Mistikus Cinta

0
Syekh Haji Daud Rasyidi (1880-1948)

Syekh Daud Rasyidi dengan beberapa orang ulama besar Minangkabau, diantaranya Syekh Jamil Jambek
Syekh Haji Daud Rasyidi (selanjutnya ditulis Daud Rasyidi) dilahirkan tahun 1880 M. (tidak didapatkan secara detail tanggal dan bulan lahir) di Balingka, sebuah nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam sekarang. Beliau berasal dari keluarga sederhana secara ekonomi namun “kaya” dalam status sosial, terutama untuk daerah Balingka. Hal ini karena Daud Rasyidi memiliki “darah biru” ulama. Ayahnya bernama Rasyidi, biasa dipanggil Inyiak Rasyidi, seorang ulama dan pemuka adat di Balingka. Sementara itu ibunya bernama Nanti, wanita alim yang sederhana. Karena posisi sosialnya inilah, Daud Rasyidi bisa melalui fase-fase pendidikan yang tinggi untuk masa itu. Hal ini tidak terlepas dari status social keluarganya (bukan status ekonomi). Dengan posisi ayahnya yang dianggap sebagai ulama dan pemuka adat di Balingka, tidak mengherankan apabila Daud Rasyidi cukup ”lempang” dalam pendidikan pada masa itu. Daud Rasyidi memiliki tiga orang saudara yaitu Nuruyah, Haji Abdul Lathief dan Bariyah. "Dari kecil, pendidikan Daud Rasyidi diperhatikan dengan serius oleh ayah dan kakaknya. Ummi Fatimah Daud mengatakan : ”kedua orang tua Daud Rasyidi sering membawa beliau ke masjid sejak Daud masih kecil.

Datangnya Daud ke masjid bukan berarti ayah Daud memaksanya untuk mengikuti cara orang shalat, karena memang pada waktu itu beliau belum bisa sholat karena masih kecil. Namun karena seringnya Daud Rasyidi diajak ke masjid oleh ayahnya, dan ini juga berarti beliau sering melihat orang sholat, maka timbul keinginan Daud untuk belajar sholat. Hal ini kemudian diutarakannya pada ayahnya. Akhirnya, sang ayah mulai mengajar Daud lafaz dan cara sholat. Beginilah cara ayah Daud Rasyidi mendidik anaknya untuk belajar. Dari pengalaman yang telihat, kemudian beliau berharap Daud-lah sebenarnya yang ingin belajar, bukan dari dia (maksudnya dari sang ayah).” Karena memang pintar, apalagi didukung oleh faktor genetik dan lingkungan, sejak kecil Daud Rosyidi sudah dikenal sebagai anak yang cerdas, memiliki potensi kepribadian yang baik, bersahabat dan memiliki empati yang tinggi terhadap lingkungan. Hingga umur 7 tahun, Daud Rasyidi belajar dengan orang tuanya. Lingkungan - rumah dan surau merupakan ”rute tetap” yang harus dilalui oleh Daud Rasyidi ketika ia dibimbing oleh kedua orang tuanya dalam belajar, khususnya belajar ilmu agama Islam. Setelah Daud Rasyidi belajar dengan kedua orang tuanya di kampung hingga tahun 1889, maka pada tahun itu juga Daud Rasyidi dibawa oleh salah seorang kakaknya, Haji Abdul Lathief (ketika itu bergelar Khatib Tumenggung) yang dalam sejarah dikenal sebagai salah seorang ulama yang cukup terkenal di Balingka pada masanya, ke Muara Labuh dan diserahkan disana kepada Syekh Mustafa di Sungai Pagu untuk belajar Kitab Arab (Kitab Amma), Ilmu Nahwu Syaraf, Fiqh dan Qiraatul Qutub disamping memperdalam pengajian al-Qur’an. Dalam umur yang cukup belia, Daud Rasyidi telah berpisah dengan keluarga dan teman-temannya di Balingka untuk pergi “merantau” dalam rangka belajar ke Muara Labuh. Di daerah ini, disamping belajar ilmu agama Islam, Daud Rasyidi juga belajar berbagai keterampilan dasar seperti keterampilan menjahit pakaian sehari-hari.

