Desa Tlogosari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten PATI JAWA TENGAH
SEJARAH SINGKAT
Pada sekitar 1500 tahun yang lalu, hiduplah tokoh sufi bernama Mbah Suro Diharjo nama Arab Sayyid Abdurrahman yang berasal dari Tuban Jawa Timur. Beliau masih ada silsilah keturunan dengan Sunan Kalijogo Kadilangu Demak, Beliau merupakan keponakan dari Sunan Kalijogo (anak dari adiknya Tumenggung Wilatikta). Pada waktu mudanya Mbah Surodiharjo diutus berguru oleh Mbah Sunan Kalijogo kepada Beliau Mbah Sunan Muria (Anak dari Sunan Kalijogo), Maka berangkatlah Mbah Suro Diharjo ke daerah Jawa Tengah tepatnya ke daerah Muria sekarang (dulunya panti Muria) untuk berguru kepada beliau Mbah Sunan Muria. Setelah berguru sekitar 17 tahun dan dianggap sudah cukup keilmuannya oleh Sunan Muria, Maka Mbah Suro Diharjo diutus kembali ke daerah Tuban untuk Syiar Agama, Singkat cerita Mbah Suro Diharjo di Tuban menikah dan mendirikan Pondok Pesantren di daerah Tuban (Beliau Juga sudah punya Anak bernama Mbah Hafidz). Diawal berdirinya Kerajaan Demak, dari semua murid yang pernah berguru ke Muria diminta hadir ke Demak untuk membantu pembangunan berdirinya Kerajaan Demak. Pada waktu berangkat ke daerah Demak Mbah Suro Diharjo ditemani 2 orang muridnya yaitu bernama Mbah Sentono dan Mbah Alif. Setelah membantu pembangunan kerajaan selama beberapa bulan (+/- 9 bulan), Mbah Suro Diharjo Diutus Mbah Sunan Muria untuk pulang ke Tuban lagi, Tapi sebelum pulang di minta mampir ke Padepokan Muria dulu untuk menerima hadiah berupa tumbak Ndholo Kusumo dan mendapat mandat supaya syiar ke beberapa daerah yang dilalui ketika pulang ke Tuban,
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa PLUKARAN
Setelah itu Mbah Suro Diharjo turun dari padepokan Muria untuk melanjutkan perjalanan dengan ditemani kedua muridnya, dimulai dari Japan Kudus kearah timur laut menyusuri hutan-hutan kecil, sekitar perjalanan setengah hari sampailah di tempat yang banyak semak belukarnya sehingga untuk melaluinya butuh di babat dulu, bahkan karena saking lebatnya semak tersebut Mbah Suro Diharjo sempat kebingungan menentukan arah sampai kemalaman sehingga bermalam di area tersebut, dengan membuat gubuk kecil dari tumbuh tumbuhan semak untuk dibuat beristirahat dan menjalankan Qiyamullail dan berdzikir di sepertiga malam. Keesokan harinya setelah matahari terbit Alhamdulillah kebingungan tersebut terjawab dan akhirnya perjalanan bisa diteruskan kembali, Dalam percakapan dengan Kedua Muridnya dan atas ide Mbah Alif maka jika suatu saat area tersebut dihuni manusia maka akan dinamakan Desa BLUKARAN / PLUKARAN yang mengandung Dua arti yaitu Pertama Diberi jalan keluar Allah dari kebingungan dan yang Kedua Karena banyaknya semak belukar yang dilalui. Setelah beristirahat beberapa saat di pinggir Blukaran tersebut maka Mbah Suro Diharjo dan Kedua Muridnya melanjutkan perjalanan kembali.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa KLAKAH KASIHAN
