Mostaganem; kota pelabuhan di Al-Jazair. Kota yang bernuansa kosmopolit, dimana sejarah beragam bangsa dan budaya saling bertaut. Membentuk lapisan demi lapisan kisah yang melekat ke setiap sudut bangunan dan corak budaya: Romawi, Almoravid, Dinasti Abasiyyah di Spanyol dan Ottoman Turki. Kota dengan corak warna muram coklat khas gurun Pasir Afrika Utara.
Hari itu di Mostaganem sekitar tahun 1880 an. Sudut-sudut kota memiliki keramaian sendiri. Dari jauh terdengar kepak dan cicit camar, peluit kapal dan hiruk pikuk bongkar muat di pelabuhan. Di sudut kota lain, di pinggir jalan, seorang Syaikh mendekati pemuda yang tangannya sedang sibuk menjahit sepatu di tokonya yang kusam berwarna coklat. Sang Syaikh mengajak bicara pemuda itu,
“Aku mendengar engkau pandai menaklukan dan menyihir ular? Coba tunjukkan di hadapanku!”.
Sang pemuda itu, yang tak lain Abul Abas Ahmad ibn Mushtafa, biasa di panggil Sidi Ahmad keluar toko dan mencari ular.
Kemudian Sidi Ahmad datang kembali dengan seekor ular kecil di tangan. Sidi Ahmad dengan tangkas mulai menunjukkan kepiawaiannya, demi menarik hati sang Syaikh. Ia mulai melakukan gerakan tangan dan menyihir sang ular agar mau mengikuti kemauannya. Sang Syaikh memandangnya, lantas berkata,
“Dapatkah engkau menyihir ular yang lebih besar dari ini?”.
“Tentu saja, ukuran tak menjadi soal”, tukasnya dengan penuh percaya diri.
Sang Syaikh dengan bijaknya menimpali, “Aku akan tunjukkan kepadamu ular yang jauh lebih besar dan lebih berbisa. Jika kau mampu menundukkannya, barulah engkau disebut bijaksana”.
“Dimanakah ular itu”, tanyanya dengan penasaran.
“Yang kumaksud adalah hawa nafsu yang ada di antara dua sisi tubuhmu. Bisanya lebih mematikan ketimbang bisa ular, jika kau mampu menguasainya dan memperlakukannya sesuai arahanmu, itulah kebijaksanaan sejati”. Pungkas Sang Syeikh, dan memintanya untuk tidak melakukan ilmu sihir ular tesebut.
Demikianlah perjumpaan awal Murid-Mursyid. Manakala sang murid telah siap, sang Guru akan hadir. Ungkapan tepat atas relasi kedua manusia ini. Maka sejak saat itulah, Sidi Ahmad, berada di bawah bimbingan Sang Syaikh Muhammad Al-Buzidi dalam naungan Tarekat Darqawiyyah. Gelegak kehausannya akan ilmu-ilmu ketuhanan dipuaskan lewat bahasan filosofis dari karya-karya Ibnu Arabi dan Al Jili, diimbangi dengan laku tirakat dan dzikir dibawah bimbingan Sang Mursyid yang haqq.
Kisah hidup Sidi Ahmad sendiri seperti yang diuraikannya tak ada yang istimewa. Ia lahir di kota ini, Mostaganem, tepat di tahun 1869 M. Hampir keseluruhan kehidupannya sampai menjelang remaja adalah persoalan berjuang menafkahi dirinya dan orang tuanya. Karena kemiskinannya, ia tidak masuk sekolah formal. Ayahnya sendiri yang mendidik dasar-dasar ilmu agama dan baca tulis. Seperti pengakuannya yang tertulis dalam potongan-potongan catatan hariannya, Sidi Ahmad dari semenjak kecil hampir mengerjakan semua pekerjaan kasar demi bertahan hidup, sampai akhirnya ia menemukan pekerjaan yang paling tepat untuk dirinya; yakni tukang sepatu.
