Ibn Arabi terlahir di Mursia, Andalusia pada 28 Juli 1165 dan meninggal pada 10 November 1240 M. Para sufi menjulukinya sebagai asy-Syaikh al-Akbar (Guru Besar). Hampir semua karangannya yang bertumpuk itu berbicara tentang wacana-wacana tingkat tinggi dalam bidang tasawuf, sehingga ia sering digolongkan sebagai pemikir Muslim yang “paling sulit dipahami”.
Berbagai isu intelektual yang menyurak di masa Ibn Arabi (seperti tasawuf, tafsir, hadits, fiqh, kalam (irologi), dan filsafat (dibahasnya secara sangat kaya dan mendetail. Meskipun sangat loyal kepada hadits, pemikirannya terkesan inovatif. Pelbagai karyanya telah menghadirkan khazanah perenungan yang prolific tentang semua dimensi Islam. Tidak berlebihan bila kita katakana bahwa Ibn Arabi adalah pemikir yang paling berpengaruh pada paro kedua sejarah Islam.
Pemikiran dan kepribadian Ibn Arabi yang senantiasa berkilau itu memikat dan mengilhami para pemikir Muslim hingga dewasa ini. Menurut James Morris :
“Mengikuti apa yang dikatakan oleh Whitehead tentang Plato, dengan kadar penekanan yang sama dapat dikatakan bahwa sejarah pemikiran Islam setelah Ibn Arabi (setidaknya sampai abad ke-18 yang menandai suatu perjumpaan yang sama sekali baru dengan Barat modern) tak lain merupakan serangkaian catatan kaki terhadap karya-karyanya.
Tiga gagasan besar Ibn Arabi yang paling berpengaruh pada perkembangan tasawuf adalah wahdah al-wujud (kesatuan wujud), alam al-Khayal (dunia imajinasi), dan al-Isan al-Kamil (manusia sempurna). Ungkapan wahdah al-wujud sebenarnya tidak pernah digunakan oleh Ibn Arabi sendiri. Para pengikutnya mengadopsi ungkapan ini untuk menjelaskan pemikiran Ibn Arabi. Setiap kali menggunakan kata wujud, Ibn Arabi selalu memperhatikan asal-usul etimologisnya. Baginya, wujud tidak hanya berate “Menjelma” atau “mengada”, melainkan juga berarti “menemukan” dan “ditemukan”.
Dalam konteks Ketuhanan, kata ini berarti bahwa Tuhan “Ada dan tidak pernah tidak ada”. Dan hanya Dialah yang “menemukan” diri-Nya dan segala sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, wujud tidak hanya bermakna keberadaan (existence), melainkan juga awareness, kesadaran, dan pengetahuan.ibn Arabi memakai kata khayal (imajinasi) untuk mengacu kepada segala sesuatu yang berada di posisi pertengahan, bukan sekedar kepada daya khayal yang melengkapi kerja nalar (reason) dalam pikiran manusia (mind). Contoh umum dari realitas khayali (imaginal) adalah pantulan cermin. Cermin maupun pantulannya tidak mengambarkan realitas yang seutuhnya. Kombinasi dari keduanya yang bias menghadirkan keutuhan realitas.
Imajinasi dalam pengertian seluas-luasnya adalah alam semesta beserta segala isinya, lantaran semua itu bukan sepenuhnya ‘adam (ketiadaan) dan bukan sepenuhnya wujud (keberadaan), melainkan “sesuatu di antara keduanya”. Dalam pengertian yang lebih sempit, alam semesta tercipta dari dua keadaan : ketampakan (syahadah) dan ketersembunyian (ghaib), tubuh dan ruh; makna (sense atau ma’na) dan persepsi (hiss). Di antara semua itulah Dunia Imajinasi berada. Tidaklah ia sepenuhnya ruhani, juga tidak sepenuhnya jasmani. Tidak semuanya indrawi (perceptible), juga tidak semuanya bebas dari sifat-sifat indrawi.
Di dalam diri manusia, imajinasi menrujuk kepada jiwa (nafs) yang berada di antara ruh (embusan Illahi) dan raga (lempung). Praktis semua awareness dan kesadaran terjadi di dalam imajinasi. Antara sisi ruhani dan jasmani, maknawi dan indrawi (sense perception) terjadi interaksi dalam dua pola : obyek-obyek spiritual terus menyempurna melalui instrument ragawi, sementara obyek-obyek ragawi berproses menjadi lebih spiritual.
