Mengenal Sosok Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur
Sosok Pejuang Islam terdahulu di wilayah Urutsewu Kebumen Pesisir Selatan yaitu Seorang Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur)
Menurut para Guru dan Kiai winasis ahli Hikmah yang sudah mengadakan penelitian baik secara ilmiah maupun rukhiyah menginformasikan bahwa Syekh Maulana Nurul Duhur atau Mbah Duhur merupakan satu diantara sekian tokoh waliyullah pensyiar agama Islam diwilayah pesisir selatan Kebumen Jawa Tengah yang hidup pada masa Pemerintahan Raja Mataram I yang bergelar Kanjeng Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa Danang Sutawijaya.
Syekh Maulana Nurul Duhur atau Mbah Duhur atau Mbah Kalen Gunungtugel, beliau itu
merupakan sosok yang sangat berjasa sebagai Tokoh Ulama di Tanah Jawa pada
zaman Mataram yang menurut penuturan guru dan para kiyai ahli
hikmah bahwa Beliau Mbah Duhur ini aslinya berasal dari Timur Tengah (Arab).
Beliau itu termasuk dalam kategori Ulama Mastur Keraton Mataram ke-1 dengan
Raja Daulatnya bergelar Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama
Kalifatullah tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya.
Menurut para Ulama Ahli Ziarah dan Hikmah diketahui bahwa Syekh
Maulana Nurul Duhur jika dirunut nasabnya masih masuk dalam nasab/keluarga
Rasulullah SAW, merupakan keturunan ke 5 (lima) dari Sultonul Aulia Syekh
Abdul Qodir Al-Jailani qodasallohu sirohu. Ayah beliau Syekh
Maulana Nurul Duhur adalah Syekh Maulana Abdul Malik bin Syekh
Muhammad Dohir bin Syekh Nurul Mubin bin Syekh Abdul Wahab bin Syekh Abdul
Qodir Al-Jailani dan akhirnya sampai kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Makam Sohibal Karomah Syekh Maulana Nurul Duhur atau masyarakat sekitar sering
mengenalnya dengan sebutan Mbah Duhur, ada juga yang mengenalnya
dengan sebutan Mbah Kalen Gunungtugel ini berada di samping atas bukit
Gunungtugel, Dukuh Pranji, Desa Entak, Kecamatan Ambal-Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia.
Makam Mbah Duhur ini sempat menjadi pembicaraan dan berita heboh di
masyarakat luas semenjak Makam Sohibal Karomah Syekh Maulana Nurul
Duhur dipugar dan dipilih oleh sesepuh Keraton Yogjakarta sebagai
tempat penyelenggaraan Selamatan Nasional Nusantara pada 17 Pebruari 2016 yang
dikenal dengan Grebeg Nusantara yang dihadiri langsung oleh Sesepuh Keluarga
Keraton Yogjakarta Prof Dr RM Ali Ridho yang sempat memimpin istighosah bersama
jamaah Al Karomah, hadir juga Habib Umar, Dr Gus RM Alfarizy, Dr Gus RM
Alfarizy sang master fisioteraphy herbalist dari Yogyakarta, kemudian Ki Bodo
Abah Santri beserta Nyai Santri Pengasuh pondok pesantren Al Karomah Sukorejo -
Kendal Jawa Tengah, Ki Rekso Buwono dari Pati dan Sejumlah Ulama serta pejabat
pemerintah Kabupaten setempat.
Sebenarnya keberadaan makam Mbah Duhur / Mbah Kalen Gunungtugel ini sudah sejak lama diketahui oleh masyarakat sekitar dan menjadi tempat yang dikeramatkan, karena masyarakat belum mengetahui secara persis bahwa tempat yang di keramatkan tersebut adalah makam waliyullah yang sudah sejak ratusan tahun silam jasadnya terkubur dan belum ada satupun masyarakat yang mengetahui sebelumnya dan juga karena tidak adanya petunjuk yang tersirat / bisa terbaca oleh panca indra orang-orang biasa yang menerangkan keadaan daripada makam waliyullah.
