Daud Ath Tha’i

<div style="text-align: justify;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbUjJ43KzdzVRQeveV-E-4FLMtQwkgE42XHOLrntS4V1d7_0HaOpOku47OBUZI409Thm5XPP4LlcK3tMlbtBhc2c15UcX2C9Je_ozVGKuQwF2ZrM1X9IY51HsFjyHjMAeDTUBreKUgKr0/s1600/intoxicated_dervish_gallery.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Daud Ath Tha’i" border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbUjJ43KzdzVRQeveV-E-4FLMtQwkgE42XHOLrntS4V1d7_0HaOpOku47OBUZI409Thm5XPP4LlcK3tMlbtBhc2c15UcX2C9Je_ozVGKuQwF2ZrM1X9IY51HsFjyHjMAeDTUBreKUgKr0/s1600/intoxicated_dervish_gallery.jpg" title="Daud Ath Tha’i" width="191" /></a></div><div style="text-align: justify;"><b>Abu Sulaiman Daud bin Nushair ath Tha’i</b> dari Kufah adalah seseorang yang sangat termasyhur kepintarannya. Ia pernah menjadi murid <b>Abu Hanifah</b>, dan setelah diperkenalkan dengan jalan pertapaan oleh Habib ar Ra’i, ia membuang semua buku-buku yang dimilikinya ke sungai Eufrat. Ia meninggal dunia antara tahun 160 H / 777 dan 782 M.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b>Kepapaan Daud ath Tha’i</b></div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Sejak kecil batinnya dicekam duka sehingga ia sering menghindarkan diri dari pergaulan. Yang menyebabkan pertaubatannya adalah seorang wanita yang sedang berkabung, yang membacakan:</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Pipimu yang manakah yang telah mulai kendur?</div><div style="text-align: justify;">Dan matamu yang manakah yang mulai kabur?</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Kesedihan mencekam batinnya dan kegelisahan tak dapat diatasinya. Dalam keadaan seperti inilah ia belajar di bawah bimbingan Abu Hanifah.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Apakah yang telah terjadi terhadap dirimu?” Tanya Abu Hanifah kepadanya.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Daud pun mengisahkan pengalamannya. Kemudian dia menambahkan, “Dunia ini tidak dapat menarik hatiku lagi. Sesuatu telah terjadi di dalam diriku, sesuatu yang tak dapat kumengerti, yang tak dapat dijelaskan oleh buku-buku atau pun keterangan-keterangan para ahli yang kutemukan.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Hindarkanlah manusia-manusia lain,” Abu Hanifah menyarankan.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Maka Daud berpaling dari manusia-manusia lain dan mengunci diri di dalam rumahnya. Setelah lama berselang barulah Abu Hanifah datang mengunjunginya. “Wah, caranya bukan dengan bersembunyi di dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun juga. Yang harus engkau lakukan adalah duduk di kaki para imam dan mendengarkan ajaran-ajaran mulia yang mereka kemukakan. Tanpa mengucapkan sepatah kata jua pun engkau harus mencamkan segala sesuatu yang mereka kemukakan itu. Dengan berbuat demikian engkau akan lebih memahami masalah-masalah yang mereka perbincangkan itu daripada mereka sendiri.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Setelah menyadari maksud dari kata-kata Abu Hanifah itu. Daud kembali mengikuti pelajaran-pelajarannya. Setahun lamanya ia duduk di kaki para imam, tanpa mengucapkan sepatah kata, menerima keterangan-keterangan mereka dengan tekun, dan cukup dengan mendengarkan saja tanpa memberi atau mengajukan tanggapan.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Setelah berakhir masa setahun itu Daud berkata, “Ketekunanku dalam setahun itu adalah sama dengan tiga puluh tahun bekerja keras.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Kemudian ia bertemu dengan Habib ar Ra’i, yang membawanya ke jalan para mistik. Jalan ini ditempuhnya dengan tawakal, buku-buku yang dimilikinya dilemparkannya ke dalam sungai, kemudian ia mengasingkan diri dan membuang segala harapan dari manusia-manusia lain.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Daud menerima uang sebanyak dua puluh dinar sebagai warisan. Jumlah ini dihabiskannya dalam waktu dua puluh tahun. Beberapa orang Syeikh mencela perbuatannya itu.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Di atas jalan ini harus memberi, bukan menabung untuk diri sendiri,” kata mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Dengan uang sebanyak ini aku dapat menenangkan diriku. Uang sebanyak ini cukup bagi diriku hingga mati nanti,’ jelas Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Daud menjalani kehidupan yang demikian prihatin sehingga untuk makannya ia sering mencelupkan roti ke dalam air, kemudian mereguk air itu, sambil berdalih, “Sebelum memakan roti ini aku masih sempat membaca lima puluh ayat al Qur’an. Mengapa harus kusia-siakan hidupku ini?”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Abu Bakar bin ‘Iyasy meriwayatkan: “Pada suatu ketika aku masuk ke dalam kamar Daud. Kulihat ia sedang memegang sepotong roti kering dan menangis. ‘Apakah yang terjadi?’ tanyaku. Daud menjawab, ‘Aku hendak memakan roti ini tetapi aku tidak tahu apakah roti ini halal atau tidak.’”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Yang lain meriwayatkan: “Aku pergi ke rumah Daud dan kulihat satu kendi air sedang terjemur di terik matahari. Aku bertanya kepadanya, ‘Mengapakah engkau tidak menaruh kendi air itu di tempat yang teduh?’ Daud menjawab, ‘Ketika tadi kutaruh di situ, tempat itu masih teduh. Tetapi sekarang untuk memindahkannya aku merasa malu untuk melakukan kesibukan di depan Allah.’”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"><b>Anekdot-Anekdot Mengenai Diri Daud</b></div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Diriwayatkan, bahwa Daud pernah mempunyai sebuah rumah gedung besar dengan kamar-kamar yang banyak jumlahnya. Ia menempati salah satu di antara kamar-kamar itu, dan apabila kamar itu hancur dimakan usia, barulah ia pindah ke kamar yang lain.