Suatu malam, Abah Guru Sekumpul bermimpi seolah-olah berada disebuah padang pasir yang sangat luas, sejauh mata memandang hanya sahara yang membentang. Terlihat dari kejauhan tampak sebuah bangunan yang sangat kokoh, seperti sebuah keajaiban yang muncul di tengah-tengah misteri ketidakpastian. Tidak mungkin rasanya bangunan tersebut milik salah satu suku Arab.
Lantas, kenapa hanya ada satu? dimanakah yang lainnya? bila ternyata bangunan itu milik seorang musafir, lalu kenapa terlihat berdiri kokoh dan menyiratkan bahwa itu adalah sebuah tempat tinggal untuk jangka waktu yang tidak sebentar? Pikir Abah Guru.
Langkah kaki Abah Guru terhenti manakala jarak yang tersisa antara dia dan bangunan itu hanya tinggal beberapa langkah lagi. Tiba-tiba dari lantai atas bangunan tersebut muncul seorang wanita Arab, yang meskipun busananya tertutup namun kecantikannya memancar menembus sekat-sekat bernama kain itu, dan melemparkan sesuatu kepada Abah Guru.
Abah Guru memungut benda itu sambil hatinya bertanya-tanya. Namun keheranan itu tidak membuat tekadnya surut untuk terus melangkah. Tiba-tiba Abah Guru dikejutkan oleh sebuah goncangan, bumi yang dipijak terasa bergetar. Abah Guru tersentak, apa yang terjadi, suara apa itu, dari mana asalnya? Berbagai pertanyaan muncul tanpa rekayasa.
Abah Guru yang keheranan terus melangkahkan kakinya, sampai tidak jauh dari bangunan itu dia bertemu dengan dua orang pemuda; tegap, tampan, bahkan sangat tampan.
Pemuda pertama yang lebih tua, terlihat penuh kharisma sekaligus menunjukkan kesantunan yang menyentuh hati setiap orang yang memandangnya. Sementara yang lebih muda, nampak kekar bagai seorang mujahid, yang setiap saat siap menghadapi berbagai tantangan, sosok pria pemberani tergambar jelas dari raut mukanya.
Abah guru pun akhirnya terlibat dialog dengan kedua orang tersebut, sampai akhirnya dua pemuda tersebut berkata, “Kamu, kami berikan gelar Zainal Abidin”.
Abah Guru terdiam, Zainal Abidin..?
Sebuah gelar yang pernah mengukir sejarah, yang bahkan kebakaran di rumahnya sendiri tidak sanggup mengusik dirinya dari ibadah, dialah Sayyidina Ali Zainal Abidin, satu-satunya putera Sayyidina Husein sang Syahid Agung, yang selamat dari pembantaian di medan Karbala, putera Sayyidatina Fatimah Az-Zahra; puteri Rasulullah SAW.
Dialah orang pertama yang menyandang gelar Zainal Abidin; perhiasan cantik para ahli ibadah, karena ‘abid yang manapun, dari belahan bumi manapun, akan tertunduk malu bila berhadapan dengan catatan sejarah hidupnya, apalagi kalau bertemu dan melihat langsung bagaimana asyiknya dia bersama Rabb-nya.
Abah Guru mungkin merasa malu, bagaimana tidak? Karena gelar tersebut bukan sembarang gelar, gelar adalah gambaran dari orang yang menyandangnya dibahunya, arti hakiki dari gelar tersebut, pertanda apa sehingga dia mendapatkan anugerah sebesar ini.
Saat ia merenung, ia melihat tanah yang berada di samping bangunan tersebut tiba-tiba bergerak laksana gelombang air laut. Kemudian Abah Guru bertanya kepada keduanya:
“Kenapa bumi tadi bergetar?” Ucapnya.
“Itu adalah makam ayahanda, Ali bin Abi Tholib” Jawab keduanya.
Abah Guru bertanya lagi kepada mereka berdua tentang perempuan yang melempar sesuatu kepadanya tadi:
“Kalau perempuan yang berada diatas lantai bangunan tadi?” Tanya Abah Guru.
“Itu adalah Ibunda Fatimah” Jawab mereka berdua.
Jawaban itu menjadi tafsir yang menguak tabir misteri ketiga orang ini. Yah, karena ketiga manusia yang mengundang kekaguman itu adalah al-Bathul; Sayyidatina Fatimah, sang pemuka para wanita surga. Al-Hasan dan Al-Husein, dua pemuda penghulu sorga, cucu dan pendingin mata Baginda Rasulullah SAW. Mereka adalah tiga orang ahlul kisaa.
Sebuah mimpi yang teramat indah, yang mungkin didambakan semua muhibbin ahli bait-nya Rasulullah SAW. Mimpi yang merupakan sebuah pertanda baik atau bisyarah untuk seorang hamba Allah yang sedang meniti jalan hidupnya menuju sebuah “kehambaan” yang sebenarnya.
Meski Abah Guru mendapat bisyarah, mimpi bertemu dengan orang-orang mulia itu, namun dia tidak pernah menceritakan mimpi itu kepada siapapun, semua tetap mengendap dalam otaknya. Hingga suatu saat diceritakan oleh Guru Marzuki saat bertemu dengan Zaini di sebuah acara. Guru Zuki, begitu panggilan beliau, melemparkan pertanyaan yang membuat Zaini terkejut.
“Ikam wayah ini bangaran Zainal Abidin kah?” (Kamu sekarang ini bernama Zainal Abidin kan?) tanya Guru Zuki.
Abah Guru hanya diam, pertanyaan ini mengingatkannya pada mimpi yang dialaminya itu.
“Ada kalu ikam tamimpi?” (Bukankah kamu ada bermimpi?) sambung Guru Zuki.
Abah Guru hanya menunduk, ternyata ulama yang satu ini tahu perihal mimpinya, padahal sebelumnya dia tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang mimpi itu.
Subhanallah..
Semoga bermanfaat dan menambah kecintaan kita pada Abah Guru Sekumpul dan mendapatkan Rahmat Allah mengisahkan para Kekasih-Nya. Amin Ya Allah Ya Rabbal A'lamin..
Post a Comment Blogger Disqus