فلولاه ولو لا نا لما كان الذى كان
“Andai saja tiada Dia
Dan tiada aku
Niscaya tiadalah yang ada.”
Dan tiada aku
Niscaya tiadalah yang ada.”
(Ibn Araby)
Mungkin ia adalah sufi paling kontroversial yang pernah dimiliki umat Islam, paling tidak seperti Imam al-Ghazali, penulis Ihya’ Ulumiddin itu. Banyak orang mengaguminya, tetapi tak kalah banyak yang mengecam dan mencacinya sepanjang zaman. Lihat saja penggalan tulisan dalam kitabnya “Al-Futuhat al-Makkiyah” di atas. Kita mengenalinya sebagai paham wihdatul wujud. Paham itu sangat kita kenali, karena sejarah Islam tanah Jawa pernah memiliki tokoh yang memegangi paham itu, yang juga kontroversial, yakni Syekh Lemahbang atau Syeikh Siti Jenar yang hidup pada masa pemerintahan awal kesultanan Demak dan Wali Songo.
Dan tokoh yang sedang kita bicarakan kali ini adalah Ibnu ‘Araby.
Lahir pada 28 Juli 1165 M di Murcia, Andalusia, Spanyol, ia bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Tha’i. Dalam katalog karya-karyanya, ia mencantumkan namanya sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn ‘Araby al-Tha’i al-Hatimi. Laqab atau julukannya adalah Muhyiddin, yang berarti orang yang menghidupkan agama. Tetapi ia lebih terkenal dengan nama Ibnu ‘Araby.
Sematan nama at-Tha’i al-Hatimi diambil dari kabilah nenek moyangnya yang bernama Abdullah bin Hatim, saudara Adiy bin Hatim dari kabilah at-Tha’i. Adiy bin Hatim radhiyallahu anhu adalah seorang kepala suku at-Tha’i yang awalnya sangat membenci Rasulullah sallalahu alaihi wasallam, namun pada akhirnya memeluk Islam. Adiy bin Hatim adalah saksi hidup atas 2 dari 3 kebenaran ucapan Nabi yang pernah disampaikan kepadanya. Salah satunya adalah “sudah dekat waktunya harta simpanan Kisra bin Hurmuz (raja Persia waktu itu) ditaklukkan.” Beliau diberi umur panjang hingga termasuk pasukan berkuda yang pertama-tama menyerang masuk gudang perbendaharaan Kisra dan merampas harta kekayaannya pada saat penaklukan Persia.
Ayah Ibnu ‘Araby, Ali bin Muhammad, termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, di samping seorang sufi yang zuhud dan bertaqwa, shalih, pembaca al-Qur’an yang tekun, dan memiliki beberapa karamah. Di antara karamahnya adalah mengetahui kapan hari meninggalnya.
Umur delapan tahun, Ibnu ‘Araby berangkat ke Lisabon untuk belajar al-Qur’an dan hukum-hukum Islam dari Syeikh Abu Bakar bin Khalaf. Lalu ia pindah ke Seville yang merupakan ibukota dan pusat kekuasaan dinasti al-Muwahidin yang saat itu menguasai Andalusia. Juga pusat sufisme yang penting pula. Selama 30 tahun Ibnu ‘Araby menetap di kota ini dan belajar hukum, hadits, teologi, dan tasawuf. Ia pernah bertemu dan berdiskusi dengan filsuf besar Ibnu Rusyd, tokoh yang sangat terkenal kala itu di Andalusia. Ini menunjukkan kecemerlangan Ibnu ‘Araby yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.
Namun, ada suatu masa yang disebut Ibnu ‘Araby sebagai “periode kejahilan” dalam hidupnya, yakni ketika seperti ayahnya, ia ikut dalam barisan tentara Sultan Al-Muwahidun. Ia dijanjikan kedudukan menjadi asisten gubernur Sevilla. Periode ini diakuinya sebagai masa ketidakpedulian pada Tuhan dan tergoda daya tarik duniawi.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd, dia mengalami pencerahan spiritual. Ia pun berpikir ulang tentang jalan hidupnya. Dan sebuah peristiwa kemudian membuat keputusannya bulat, yakni ketika ia bersama panglima Al-Muwahidun, Abu Bakar Yusuf bin Abd al-Mu’min bin Ali mengunjungi Masjid Agung Cordova. Ia melihat panglimanya itu sujud bersimpuh dengan rendah hati memohon pada Allah. Pemandangan itu mengguncangkan pikirannya. “Jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah,” katanya pada dirinya sendiri, “maka dunia ini tidak ada artinya.”
