Syaikhina Kyai Muhammad Hambali Sumardi dalam Risalah Mubarokah beliau, buku saku kecil tentang Tarekat Naqsyabandiyah yang beliau tulis atas perintah Sang Mursyid, Syaikh Muhammad Arwani Amin Sa’id saat menerangkan tentang Rabithah, dengan bernas beliau berkata:
“Rabithah Mursyid, artinya Murid merekam sosok Syaikh yang mengajari dzikir dalam pikirannya, seakan beliau hadir ada dihadapan dirinya dengan wajah yang memancarkan cahaya, sembari ia mengharap Syaikh mentransfer cahayanya itu masuk kedalam hatinya “
Bagaimana seorang Murid membuat suasana kebatinannya tidak pernah lepas dari kehadiran Syaikh, dimanapun, kapanpun, saat apapun, itulah Rabithah. Semakin kuat dan komitmen (istiqamah) Rabithahnya, maka kenThorikotannya semakin bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya.
Dengan penjelasan sederhana, Habib Luthfi berkata: “Murid dalam khayalnya membayangkan ujung Imamah Gurunya saja, itu sudah Rabithoh!“
Lalu kepada siapakah murid hendak menghadapkan Robithahnya?. Jawabnya adalah kepada Syaikh yang Kamil yang mana dia berlabuh Thariqahnya disana. Berrabithah kepada Syaikh yang belum kamil keadaannya tidak akan memberi banyak manfaat, dan hal ini diakhir jaman yang paling banyak menjadi halangan seorang Murid dalam mencari kesempurnaan Suluknya, karena dia berrobithah terhadap Syaikh yang tidak semestinya.
Salah seorang suatu hari mendapat Bai’at sebuah Thariqah oleh seorang Syaikh yang terkenal. Terkenal tidak hanya di dalam negeri tetapi kesyaikhannya telah diakui oleh Ulama di luar negeri. Meskipun pengakuan kesyaikhan beliau lebih kepada kemahiran dalam ilmu-ilmu Dhahir seperti Tafsir ataupun Ushuluddin.
“Rabithah Mursyid, artinya Murid merekam sosok Syaikh yang mengajari dzikir dalam pikirannya, seakan beliau hadir ada dihadapan dirinya dengan wajah yang memancarkan cahaya, sembari ia mengharap Syaikh mentransfer cahayanya itu masuk kedalam hatinya “
Bagaimana seorang Murid membuat suasana kebatinannya tidak pernah lepas dari kehadiran Syaikh, dimanapun, kapanpun, saat apapun, itulah Rabithah. Semakin kuat dan komitmen (istiqamah) Rabithahnya, maka kenThorikotannya semakin bertambah nilainya. Begitu juga sebaliknya.
Dengan penjelasan sederhana, Habib Luthfi berkata: “Murid dalam khayalnya membayangkan ujung Imamah Gurunya saja, itu sudah Rabithoh!“
Lalu kepada siapakah murid hendak menghadapkan Robithahnya?. Jawabnya adalah kepada Syaikh yang Kamil yang mana dia berlabuh Thariqahnya disana. Berrabithah kepada Syaikh yang belum kamil keadaannya tidak akan memberi banyak manfaat, dan hal ini diakhir jaman yang paling banyak menjadi halangan seorang Murid dalam mencari kesempurnaan Suluknya, karena dia berrobithah terhadap Syaikh yang tidak semestinya.
Salah seorang suatu hari mendapat Bai’at sebuah Thariqah oleh seorang Syaikh yang terkenal. Terkenal tidak hanya di dalam negeri tetapi kesyaikhannya telah diakui oleh Ulama di luar negeri. Meskipun pengakuan kesyaikhan beliau lebih kepada kemahiran dalam ilmu-ilmu Dhahir seperti Tafsir ataupun Ushuluddin.
Rupanya ia hanya mendapatkan Bai’at Tabarruk tarikat saja, karena Syaikh yang bersangkutan hanya membaiatnya dan “meninggalkan” dia begitu saja tanpa memberi pengarahan, Irsyad atau pengajaran Sulukan.