Memang ada beberapa keanehan serta tanda tanda yang jauh berbeda dengan tempat-tempat pada
umumnya serta kejadian-kejadian yang tidak biasa dan
bersifat misteri dan Gaib yang sering dijumpai oleh orang-orang baik
melalui mimpi maupun dihadapkan secara langsung seperti ada beberapa
orang yang pernah melihat pada selepas maghrib bahwa persis di tempat
makam Mbah Duhur itu tampak memancarkan Cahaya /
sinar terang sampai menerangi lingkungan sekitar makam
tersebut hingga tampak pula Hijaunya
dedaunan pohon-pohon yang ada di sekitar makam tersebut, kemudian
pada orang yang lain ada yang diberitahu lewat mimpi bahwa ditempat
tersebut ada Makam Seorang Waliyullah bernama Syekh Maulana Nurul Duhur, dan
sebagainya masih banyak lagi kejadian- kejadian aneh, ajaib yang luar biasa,
hingga ditarik kesimpulan oleh masyarakat setempat bahwa tempat
tersebut adalah tempat keramat yang tidak boleh di sembarangkan.
Ada beberapa peninggalan maupun petilasan Mbah Duhur yang masih bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya hingga saat ini seperti Pusaka Keris Tunggul Wulung, Guci Wasiat Mustika Sulaiman, Kanthil Wasiat Wesi Kuning dan lainnya (sudah ada yang diamanahi untuk merawatnya).
Kemudian ada petilasan kali (sungai) Bedahan Gunung Gede yang oleh
masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Kalen Gunungtugel, kemudian
ada petilasan Sigong, yaitu sebuah tempat yang konon dulunya adalah sebuah Pura
(tempat peribadatan umat Hindu) yang diserahkan pada Mbah Duhur sekaligus
sebagai tempat mengajarkan Agama Islam kepada masyarakat yang hingga sekarang
tempat tersebut pun masih ada petilasannya yang terletak di sebelah utara
sekitar 150 meter dari Makam Mbah Duhur.
Sebenarnya sudah sejak 10an tahun berlalu Makam Mbah Duhur sering di ziarahi, didoakan atau di tahlilkan, namun baru sekitar Agustus 2014 Misteri Makam Mbah Duhur secara perlahan mulai terungkap dan langsung dikenal masyarakat secara luas setelah ada sejumlah rombongan dari ihwanul muslim yang terdiri dari para Guru dan Kyai Ahli Hikmah yang dikehendaki Allah datang berziarah ke Makam Mbah Duhur yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat, walhasil wallahu'alam bishawab, melalui penelitian serta pengkajian yang dalam, oleh beliau para Guru dan Kiai Ahli Hikmah yang winasis yang sampai saat ini belum mau disebut asma karimnya, hingga akhirnya diketahui bahwa makam tua yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat yang disebut-sebut sebagai makam Mbah Duhur atau Mbah Gunungtugel adalah benar bahwa makam tersebut adalah Makamnya seorang Ulama Besar Sohibal Karomah, Seorang Waliyullah keturunan dari Timur Tengah (Arab) yang bernama Nurul Duhur (Syekh Maulana Nurul Duhur / Syekh Nurul Duhur) atau masyarakat sekitar makam menyebutnya Mbah Duhur, ada juga yang menyebutnya Mbah Kalen.
Syekh Maulana Nurul Duhur bersyi'ar Agama Islam di wilayah Kebumen selatan pada masanya Sultan Mataram I Ingkang Sinuwun Kanjeng Gusti Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa (Raden Danang Sutawijaya) pada tahun 1587 -1601 Masehi.
