Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu memberi nasehat:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat, maka wajib baginya mengabaikan dunia. Barangsiapa menghendaki Allah, maka wajib baginya mengabaikan kehidupan akhirat. Ia harus mencampakkan kehidupan duniawinya demi Rabbnya. Selama keinginan, kesenangan, dan upaya duniawi dan di dalam hatinya seperti makan, minum, berbusana, menikah, tempat tinggal, kendaraan, jabatan, ketinggian dalam pengetahuan tentang lima pilar ibadah dan hadis dan penghafalan al-Quran dengan segala bacaan, bahasa, dan segala retorikanya.
Begitu pula keinginan akan lenyapnya kemiskinan, datangnya kekayaan, berlalunya musibah, datangnya kesenangan, hilangnya kesulitan dan datangnya kemudahan—jika keinginan semacam itu masih bersemayam di dalam benak orang, maka itu tentu bukan seorang saleh, karena dalam segala hal ini ada kenikmatan bagi diri manusia dan keselarasan dengan kehendak jasmani, kesenangan jiwa dan kecintaannya. Hal-hal ini merupakan kehidupan duniawi, yang di dalamnya orang senang kebaikan, dan dengannya orang coba mendapatkan kepuasan dan ketentraman jiwa.
Orang harus berupaya meniadakan hal-hal ini dari hatinya, dan mempersiapkan diri untuk meniadakan semua ini dan menyirnakannya dari jiwa, dan berupaya bersenang dalam peluruhan dan kemiskinan, sehingga tiada lagi di dalam hatinya kesenangan mengisap biji kurma, sehingga pematangannya dari kehidupan duniawi menjadi suci.
Jika memang telah sempurna, maka segala duka cita hatinya dan kecemasan benaknya akan sirna, dan datanglah kepadanya kesenangan, kehidupan yang baik dan keintiman dengan Allah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw: “Mengabaikan dunia memberikan kenyamanan pada hati dan tubuh”. (HR At-Tabrani)
Tetapi, selama masih ada di dalam hatinya kesenangan kepada dunia ini, maka duka cita dan ketakutan tetap bersemayam di dalam hatinya, dan kehinaan mengiringnya, begitu pula keterhijaban dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung, oleh tabir tebal yang berlipat-lipat. Semua ini tak beranjak, kecuali melalui kecintaan akan dunia ini dan pemutusan darinya.
Kemudian ia harus berzuhud mengabaikan kehidupan akhirat juga agar ia tidak terjebak menghendaki kedudukan dan derajat tinggi, pembantu-pembantu cantik, rumah-rumah, kendaraan, busana, hiasan, makanan, minuman, dan hal-hal lain sejenisnya, yang disediakan oleh Allah Ta’ala bagi hamba-hamba beriman-Nya. Maka janganlah coba mendapatkan balasan, atau sesuatu tindakan, dari Allah Azza wa Jalla di dunia ini atau di akhirat.
Jika sudah demikian halnya, maka Allah akan memberi balasan sebagai rahmat dan kemurahan-Nya. Maka Ia akan mendekatkan kepada-Nya dan melimpahkan kelembutan-Nya, dan Ia memperkenalkan diri-Nya dengan pelbagai karunia dan kebajikan, sebagaimana Ia berlaku terhadap para Nabi dan utusan-Nya, terhadap kekasih-kekasih-Nya. Maka setiap hari, dalam hidupnya, urusannya kian sempurna, dan dibawalah ia ke akhirat untuk mengecap yang tak terlihat oleh mata, yang tak terdengar oleh telinga, dan yang tak terpikirkan oleh manusia, yang sungguh tak dapat dipahami dan tak terungkapkan oleh bahasa.”
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab As-Suluk wa At-Tawassul ila Manazil Al-Muluk--
Post a Comment Blogger Disqus