Akibatnya, ia yang hanya dibekali sebuah kitab Tarikat standar untuk dipelajari tersebut menjadi bingung saat dirinya bersinggungan dengan Rabithah. Sampai kebingungannya membuatnya bertanya:
Akibatnya, ia yang hanya dibekali sebuah kitab Tarikat standar untuk dipelajari tersebut menjadi bingung saat dirinya bersinggungan dengan Rabithah. Sampai kebingungannya membuatnya bertanya:
“Bolehkah jika aku berrabithah itu menghadapkan hatiku kepada Nabi Ibrahim? kepada Nabi Muhammad SAW? “
Sebuah pertanyaan yang mencerminkan kekurangtahuan dirinya akan seluk-beluk Suluk dalam Tarikat, sebagai imbas Bai’at Tabarruk yang dianggap / dijalani sebagai Bai’at Suluk. Hal-hal seperti inilah yang membuat di akhir jaman banyak amaliyah para pelaku Tarikat tidak menghasilkan kemuliaan spiritual yang sempurna dikarenakan telah salah dari Ushulnya, dari pokok Tarikatnya, terutama dalam hal Robithah.
Sesungguhnya Rabithah adalah (termasuk) bagian terpenting dalam lelaku suluk Tarekat. Pembahasannya sangat dalam. Serba-serbi Rabithah sama agung dan sama rumitnya dengan Tariqah, bahkan seakan-akan Rabithah adalah ‘mukh’ atau saripati Tariqah itu sendiri.
“Lau ghoba anni Rasulullah SAW thoorfata ‘ainin ma adidtu nafsi minal Muslimin“ Kata Al Imam al Quthb Umar bin Abdirrahman al Athas. Artinya, andai satu kejap mata saja, Rasulullah SAW hilang dari pandanganku, maka niscaya aku tidak lagi menganggap diriku sebagai seorang Mukmin (yang sejati).
“Lau ghoba anni Rasulullah SAW thoorfata ‘ainin ma adidtu nafsi minal Muslimin“ Kata Al Imam al Quthb Umar bin Abdirrahman al Athas. Artinya, andai satu kejap mata saja, Rasulullah SAW hilang dari pandanganku, maka niscaya aku tidak lagi menganggap diriku sebagai seorang Mukmin (yang sejati).
Begitulah wujud Rabithah.
Selain manfaat utama Rabithah adalah sebuah sarana terbaik untuk mentansfer kemuliayaan Syaikh kedalam diri Muridnya, Rabithah setidaknya menjadi benteng keistiqomahan Murid didalam lelaku suluknya.
Bagaimana seorang Murid dapat menjadi kendur berdzikir jika dia selalu merasa diawasi oleh Syaikhnya? Bagaimana seorang Murid dapat berlaku lalai / bermaksiat jika dia selalu merasa ada dihadapan Syaikhnya?
Tidaklah seorang Murid mengalami Fatrah, kehilangan daya dalam berdzikir / tidaklah seorang murid lalai sehingga terjerumus kedalam kemaksiyatan kecuali kendali Rabithah dalam hatinya telah mengendur.
Seseorang setelah beberapa saat sesudah ber’bai’at’ amaliayah-amaliyah Tarekat Alawiyyah (melalui salah satu Murid Habibana Salim As Syathiriy) keadaan ruhaniyahnya bertranformasi menjadi keadaan yang menakjubkan. Ikatan hatinya kepada Habibana Salim menjadi kuat. Padahal dirinya tidak secara langsung berbaiat kepada beliau.
Habibana Salim tentu ada di Hadromut saat itu dan seseorang itu ada di Jawa. Tetapi pertautan ruh hati murid (yakni dirinya) dengan Syaikh (yakni Habibana Salim) membuat jarak dan hijab tidak lagi berarti. Pertolongan Syaikh datang seketika, menghindarkan dirinya dari kemaksiatan yang akan dilakukannya.
Habibana Salim tentu ada di Hadromut saat itu dan seseorang itu ada di Jawa. Tetapi pertautan ruh hati murid (yakni dirinya) dengan Syaikh (yakni Habibana Salim) membuat jarak dan hijab tidak lagi berarti. Pertolongan Syaikh datang seketika, menghindarkan dirinya dari kemaksiatan yang akan dilakukannya.
