Hobi beliau selain istiqomah sunnah rowatib, juga puasa sampai beliau wafat, sowan ke kyai-kyai sepuh seperti Mbah Abdul Hamid Kajoran Magelang, Mbah Yunus Banyuwangi, Mbah Nur Moga Tegal, Mbah Arwani Kudus, Kyai Muhammad Sedayu, dan lain sebagainya. Motto beliau adalah sabar, neriman (menerima takdir), loman (dermawan), akas (ulet), temen (sungguh-sungguh), ngalah (mengalah). “Pondok Laku” begitu masyarakat menyebut pondoknya. Tak heran santri-santrinya yang mondok tidak diajari membaca kitab tapi dilatih bertukang, ke sawah, kerja dan beribadah.
Beliau paling jengkel dengan orang kaya yang pelit. Ada kisah, suatu saat ada Hartawan daerah Tuban-Bojonegoro didatangi beliau dengan tujuan “ditarik zakatnya”.
Beliau dawuh, “Ji, riko (kamu) sudah waktunya ikhrojuzzakat 2,5%”, Tegur Abah Toyib ke hartawan udang bandeng tersebut. Akhirnya Abah Toyib keluar dari rumah hartawan itu tanpa berkata apapun. Sesampai di dalam mobil, Abah Toyib berbisik kepada khodam (sopir),”Titenono omonganku, gak sampek rong tahun, kaji sugih iki entek bondo dunyone, soale wes pelit ngetokno zakat”. (Pegang omonganku, tidak sampai dua tahun, Kaji Hartawan ini habis hartanya, karena sudah tidak mau mengeluarkan zakat).
Tak lama berselang, hartawan tersebut bangkrut, udang bandengnya terserang hama, Kaji yang Hartawan tadi langsung terkena stroke dan meninggal. Lalu disusul istrinya meninggal pula. Kesemuanya itu terjadi tidak sampai 2 tahun. Wallahu A’lam.
Abah Thoyib wafat kira-kira di usia 90-an pada tahun 2003-2004-an.
Lahu Al-Faatihah.
Sumber : Ahmad Karomi Posting di: https://fahmialinh.wordpress.com/
Post a Comment Blogger Disqus