Dalam Perjalanan sekitar satu jam maka sampailah di sebuah perkampungan kecil, dipinggir desa tersebut tiba-tiba ada suara gemuruh pasukan penunggang kuda yang tidak terlihat oleh penduduk desa dan yang terlihat hanya debu beterbangan, tapi Mbah Suro Diharjo dan Kedua Muridnya Bisa melihat rombongan Pasukan Gaib yang berkuda tersebut, Rombongan Gaib tersebut hampir saja menginjak injak (Melangkah langkah) 7 anak kecil yang sedang bermain, dan Atas Doa Mbah Suro Diharjo, Allah Memberi pertolongan sehingga 7 anak tersebut bisa terselamatkan, Karena Masih Shock 7 anak tersebut menangis dan akhirnya Mbah Suro dengan Kedua Muridnya menggendong 7 anak tersebut untuk diantar ke orang tuanya masing masing. Setelah sampai ke orang tuanya anak-anak tersebut menceritakan bahwasanya tadi hampir di injak-injak pasukan berkuda dan Mbah Suro Diharjo yang telah menyelamatkan mereka sehingga orang tua dari anak anak terebut berterima kasih Kepada Mbah Suro Diharjo beserta kedua muridnya. Setelah itu Mbah Suro Diharjo bertanya kepada penduduk tentang nama desa yang saat ini di singgahi, dan karena desa tersebut belum punya nama maka Mbah Suro Diharjo Menamakan Desa tersebut dengan nama KLAKAH KASIHAN, yang mana diambil dari peristiwa yang menimpa 7 anak tadi. Klakah Kasihan berarti Belas Kasih dan Rahmad Allah sehingga 7 anak tersebut terselamatkan dari terlangkah-langkahi atau terinjak-injak pasukan gaib berkuda. Atas permintaan warga desa Mbah Suro Diharjo diminta singgah barang satu malam di desa itu. Kesempatan tersebut di manfaatkan Mbah Suro Diharjo untuk Syiar Agama kepada penduduk setempat karena saat itu penduduk masih menganut kepercayaan nenek moyang, dan Alhamdulillah atas Izin Allah warga bisa menerima Ajaran Agama Islam, sebelum melanjutkan perjalanan Mbah Suro Diharjo Berpesan kepada penduduk untuk melanjutkan mengaji tentang Agama Islam ke Mbah Sunan Muria di padepokan Muria. Setelah keesokan harinya Mbah Suro Diharjo Melanjutkan perjalanan lagi.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa BAGENG
Setelah melalui perjalanan yang panjang akhirnya bertemu dengan daerah kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga, karena kondisi yang masih gelap ada bayangan-bayangan manusia didaerah itu (bahasa Jawanya “begegang-begegeng“) akhirnya orang tersebut disapa Mbah Suro Diharjo dan di tanyai ini desa apa, orang itu tidak bisa menjawab, akhirnya daerah itu diberi nama Mbah Suro Diharjo dengan sebutan “BAGENG“ (dari kata begegang-begegeng). Setelah singgah beberapa hari di daerah itu untuk memberi pengertian Agama Islam kepada penduduk setempat, Mbah Suro Diharjo Melanjutkan perjalanan lagi.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa POSONO
Setelah melanjutkan perjalanan sampailah di daerah perkampungan dan bertemu dengan orang-orang yang kondisinya lemah karena sering tirakat dan Mbah Suro Diharjo bertanya kepada penduduk kampung itu kenapa kondisi mereka sangat lemah, jawab penduduk bahwa mereka kalau siang puasa terus menerus dari Fajar hingga malam, baru malam harinya mereka bekerja hal tersebut karena masih menganut kepercayaan nenek moyang penduduk setempat. Akhirnya Mbah Suro Diharjo memberi pengertian-pengertian masalah Agama Islam dan mereka mau menerima, sehingga perkampungan itu di beri nama “POSONO“ yang artinya berhenti melakukan puasa seperti kepercayaan mereka sebelumnya dan memeluk agama Islam dan melakukan syariat syariat Islam.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa DENGAN