Manusia sempurna adalah raison d’atre penciptaan alam semesta (macrocosmos). Tuhan mencipta alam semesta agar manusia bias mengetahui mutlaknya kesempurnaan Illahi. Sebagai makhluk yang tercipta dari citra Illahi, manusia berpotensi untuk mengetahui dan merengkuh sifat-sifat sempurna Tuhan (kecuali yang berkaitan dengan kemutlakan-Nya). Dengan mengaktualisasi semua potensi intelektual (mengetahui) dan eksistensial (menada), manusia sempurna telah memenuhi tujuan penciptaan. Bagi Ibn Arabi, manusia berada tepat di titik tengah yang tak terhingga. Ia adalah penampakan dari Dia atau bukan Dia, dari wujud atau bukan wujud. Dia selalu berada di tahap yang tak bertahap. Meski telah banyak menulis karangan, tetapi karya yang paling banyak dikaji dan diteliti adalah Fushush al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan al-Futuhat al-Makkiyyah. Lebih dari seratus buku komentar telah ditulis untuk Fushush, dan akan terus ditulis pada masa-masa yang akan dating. Pada saat yang sama, ada sejumlah tulisan yang tak kalah banyaknya yang dibuat orang untuk menyerang dan mengutuk buku ini dan pengarangnya.
Al-Futuhat al-Makkiyyah berarti kumpulan futuh (pembukaan) di Mekkah. Menurut Ibn Arabi, Allah telah “membukakan” hatinya untuk dicurahi ilmu yang banyak. Kata futuh menyiratkan bahwa jenis ilmu itu datang kepada seseorang yang telah lama dan sabar menunggu di depan pintu. Pemberian ilmu jenis ini jelas tidak melibatkan paksaan dari dalam, upaya keras atau pencarian. Karena, mencari pengetahuan tertentu akan menyesatkan pelaku suluk dari pencarian akan Tuhan. Ibn Arabi menuturkan :
“Ketika aku terus-menerus mengetuk pintu Allah, aku menunggu dengan penuh waspada, tidak terganngu, hingga kemudian tampaklah oleh pandanganku kebesaran Wajah-Nya dan sebuah panggilan untukku, tidak lebih dari itu”.
Namun demikian, harus diingat bahwa tidak semua masukan (warid) bisa disebut futuh (pembukaan). Para sufi membedakan empat kategori lintasan pikiran (khawatir) : Ilahi, ruhani, ego-sentris (nafsani) dan syaithani. Menurut William Chittick.
“Dari perspektif Sufi, salah satu tanda penyimpangan paling jelas dari ‘spiritualitas’ kontemporer – terutama dari ragam ‘New Age’ – ialah ketakmampuannya memilah-milah sumber masukan. Pengetahuan yang dicurahkan kepada pencari Allah adalah pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan Kalam Ilahi. Ibn Arabi menyatakan :
“Tiada yang dibukakan bagi wali Allah selain pemahaman tentang Kitab yang Agung”.
Berbagai isu intelektual yang menyurak di masa Ibn Arabi (seperti tasawuf, tafsir, hadits, fiqh, kalam (irologi), dan filsafat (dibahasnya secara sangat kaya dan mendetail. Meskipun sangat loyal kepada hadits, pemikirannya terkesan inovatif. Pelbagai karyanya telah menghadirkan khazanah perenungan yang prolific tentang semua dimensi Islam. Tidak berlebihan bila kita katakana bahwa Ibn Arabi adalah pemikir yang paling berpengaruh pada paro kedua sejarah Islam.
Pemikiran dan kepribadian Ibn Arabi yang senantiasa berkilau itu memikat dan mengilhami para pemikir Muslim hingga dewasa ini. Menurut James Morris :
“Mengikuti apa yang dikatakan oleh Whitehead tentang Plato, dengan kadar penekanan yang sama dapat dikatakan bahwa sejarah pemikiran Islam setelah Ibn Arabi (setidaknya sampai abad ke-18 yang menandai suatu perjumpaan yang sama sekali baru dengan Barat modern) tak lain merupakan serangkaian catatan kaki terhadap karya-karyanya.
Tiga gagasan besar Ibn Arabi yang paling berpengaruh pada perkembangan tasawuf adalah wahdah al-wujud (kesatuan wujud), alam al-Khayal (dunia imajinasi), dan al-Isan al-Kamil (manusia sempurna). Ungkapan wahdah al-wujud sebenarnya tidak pernah digunakan oleh Ibn Arabi sendiri. Para pengikutnya mengadopsi ungkapan ini untuk menjelaskan pemikiran Ibn Arabi. Setiap kali menggunakan kata wujud, Ibn Arabi selalu memperhatikan asal-usul etimologisnya. Baginya, wujud tidak hanya berate “Menjelma” atau “mengada”, melainkan juga berarti “menemukan” dan “ditemukan”.
