karena sibuk oleh cinta-Mu
Wahai dunia dan agamaku,
Kerinduan dalam hati dan jiwa
Kesemuanya adalah dari padaku
Sedang cinta dan Kekasihku
Telah menguasai seluruh dariku
Kata Sariy As-Saqthi selanjutnya: “Maksudku ingin mendekati wanita itu, tetapi penjaga menghalangiku”, seraya berkata: “Jangan coba-coba tuan mendekatinya, karena penyakit wanita itu amatlah berbahaya.
Setelah selesai subuh, keluarlah aku dari rumah tanpa maksud dan tujuan tertentu. Seraya kataku dalam hati: “Alangkah baiknya aku pergi menemui seorang penasehat, kalau-kalau hatiku bisa mendapatkan ketenangan dengan nasehat dan anjurannya”. Akan tetapi setelah aku sampai kesana, tiada yang ku dapatkan kecuali kegelisahan, kesumpekan dan kekerasan hati yang semakin bertambah.
Kata hatiku sekali lagi: “Aku akan pergi ke penjara untuk mengambil i’tibar(pelajaran) dari orang-orang yang mendapat hukuman”. setelah aku sampai kesana, masih juga hatiku tetap seperti biasa, tiada berubah juga, kemudian hatiku berkata lagi: “Lebih baik aku pergi ke rumah sakit jiwa saja, karena disana aku dapat mengambil i’tibar dengan orang-orang yang sedang mengalami cobaan”.
Setelah aku sampai di rumah sakit jiwa, tiba-tiba hatiku menjadi sadar dan teruslah aku masuk ke dalam.
Setibanya di dalam terlihat olehku seorang wanita jariyyah (hamba sahaya) yang sedang duduk di atas tempat tidur.
Wanita itu amatlah cantik, berpakaian indah dan dari badannya, aku mencium aroma yang sangat harum. Dia menundukkan kepalanya kepalanya kebawah, sedang kedua kaki dan tangannya di belenggu. Setelah dia melihatku, bercucuranlah air matanya.
Kemudian itu bertanyalah aku kepada wanita itu: “Hai wanita ”Labbaik hai Sariy“, jawabnya. Aku termangu keheranan karena ia mengenal akan namaku, lalu aku bertanya: “Dari mana engkau mengenal aku, padahal tiada pernah aku melihatmu?. Jawabnya: “Tuhan yang mengetahui segala yang ghaib, Dialah yang telah mengenalkan aku dengan engkau”.
Sebab apakah engkau dipenjarakan disini, padahal demikian tinggi ma’rifah (pengetahuan) dan keikhlasanmu dalam mencintai Dia’’ tanyaku.
Jawabnya: ”Mereka mengira aku gila, padahal merekalah yang lebih layak disebut gila”. Kemudian itu ia Menangis tersedu-sedu.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Tuhfah ” jawabnya.
Lalu kataku kepada penjaga rumah sakit itu, “Lepaskan belenggu itu dari tangan dan kakinya!” maka lalu dilepaskanlah.
Kemudian kami bercakap-cakap beberapa saat. Tiba-tiba datanglah Tuan pemilik jariyah itu. Setelah melihat kami, ia memberi salam penuh hormat padaku, lalu aku berkata kepadanya : “ Wanita itu lebih berhak mendapatkan kehormatan. Mengapa tuan berbuat begini dan apakah yang tiada menyenangkan tuan dari keadaan wanita itu?”.
Ia menjawab: “Ialah tangisannya yang tiada putus-putusnya siang dan malam, tiada mau tidur sama sekali dan kamipun tak dapat tidur karenanya”.
Demi Allah, wanita ini adalah barang daganganku yang kubeli 500 (lima ratus) dinar”
“Apakah pekerjaanya?” tanyaku.
“Dia ahli memainkan gambus” jawabnya.
Aku bertanya lagi: “ Bagaimana asal mulanya menjadi begitu?”.
Ia menjawab: “ketika ia menyanyi sambil memetik gambus dengan syairnya:
Penuh jiwa ragaku oleh kerinduan
Betapa ‘kan kudapat berkata,
Bercakap dan berjalan
Demi hak-Mu, janji itu takkan
Dilenyapkan zaman
Wahai yang tiada Tuhan melainkan Dia
Relakah Engkau kiranya melihatku
Sebagai seorang hamba bagi sesama manusia
Menjadikan Ia penganjurku, pada lidahku Ia
Mendekatkan daku, setelah menjauhkan dan menjadikan daku pilihan-Nya.
Setelah itu akupun pulang kembali kerumah dengan hati pilu, memikirkan jariyah Tuhfah itu.
Dipertengahan malam itu, datanglah orang mengetuk pintu rumahku, maka keluarlah aku. Kudapatkan lima orang laki-laki, maka segera kutanyai mereka,: “Apakah maksud kedatangan saudara-saudara sekalian kemari dimalam yang kelam kabut ini?”.
Salah seorang diantara mereka menjawab: “Kawan-kawan dijalan Allah ini sama datang berkunjung kemari dengan izin Allah, untuk sesuatu hal yang amat penting, semoga sudilah tuan memberi izin kepada kami masuk ke dalam rumah tuan”.
Setelah mereka masuk, terlihat olehku masing-masing ada membawa kantong yang berisikan dinar. Salah seorang diantara mereka bertanya kepadaku, katanya: “Adakah tuan mengenal saya?” “Tidak kenal”, jawabku. “Saya bernama Achmad Ibnu Mutsanna. Ketika saya sedang tidur, terdengar olehku suara ghaib, katanya: “Hai Ibnu Mutsanna, maukah engkau berbuat sesuatu kebaikan untuk Allah?”.