Itulah contoh faidah sederhana dari Rabithah. Sedangkan hakekat nilai Rabithah yang sebenarnya, maka sungguh pena tidak akan mampu menuliskannya. Lisan-lisan tidak akan mampu menuturkannya, saking banyak dan agung nilainya.
Syaikh Abdullah Al Khaniy sampai menguraikan Rabithah dalam kitab beliau Bahjatus Saniyyah fi Adabit Thariqah tidak kurang dari 4 halaman penuh. Dari awal uraian hingga akhir bahasan beliau uraikan dengan bahasa serta istilahul qaum. Tidak mudah untuk menangkap maknanya apalagi memahaminya, kecuali bagi para ahlinya.
Syaikh Abdullah Al Khaniy sampai menguraikan Rabithah dalam kitab beliau Bahjatus Saniyyah fi Adabit Thariqah tidak kurang dari 4 halaman penuh. Dari awal uraian hingga akhir bahasan beliau uraikan dengan bahasa serta istilahul qaum. Tidak mudah untuk menangkap maknanya apalagi memahaminya, kecuali bagi para ahlinya.
Berikut dari beberapa sumber, menukilkan makna-makna Rabithah dengan bahasa yang sederhana, agar orang-orang awam dan para murid yang dhaif seperti diri saya sendiri ini dapat sedikit mengerti.
Al Imam Ubaidillah Al Ahrar berkata:
Al Imam Ubaidillah Al Ahrar berkata:
“Yang dikehendaki dari Rabithah adalah kecintaan kepada Syaikh.“
Al Imam Alhabib Idrus bin Umar Al Habasyi Dalam Iqdul Yawaqit berkata:
Al Imam Alhabib Idrus bin Umar Al Habasyi Dalam Iqdul Yawaqit berkata:
“Tata cara Rabithah sebagaimana yang dikehendaki oleh Kaum Sufiyyah adalah pertautan hati (seorang Murid) kepada Syaikh.
Ba’dhus Sufiyyah berkata bahwa bagian paling agung dari Suluk adalah Rabithahnya hati Murid dengan syaikhnya dengan dilimputi rasa Mahabbah serta Ta’dhim dan selalu menghadirkan sosok Syaikh dalam fikiran (hatinya) “
Kisah mengharu biru tentang Rabithah, Ta’alluq, Mahabbah yang dahsyat tercerminkan dalam kisah Sayyidina Bilal dan Penduduk Madinah berikut ini.
Kisah mengharu biru tentang Rabithah, Ta’alluq, Mahabbah yang dahsyat tercerminkan dalam kisah Sayyidina Bilal dan Penduduk Madinah berikut ini.
Dikisahkan, ketika Khaliffah Umar bin Khattab ada di Syam dan Sahabat Bilal turut bersamanya, Sayyidina Bilal meminta ijin Khalifah untuk menetap di sana. Sayyidina Umar mengijinkan. Kemudian sesudah sekian lama bermukim di Syam, Sayyidina Bilal bemimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW.
“Wahai Bilal, apa gerangan perbuatan “buruk” mu ini, engkau menjauh dariku?“
Sayyidina Bilal seketika bergegas kembali menuju kota Madinah. Dan di Madinah ia bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain radhiyallhu anhuma. Serta merta ia cium kening kedua cucu Nabi tersebut, sebagaimana dulu Rasulullah SAW mencium kedua kening itu saat keduanya masih berusia belia.
Sayyidina Hasan berkata kepadanya:
Sayyidina Bilal seketika bergegas kembali menuju kota Madinah. Dan di Madinah ia bertemu dengan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain radhiyallhu anhuma. Serta merta ia cium kening kedua cucu Nabi tersebut, sebagaimana dulu Rasulullah SAW mencium kedua kening itu saat keduanya masih berusia belia.
