“Rabithah Mursyid, artinya Murid merekam sosok Syaikh yang mengajari dzikir dalam pikirannya, seakan beliau hadir ada dihadapan dirinya dengan wajah yang memancarkan cahaya, sembari ia mengharap Syaikh mentransfer cahayanya itu masuk kedalam hatinya “
Bagaimana seorang Murid membuat suasana kebatinannya tidak pernah lepas dari kehadiran Syaikh, dimanapun, kapanpun, saat apapun, itulah Rabithah. Semakin kuat dan komitmen (istiqamah) Rabithahnya, maka kenThorikotannya semakin bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya.
Dengan penjelasan sederhana, Habib Luthfi berkata: “Murid dalam khayalnya membayangkan ujung Imamah Gurunya saja, itu sudah Rabithoh!“
Lalu kepada siapakah murid hendak menghadapkan Robithahnya?. Jawabnya adalah kepada Syaikh yang Kamil yang mana dia berlabuh Thariqahnya disana. Berrabithah kepada Syaikh yang belum kamil keadaannya tidak akan memberi banyak manfaat, dan hal ini diakhir jaman yang paling banyak menjadi halangan seorang Murid dalam mencari kesempurnaan Suluknya, karena dia berrobithah terhadap Syaikh yang tidak semestinya.
Salah seorang suatu hari mendapat Bai’at sebuah Thariqah oleh seorang Syaikh yang terkenal. Terkenal tidak hanya di dalam negeri tetapi kesyaikhannya telah diakui oleh Ulama di luar negeri. Meskipun pengakuan kesyaikhan beliau lebih kepada kemahiran dalam ilmu-ilmu Dhahir seperti Tafsir ataupun Ushuluddin.
Akibatnya, ia yang hanya dibekali sebuah kitab Tarikat standar untuk dipelajari tersebut menjadi bingung saat dirinya bersinggungan dengan Rabithah. Sampai kebingungannya membuatnya bertanya:
“Bolehkah jika aku berrabithah itu menghadapkan hatiku kepada Nabi Ibrahim? kepada Nabi Muhammad SAW? “
Sebuah pertanyaan yang mencerminkan kekurangtahuan dirinya akan seluk-beluk Suluk dalam Tarikat, sebagai imbas Bai’at Tabarruk yang dianggap / dijalani sebagai Bai’at Suluk. Hal-hal seperti inilah yang membuat di akhir jaman banyak amaliyah para pelaku Tarikat tidak menghasilkan kemuliaan spiritual yang sempurna dikarenakan telah salah dari Ushulnya, dari pokok Tarikatnya, terutama dalam hal Robithah.
“Lau ghoba anni Rasulullah SAW thoorfata ‘ainin ma adidtu nafsi minal Muslimin“ Kata Al Imam al Quthb Umar bin Abdirrahman al Athas. Artinya, andai satu kejap mata saja, Rasulullah SAW hilang dari pandanganku, maka niscaya aku tidak lagi menganggap diriku sebagai seorang Mukmin (yang sejati).
Selain manfaat utama Rabithah adalah sebuah sarana terbaik untuk mentansfer kemuliayaan Syaikh kedalam diri Muridnya, Rabithah setidaknya menjadi benteng keistiqomahan Murid didalam lelaku suluknya.
Habibana Salim tentu ada di Hadromut saat itu dan seseorang itu ada di Jawa. Tetapi pertautan ruh hati murid (yakni dirinya) dengan Syaikh (yakni Habibana Salim) membuat jarak dan hijab tidak lagi berarti. Pertolongan Syaikh datang seketika, menghindarkan dirinya dari kemaksiatan yang akan dilakukannya.
Syaikh Abdullah Al Khaniy sampai menguraikan Rabithah dalam kitab beliau Bahjatus Saniyyah fi Adabit Thariqah tidak kurang dari 4 halaman penuh. Dari awal uraian hingga akhir bahasan beliau uraikan dengan bahasa serta istilahul qaum. Tidak mudah untuk menangkap maknanya apalagi memahaminya, kecuali bagi para ahlinya.
Al Imam Ubaidillah Al Ahrar berkata:
Al Imam Alhabib Idrus bin Umar Al Habasyi Dalam Iqdul Yawaqit berkata:
Kisah mengharu biru tentang Rabithah, Ta’alluq, Mahabbah yang dahsyat tercerminkan dalam kisah Sayyidina Bilal dan Penduduk Madinah berikut ini.
Dikisahkan, ketika Khaliffah Umar bin Khattab ada di Syam dan Sahabat Bilal turut bersamanya, Sayyidina Bilal meminta ijin Khalifah untuk menetap di sana. Sayyidina Umar mengijinkan. Kemudian sesudah sekian lama bermukim di Syam, Sayyidina Bilal bemimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW.
Sayyidina Bilal seketika bergegas kembali menuju kota Madinah. Dan di Madinah ia bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain radhiyallhu anhuma. Serta merta ia cium kening kedua cucu Nabi tersebut, sebagaimana dulu Rasulullah SAW mencium kedua kening itu saat keduanya masih berusia belia.