Mbah Suro Diharjo dan Kedua Muridnya turun dari desa Posono untuk melanjutkan perjalanan ke arah Utara lagi, dan setelah berjalan beberapa saat tiba-tiba cuaca mendung pekat yang lumayan lama sehingga saat itu Mbah Suro Diharjo dan kedua muridnya kesulitan menentukan waktu sholat, tiba tiba terdengar suara “Dang Deng Dang Deng” Seperti suara bedug yang tidak diketahui perihal asal suaranya dan dengan adanya suara tersebut Mbah Suro Diharjo memutuskan untuk melaksanakan Sholat Dhuhur bersama kedua muridnya, Setelah Selesai Sholat Dhuhur atas Izin Allah Cuaca kembali normal dan matahari kembali terlihat sinarnya yang saat itu menandakan waktu sekitar jam setengah satu siang. Karena peristiwa tersebut Mbah Suro Diharjo menamakan daerah tersebut dengan sebutan “DENGAN” dari suara "dang deng" yang dijadikan patokan untuk Sholat Dhuhur. Dan Akhirnya Mbah Suro Diharjo Melanjutkan perjalanan kembali.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa BORO
Melanjutkan perjalanan ke daerah utara lagi, dalam perjalanan mengalami perjalanan medan yang sangat terjal sehingga beliau sempat naik turun beberapa kali sebelum kembali keatas bukit (sempat terjatuh kebawah “glundung”), akhirnya sampailah diatas bukit dan menjumpai tanah yang lapang, yang tanpa penghuni, akhirnya Mbah Suro Diharjo berhenti untuk istirahat di tempat tersebut karena kondisi Tubuh Beliau saat itu yang sangat lemah karena terjatuh / Glundung seperti yang sudah dijelaskan diatas. Sembari dzikir dan tafakur bersama kedua anak muridnya karena perjalanan medan yang sangat sulit Mbah Suro Diharjo berangan-angan jika suatu saat tanah lapang tersebut dihuni oleh manusia maka diberi nama “BORO“ diambil dari gabungan nama sulitnya medan perjalanan (kebloro-bloro) dan adanya tanah lapang yang tanpa penghuni manusia (oro-oro / Tanah Bero). Setelah dianggap cukup istirahat Mbah Suro Diharjo melanjutkan perjalanan dalam kondisi beliau ditandu oleh anak muridnya.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa JELOK
Dari daerah Boro beliau berjalan ke arah timur sampailah ke daerah gunung rowo (Petilasan Mbah Sunan Muria) untuk beristirahat dan mengambil air minum untuk perbekalan, setelah dianggap cukup beristirahat beliau melanjutkan perjalanan ke arah utara (Kondisi beliau saat itu masih ditandu oleh kedua muridnya), Menjumpai jalan yang berbelak-belok dan naik turun terus menerus sehingga kedua anak muridnya walaupun perjalanan belum lama namun mengalami kelelahan yang teramat sangat sehingga memutuskan untuk beristirahat lagi, dalam peristirahatan tersebut sebari berdzikir beliau berangan-angan jika suatu saat daerah yang berbelak-belok dan naik turun tersebut dihuni manusia maka dinamakan desa “JELOK”, Setelah di cukup maka kembali meneruskan perjalanan.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa BONTRO
Baru beberapa saat melakukan perjalanan Beliau dan kedua muridnya mendapat musibah terjatuh (Glundung) lagi ke jurang tapi Alhamdulillah atas Izin Allah Mbah Suro Diharjo dan kedua muridnya tidak mengalami cidera sedikitpun, dan akhirnya Beliau Istirahat persis di tempat beliau terjatuh (persis waktu Dzuhur saat itu) saat itu beliau dan kedua muridnya mengambil Wudhu dan Melakukan Sholat Dzuhur berjamaah, dalam Dzikir sesudah sholat tersebut Beliau njagong-njagong dengan anak muridnya, dan atas usul Mbah Sentono daerah tersebut diberi nama “BONTRO“ nama tersebut diambil dari kata “Keblontro-blontro / Glundung “ saat perjalanan.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa MANGIR