Kisah Mbah Duhur
Berangkat dari wilayah Banten menuju Madura untuk sebuah misi perjuangan likalimatilah Laailahaillallah Muhammadurasullullah melalui dakwah Islam yang lembut dengan konsep amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya yang halus, aris dan berwibawa serta selalu berhati-hati dalam melanjutkan perjuangan besar sang Wali songo yang sudah terdahulu, Syekh Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur) terus melangkah penuh semangat dan pantang menyerah, hingga pada suatu saat, sampailah Mbah Duhur di wilayah yang pesisir selatan Kebumen yang masuk pada wilayah Jawa Tengah, sejak kala itu orang Syekh Maulana Nurul Duhur menghilangkan jejaknya karena sepanjang sejarahnya belum ada yang menceriterakan tentang sosok orang tersebut.
Kemudian dari narasumber yang lain menyebutkan di wilayah Pesisir Urutsewu Kebumen kala itu ada seorang pensiar Islam yang dikenal dengan Syekh Maulana Nurul Duhur yang bertemu dengan Ingkang Sinuwun ing Mataram Kanjeng Gusti Prabu Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panata Gama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya, yang kala itu sedang dalam laku gelar nitipraja dan pada saat sampai di wilayah pesisir Urutsewu Kebumen inilah bertemu dengan yang namanya Nurul Duhur, seorang pengembara muslim yang kemudian langsung diangkat menjadi Ulama Keraton Mataram dengan pendamping Raden Lintang Kemukus dan Raden Kentaka, kemudian mendapat amanat untuk penyebaran agama Islam di bumi Mataram khususnya di wilayah tempat bertemunya Mbah Duhur dengan Ingkang Sinuwun Mataram di sebuah Desa Pusat pengembangan Agama Hindu maupun Budha di Desa Rawa Jombor Pesisir Selatan Kebumen dengan gelar Syekh Maulana Nurul Duhur.
Seperti sudah diketahui bahwa di Wilayah Urutsewu yaitu Wilayah Pesisir Selatan Kebumen,Jawa Tengah, sekitar 100 Km arah barat kota Yogyakarta, tepatnya di lokasi Bedahan Kalen Gunungtugel, Desa Entak, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah diketahui ada sebuah Makam Tua yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat.
Dari beberapa informasi masyarakat setempat diketahui bahwa makam
Keramat tersebut adalah makam seorang Waliyullah bernama Syekh Maulana
Nurul Duhur atau Mbah Duhur, ada pula yang menyebutnya dengan Mbah Kalen
Gunungtugel yang diyakini bahwa beliau inilah orang yang
dimaksud sebagai seseorang yang dimaksud diatas.
Berikut kisahnya:
Desa Entak Kecamatan Ambal
Kabupaten Kebumen Jawa Tengah adalah menjadi sebuah Desa di wilayah
pesisir selatan Kebumen yang nyaman, ayem, tentrem seperti sekarang
ini dan sudah dikenal masyarakat secara luas karena desa Entak
ini dulunya merupakan tempat persinggahan dan menjadi pusat
penghimpun kekuatan pada jaman Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang beliau ini pernah bersinggah atau menyanggrah dengan
membangun sebuah pesanggrahan yang lengkap dengan mushola serta lumbung
penyimpanan logistik mataram yang berada di daerah Gunung Gede
desa Entak Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen yang tempat itu dikenal
oleh masyarakat dengan nama Petilasan Pesangrahan Agung Gunung Gede.
Pada masa sebelumnya yaitu pada masa kekuasaan Ingkang Sinuwun Prabu Panembahan
Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa Raden Danang
Sutawijaya ing Mataram sudah menjadi tempat pemukiman masyarakat serta sebagai
Pusat peradaban Hindu dan Budha yang dipimpin oleh I Gusti Gede yang akhirnya
bertekuk lutut berserah diri masuk Islam oleh Syekh Maulana Nurul Duhur atau
Mbah Duhur.
Pada masa kejayaan I Gusti Gede sebagai pemimpin masyarakat pada waktu itu, Desa
Entak yang sekarang kita kenal ini dulunya bernama Desa Rawa Jombor.
Disebut demikian karena memang Desa Rawa Jombor merupakan sebuah desa atau
pemukiman yang rawan banjir hingga menggenangi rumah-rumah penduduk
pada saat musim penghujan (mangsa rendeng) dan disaat musim kemarau pun (mangsa
katiga) airnya tetap Kembung, dan tidak mudah surut, tetap menggenangi lahan
persawahan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat pada saat itu kecuali
kalau musim ketiga atau kemarau panjang baru airnya bisa agak surut.