Sejak itu, Ibnu ‘Araby mundur dari ketentaraan dan mengabdikan diri pada kehidupan spiritual dan penghambaan penuh pada Allah. Itu terjadi sekitar tahun 1184 M. Ia pun memulai pengembaraannya, di mulai dari Andalusia. Ia pergi ke Murur, menemui Syeikh Abu Muhammad al-Maururi. Ia juga mengunjungi Cordova dan Granada, dua kota penting di Andalusia. Tak puas di Andalusia, ia pergi menyeberang ke Bejayah, Aljazair. Di sana ia berguru pada Syekh Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, seorang tokoh sufi paling terkenal zaman itu. Ibnu ‘Araby sangat terpengaruh oleh Abu Madyan, meski secara fisik ia tak pernah bertemu kecuali berguru pada murid-muridnya seperti Al-Mawruri, Al-Kumi, dan Al-Sadrani. Namun Ibnu ‘Araby meyakini bahwa Abu Madyan mengenalnya, bahkan menemuinya berkali-kali secara spiritual.
Ibnu ‘Araby lalu pergi ke Tunisia dan mengkaji karya sufi Abu al-Qasim ibnu Qushai. Konon, ketika di Tunisia ini, ia bertemu dengan Nabi Khidir dalam tingkatan fisik sebanyak 3 kali, di darat, di air, dan di udara. Sejak saat itulah, ia mulai menulis. Lahirlah Mashashid al-Asrar (Kontemplasi atas Misteri-misteri) dan Tadbirat al-Ilahiyyah (Pemerintahan ilahiyah).
Ketika ayah ibunya meninggal, dan karena keadaan yang genting di Andalusia, maka ia memutuskan pergi ke Fes di Maroko berikut keluarga dan kedua saudara perempuannya. Di sinilah ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Ia bisa mengabdikan diri sepenuhnya pada kegiatan spiritual dan berkumpul dengan orang-orang yang sepaham dengannya. Pada usia 30 tahun, ia mengalami perjalanan semacam mi’raj yang kemudian ia tuangkan dalam kitabnya Al-Isra (Kitab Perjalanan).
Ibnu ‘Araby kembali ke Andalusia untuk terakhir kali pada 1198, ketika hadir dalam pemakaman Ibnu Rusyd. Lalu ia berkelana ke Marakesh, Tripoli, Tunisia, Mesir, dan Makkah. Ia tiba di Makkah pada 1202 dan bertemu dengan Abu Syuja’ al-Imam al-Muwakkil, tokoh dan ilmuwan Makkah. Abu Syuja’ memiliki putri cantik bernama Nizam, yang kemudian menjadi inspirator Ibnu ‘Araby hingga lahir kitabnya Turjuman al-Aswaq. Karya itu diakuinya secara lahiriah sebagai untaian puisi cintanya pada gadis rupawan itu, tetapi sebenarnya merupakan ungkapan cintanya pada sang Pencipta.
Ibnu’Arabi sibuk dalam penulisan selama dua tahun di Makkah. Lahir karya-karyanya: Misykatul Anwar, Hilyatul Abdal, Ruhul Quds, dan Tajul Rasail. Ia lalu melanjutkan pengembaraannya hingga terakhir kali berdiam dan menetap di Damaskus. Di kota ini, penguasa Damaskus Al-Malik al-Adl menawarinya tinggal di istana. Di sinilah Ibnu ‘Araby merampungkan karya paling monumentalnya, yakni Al-Futuhatul Makkiyyah, yang diakuinya sebagai hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab itu berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, dimana ia bertemu dengan pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna isoterik al-Qur’an. Ia juga merampungkan kitab Fushusul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya, selain kitab puisinya Ad-Diwan al-Akbar.
Ia telah menghasilkan karya yang sangat banyak. Ada yang menyebut 400 kitab sudah ditulisnya semasa hidupnya. Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibnu ‘Arabi merupakan tokoh yang memberi konstribusi besar terhadap tradisi intelektual secara tertulis. Ia telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spiritual yang tidak ternilai harganya pada separuh akhir hidupnya.
Gagasan utama sufi besar ini adalah doktrinnya tentang Wihdatul al-Wujud (kesatuan wujud, kesatuan eksistensi) dan Al-Insan al-Kamil (manusia paripurna) atau Hakikat Muhammadiyyah. Melalui doktrin Wihdatul al-Wujudnya dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya eksistensi yang riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan belaka. Lenyap. Tuhan adalah realitas dalam segala yang wujud. Doktrin Wihdatul al-Wujud inilah salah satu yang memicu kontroversial tentang dirinya. Dengannya, sang sufi legendaris ini telah menyenandungkan cintanya kepada Tuhan dengan cara yang sangat “luar biasa” begitu rupa. Simak salah satu syairnya ini:
فيحمدنى وأحمده ويعبدنى واعبده
Dia memujiku, aku memuji-Nya Dia mengabdi padaku, aku mengabdi pada-Nya
Atas segala pencapaiannya ini, pengagumnya menjulukinya Syeikh al-Akbar.
Ibnu ‘Araby wafat di Damaskus pada 16 November 1240 M atau 28 Rabiul Tsani 638 H dalam usia 76 tahun.
Ibnu ‘Araby wafat di Damaskus pada 16 November 1240 M atau 28 Rabiul Tsani 638 H dalam usia 76 tahun.
Post a Comment Blogger Disqus