Sejak saat itulah garis hidupnya seolah di tegaskan, ia akan melayani orang-orang agar pijakan agamanya kukuh, agar langkah kaki jiwa-jiwa manusia bisa berjalan menempuh dan menyibak kehidupan fatamorgana duniawi.
Suatu kondisi yang pernah dimimpikan sang ibu dari Sidi Ahmad. Ibunya bermimpi, ia didatangi Rasulullah SAW dan menggenggam sekuntum bunga kuning. Beliau SAW tersenum, lantas melemparkan kuntuk bunga itu kepada Fathimah, ibunya. Olehnya bunga itu dipungut dengan penuh hidmat. Tak berapa lama, ia mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki.
Tarekat Darqawiyyah adalah Cabang dari Tarekat Syadziliyyah. Tarekat Darqawi menginduk ke Abu Abdullah Muhammad al-Arabi al-Darqawi, seorang sufi berkebangsaan Maroko (1760–1823) yang merumuskan metode dzikirnya dalam risalah-risalah yang dibuatnya.
Dua windu sudah ia bersama-sama dengan sang guru, Sidi Muhammad Al-Buzidi. Pengajaran dan pembimbingan spiritual, olah jiwa, dibawah langsung sang Syaikh, membuat Sidi Ahmad menjadi orang kepercayaannya. Ia selalu dilibatkan dalam proses-proses ketarekatan Darqawiyah. Ia dipercaya melakukan pembimbingan olah jiwa bagi para faqir baru disamping arahan sang guru.
12 Syawal 1327 H atau 27 Oktober 1909, persis usia 40 tahun Sidi Ahmad berdasar hitungan masehi, sang guru Syaikh Muhammad Buzidi wafat. Tepat persis saat Sidi Ahmad hendak meninggalkan Mostaganem, sesuai arah visi yang dilihatnya.
Dengan meninggalnya Sang Guru, Sidi Ahmad mau tidak mau harus menunda keberangkatannya ke Maroko. Ia harus mengurus semua hal terkait kepergian sang guru, terutama terkait pengasuhan anak-anaknya, yang dia menyanggupi memikul tanggung jawab tersebut, sesaat menjelang meninggalnya Sidi Muhammad Al-Buzidi.
Tanpa wasiat dan tanpa catatan apa pun. Meninggalnya seorang Mursyid, tentu membingungkan para murid. Siapa pewaris selanjutnya jalan tarekat ini? Begitu pertanyaan paling umum diajukan. Solusinya adalah musyawarah para faqir Darqawiyyah.
Saat musyawarah dilangsungkan Sidi Ahmad memilih untuk tidak ikut ambil bagian. Ia berketetapan untuk menerima apa pun hasil keputusan musyawarah.
Setelah satu minggu berlalu, keputusan belum bisa diambil. Maka seseorang mengajukan untuk jeda beberapa hari, sambil mencoba mengumpulkan para anggota tarekat, barangkali ada visi, penglihatan bathin, yang menunjukkan siapa pengganti Mursyid berikutnya.