Seperti sudah disebut didepan bahwa I Gusti Gede adalah seorang Pendeta Hindu yang menjadi panutan sekaligus pemimpin masyarakat di Desa Rawa Jombor kala itu.
Di Desa Rawa Jombor, keberadaan Syekh Maulana Nurul Duhur adalah pendatang atau orang asing yang yang masuk atau singgah hingga akhirnya bermukim di Desa Rawa Jombor tersebut.
Maksud dan tujuan daripada Syekh Maulana Nurul Duhur bermukim di Desa Rawa
Jombor tidak lain karena mendapat amanah langsung dari Ingkang Sinuwun
Kanjeng Gusti Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah
Tanah Jawa Raden Danang Sutawijaya, Raja Mataram ke-1 untuk mengajarkan
perilaku kebaikan dan keutamaan kepada masyarakat Rawa Jombor dan
sekitarnya khususnya di wilayah pesisir Urutsewu (Wilayah Pesisir Selatan
Jawa Tengah) melalui konsep yang sesuai dengan syariat Islam (dakwah)
meneruskan perjuangan sang Walisongo yang fokus dakwahnya di pantai Utara, sedangkan
Wilayah Pantai selatan masih belum tersentuh secara khusus, sehingga menjadi fokus Ulama
generasi berikutnya yang kemudian dilaksanakan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng
Gusti Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama Kalifatullah
Tanah Jawa yang terkenal dengan Danang Sutowijoyo sebagai Raja Islam
Daulat ke 1 di Bumi Mataram.
Pada saat itu keadaan masyarakat Urutsewu khususnya di bumi Rawa Jombor secara universal masih berpemahaman Hindu dan Budha, belum mengenal Islam sama sekali.
Bumi Rawa Jombor juga hingga kemudian menjadi tempat persinggahan dan pusat pembinaan syariat Islam oleh Syekh Maulana Nurul Duhur yang merupakan seorang Waliyullah yang seharusnya menjadi inspirasi keteladanan bagi para pejuang-pejuang Islam bagi generasi mendatang seperti sekarang ini.
Dari awal kedatangannya di bumi Rawa Jombor, Syekh Maulana Nurul
Duhur disambut baik oleh masyarakat setempat termasuk oleh I Gusti Gede yang
menjadi kiblat panutan sekaligus pemimpin masyarakat di bumi Rawa Jombor pada
saat itu.
Dengan sikap yang baik pula kemudian Syekh Maulana Nurul Duhur membaur bersama
masyarakat, membantu/menolong masyarakat yang kecingkrangan, mengajari
cara-cara bertani, beternak dan sebagainya sambil pelan-pelan dan penuh
hati-hati dimasukannya secara sedikit demi sedikit pemahaman yang menuju pada
keyakinan Islam yang rahmatan lil'alamin, hingga tak terasa akhirnya banyak
masyarakat yang menaruh simpatik dan tertarik menjadi pengikut Islam bersama
Syekh Maulana Nurul Duhur atau sebut saja "Mbah Duhur".
Hingga suatu ketika, I Gusti Gede mengetahui bahwa Mbah Duhur mengajarkan
ajaran agama asing yang menurut I Gusti Gede merusak tatanan dan keyakinan Hindu-Budha
yang selama ini sudah menjadi keyakinanya sejak turun temurun.