Sekembalinya Daud Rasyidi menuntut ilmu dari Muara Labuh, kembali bersama kakaknya H. Abdul Lathief, Daud Rasyidi berangkat ke Mekkah. Waktu itu umurnya sekitar 15 tahun (sekitar tahun 1895 M.). Tujuan Daud Rasyidi dibawa oleh kakaknya ke Mekkah tidak lain untuk memperdalam ilmu agama serta pengetahuan tilawatil Qur’an (qiraat, fashahah maupun tajwidnya), disamping tentunya untuk menunanikan rukun Islam yang ke-lima, naik haji. Di Mekkah ini, Daud Rasyidi belajar ilmu agama Islam pada ulama besar Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy. Namun di Mekkah ini beliau tidak begitu lama dan intens menuntut ilmu. Setelah kembali dari Mekkah, beliau menetap di Balingka selama satu tahun. Setelah itu Daud Rasyidi berniaga tembakau ke Malalak dan Matur, kemudian berniaga beras ke Padang Gantiang dan ke daerah Lubuk Basuang sambil menjahit. Disamping melakukan aktifitas ekonomi pada siang harinya, dalam berbagai kunjungan dan ”persianggahan” Daud Rasyidi di berbagai daerah, Daud Rasyidi juga menyempatkan mengajar mengaji pada malam harinya. Setelah mencoba berbagai pengalaman profesi kerja, dagang tembakau hingga menjahit, akhirnya Daud Rasyidi kembali ke kampung halamannya untuk bertani. Dengan berdomisili di Balingka sambil bertani dan mengajar mengaji pada malam harinya, Daud Rasyidi merasa dirinya tidak ”maju secara ilmu agama”. Disamping itu, beliau merasa bahwa apa yang didapatkannya selama ini (tentang ilmu agama) belum mendalam. Mempertimbangkan hal ini, maka berngkatlah beliau ke luar Balingka dengan tujuan memperdalam ilmu agamanya.

Di rumah Tuanku Haji Mohammad Thaib Singkarak ini, Daud Rasyidi menginap selama 15 hari. Daud Rasyidi mulai berfikir untuk membagi waktu antara belajar dan mencari nafkah untuk biaya hidup sehari-harinya. Siang ia mulai membuka praktek menjahit – sebuah keterampilan yang didapatkannya di Muara Labuh – sedangkan pada malam harinya ia belajar memperdalam berbagai disiplin ilmu seperti ilmu nahu syaraf, fiqh, qiraatul qutb Bahasa Arab serta membaca huruf dan bahasa latin. Di Padang dalam tahap awal beliau sampai di daerah ini, guru yang secara intens mengajar beliau adalah Tuanku Haji Mohammad Thaib Singkarak, orang yang dituakan di surau Belakang Tangsi. Setelah belajar bersama Tuanku Haji Mohammad Thaib Singkarak ini, Daud Rasyidi kemudian menemui Syekh Azzabidi, memohon kiranya beliau dapat diterima sebagai murid Syekh yang berdomisili di Pasa Gadang ini. Ketika Syekh Azzabidi mengetahui Daud Rasyidi juga bekerja pada siang harinya untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, Syekh Azzabidi tergerak untuk menawarkan pada Daud Rasyidi mencari ”orang tua angkat” baginya agar beliau dapat konsentrasi dan intens belajar agama.