Sayyidina Hasan berkata kepadanya:
“Adzanlah engkau, wahai bilal, dengan suara yang persis saat engkau adzan dihadapan Rasulullah SAW“
Sayyidina Bilal pun beradzan. Ketika suaranya melengking, ALLOOHU AKBAR ALLOOHU AKBAR! Kota Madinah menjadi gempar. Para penghuninya berhamburan keluar!
Terdengar kemudian suara Sayyidina Bilal, ASHADU ALLAILAHA ILLALLOH…! Para kaum Wanita semua keluar dari rumahnya masing-masing berlarian menuju Masjid, tanpa sadar keluar tanpa mengenakan kerudung-kerudungnya, terhipnotis suara Adzan yang mengingatkan mereka saat-saat terdahulu hidup bersama Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Kisah ini menunjukkan bentuk-bentuk Ta’alluq dan Rabithah yang sempurna.
Kisah ini menunjukkan bentuk-bentuk Ta’alluq dan Rabithah yang sempurna.
Pertama, menunjukkan betapa pertautan hati antara Rasulullah SAW dengan Sayyidina Bilal begitu kuatnya. Bahkan kemuliaan bagi Sayyidina Bilal saat Rasulullah SAW sendiri yang menariknya ke wilayah pertautan itu dengan perkataan beliau dalam mimpinya:
“MA HADZAL JAFA, YA BILAL? ABTHOYTA ‘ANNA? “
Sayyidina Hasan dan Husain saat melihat Sayyidina Bilal, maka menguatlah kembali Rabithah keduanya kepada Baginda Nabi SAW. Desakan jalinan Ruhiyyah keduanya terhadap sang kakek membuat Sayyidina Hasan mencari cara, mencari washithah untuk menumbuhkan kekuatan Rabitahnya dengan Baginda Rasulullah SAW seraya berkata:
Sayyidina Hasan dan Husain saat melihat Sayyidina Bilal, maka menguatlah kembali Rabithah keduanya kepada Baginda Nabi SAW. Desakan jalinan Ruhiyyah keduanya terhadap sang kakek membuat Sayyidina Hasan mencari cara, mencari washithah untuk menumbuhkan kekuatan Rabitahnya dengan Baginda Rasulullah SAW seraya berkata:
“ADZIN BIS SHOUTIL LDHI KUNTA TUADH DHIN BIHI LIROSULILLAHI SAW..”
Para penduduk Madinah pada awalnya seperti “terlupa” akan keindahan Rasulullah SAW, sampai kemudian terdengar suara Adzannya Rasulullah SAW melalui Sayyidina Bilal, membuat mereka malah menjadi “lupa daratan“ , sampai dikisahkan seluruh penduduk Madinah menangis haru sekaligus sedih, begitu mendengar Adzan tersebut.
Haru hati mereka, menyangka Rasulullah SAW seperti hidup kembali dalam khayalan mereka, tetapi bersedih kemudian saat disadari masa-masa itu telah pergi.
Maka jelas bagaiman para Syaikh Tarikat mengungkapkan Rabithah itu sebagai gambaran sebuah Ta’alluq hati seorang Murid dengan Syaikhnya. Gambaran Mahabbah Murid kepada Syaikhnya. Sebagaimna kisah Sayyidina Bilal diatas.
Para penduduk Madinah pada awalnya seperti “terlupa” akan keindahan Rasulullah SAW, sampai kemudian terdengar suara Adzannya Rasulullah SAW melalui Sayyidina Bilal, membuat mereka malah menjadi “lupa daratan“ , sampai dikisahkan seluruh penduduk Madinah menangis haru sekaligus sedih, begitu mendengar Adzan tersebut.
Haru hati mereka, menyangka Rasulullah SAW seperti hidup kembali dalam khayalan mereka, tetapi bersedih kemudian saat disadari masa-masa itu telah pergi.
Maka jelas bagaiman para Syaikh Tarikat mengungkapkan Rabithah itu sebagai gambaran sebuah Ta’alluq hati seorang Murid dengan Syaikhnya. Gambaran Mahabbah Murid kepada Syaikhnya. Sebagaimna kisah Sayyidina Bilal diatas.