Beberapa minggu berlalu. Pengalaman-pengalaman spiritual, berupa penglihatan bathin dari tokoh-tokoh tarekat berhasil dihimpun. Apa yang menjadi penglihatan bathin, umunnya tidak akan menyimpang jauh dengan apa yang berada di bumi. Hukum syariat mendukung penglihatan bathin (musyahadah). Demikian juga yang terjadi di tarekat ini. Sudah diketahui bersama, Sidi Ahmad adalah wakil sang Mursyid, Syaikh Sidi Muhammad Al-Buzidi dalam menjalankan tugas pembimbingan olah jiwa. Maka semua penglihatan bathin para sufi faqir yang terhimpun dalam zawiyyah Darqawiyya dari Syaikh Al-Buzidi, sepakat mengangangkat dan menunjuk Sidi Ahmad sebagai pengganti. Sebagai Mursyid penerus. Ini pula yang diungkapkan salah satu penglihatan bathin salah seorang murid Syaikh Al-Buzidi yang bernama Abdul Qadir ibn Abdur Rahman :
“Dalam tidur, aku melihat Syaikh Sidi Muhammad Al-Buzidi, dan karena aku tak lupa bahwa dia telah meninggal, aku tanyakan keadaannya dan dia berkata: ’Aku dalam rahmat Allah’, kemudian aku berkata kepadanya:’Sidi, kepada siapa Tuan meninggalkan para fakir?’ dan dia menjawab: ’Akulah yang menanam tunasnya, tapi Sidi Ahmad Bin ‘Aliwah yang akan memeliharanya, dan Insya Allah akan berbuah di tangannya’ “.
***
Sejarah perkembangan tarekat adalah sejarah mujadid setiap zaman. Metode tazkiyatun nafs di suatu kurun, metode, amalan, pengalaman, bisa jadi efektif di kurun tersebut, tapi menjadi berhala di kurun berikutnya. Peranan Mursyid atau Syaikh yang haqq, yang mengerti jalan olah jiwa, adalah memastikan jalan tarekat benar-benar berlandaskan pokok-pokok dinul Islam dan tidak menyimpang dari tujuan utama penciptaan manusia, dari jalan pertaubatan.
Salah satu kekhasan metode dari Sidi Ahmad adalah metode khalwat selama 40 hari. Di samping itu, Sidi Ahmad sangat mengetahui landasan pengetahuan-pengetahuan tasawuf yang demikian luas. Beliau mengkaji Ibnu Arabi dan Al Jili. Di samping terbiasa mengutip karya-karya Al-Ghazali, dan sangat hapal syair-syair dari Umar Ibnu Al-Farid. Jalan pengetahuan, pengkajian mendalam setiap tema tasawuf menjadi ciri utamanya, disamping dzikir khas Darqawi-Syadziliyyah dan khalwat yang diperkenalkannya. Kegairahan pengetehuannya, menembus keluar, sampai beliau cukup bisa memahami dan mendalami kitab Injil.
Corak ini, tak bisa diterima sebagian tokoh Darqawiyyah. Ajaran dan metode Sidi Ahmad cenderung dianggap bidah. Perpecahan pun mulai tampak. Hampir semua murid Syaikh Sidi Al-Buzidi yang dulu bersama-sama, mulai menarik diri. Di titik inilah, Sidi Ahmad sebagai Mursyid penerus Syaikh Al-Buzidi melakukan perombakan cukup besar. Ia menarik batas, benang merah yang memisahkan dengan tegas. Maka metode yang dibawa Sidi Ahmad dinamakan Al-Thariqah Al-‘Alawiyah Al-Darqawiyah Al-Syadziliyyah.
Nama Al-‘Alawiyah menjadi pembeda dan penanda. Ini mengambil nama dari ‘Imam Ali. Nama yang diberikan beliau (Imam Ali) dalam pengalaman dan penglihatan bathinnya:
“Aku melihat Imam Ali Kwh—dan dia berkata kepadaku, “Ketahuilah bahwa aku adalah ‘Ali dan tarekatmu adalah ‘Alawiyah ”.
Sejatinya tentangan keras dari para murid Darqawiyyah lain, para zawiyah lain, lebih kepada para marbout (tokoh) utama yang takut kehilangan pengaruh akibat daya tarik luar buasa Sidi Ahmad. Daya tarik yang disebabkan kesalehan kehidupannya dan keefektifan metode pembimbingannya disamping perubahan zaman yang menuntut segi-segi pengatahuan ketasawufan yang dibahas secaar detail dan mendalam.