Atas usaha dari Syekh Azzabidi, ada dua orang saudagar dari Balingka dan Guguk Tinggi yaitu Engku Sutan Mangkuto dari Kotohilalang Balingka dan Engku Sutan Pangeran Guguk Tinggi, bersedia menampung Daud Rasyidi. Semua usaha mencari ”orang tua angkat” ini dilakukan oleh Syekh Azzabidi untuk Daud Rasyidi karena beliau merasa kagum dengan kegigihan putra Inyiak Rasyidi ini menuntut ilmu. Tapi karena Daud Rasyidi bukanlah tipe orang yang suka menerima belas kasihan orang lain, membuat beliau hanya bertahan selama lebih kurang delapan bulan di rumah Sutan Mangkuto. Selanjutnya, Daud Rasyidi pindah ke Masjid Ganting Pasar Gadang. Semenjak tinggal disana, beliau meninggalkan pekerjaan menjahit dan berdagangnya. Hal ini disebabkan karena beliau sibuk mengurus berbagai kegiatan masjid. Setelah tinggal di masjid Ganting Pasar Gadang sambil belajar pada Syekh Azzaidi untuk beberapa waktu, selanjutnya Daud Rasyidi berangkat ke nagari Tanjung Sungayang. Di daerah ini, Daud Rasyidi kembali memperdalam ilmu agama nya dengan belajar pada salah seorang ulama terkenal Minangkabau asal Sungayang yang bernama Syekh Muhammad Thaib Umar. Bersama ulama yang juga merupakan murid dari ulama besar Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy ini, Daud Rasyidi kemudian belajar lebih kurang 6 (enam) bulan.

Setelah belajar ke Tanjung Sungayang, Daud Rasyidi pergi ke Maninjau setelah beliau mendengar Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) pulang dari Mekkah. Tujuan Daud Rasyidi ke Maninjau cuma satu – belajar pada HAKA. Nampaknya ”petualangan intelektual” Daud Rasyidi tidak pernah berakhir. Selama lebih kurang 2 (dua) tahun, Daud Rasyidi pulang-pergi menuruni dan mendaki kelok 44 (kelok ampek puluah ampek) Maninjau yang terkenal curam. Di Maninjau, dalam rentang waktu tersebut, Daud Rasyidi belajar secara intens bersama HAKA dan juga mengajar sebagai pembantu ayah Buya Hamka ini di Surau Jembatan Besi Padang Panjang yang didirikan oleh HAKA. Hamka dalam buku Ayahku pernah menyinggung Daud Rasyidi. Beliau mengatakan : ”............ Menurut keterangan Syekh Daud Rasyidi sendiri, beliau adalah murid Ayahku juga, baik seketika sama-sama belajar kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy di Mekkah ataupun setelah pulang ke Minangkabau. Mulanya Syekh Daud Rasyidi pergi belajar ke Tanjung Sungayang, kepada Muhammad Thaib Umar, kemudian ke Maninjau, belajar pada beliau.”

Setelah belajar pada HAKA di Maninjau dan mengajar sebagai pembantu HAKA di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, tumbuh pula keinginan Daud Rasyidi untuk kembali ke Mekkah. Ketika niat itu beliau laksanakan, maka tugasnya di surau Jembatan Besi digantikan oleh kakaknya H. Abdul Lathief. Sesampai di Mekkah, kembali Daud Rasyidi menemui guru besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy. Dengan ulama asal Minangkabau yang waktu itu juga merupakan imam Masjidil Haram selama lebih kurang 4 (empat) tahun. Beragam ilmu yang dipelajarinya, diantaranya ilmu tasauf, fiqh, tauhid, bahasa Arab dan sebagainya. Daud Rasyidi sangat ”menikmati” petualangan intelektualnya di negeri Arab ini. Namun karena mendapatkan berita duka dari kampung halamannya tentang kematian kakak beliau, H. Abdul Lathief, membuat Daud Rasyidi mengakhiri ”petualangan intelektualnya” yang dirasakan oleh Daud Rasyidi sangat menyenangkan. Beliau merasa harus kembali ke Minangkabau. Apalagi mengingat kondisi murid-murid surau Jembatan Besi pasca kematian kakaknya H. Abdul Lathief. Atas izin dari gurunya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy, Daud Rasyidi pulang ke Minangkabau. Sebelum beliau pulang, sang guru memberikannya selembar ijazah sebagai bentuk apresiasi, penghargaan dan pengakuan terhadap kemampuan keilmuan yang dimilikinya.