Al Imam Quthbul Irsyad Al Habib Abdullah al Haddad menjawab pertanyaan tentang Faidah Ta’alluq serta Rabithah kepada Syaikh:
“Dengan melihat Syaikh, Menta’dziminya dan berbaik sangka kepadanya, seorang murid, (sadar / tidak sadar dirinya), keadaan spiritualnya dapat beranjak naik. Dan dia akan menerima kemanfaatan hal tersebut jauh lebih banyak dari naiknya spiritual dirinya karena mujahadah atau amal-amal ibadahnya.
Namun jika Mujahadah, Amal Ibadah bersatu dengan wujudnya Ta’allauq tersebut dalam diri seorang Murid maka jauh lebih patutlah keadaan spiritualnya naik ke tangga yang lebih tinggi dan jauh lebih banyak kemanfaatan yang dia dapati.
Serang Murid yang melihat amaliyah yang terpuji dari Syaikhnya, melihat perjalanan hidupnya yang terpuji dari syaikhnya, maka melihatnya dia itu akan menguatkan Ta’alluqnya kepada Syaikh.
Serang Murid yang melihat amaliyah yang terpuji dari Syaikhnya, melihat perjalanan hidupnya yang terpuji dari syaikhnya, maka melihatnya dia itu akan menguatkan Ta’alluqnya kepada Syaikh.
Kesimpulannya adalah yang paling bermanfaat bagi Murid adalah totalitas ta’alluqnya serta Husnudhonnya kepada Syaikh.
Jika Murid hanya memiliki sedikit kemujahadahan dalam suluk dan sedikit pula tawajjuh (berdzikir secara khusyu') yang ada dalam dirinya, namun dia memiliki totalitas Taalluq dan Husnudhdhon tersebut, maka hasil yang akan dia peroleh sangat banyak. Begitu juga sebaliknya“
Syaikh Afifuddin Abdullah bin Ahmad Basaudan berkata:
“Jika seorang Murid tidak dapat bersua / berkumpul dengan Syaikh, tidak dapat pula dia melaporkan keadaan spiritualnya langsung di hadapan Syaikh, maka hendaklah dia hadapkan hatinya kepada Syaikhnya karena jangkauan spiritual (arwah) syaikh itu melingkupi seluruh tempat.
Janganlah jarak yang jauh antara Murid dengan Syaikh, membuat hati murid berpaling dari Ruhaniyyahnya, menjauh dari Ta’alluq dengan Syaikhnya.
Sebesar apa ta’alluq Ruhaniyyah Murid dengan Ruhaniyyah gurunya maka sebesar itu Madad (keberkahan) diperoleh Murid dari gurunya.
Jika Murid menghadirkan, menghadapkan Ruhaniyyah dirinya kepada Syaikh, maka hadirlah Ruhaniyyah Syaikh kepadanya dan Allah Ta’ala menjadikan Ruhaniyah Syaikhnya tersebut sebagai perantara turunnya Madad yang Allah berikan kepada dirinya.
Jika Murid menghadirkan, menghadapkan Ruhaniyyah dirinya kepada Syaikh, maka hadirlah Ruhaniyyah Syaikh kepadanya dan Allah Ta’ala menjadikan Ruhaniyah Syaikhnya tersebut sebagai perantara turunnya Madad yang Allah berikan kepada dirinya.
Sesungguhnya segala sesuatunya itu datangnya dari Allah, namun setitik sir dari hikmah kebijaksanaan Allah adalah Allah jadikan rejeki-rejeki itu turun dari perantara buah tangan makhlukNya di muka bumi.
Maka hendaklah Murid berada di depan pintu rejekinya, yaitu Syaikhnya tersebut karena pintunya yang itu adalah pintu yang agung yang disediakan untuk dirinya…”
Sebagai penutup tentang Rabithah, sangat penting bagi kita untuk mengetahui beberapa adab Rabithah sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Al Khoniy dalam al Bahjahnya. Beliau berkata:
Sebagai penutup tentang Rabithah, sangat penting bagi kita untuk mengetahui beberapa adab Rabithah sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Al Khoniy dalam al Bahjahnya. Beliau berkata:
“Adapun adab Rabithah adalah:
- Hendaklah Murid berkeyakinan bahwa kesempurnaan kemuliaan Syaikh selalu ada dalam Ruhaniyyah Syaikh dan sama sekali tidak pernah terpisah darinya.