Hingga kemudian I Gusti Gede merasa resah dan marah terhadap Mbah Duhur yang
dianggap sudah mengancam kelestarian paham Hiindu-Budha yang sudah dianutnya
sejak lama hingga kemudian pada suatu malam I Gusti Gede pergi mendatangi Mbah
Duhur dengan tujuan untuk mengusir atau meminta kepada Mbah Duhur untuk pergi
meninggalkan kampung Rawa Jombor secepatnya, tapi dengan lemah lembut penuh
sopan dan santun Mbah Duhur menolaknya dan bersikukuh untuk tetap tinggal di
Kampung Rawa Jombor dengan pertimbangan karena membawa amanah Raja dan
mengkhawatirkan nasib masyarakat Rawa Jombor ke depan yang masih sangat lemah
keimanannya, karena memang semakin lama semakin banyak pula masyarakat Rawa
Jombor yang simpatik kepada Mbah Duhur dan berlanjut dengan mengikuti Jalannya
dan hingga akhirnya I Gusti Gede mengijinkan pula untuk Mbah Duhur tetap
tinggal di Kampung Rawa Jombor tapi dengan satu syarat: Harus bisa mupu
sayembaranya atau memenuhi permintaan I Gusti Gede yaitu Harus bisa Membuatkan
Kali (sungai) yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan
segara kidul (Laut Selatan / Samudera Hindia) pada waktu malam itu pula dan
jangan sampai lewat wayah Jago Kluruk (waktu fajar) Kali (sungai) harus sudah
Jadi, itulah sayembaranya I Gusti Gede untuk Mbah Duhur.
I Gusti Gede memberikan sayembara itu bukan tanpa perhitungan, tentunya dengan
Sayembara tersebut Mbah Duhur tidak akan kuasa atau tidak akan sanggup
melaksanakannya dan akhirnya berhenti berdakwah Islam kepada masyarakat ataupun
pergi untuk selamanya dari Kampung Rawa Jombor, tapi ternyata Allah SWT
berkehendak lain dan benar-benar berkuasa diatas segala-galanya serta
memberikan pertolongan kepada siapapun yang dikehendakiNya sehingga yang
terjadi adalah malah sebaliknya, Mbah Duhur menerima dan menyanggupi sayembara
tersebut sebagai tantangan yang harus di hadapi demi Amanah Mulia yang
diembanya.
Dan benar setelah itu Mbah Duhur meminta kepada I Gusti Gede untuk pulang dan
Mbah Duhur mau mengerjakan apa yang menjadi sayembaranya I Gusti Gede tersebut.
Pada tengah malam itu pula diperkirakan suasananya sudah sunyi, orang-orang
sudah terlelap tidur, Mbah Duhur pergi ke tempat yang amat sunyi dan sepj dari
keramaian orang yaitu di puncak bukit Gunung Gede, sebuah tempat perbukitan
yang sunyi, sepi dan jarang atau hampir tidak ada orang biasa yang berani
menjamah atau melewatinya.
Tempat ini berada di selatan Kampung Rawa Jombor, yang sekarang bernama Kalen Gunungtugel yang menjadi tempat Makam Syekh Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur).
Ditempat itulah Mbah Duhur memilihnya sebagai tempat untuk bermunajat mohon pertolongan dan kekuatan kepada Allah SWT untuk sebuah hajat besar yaitu untuk mupu / bisa memenuhi Sayembaranya I Gusti Gede yaitu membuat Kali atau Sungai yang airnya bisa mengalir dari Kampung Rawa Jombor hingga segara kidul (Laut selatan Pulau Jawa) di waktu malam itu juga.
Ternyata Semangat dan Usaha Mbah Duhur tidak sia-sia, Allah SWT mengabulkan Doa
Munajat Syekh Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur) dan di saat itu Karomatul Aulia
(sifat Kewalian Mbah Duhur di Perlihatkan oleh Alloh) untuk manusia pada saat
itu.
Tanpa waktu panjang Allah langsung memberikan pertolonganNya, menurunkan Bala
Tentara sewu dari Kidul (selatan) untuk membantu Mbah Duhur dalam mengerjakan
amanahnya membuat Kali atau sungai yang membelah Gunung Gede tempat Mbah Duhur
Bermunajat.