Banyaknya para murid Darqawiyya lain yang menarik tegas dengan Al-‘Alawiyah, akhrinya tergantikan dengan para murid baru yang berdatangan dan berbondong-bondong dalam jumlah besar. Bahkan para pewaris, keturunan langsung dari pendiri Darqawiyya, yakni para buyut Mawlay Al-Arabi Al-Darqawi sendiri mendatanga Sidi Ahmad di zawiyya Al-‘Alawiyah untuk berbaiat menjadi murid. Kejadian ini sedikit banyak menurunkan tensi pertentangan.
Jazirah Afrika Utara sedang berubah. Kolonialisme merebak, persentuhan dengan dunia Barat terjadi. Khazanah dunia Islam terkuat lebar. Pertautan antar-budaya dan beragam bangsa sedang terjadi. Modernisasi melanda; demikian juga gerakan yang mengusung seolah pemurnian Islam: dalam bentuk gerakan pembaharuan Islam.
Maka tepat di kondisi dan zaman ini, Syaikh Sidi Ahmad, yang kemudian dikenal dengan nama Syaikh Ahmad Al-Alawi menghadapi tiga tantangan sekaligus. Para murid Darqawiyyah yang lain, yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas spiritual mumpuni, tapi mendaku sebagai ahli waris, galur murni Darqawiyyah. Dari mereka ini, yang sebenarnya motifnya lebih duniawi dan ketakutan kehilangan pengaruh, Syaikh Ahmad Alawi dianggap membuat bidah dari galur murni Darqawi. Tantangan kedua dari kaum yang mendaku reformis, pemurni ajaran Islam, kalangan modernis yang anti tasawuf. Tantangan kedua adalah perubahan dan peralihan zaman yang modern, dimana segi-segi praktik dan keilmuan tasawuf menuntut wahana dan gaya baru untuk diungkapkan.
Mengantisipasi itu semua, Syaikh Ahmad Alawi menerbitkan jurnal tasawuf dalam bahasa yang lebih modern dan ilmiah yakni Lisan Al-Din di tahun 1922 dan Al-Balagh Al Jaziri di tahun 1926. Syaikh Ahmad Al-Alawi melakukan pembelaan, tanggapan dan kajian mendalam atas apa yang ditentang oleh para modernis terhadap di tasawuf, di jurnal mereka, Al-Syihab.
Bahasan yang mendalam atas kajian Ibnu Arabi dan Al-Jili, menjadikan Tarekat Al-Alawwiyah oleh kalangan orientalis Barat (salah satunya Massignin) dimasukan ke dalam Mazhab Ibnu Arabi. Massignon tadinya beranggapan bahwa pengetahuan Ibnu Arabi mengakhiri masa penampakan tasawuf. Sampai akhirnya, ia bertemu dengan Tarekat Al-Alawiyah, dimana pengetahuan Ibnu Arabi bisa disandingkan dengan segi praktis metode tazkiyatun nafs. Atas dasar itu, Massignon merevisi pandangan sebelumnya.
***
Salah satu kekhasan Tarekat Al-Alawiyah adalah penghormatan mendalam terhadap para Nabi dan Rasul lainnya. Ini sebenarnya diutarakan Syaikh Al-Alawi manakala mengkaji salah satu kitab Ibnu Arabi, Fushush Al-Hikam. Dan sudah umum di ketahui bersama oleh para murid Tarekat Al-Alawiyah, bahwa Syaikh Al-Alawiyah memiliki figur Isawi dalam konfigurasi manifestasi ruhani sang Syaikh. Secara penampakan lahiriah, secara artikulasi pengetehuan dan caranya menyeru kalangan Barat, yang memiliki latar kaum Nabi Isa, semuanya selaras dan sejajar dengan manifestasi Isawi.
Tak kurang dari seorang Dr Marcel Carret yang emngaku agnostik, yang merawat Syaikh Ahmad Al-Alawi menjelang meninggalnya, mengaku bahwa penampakan lahirian sang Syaikh, sinar wajahnya sampai gerak tubuhnya, persis seorang Yesus.