Beliau Mbah Suro Diharjo meneruskan perjalanan kembali kearah utara, baru perjalanan beberapa saat dengan jalan yang agak menanjak Mbah Suro Diharjo dan anak muridnya bertemu lagi dengan pemukiman kecil dan anehnya perkampungan kecil itu penghuninya suka memakai bobok (Masker wajah) beras berwarna putih dimuka dan Mbah Suro Diharjo menanyakan kenapa mereka memakai bobok/masker putih tersebut dan mereka menjawab bahwa itu untuk penutup / melindungi wajah dari sinar matahari kalau mereka sedang bekerja di ladang atau sawah, Akhirnya Beliau Mbah Suro Diharjo dan kedua muridnya jagong jinagong dengan penduduk setempat untuk menyampaikan risalah-risalah dan ajaran agama Islam, Setelah cukup menyampaikan risalah dan penduduk bisa menerima pengertian agama Islam maka Mbah Suro Diharjo memberi nama pemukiman tersebut dengan sebutan “MANGIR” diambil dari kata mangiran (suka memakai masker wajah). dan Beliau pun berpamitan kepada penduduk setempat untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan Syiar Islam, Awal Desa TLOGOSARI dan beberapa perdukuhannya
Dalam perjalanan kembali tersebut mbah Sentono dan Mbah Alif kembali membopong atau menandu Mbah Suro Diharjo hingga sampailah ke Pemukiman yang ramai yaitu Desa Lahar termasuk perdukuhan Gajah, Ndopang. Desa Lahar termasuk perdukuhan Gajah dan Ndopang merupakan Desa yang dulunya sudah pernah didakwahi oleh Mbah Sunan Muria dan Nama desa tersebut juga merupakan nama pemberian Mbah Sunan Muria. Setelah Melewati perdukuhan Ndopang maka sampailah pada perkampungan yang penduduknya sangat acuh dan kurang ramah, karena walaupun melihat musyafir yang membawa orang sakit sedang lewat tapi mereka acuh dan tidak menganggap (cuek). Akhirnya Mbah Alif Di dawuhi Mbah Suro Diharjo untuk meminta Minum ke salah satu penduduk daerah tersebut, tapi tidak di beri dan tanggapan penduduk tersebut kurang ramah, jawaban penduduk tersebut adalah sebagai berikut dalam bahasa Jawa “dari pada njaluk ngombe aluwung awakmu njaluk ambung“, Akhirnya Mbah Alif kembali ke Tempat Mbah Suro Diharjo untuk melaporkan perihal yang terjadi, dan Mbah Suro Diharjo berangan-angan dan menghibur Mbah Alif supaya tidak bersedih dengan mengatakan bahwa daerah tersebut Jauh dari Sumber Air / Sulit Air dan Seketika itu pula yang dulunya di daerah itu banyak sumber air menjadi Sumber Air banyak yang mati sehingga benar-benar sulit air (Sabdo dari Mbah Suro Diharjo menjadi kenyataan). Perdukuhan tersebut bernama NJUGO, Akhirnya Mbah Suro Diharjo dengan kedua muridnya melanjutkan perjalanan lagi dengan Kondisi Lapar dan Dahaga. Mbah Suro Diharjo dengan Kedua Muridnya melanjutkan perjalanan ke arah timur dan bertemu dengan seseorang yang aneh, laki-laki tapi perilakunya seperti perempuan dan anehnya baru saja bertemu tapi langsung menyapa dan memberikan makan dan minum kepada Mbah Suro Diharjo, dan Mbah Suro Diharjo dengan kedua muridnya diminta supaya mampir ke tempatnya, nama orang aneh tersebut adalah Mbah Aryo Widuro atau terkenal dengan sebutan Mbah Banci (Karena perilakunya yang seperti perempuan). Mbah Banci banyak mempunyai piaraan Anjing dirumahnya. Dirumah tersebut Mbah