Tanpa diketahui oleh Bangsa manusia akhirnya pada suasana malam yang sepi itu
semua bala tentara bekerja dan semua tunduk oleh komando Mbah Duhur dan akhirnya
atas izin Allah SWT, Kali (sungai) dari Kampung Rawa Jombor sampai dengan
Gunung Gede yang membujur sepanjang kira-kira 750 meter dengan luas sekitar 10
meter sudah berhasil di dibuat tapi, kali yang terjadi sepanjang itu baru
setengah perjalanan belum sampai laut alias belum sempurna sesuai dengan harapan
I Gusti Gede karena rupanya pekerjaan Mbah Duhur dalam proses pembuatan kali
itu sudah diketahui oleh I Gusti Gede sebelum proses pembuatannya selesai.
Yang kemudian I Gusti Gede bergegas membangunkan semua masyarakat dan
memerintahkan untuk membunyikan lesung atau memukul apa saja yang menghasilkan
bunyian yang menggaduhkan sehingga terasa ramai kemudian masyarakat diperintah
membakar rerumputan yang kering-kering yang apinya menyala hingga langit tampak
kemerah-merahan seperti waktu fajar sampai ayam pun kaget dan saling
berkokok, kemudian yang ayam jantannya kukuruyuk seolah-olah menandakan sudah
masuk fajar padahal sebenarnya masih sekitar jam 3 pagi (kalau waktu itu bisa
diketahui seperti sekarang) kemudian I Gusti Gede menghampiri Mbah Duhur yang
sudah bangun dari munajatnya karena mendengar ada jago kluruk, aktifitas
masyarakat dan melihat langit tampak sudah merah, tapi ternyata itu semua
hanyalah tipu muslihat dari I Gusti Gede agar Mbah Duhur gagal, tidak
meneruskan membuat kali (sungai) yang sudah sampai setengah perjalanan atau
baru setengah jadi, belum sempurna karena menurut I Gusti Gede sempurnanya
harus sampai laut, dan ini jadi kali baru sampai Gunung Gede.
Karena kamenungsan (diketahui orang) menjadikan pudarnya konsentrasi Munajatnya
Mbah Duhur, sehingga sungai yang di buat tersebut tidak sempurna atau baru
setengah jadi dan akan sempurna sampai ke laut sebenarnya ketika Munajatnya
Mbah Duhur tidak terganggu ataupun tidak ketahuan oleh orang.
Melihat pekerjaan Mbah Duhur yang oleh I Gusti Gede dianggap tidak sempurna
maka kemudian I Gusti Gede pun marah besar hingga mengeluarkan kata-kata yang
bernada kasar yang Ngentak-Ngentak (membentak-bentak) seperti diberikut ini:
"Lunga....! Lunga......! Ayo lunga seka papan kene, sliramu ki
wis batal ora bisa mupu sayembaraku, mula cepet lunga seka Desa Rawa Jombor
kene".
Artinya:
"Pergi......! Hayo pergi dari Kampung ini, kamu itu sudah gagal
dalam sayembaraku, maka sekarang harus pergi dari Kampung Rawa Jombor
ini".
Mbah Duhur mendengar I Gusti Gede marah-marah, dirinya tertunduk diam dan sabar
menahan dirinya sampai akhirnya setelah I Gusti Gede berhenti dari
marah-marahnya kemudian Simbah Duhur berganti bicara.
"He.......,I Gusti Gede, aku di anggep wis batal anggonku mupu
sayembaramu aku trima, nanging anggonmu muni-muni sarana ngentak-ngentak iku
mau ndadekake lara ana ing atiku, mulane Kanggo Pangeling-eling, yeng teka
reja-rejaning jaman, ing papan kene klebu Rawa Jombor sakiwa tengene besuk
bakal dadi Desa kang diarani NGENTAK (Entak)
Artinya:
"Hai....I Gusti Gede, saya dianggap gagal saya ini mau, tapi dari
kata-kata kamu yang kasar dengan membentak-bentak (Ngentak-Ngentak) itu
tadi membuat sakit dihati saya, maka untuk dingat bahwa, besok ada
kemakmurannya waktu di tempat ini termasuk Rawa Jombor dan sekitarnya akan di
sebut Desa Ngentak (Entak).
