Surat Al-Kahfi ayat : 79)
Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (Surat Al-Kahfi ayat : 80)
Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Surat Al-Kahfi ayat : 81)
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (Surat Al-Kahfi ayat : 82)
Ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan kepadanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal: pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; dan ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhi perilakunya di alam nyata. Oleh karena itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan Allah pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi. Begitulah pengandaian Nabi Muhammad yang terekam dalam surah al-A’raf ayat 188:
Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya …
Dalam Surah al-Kahfi ayat 65, Nabi Khidir as diungkapkan sebagai hamba di antara hamba-hamba Allah yang mendapatkan rahmat dan ilmu langsung dari sisi-Nya.
Allah berfirman, Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (Surat Al-Kahfi ayat: 65).
Para ahli kitab tafsir menjelaskan “Rahmat dari sisi Allah” sebagai wahyu dan kenabian, sedangkan “Ilmu dari sisi Allah” sebagai ilmu laduni, yakni ilmu di balik peristiwa kasatmata, baik yang telah lalu maupun yang akan terjadi.
Menurut berbagai riwayat, Nabi Khidir adalah seorang nabi yang diutus Allah untuk menyeru kaumnya kepada tauhid dan keimanan terhadap para nabi, rasul dan kitab-kitab mereka. Salah satu tanda kenabian atau mukjizatnya adalah setiap kali ia duduk di atas kayu kering ataupun tanah gersang, maka berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau royo-royo. Itulah alas an mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau “Yang Hijau”.
Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai berikut :
“Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap salat di atas hamparan hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau”.
Menurut berbagai riwayat, nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh.
Cerita Nabi Khidir dalam a- Kahfi ayat 60 dimulai dengan kata-kata Nabi Musa kepada seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun sebagai berikut :
“Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai di pertemuan dua laut; atau aku berjalan sampai bertahun-tahun”.
Tekad ini muncul lantaran Allah mewahyukan kepada nabi Musa as untuk berguru kepada Khidir as.
Imam Ja’far ash-Shadiq menuturkan bahwa setelah Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa, menurunkan Taurat kepadanya dan memberinya berbagai karunia dan mukjizat, sifat kesombongannya yang manusiawi timbul hingga bertuturlah ia :
“Aku tidak melihat ciptaan yang lebih berilmu dari padaku”.
Mendengar ungkapan itu, Allah segera member Jibril perintah berikut :
“Selamatkan hamba-Ku ini sebelum ia hancur, dan katakan kepadanya untuk menemui dan berguru kepada seorang ‘abid yang tinggal di pertemuan dua laut.
Kepada Musa, Allah memberikan dua pertanda untuk menunjukkan tempat tinggal Khidir, yaitu pertemuan dua laut dan hidupnya kembali ikan yang sudah mati. Mengenai pertemuan dua laut ini, riwayat yang dibawa oleh Ibn Babawayh dan al-Qummi menyebutkan bahwa tempat itu berada di sekitar wilayah Suriah dan Palestina, mengingat alur cerita berkaitan dengan orang-orang yang tinggal di Nazaret. Riwayat lain yang dibawa as-Suyuthi menyebutkan bahwa pertemuan dua laut itu berada di Lembah Kura Aras, wilayah dekat Azerbaijan.
Soal ikan, sebagian riwayat menyebutkan bahwa ikan itu sudah digoreng, tapi sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ikan itu belum digoreng tapi sudah digarami. Menurut sejumlah, pertemuan dua laut itu juga merupakan sumber air kehidupan (ma’ al-hayah), sehingga orang yang meneguknya akan kekal abadi dan dan bangkai yang berada di sekitarnya akan hidup kembali.
Al-Qur’an menuturkan bahwa Yusya’ lupa menceritakan peristiwa hidup-kembali dan hilangnya ikan ke laut kepada Nabi Musa, sehingga ketika Nabi Musa merasa lapar dan memintanya untuk menyiapkan makanan, Yusya’ teringat kembali akan peristiwa itu. Yusya’ pun menuturkan peristiwa mencengangkan yang terjadi pada ikan itu. Kepada Yusya’ Nabi Musa mengatakan bahwa itulah tempat yang dituju. Sesampainya di tempat itu, Nabi Musa dan Yusya’ menemukan bongkahan batu besar yang memancarkan air.
Di dekat sumber air itu, Nabi Musa menemukan Nabi Khidir dan berkata kepadanya:
“Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu bias mengajariku hal ikhwal yang telah diajarkan kepadmu secara benar”.
Nabi Khidir menjawab :
“Sesungguhnya kamu tidak akan bersabar mengiringiku. Bagaimana pula kamu sanggup bersabar tentang sesuatu yang belum kamu ketahui”. Menghubungkan kesabaran dengan pengetahuan ini sangat relevan, sebab orang memang sering tidak bias bersabar atas sesuatu yang tidak diketahuinya. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata :
“Manusia adalah musuh apa yang tidak diketahuinya”.
Mendengar jawaban tersebut, Musa menegaskan niatnya untuk bersabar dan taat mengikuti perintah Khidir. Selanjutnya, Nabi Khidir meminta Musa untuk tidak bertanya-tanya dan bersabar menunggu keterangan mengenai hal-hal yang akan terjadi sepanjang perjalanan.
Cerita selanjutnya terungkapkan dalam Al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 71 hingga 82.
Allah berfirman, Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. (Surat Al-Kahfi ayat : 71)
Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". (Surat Al-Kahfi ayat : 72)
Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". (Surat Al-Kahfi ayat : 73)
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". (Surat Al-Kahfi ayat : 74)
Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (Surat Al-Kahfi ayat : 75)
Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". (Surat Al-Kahfi ayat : 76)
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu". (Surat Al-Kahfi ayat : 77)
Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (Surat Al-Kahfi ayat : 78)
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Surat Al-Kahfi ayat : 79)
Dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. (Surat Al-Kahfi ayat : 80)
Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya). (Surat Al-Kahfi ayat : 81)
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (Surat Al-Kahfi ayat : 82)
Ayat-ayat di atas mengisahkan perbedaan sudut pandang Nabi Khidir yang telah disingkapkan kepadanya alam gaib dan Nabi Musa yang hanya melihat secara indrawi. Kisah ini secara sederhana ingin mengemukakan sedikitnya tiga hal: pertama, alam eksistensi terdiri dari aspek yang tampak (syahadah) dan aspek tak tampak (ghaib); kedua, dua aspek ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi; dan ketiga, pengetahuan seseorang tentang aspek gaib pasti akan mempengaruhi perilakunya di alam nyata. Oleh karena itu, makin luas ilmu gaib yang diberikan Allah pada seseorang, makin berbeda pula perilaku orang itu di alam indrawi. Begitulah pengandaian Nabi Muhammad yang terekam dalam surah al-A’raf ayat 188:
Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya …
Post a Comment Blogger Disqus