Dalam konteks Ketuhanan, kata ini berarti bahwa Tuhan “Ada dan tidak pernah tidak ada”. Dan hanya Dialah yang “menemukan” diri-Nya dan segala sesuatu selain-Nya. Dengan kata lain, wujud tidak hanya bermakna keberadaan (existence), melainkan juga awareness, kesadaran, dan pengetahuan.ibn Arabi memakai kata khayal (imajinasi) untuk mengacu kepada segala sesuatu yang berada di posisi pertengahan, bukan sekedar kepada daya khayal yang melengkapi kerja nalar (reason) dalam pikiran manusia (mind). Contoh umum dari realitas khayali (imaginal) adalah pantulan cermin. Cermin maupun pantulannya tidak mengambarkan realitas yang seutuhnya. Kombinasi dari keduanya yang bias menghadirkan keutuhan realitas.
Imajinasi dalam pengertian seluas-luasnya adalah alam semesta beserta segala isinya, lantaran semua itu bukan sepenuhnya ‘adam (ketiadaan) dan bukan sepenuhnya wujud (keberadaan), melainkan “sesuatu di antara keduanya”. Dalam pengertian yang lebih sempit, alam semesta tercipta dari dua keadaan : ketampakan (syahadah) dan ketersembunyian (ghaib), tubuh dan ruh; makna (sense atau ma’na) dan persepsi (hiss). Di antara semua itulah Dunia Imajinasi berada. Tidaklah ia sepenuhnya ruhani, juga tidak sepenuhnya jasmani. Tidak semuanya indrawi (perceptible), juga tidak semuanya bebas dari sifat-sifat indrawi.
Di dalam diri manusia, imajinasi menrujuk kepada jiwa (nafs) yang berada di antara ruh (embusan Illahi) dan raga (lempung). Praktis semua awareness dan kesadaran terjadi di dalam imajinasi. Antara sisi ruhani dan jasmani, maknawi dan indrawi (sense perception) terjadi interaksi dalam dua pola : obyek-obyek spiritual terus menyempurna melalui instrument ragawi, sementara obyek-obyek ragawi berproses menjadi lebih spiritual.
Manusia sempurna adalah raison d’atre penciptaan alam semesta (macrocosmos). Tuhan mencipta alam semesta agar manusia bias mengetahui mutlaknya kesempurnaan Illahi. Sebagai makhluk yang tercipta dari citra Illahi, manusia berpotensi untuk mengetahui dan merengkuh sifat-sifat sempurna Tuhan (kecuali yang berkaitan dengan kemutlakan-Nya). Dengan mengaktualisasi semua potensi intelektual (mengetahui) dan eksistensial (menada), manusia sempurna telah memenuhi tujuan penciptaan. Bagi Ibn Arabi, manusia berada tepat di titik tengah yang tak terhingga. Ia adalah penampakan dari Dia atau bukan Dia, dari wujud atau bukan wujud. Dia selalu berada di tahap yang tak bertahap. Meski telah banyak menulis karangan, tetapi karya yang paling banyak dikaji dan diteliti adalah Fushush al-Hikam (Permata Kebijaksanaan) dan al-Futuhat al-Makkiyyah. Lebih dari seratus buku komentar telah ditulis untuk Fushush, dan akan terus ditulis pada masa-masa yang akan dating. Pada saat yang sama, ada sejumlah tulisan yang tak kalah banyaknya yang dibuat orang untuk menyerang dan mengutuk buku ini dan pengarangnya.
Al-Futuhat al-Makkiyyah berarti kumpulan futuh (pembukaan) di Mekkah. Menurut Ibn Arabi, Allah telah “membukakan” hatinya untuk dicurahi ilmu yang banyak. Kata futuh menyiratkan bahwa jenis ilmu itu datang kepada seseorang yang telah lama dan sabar menunggu di depan pintu. Pemberian ilmu jenis ini jelas tidak melibatkan paksaan dari dalam, upaya keras atau pencarian. Karena, mencari pengetahuan tertentu akan menyesatkan pelaku suluk dari pencarian akan Tuhan. Ibn Arabi menuturkan :
“Ketika aku terus-menerus mengetuk pintu Allah, aku menunggu dengan penuh waspada, tidak terganngu, hingga kemudian tampaklah oleh pandanganku kebesaran Wajah-Nya dan sebuah panggilan untukku, tidak lebih dari itu”.
Namun demikian, harus diingat bahwa tidak semua masukan (warid) bisa disebut futuh (pembukaan). Para sufi membedakan empat kategori lintasan pikiran (khawatir) : Ilahi, ruhani, ego-sentris (nafsani) dan syaithani. Menurut William Chittick.
“Dari perspektif Sufi, salah satu tanda penyimpangan paling jelas dari ‘spiritualitas’ kontemporer – terutama dari ragam ‘New Age’ – ialah ketakmampuannya memilah-milah sumber masukan. Pengetahuan yang dicurahkan kepada pencari Allah adalah pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan Kalam Ilahi. Ibn Arabi menyatakan :
“Tiada yang dibukakan bagi wali Allah selain pemahaman tentang Kitab yang Agung”.
Post a Comment Blogger Disqus