Suro Diharjo singgah beberapa saat untuk beristirahat dan Sempat memberikan pengarahan tata cara memelihara dan merawat Anjing, Akhirnya Anjing-anjing tersebut Dikombong dalam satu grombol dan Mbah Banci Menyukai cara tersebut dan Akhirnya Mbah Suro Diharjo Menamakan daerah tersebut dengan sebutan “GRUMBUL ASU“ atau gerombolan tempat memelihara anjing. Sebelum berpamitan, Mbah Suro Berpesan kepada Mbah Banci kalau tempat tersebut jadi sebuah perkampungan maka diberi nama “JETHIS“ diambil dari perawakan wajah Mbah Banci yang dagunya lancip atau Nyathis. Setelah itu Mbah Suro dan Kedua Muridnya berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Dalam Perjalanan Lanjutan kearah timur Mbah Suro Diharjo Masih tetap ditandu kedua muridnya karena saat itu Sakit beliau Semakin Parah. Sampailah Mbah Suro Diharjo disuatu tempat yang rindang banyak Pepohonannya. Mbah Suro Diharjo mengajak Kedua Muridnya untuk beristirahat dan menyuruh kedua muridnya membuat tempat berteduh yang terbuat dari alang alang untuk bermalam, di tempat tersebut banyak Sumber mata air seperti telaga. Setelah jadi tempat istirahatnya (Gubuk Kecil) Mbah Suro Diharjo dipapah kedua muridnya untuk mengambil Air wudhu dan melaksanakan Sholat Maghrib disambung dengan Sholat Isya’, setelah itu Beliau dan kedua Muridnya beristirahat. Pada sepertiga malam Mbah Suro Diharjo dan kedua muridnya bangun untuk melaksanakan Qiyamullail. Setelah mengambil Wudhu dan sebelum melaksanakan Sholat Mbah Suro Diharjo dan kedua muridnya berbincang-bincang membahas tempat yang saat ini disinggahi, bahwasanya tempat ini sejuk dan banyak sumber mata air seperti telaga layaknya di gunung muria dan beliau juga sempat berbicara kepada kedua muridnya bahwa jika diberi Allah umur panjang maka beliau mau bermukim di tempat tersebut. Dan karena tempatnya yang sejuk dan banyak pepohonan yang rindang dan karena Mbah Suro Diharjo yang berperawakan tinggi besar, maka Mbah Suro Diharjo memberi nama tempat tersebut dengan sebutan “MBAGANGAN“ atau dari sebutan Mbah Ageng (Mbah yang Besar dan Wong Agung) Murid Kanjeng Sunan Muria. Dan karena sekeliling tempat yang didiami Mbah Suro Diharjo Seperti telaga dan airnya seperti air di pegunungan Muria maka juga dinamai Desa “TLOGOSARI” yang bermakna Air sari dari pegunungan Muria karena sejuknya air seperti air dipegunungan Muria dan Mbah Suro Diharjo sangat cocok dengan tempat yang disinggahi tersebut.
Wafatnya Mbah Suro Diharjo
Dalam Qiyamullail Mbah Suro Diharjo melaksanakan Sholat tahajud, Hajad, Taubat dan di akhiri dengan Sholat Witir karena Mbah Suro Diharjo Merupakan penganut Toriqoh Syadzaliyah baiat dari Mbah Sunan Muria. Setelah Rokaat terakhir dari sholat Witir dan Sujud terakhir dari Sholat Witir Mbah Suro Diharjo sudah tidak beranjak dari sujudnya, Karena di tunggu lama dari kedua muridnya akhirnya kedua muridnya mefarokhoh dan menyelesaikan sholatnya sendiri, Setelah Salam Kedua Muridnya bergegas untuk mengetahui kondisi Mbah Suro Diharjo dan ternyata Mbah Suro Diharjo Sudah Wafat. Sehingga kondisi Wafatnya Mbah Suro Diharjo dalam keadaan Sujud. Dari percakapan sebelum beliau wafat dengan kedua muridnya bahwa beliau ingin bermukim di tempat tersebut maka kedua Muridnya Sepakat untuk memakamkan Mbah Suro Diharjo di tempat itu juga.