Secara umum, beberapa bentuk karya dan jasa para ulama seangkatan atau sezaman dengan Daud Rasyidi adalah jasa dalam bidang ”pencerahan” keagamaan dan pendidikan. Umumnya, terutama ulama-ulama yang pulang dari Timur Tengah, ketika mereka kembali ke Minangkabau, mereka akan mendirikan institusi pendidikan. Hal ini juga dilakukan oleh Daud Rasyidi sepulang dari Mekkah periode ke-duanya. Ia menjadi salah seorang perintis berdirinya Sekolah Diniyah School. Menurut catatan dari Zakaria Syua’ib, Sekolah Diniyah School dan Thawalib Padang Panjang merupakan anjuran dari Inyiak Daud Rasyidi yang kemudian pengembangannya dilanjutkan oleh ulama-ulama berikutnya. Begitu juga dengan semua mesjid yang ada di Balingka, umumnya dibangun atas usaha dan ide dari beliau. Institusi pendidikan Islam Diniyah School dan Thawalib secara politik dekat dengan PERMI, maka Daud Rasyidi dianggap sebagai ”pembawa” dan pendiri PERMI di Balingka yang merupakan cabang dari PERMI pusat. PERMI Balingka ini beliau dirikan pada tanggal 9 Januari 1933. Pendirian institusi pendidikan Islam Diniyah School ini diawali oleh kesepakatan Kerapatan Adat Nagari Balingka pada tahun 1920 yang ”substansi ide”-nya merupakan usulan Daud Rasyidi. Dari kesepakatan KAN Balingka tersebut disepakati untuk mendirikan organisasi VSB (Vereeniging Studiefonds Balingka) yang struktur kepengurusannya (Struktur tahun 1922) sebagai berikut : Ketua I Syekh Haji Djalaluddin Thaib, Ketua II Sutan Dianjung, Penulis Datuk Maruhum Kayo, Bendahara Syekh Daud Rasyidi, Pembantu Datuk Majo Kayo, Abbas Kari Sutan, Datuk Panghulu dan Chatib Marajo dan Datuk Maruhum Basa.

Follow-up dari VSB ini kemudian disepakati secara bersama-sama untuk membentuk panitia pelaksana Diniyah School yang beranggotakan antara lain : Muhammad Rasyid, Muchtar Yahya, Mansur Daud, A. Karim Thaib, Abdul Djalil, Zaini Dahlan, Abdul Gaffar, Ahmad Dain dan Naemah Daud. Penerimaan murid baru Sekolah Diniyah ini untuk pertama kalinya diadakan pada bulan juni 1922. Pada tahun ini, jumlah murid Diniyah School yang telah mendaftar lebih kurang 200 orang. Namun sayang, perjalanan Diniyah School tidak berjalan dengan baik, makin lama murid-muridnya semakin berkurang. Upaya-upaya para pemuka nagari Balingka untuk melanjutkan usaha Daud Rasyidi dilakukan dengan jalan menukar nama Diniyah School pada tanggal 13 Oktober dengan nama Taman Raja. Guru-gurunya ditetapkan adalah Agus Salim sebagai Direktur, sedangkan gurunya adalah A. Rivai, A. Malik, Hamdan Kadir dan Rakiah Nanin. Upaya untuk melakukan ”revitalisasi” dan re-fresh (penyegaran kembali) Diniyah School ini awalnya membuahkan hasil dengan mulainya banyak murid-murid Diniyah School, tapi kemudian mulai berkurang.