Dan akhirnya benar bahwa ditempat tersebut sampai sekarang namanya Desa Entak (orang
tua dulu memang menyebutnya NGENTAK kemudian sesuai dengan perubahan jaman dan
untuk memudahkan ucapan akhirnya secara administrasi disebut dengan ENTAK)
sampai sekarang menjadi Desa Entak, masuk wilayah Kecamatan Ambal, Kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah (dulu masuk wilayah Mataram)
"Lan Seksenana maneh he.... I Gusti Gede, dadine kali iki marga
mbedah Gunung Gede, mulane kanggo pangeling-eling besuk ana reja-rejaneng jaman
papan kene diarani Bedahan utawa Kalen Gunungtugel.
Artinya:
"Dan lagi hai..... I Gusti Gede, kejadian kali (sungai) ini karena
membelah (mbedah) Gunung Gede, maka untuk diingat bahwa ada kemakmuranya
waktu tempat ini di sebut Bedahan atau Kalen Gunungtugel.
Dan tempat tersebut memang sampai sekarang masih ada dan tetap bernama
Kali atau Sungai "Bedahan atau Kalen Gunungtugel".
Itulah peninggalan Mbah Duhur yang bagi masyarakat terdahulu airnya mengandung
berkah dan bermanfaat sebagai sumber kehidupan dan untuk sarana mengobati
berbagai penyakit.
Kali atau sungai ini berada persis di samping bawah sebelah timur makam Syekh
Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur).
"Lan maneh I Gusti Gede, aku wis netepi apa kang dadi sayembaramu, sliramu
ngersaake supaya ingsun yasa kali perlu kanggo ngiliake banyu kang saka Rawa
Jombor nganti segara kidul, rumangsamu kali iki urung dadi, tegese ingsun mbok
anggep gagal nanging titenono, titenono senajan kali iki urung sampurna nanging
kali iki tetep bakal migunani tumrap ing masyarakat Rawa Jombor sakiwa tengene,
mula titenana, tunggunen nganti setahun, kapan ana mangsa rendeng mangka Desa
Rawa Jombor ora bakal kebanjiran maneh.
Artinya:
"Dan lagi I Gusti Gede, saya sudah melakukan apa yang menjadi sayembaramu,
kamu meminta agar saya membuatkan Kali (sungai) untuk mengalirkan air yang dari
Rawa Jombor ke laut selatan, menurutmu sungai ini belum jadi, maksudnya saya
kamu anggap gagal membuat sungai, tapi perhatikanlah, perhatikanlah bahwa
walaupun sungai ini belum sempurna tapi sungai ini tetap akan
bermanfaat/berguna bagi masyarakat Rawa Jombor dan sekitarnya, maka perhatikan,
tunggu sampai setahun kedepan, jika sampai musim penghujan maka Desa Rawa
Jombor tidak akan kebanjiran lagi"
"Lan aku nyuwun marang panjenenganmu supaya aku tetep mapan ana papan kene
nganti sesuk akhir riwayatku supaya tetep mapan ana ing panggonan iki".
Artinya:
"Dan saya minta kepada kamu agar saya tetap berada di kampung ini sampai
ahir hayatku agar tetap bertempat di daerah ini".
Singkat cerita dari banyak-banyak pesan yang di sampaikan oleh Simbah Duhur
waktu itu akhirnya Sang Pendeta I Gusti Gede berkenan menunggu dan memberikan
waktu kepada Simbah Duhur untuk membuktikan ucapannya tadi dan ternyata benar, mangsa
rendeng (musim penghujan kembali datang) seperti biasanya yang terjadi pada
mangsa rendeng yaitu banyak hujan dan dikhawatirkan membanjiri lagi kampung
Rawa Jombor seperti biasanya, akan tetapi pada musim penghujan kali ini Kampung
Rawa Jombor yang tadinya kebanjiran sekarang sudah tidak lagi dan terlihat air
yang seharusnya membuat banjir Kampung Rawa Jombor sekarang sudah bisa mengalir
ke selatan melalui sungai kecil yang membelah Gunung Gede atau yang disebut
dengan Kalen Gunungtugel hasil buatan dari Simbah Duhur, yang secara tidak
langsung akhirnya air dari kampung Rawa Jombor pun sampai ke laut pula melalui
sungai Lukulo yang ternyata tembus juga dengan Kalen Gunungtugel Tegalan Dalam
yang bernama Wudulan.