Ini selaras dengan visi, penglihatan bathin dari beberapa saudara seperjalanannya, salah satunya dari Muhammad ibnu Al-Thayyib Al-Darqawi.
“Aku menyaksikan sekelompok orang yang bercerita tentang turunnya Nabi Isa, dan mereka mengatakan bahwa dia telah turun, dan di tangannya tergenggam sebilah pedang kayu yang dia pukulkan kepada batu dan kemudian batu-batu tersebut berubah menjadi manusia. Dan ketika dipukulkan kepada binatang, berubah pula menjadi manusia. Lantas aku sadar (dalam penglihatan bathinku) bahwa orang yang turun dari langit itu aku kenal, bahwa dia telah menulis surat kepadaku, dan aku pun pernah menulis surat untuknya. Kemudian aku bergegas menemuinya, dan ketika aku sampai, yang kujumpai adalah Syaikh Sidi Ahmad Al-‘Alawi.
***
Jika hari ini, kita mendapati banyak kajian atas literatur-literatur klasik tasawuf dari para orientalis maupun muslim dari Barat, maka janganlah melupakan jasa Sang Tukang Sepatu, Syaikh Ahmad Al-Alawi. Lewat tulisan dan pengajarannyalah, disamping metode khas Al-Alawi, Islam khususnya tarekat menjangkau pelosok-pelosok Eropa dan Amerika. Kita mengenal Guenon, Schuon, Martin Lings, Titus Burckadt dan deretan nama lainnya adalah murid dari Syaikh Ahmad Al-Alawi, disamping seorang Fritjof Schuon juga menularkan kajian dimensi esoteris Islam ini ke generasi sesudahnya. Tokoh-tokoh seperti Jospeh Epes Browen, Huston Smith, Jean Louis Michon, Keith Kritchlow, Victor Danner, Willian C. Chittick, Jean Borella, Osman Bakar, James Schuon Cutsinger, Michael Oren Fitzgerald, Vali Reza Nasr, Sachiko Murata, dikelompokkan sebagai pengikut akademik Frithjof Schuon yang awal. Sementara nama-nama seperti Whithall N. Perry, William Stodart, Roger Du Pasquier, Rama Coomaraswamy, dimasukan kedalam kelompok tokoh-tokoh akademik yang mengikuti Schuon lebih kemudian.
Begitulah kisah bagaimana sosok Isawi dari Syaikh Ahmad Al-Alawi. Sosok penyuara dan penyeru di awal abad 20. Wali Sufi abad 20.
----selesai--
Kutipan penutup :
Dari kalimat Ibnu Arabi: Sungguh orang yang sudah mati itu tak berguna, sebab untuk berguna seseorang harus berbuat, dan perbuatan orang yang mati sudah selesai. Saya (Syaikh Ahmad Al-Alawi) tidak mengatakan ada kekeliruan dalam kalimat tersebut. Namun saya katakan, banyak kekeliruan pemahaman. Orang mati sudah tak berguna, dalam arti dia sudah tak dapat mendidik murid dan berjalan di atas jalan Allah. Adalah tak mungkin untuk memperoleh manfaat bimbingan tanpa kesertaan orang yang hidup. Tapi kalau dalam arti manfaat yang diupayakan dalam menjadikannya pilihan di antara makhluk-Nya, sebagai penghubung atau perantara (tawasul) dengan Allah.
Dari Syahaid Al-Fatawi, yang dikutip dalam buku A Sufi Saint of The Twentieth Century : Syaikh Ahmad Al-Alawi.
Rujukan Utama :
Martin Lings, A Sufi Saint of The Twentieth Century : Syaikh Ahmad Al-Alawi.
James Cutsinger, Splendor of the True: A Frithjof Schuon Reader
Syed Hossein Nasr, Islamic Spirituality: Manifestation
Post a Comment Blogger Disqus