Sayyidina Hasan berkata kepadanya:
“Adzanlah engkau, wahai bilal, dengan suara yang persis saat engkau adzan dihadapan Rasulullah SAW“
Sayyidina Bilal pun beradzan. Ketika suaranya melengking, ALLOOHU AKBAR ALLOOHU AKBAR! Kota Madinah menjadi gempar. Para penghuninya berhamburan keluar!
Kisah ini menunjukkan bentuk-bentuk Ta’alluq dan Rabithah yang sempurna.
Sayyidina Hasan dan Husain saat melihat Sayyidina Bilal, maka menguatlah kembali Rabithah keduanya kepada Baginda Nabi SAW. Desakan jalinan Ruhiyyah keduanya terhadap sang kakek membuat Sayyidina Hasan mencari cara, mencari washithah untuk menumbuhkan kekuatan Rabitahnya dengan Baginda Rasulullah SAW seraya berkata:
Para penduduk Madinah pada awalnya seperti “terlupa” akan keindahan Rasulullah SAW, sampai kemudian terdengar suara Adzannya Rasulullah SAW melalui Sayyidina Bilal, membuat mereka malah menjadi “lupa daratan“ , sampai dikisahkan seluruh penduduk Madinah menangis haru sekaligus sedih, begitu mendengar Adzan tersebut.
Haru hati mereka, menyangka Rasulullah SAW seperti hidup kembali dalam khayalan mereka, tetapi bersedih kemudian saat disadari masa-masa itu telah pergi.
Maka jelas bagaiman para Syaikh Tarikat mengungkapkan Rabithah itu sebagai gambaran sebuah Ta’alluq hati seorang Murid dengan Syaikhnya. Gambaran Mahabbah Murid kepada Syaikhnya. Sebagaimna kisah Sayyidina Bilal diatas.
Serang Murid yang melihat amaliyah yang terpuji dari Syaikhnya, melihat perjalanan hidupnya yang terpuji dari syaikhnya, maka melihatnya dia itu akan menguatkan Ta’alluqnya kepada Syaikh.
Jika Murid menghadirkan, menghadapkan Ruhaniyyah dirinya kepada Syaikh, maka hadirlah Ruhaniyyah Syaikh kepadanya dan Allah Ta’ala menjadikan Ruhaniyah Syaikhnya tersebut sebagai perantara turunnya Madad yang Allah berikan kepada dirinya.
Sebagai penutup tentang Rabithah, sangat penting bagi kita untuk mengetahui beberapa adab Rabithah sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Al Khoniy dalam al Bahjahnya. Beliau berkata:
- Hendaklah Murid berkeyakinan bahwa kesempurnaan kemuliaan Syaikh selalu ada dalam Ruhaniyyah Syaikh dan sama sekali tidak pernah terpisah darinya.
- Ruhaniyyah syaikh tidak terbatasi oleh ruang waktu, maka di tempat manapun dia menghadirkan Syaikhnya, maka Ruhaniyyah Syaikh selalu hadir disana.
- Murid berkeyakinan bahwa apa yang dia peroleh dari Tasarruf Ruhaniyyah Syaikhnya, semuanya datang dari Allah Ta’ala.
- Hendaklah Murid menjaga kecintaan yang mendalam kepada Syaikhnya.
- Hendaknya Murid selalu menjaga nisbat ketarikatan Syaikhnya, untuk selalu melekat dalam dirinya didalam keadaan apapun
- Hendaklah Murid tidak mengendurkan Rabithahnya saat dia mencapai sebuah Khal (keadaan spiritual) sebelum dirinya mampu menguasai Akhwal tersebut. Karena jika dia meninggalkan Rabithahnya maka Akhwalnya pun akan pergi juga. Karena keadaan spiritual yang dirasakan Murid tersebut adalah Keadaan Spiritual Syaikhnya, layaknya sebuah pinjaman untuknya.
- Murid hendaknya senantiasa ber Rabithah di seluruh waktunya, dan sama sekali tidak meninggalkannya.
Karena sibuk berRobithah disaat seperti itu sama halnya beranjak turun dari ketaraqqiyan (kenaikan derajat yang tinggi yang diberikan untuknya).
Meskipun karena telah wajib meninggalkan Rabithah, Murid tetap wajib memelihara Mahabbahnya kepada Syaikhnya dan sama sekali tidak meninggalkan Nisbat Tarikatnya kepada Tarikat Syaikhnya, karena dengan kadar pemeliharaan Mahabbah dan Nisbat keterikatannya itulah dia akan semakin bertambah Musyahadahnya dan semakin menghantarkan dirinya ke maqam Unsi wal Muhadatsah (billah).“
Amin ya Rabbal alamin.
Assalamu'alaikum...boleh kah saya save tulisannya tuan ?
ReplyDeleteAllahu Akbar, penjelasan yg blm saya temukan.Terimakasih atas penjelasan Rabithah.
ReplyDelete.