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Mengapakah engkau tidak memperbaiki kamar itu?” seseorang bertanya kepada Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Aku telah berjanji kepada Allah tidak akan memperbaiki dunia ini,” jawab Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Atap kamarmu telah lapuk,” seorang tamu berkata kepadanya, “tidak lama lagi pasti ambruk.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Lambat laun seluruh bangunan itu runtuh, tidak sesuatu pun yang masih utuh kecuali serambinya. Pada malam kematian Daud, barulah serambi itu runtuh.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Sudah dua puluh tahun lamanya aku tidak pernah memperhatikan atap kamarku ini,” jawab Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: center;">*** </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Mengapakah engkau tidak menikah,” beberapa orang bertanya kepada Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak mau mendustai seorang wanita yang beriman.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Mengapakah demikian?”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Andaikanlah aku melamar seorang wanita, hal itu berarti bahwa aku sanggup untuk menafkahinya. Tetapi karena pada waktu yang bersamaan aku tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban agama dan dunia, bukankah hal itu berarti bahwa aku telah mendustai dirinya?”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Baiklah, tetapi setidak-tidaknya engkau perlu menyisir janggutmu,” kata mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Hal itu berarti aku sempat berlalai-lalai,” jawab Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: center;">*** </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Pada suatu malam pada bulan purnama, Daud naik ke atas loteng rumahnya, lalu menatap langit. Ia terlena menyaksikan keindahan kerajaan Allah, sehingga menangis sampai tidak sadarkan diri, dan terjatuh ke loteng rumah tetangga. Si tetangga yang mengira ada maling di atas atap, datang memburu dengan sebilah pedang. Tetapi begitu yang dijumpainya adalah Daud segeralah ia meraih Daud untuk berdiri.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Siapakah yang telah menjerumuskanmu?” tanyanya.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Entahlah,” jawab Daud. “Aku tidak sadar. Aku sendiri pun tak habis pikir.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Pada suatu ketika orang-orang menyaksikan Daud bergegas-gegas hendak melakukan shalat.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Mengapa engkau tergesa-gesa seperti itu?” Tanya mereka kepada Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Pasukan yang berada di gerbang kota sedang menantikan kedatanganku,” jawab Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Pasukan siapa?” Tanya mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Penghuni-penghuni kubur,” jawab Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: center;">*** </div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Harun ar Rasyid meminta Abu Yusuf supaya mengantarkannya ke rumah Daud. Maka pergilah mereka ke rumah Daud tetapi tidak diperkenankan masuk. Abu Yusuf memohon agar Ibu Daud mau membujuk anaknya.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Terimalah mereka,” ibunya membujuk Daud.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Apakah urusanku dengan penduduk dunia dan orang-orang berdosa?” jawab Daud tidak mau mengalah.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Demi hakku yang telah menyusuimu, aku minta kepadamu, izinkanlah mereka masuk!” desak ibunya.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Maka berserulah Daud, “Ya Allah, Engkau telah berkata, ‘Patuhilah ibumu, karena keridhaan-Ku adalah keridhaannya,’ Jika tidak demikian, apakah perduliku kepada mereka itu?”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Daud bersedia menerima mereka. Harun dan Yusuf masuk dan duduk. Daud memberikan pelajarannya dan Harun menangis tersedu-sedu. Ketika hendak kembali ke istana, Harun meletakkan sekeping mata uang emas sambil berkata, “Uang ini adalah halal.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Ambillah uang itu kembali,” cegah Daud. “Aku tidak memerlukan uang itu. Aku telah menjual sebuah rumah yang kuterima sebagai warisan yang halal dan hidup dengan uang penjualan itu. Aku telah bermohon kepada Allah, jika uang itu telah habis, agar Dia mencabut nyawaku, sehingga aku tidak akan membutuhkan bantuan dari seorang manusia pun. Aku berkeyakinan bahwa Allah telah mengabulkan permohonanku itu.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Harun ar Rasyid dan Abu Yusuf kembali ke Istana. Kemudian Abu Yusuf mendatangi orang yang diamanahkan uang itu oleh Daud dan bertanya, “Masih berapakah uang Daud yang tersisa?”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Dua dirham,” jawab orang itu. “Setiap hari Daud membelanjakan satu sen uang perak.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Abu Yusuf membuat perhitungan. Beberapa hari kemudian di dalam masjid di depan semua jama’ah ia mengumumkan:</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Hari ini Daud meninggal dunia.”</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">Setelah diselidiki ternyatalah bahwa kata-kata Abu Yusuf itu benar.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Bagaimana engkau mengetahui kematian Daud?” orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;">“Aku telah memperhitungkan bahwa pada hari ini Daud tidak mempunyai uang lagi. Aku tahu bahwa doa Daud pasti dikabulkan Allah.</div><div style="text-align: justify;"><br /> </div><div style="text-align: justify;"></div><br /> <b>Sumber</b> : <i>Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar</i>

Daud Ath Tha’i

Mistikus 0 May 01, 2014

Abu Sulaiman Daud bin Nushair ath Tha’i dari Kufah adalah seseorang yang sangat termasyhur kepintarannya. Ia pernah menjadi murid Abu Hanifah, dan setelah diperkenalkan dengan jalan pertapaan oleh Habib ar Ra’i, ia membuang semua buku-buku yang dimil… Read more »

Read more »