Kata Ibnu Mutsanna selanjutnya: “Maka setelah saya bangun, segeralah saya datang kemari untuk memenuhi apa yang telah diperintahkan kepada saya”.
Bekata Sariy As-Saqthi: “Maka bersujudlah aku karena bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang telah kuterima itu. Demikianlah, setelah fajar menyingsing, segera aku tegak sholat subuh, kemudian segera aku keluar menuju rumah sakit. Di muka pintu rumah sakit, kulihat si penjaga sudah tegak berdiri dan setelah melihat aku datang, bertanyalah ia kepadaku, katanya: “Tuan datang kemari untuk urusan Tuhfah, bukan?”. “Ya”, jawabku. Dan seterusnya lalu kuceritakan padanya apa yang telah terjadi antara aku dan pemilik wanita itu semalam dan segera aku masuk kerumah sakit itu. Demi Tuhfah melihat aku datang, menangislah ia dengan air mata yang bercucuran seraya bersyair, katanya:
Karena mencintai-Mu, tapi
Kini kesabaran itupun rupanya
Telah dekat masanya meninggalkan daku
Tak tersembunyi bagi-Mu
Segala urusan ini
Wahai harapan
Dan tempat memohon
Kuharapkan Engkau melepaskan
Beban perbudakan dan
Dijadikan aku manusia merdeka
Yang terlepas dari tawanan
“Hai tuan, bukankah tuan telah berjanji dengan saya kemarin itu?” kataku.
“Betul tuan”, katanya. ”Tetapi tuan tidak tahu apa yang terjadi. Ada beberapa cercaan atas diriku dari suara hati yang telah saya dengar
“Ketahuilah, bahwa wanita ini telah kumerdekakan karena Allah ta’ala, bahkan segala milik dan kekayaanku telah kusediakan semuanya untuk Allah ta’ala”.
Kata Sariy As-Saqthi: Aku telah menoleh kebelakang, tahu-tahu Ibnu Mutsanna sedang menangis di belakangku dengan sekuat-kuatnya, lalu aku bertanya kepadanya, “Apakah yang tuan tangiskan itu?”.
Jawabnya: “kalau begini kejadiannya, itulah suatu tanda bahwa Allah tidak ridha kepadaku”. “bukan begitu”, kataku, padahal perbuatan tuan telah di catat karena niat tuan yang baik itu. Niat itu adalah lebih baik dari pada amalannya”.
Kemudian itu berkatalah Ibnu Mutsanna: “Hai Sariy As-Saqthi, uang itu telah saya keluarkan untuk Allah Azza Wa Jalla, maka tak boleh dikembalikan lagi. Jadi uang itu dan sisa uang saya yang ada, semua telah saya sedekahkan. Begitu juga segala budak sahaya yang ada pada saya, telah saya merdekakan semuanya karena Allah Ta’ala. Kini saya akan kembali kepada Allah dan bertaubat dari dosa saya”.
Tiba-tiba Tuhfah tegak berdiri dan dilepaskannya pakaian-pakaiannya. Dia lalu menggantinya dengan pakaian yang terbuat dari bulu domba serta pergilah ia bersama-sama kami, seraya bersyair katanya:
Pujaan hati dan kesenanganku
Engkau adalah harapan dan tujuanku
Cahaya dari segala cahaya
Berapa banyak kulihat pecinta
Bersabar diri karena cinta dan
Berapa lama cinta berdiam
Bersinggasana didalam dada
Setelah itu berpisahlah kami dengan Tuhfah pergi sambil bersyair:
Dan aku lari dari-Nya kepada-Nya
Demi hak-Nya, harapan itu
Takkan ku tinggalkan selamanya
Hingga tercapai olehku
Cita-cita yang kupinta dari-Nya.
Sehingga pada suatu tahun, pergilah aku beserta bekas tuannya Tuhfah menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Ketika kami sedang mengerjakan thawaf dengan beberapa jama’ah, terdengar olehku suara duka dari seorang wanita yang memanggilku dengan suara yang sangat nyaring.
Setelah wanita itu melihat kami, ia pun bersyair:
Senantiasa menderita dan bersakit-sakit
Ia pun tak putus-putus dengan penyakit
Yang dari itu juga penyakitnya sembuh
Ia rindu karena cintanya
Nan tak mengharapkan kasih lainnya
Demikianlah tiap pecinta
Mengeluh merintih hingga berjumpa.
Tetap tak akan berubah
Jiwakupun tak akan merasa puas
Selamanya oleh rasa cinta kepada-Mu
Wahai harapan dari segala harapan
Hanya engkaulah harapanku
Tempat kerinduan dan rahasiaku
Bukankah Engkau petunjuk jalan
Bagi yang sesat dalam perjalanan
Penolong bagi mereka yang jatuh ke jurang.
"Apakah pemberian Allah kepadamu setelah engkau putuskan hubunganmu dengan makhluk?”.
Ia mejawab : “Dia menjadikan aku di dekat-Nya dan menghindarkan aku dari gangguan makhluk-Nya
Kemudian kataku lagi kepadanya: Tuhfah, Ahmad ibnu Mutsanna telah meninggal”.
Jawabnya : “Semoga Allah mengasihi dan mengampuninya. Kuharapkan dari Allah segala kebaikan dan kenikmatan untuknya dan semoga Allah membalasnya dari uang yang ia nafkahkan di jalan Allah itu dengan tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih dari itu”.
Kemudian itu ia berdo’a:
Sehabis berdo’a ia menghadap kiblat dan membaca dua kalimat syahadat, kemudian ia pun menghembuskan nafas terakhir kembali menemui Tuhan yang di rindukan dan di cintainya siang dan malam.
🥀💕💕
ReplyDelete💕🥀🥀
ReplyDeleteMasya alloh 💕🥀
ReplyDelete