- Ruhaniyyah syaikh tidak terbatasi oleh ruang waktu, maka di tempat manapun dia menghadirkan Syaikhnya, maka Ruhaniyyah Syaikh selalu hadir disana.
- Murid berkeyakinan bahwa apa yang dia peroleh dari Tasarruf Ruhaniyyah Syaikhnya, semuanya datang dari Allah Ta’ala.
- Hendaklah Murid menjaga kecintaan yang mendalam kepada Syaikhnya.
- Hendaknya Murid selalu menjaga nisbat ketarikatan Syaikhnya, untuk selalu melekat dalam dirinya didalam keadaan apapun
- Hendaklah Murid tidak mengendurkan Rabithahnya saat dia mencapai sebuah Khal (keadaan spiritual) sebelum dirinya mampu menguasai Akhwal tersebut. Karena jika dia meninggalkan Rabithahnya maka Akhwalnya pun akan pergi juga. Karena keadaan spiritual yang dirasakan Murid tersebut adalah Keadaan Spiritual Syaikhnya, layaknya sebuah pinjaman untuknya.
- Murid hendaknya senantiasa ber Rabithah di seluruh waktunya, dan sama sekali tidak meninggalkannya.
Dan ketahuilah, seorang Murid membutuhkan Rabithah itu jika dirinya belum dapat mampu meraih guyuran madad serta kemuliaan langsung dari Allah Ta’ala tanpa perantara apapun.
Jika Murid telah mampu menerima Fuyudhotul Ilahiyyahnya langsung dari Allah Ta’ala maka wajib baginya meninggalkan Robithah.
Karena sibuk berRobithah disaat seperti itu sama halnya beranjak turun dari ketaraqqiyan (kenaikan derajat yang tinggi yang diberikan untuknya).
Karena sibuk berRobithah disaat seperti itu sama halnya beranjak turun dari ketaraqqiyan (kenaikan derajat yang tinggi yang diberikan untuknya).
Dan dianggap mementingkan Hijab-Hijab, mengalahkan Maqam Syuhudnya. Hal itu sama artinya dengan dirinya I’radh / berpaling dari Allah Ta’ala.
Meskipun karena telah wajib meninggalkan Rabithah, Murid tetap wajib memelihara Mahabbahnya kepada Syaikhnya dan sama sekali tidak meninggalkan Nisbat Tarikatnya kepada Tarikat Syaikhnya, karena dengan kadar pemeliharaan Mahabbah dan Nisbat keterikatannya itulah dia akan semakin bertambah Musyahadahnya dan semakin menghantarkan dirinya ke maqam Unsi wal Muhadatsah (billah).“
Meskipun karena telah wajib meninggalkan Rabithah, Murid tetap wajib memelihara Mahabbahnya kepada Syaikhnya dan sama sekali tidak meninggalkan Nisbat Tarikatnya kepada Tarikat Syaikhnya, karena dengan kadar pemeliharaan Mahabbah dan Nisbat keterikatannya itulah dia akan semakin bertambah Musyahadahnya dan semakin menghantarkan dirinya ke maqam Unsi wal Muhadatsah (billah).“
Meskipun diri kita bukanlah bagian dari kaum-kaum yang ahli di dalamnya, tetapi (sebagaimana kalam Syaikhit Tariqah al Imama Junaid ra), rasa Tasdiq, cinta serta Taslim kita kepada Para Sufiyyah beserta Khaliyah-khaliyah mereka itu dapat memasukkan kita kedalam naungan syafa’at serta Madad mereka semua.
Amin ya Rabbal alamin.
Amin ya Rabbal alamin.
Assalamu'alaikum...boleh kah saya save tulisannya tuan ?
ReplyDeleteAllahu Akbar, penjelasan yg blm saya temukan.Terimakasih atas penjelasan Rabithah.
ReplyDelete.