Pengambilan Kembali Tombak Ndholo Kusumo
Setelah selesai pemakaman kedua Murid Mbah Suro Diharjo beristirahat sejenak tapi dalam peristirahatan kedua muridnya, Mbah Suro Diharjo memberi petunjuk atau mimpi bahwasanya tumbak kenang-kenangan dari Mbah Sunan Muria Tertinggal di daerah Mbontro atau tempat Beliau dan Kedua Muridnya terjatuh. Setelah bangun dari tidur Mbah Sentono dan Mbah Alif saling bercerita tentang mimpinya, dan mimpi mereka sama yaitu tentang tumbak Ndholo Kusumo yang masih tertinggal Di mbontro, dan akhirnya Mereka Sepakat untuk kembali ke Mbontro untuk mengambil tumbak tersebut, Sesampai di daerah Mbontro tumbak Ndholo Kusumo ternyata sudah tidak ada, Sudah dicari Sampai malam tetap tidak ketemu juga, dan Akhirnya Mbah Sentono dan Mbah Alif beristirahat dan bermalam di tempat itu dan akan meneruskan pencarian keesokan harinya. Di dalam tidurnya Mbah Sentono dan Mbah Alif bermimpi di temui Mbah Suro Diharjo dan Dalam Mimpi tersebut Mbah Suro Diharjo menceritakan bahwa tumbak tersebut di kuasai oleh Jin penunggu area tersebut dan dalam mimpi itu pula Mbah Suro Diharjo memberi petunjuk untuk tirakat selama 4 bulan 10 hari di tempat itu supaya Tumbak bisa kembali. Setelah bangun dari tidurnya ternyata mimpi mereka sama lagi dan mereka sepakat untuk melaksanakan tirakat sesuai petunjuk Mbah Suro Diharjo dalam mimpi. Dalam tirakatnya Kedua Murid Mbah Suro Diharjo membuat kesibukan dengan membuat batu bata. Dan akhirnya setelah sampai 4 bulan 10 hari bertepatan dengan hari Jumat Wage pas tengah malam setelah Beliau berdua selesai Qiyamullail tiba-tiba tumbak tersebut sudah di samping Beliau berdua, Pagi harinya Beliau berdua kembali ke makam Mbah Suro Diharjo untuk menguburkan Tumbak Ndholo Kusumo di area Makam Mbah Suro Diharjo. Dan Setelah menguburkan Tumbak maka Beliau Berdua yaitu Mbah Sentono dan Mbah Alif Kembali ke Tuban.
Kesimpulan
Dari semua tempat yang dilewati dan didakwahi Mbah Suro Diharjo dari lereng muria ke utara tersebut merupakan daerah-daerah yang diminta oleh Mbah Sunan Muria untuk di dakwahi karena belum sempat di dakwahi Mbah Sunan Muria sebelumnya.Mbah Suro Diharjo dimakamkan di Tlogosari Bagangan Kecamatan Tlogowungu Kabupaten Pati Jawa Tengah merupakan perjalanan dakwah sekaligus kepulangan beliau dari membantu pembangunan kerajaan Demak bersama Dewan Wali 9 untuk kembali ke Tuban. Jadi di Bagangan, Mbah Suro Diharjo bukan asli penduduk setempat, tetapi hanya perjalanan dakwah dan wafat di Bagangan Tlogosari. Adapun makna yang dimaksud dari kata TOMBAK NDHOLO KUSUMO menurut Mbah Suro Diharjo TOMBAK = “di toto lan di rombak” (di tata dan diperbaiki) masyarakat Desa Tlogosari dan sekitarnya menjadi masyarakat yang berakhlaqul karimah dinul Islam. Mbah Suro Diharjo merupakan ahli Tasawwuf dan ahli ekonomi yang banyak diziarahi oleh penduduk Pati dan sekitarnya. Adapun area makam Mbah Suro Diharjo bisa ditempuh dari Pati kota kearah utara atau dari Tayu ke arah selatan sampai di kecamatan Trangkil Desa Pasucen ke arah barat sampai ke Tlogosari. Dan dari masyarakat Tlogosari, Haul Mbah Suro Diharjo di adakan tanggal 1 s/d 6 Muharram setiap tahunnya. Kegiatan Haul tersebut meliputi buka luwur (selambu), Hataman Al-Qur’an bil ghoib dan bin nadhor putra putri dari putra daerah Tlogosari dan sekitarnya. Juga diadakan pawai akbar, pasar malam, dan ditutup dengan Pengajian akbar.
Dalam cerita sejarah yang di tulis, kebenaran adalah murni dari Allah, adapun kesalahan dan kekeliruan adalah sifat dari manusia. Semoga bermanfaat mengambil pelajaran dari sejarah para Waliyullah.
Post a Comment Blogger Disqus