Melihat kenyataan yang ada dan benar benar kejadiannya diluar logika manusia akhirnya
I Gusti Gede pun percaya dan akhirnya secara spontan dan bersama-sama
masyarakat Rawa Jombor, semua menyerahkan diri pasrah kepada Mbah Duhur untuk
masuk Islam dengan mengucapkan kalimat tauhid Asyhadu Anla ilaha illallah, Wa Asyhadu
anna Muhammadan Rasul Allah diatas kesadaranya masing-masing tanpa ada
unsur paksaan dari pihak siapa pun dan setia pada jalur kebenaran bersama
Waliyullah Syekh Maulana Nurul Duhur Sohibal Karomah.
Kemudian Pura, tempat ibadahnya I Gusti Gede bersama masyarakat Rawa Jombor
kala itu kemudian diserahkan juga kepada Mbah Duhur untuk kemudian menjadi
Mushola bernama SIGONG, hingga saat ini pun nama SIGONG masih tetap abadi di
Masyarakat dan keadaannya sudah rata menjadi tanah gumuk yang keramat dan
berada sekitar 100 meter ke arah Utara dari makam Mbah Duhur.
Peninggalan Mbah Duhur
Berikut ini adalah Peninggalan Syekh Maulana Nurul Duhur (Mbah Duhur) yang bisa di kunjungi dan bisa disaksikan langsung oleh umum diantaranya adalah:
1. Bedahan Gunung Gede
Adalah sebuah sungai buatan Mbah Duhur yang membelah sebuah gunung hingga
menjadi dua bagian gunung yang kemudian belahan Gunung itu disebut Bedahan
Kalen Gunungtugel dan sekaligus sungainya tersebut pun terkenal dengan Kali
atau Kalen Gunugtugel, sungai ini membujur di samping/sebelah timur Makam Syekh
Maulana Nurul Duhur.
Sungai ini tampak kering di saat musim kemarau dan akan berair atau dialiri air
pada saat daerah Desa yang berada sebelah utara tempat makam Mbah Duhur
mengalami kebanjiran, yang jaman dulu namanya Rawa Jombor.
2. Sigong
Kemudian Pura, tempat ibadahnya
I Gusti Gede bersama masyarakat Rawa Jombor kala itu kemudian diserahkan juga
kepada Mbah Duhur untuk kemudian menjadi Mushola bernama SIGONG, hingga
saat ini pun nama SIGONG masih tetap abadi di Masyarakat dan keadaannya sudah
rata menjadi tanah gumuk segi empat berukuran 9 X 9 m (yang bergombol) yang
keramat dan berada sekitar 100 meter ke arah Utara dari makam Mbah Duhur.
3. Guci Mustika Sulaiman
Guci Mustika Sulaiman ini adalah
merupakan salah satu dari benda Mustika peninggalan Mbah Duhur yang keadaannya
masih terawat.
Menurut informasi yang didapat bahwa Guci Mustika Sulaiman adalah warisan Mbah
Duhur untuk wasiat atau pegangan bagi para penguasa pemerintahan atau bupati
pada zaman dulu.
4. Kantil Sutra Wesi Kuning
5. Keris Tunggul Wulung
Keris tunggul Wulung adalah senjata pusakanya Mbah Duhur yang masih ada dan masih dilestarikan dan disimpan.
6. Wasiat Doa Lekas (Doa Sulaiman)
Desa Entak Kecamatan Ambal
Lokasi Makam Syekh Maulana Nurul Duhur
Entak,
Ambal, Area Sawah, Entak, Ambal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah 54392
https://goo.gl/maps/m56v6HxVMk12
Post a Comment Blogger Disqus