Secara umum, jasa ada aktifitas Daud Rasyidi dalam bidang pendidikan bisa dilihat dari beberapa periode. Periode pertama, ketika beliau mengajar di Balingka ketika baru kembali dari Mekkah untuk pertama kalinya. Beliau mengajarkan ilmu agama di Masjid Subarang selama lebih kurang satu tahun dan mengajarkan ilmu agama juga secara ”berkelana” di beberapa daerah seperti Padang, Maninjau, Muara Labuah, Padang Panjang pada malam hari, karena pada siang harinya beliau berdagang dan menjahit. Selama periode ini, Daud Rasyidi tidak begitu intens mengajar karena ia lebih banyak ”berpetualang secara intelektual”. Kemudian periode selanjutnya adalah periode dimana beliau mengajar di Padang Panjang, ketika beliau mengajar di Surau Jembatan Besi milik HAKA bersama-sama dengan kakaknya H. Abdul Lathief.

Pada periode berikutnya adalah ketika Daud Rasyidi mengajar di Balingka sekembalinya dari Mekkah untuk yang kedua kalinya pada tahun 1912. Kepulangan Daud Rasyidi ke kampung halamannya disambut ”hangat” dan penuh harap masyarakat Balingka. Mereka berharap kiranya Daud Rasyidi bisa memberikan pencerahan pada masyarakatnya. Atas kehendak masyarakat, dalam waktu yang relatif singkat, Daud Rasyidi dibuatkan sebuah surau yang kemudian diberi nama dan dikenal dalam sejarah sebagai ”Surau Syekh Daud Rasyidi” yang lokasinya terletak di Lapau Kayu Damar Subarang. Kehadiran institusi pendidikan a-la kultur-tradisional Minangkabau yang didirikan oleh Daud Rasyidi dan masyarakat Balingka menarik minat banyak orang. Dari waktu ke waktu, murid-murid yang belajar di surau ini makin meningkat. Bahkan bekas murid-murid Daud Rasyidi di surau Jembatan Besi Padang Panjang banyak yang datang untuk menyambung pelajaran mereka di Surau Syekh Daud Rasyidi ini. Semua ini menandakan bahwa ada kepercayaan besar masyarakat Sumatera Barat waktu itu terhadap potensi kepribadian dan keilmuan Daud Rasyidi.

Salah satu karakteristik yang ciri khas Daud Rasyidi adalah beliau dikenal sebagai seorang pendakwah, disamping tentunya dianggap sebagai seorang pendidik. Untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, beliau menggunakan dua jalur ini yaitu jalur dengan memanfaatkan institusi pendidikan dan jalur pola komunikasi a-la Islam (baca: dakwah). Dakwah yang dilakukan oleh Daud Rasyidi tidak hanya dilakukan di seputaran Balingka ataupun di Padang Panjang saja, tapi kegiatan ini dilakukan Daud Rasyidi merata hingga ke berbagai daerah di Sumatera Barat. Bahkan dakwah yang dilakukan oleh Daud Rasyidi seringkali dilakukannya bersama-sama dengan para sahabatnya sesama ulama pembaharu. Dalam bukunya Ayahku, Hamka mengatakan : ”Inyiak Daud berdakwah dari masjid ke masjid, dan terkadang turun dari satu kampung ke kampung yang lainnya. Disamping menjadi menjadi pendakwah di kampungnya sendiri di Balingka......Ayahku menggembleng ummat dari suatu negeri ke negeri di Sumatera Barat untuk memberikan fatwanya, kadang-kadang bersama sahabat atau murid kesayangannya Syekh Daud Rasyidi”.

Beberapa daerah yang pernah dikunjungi secara intens oleh Daud Rasyidi –terkadang bersama gurunya HAKA – antara lain Sungayang, Padang Panjang, Bukittinggi, Maninjau dan beberapa daerah lainnya di seputaran Sumatera Barat. Daud Rasyidi tidak mengenal lelah dalam beraktifitas di dunia pendidikan dan dakwah ini. Di dua dunia inilah, ide-ide pencerahan dan pembaharuan ajaran Islam, beliau transformasikan kepada masyarakat dan anak didiknya. Dalam berdakwah, tanpa kenal lelah, Daud Rasyidi sangat menekankan pada arti pentingnya untuk kembali memperbaharui pola fikir dan pemahaman yang betul dan sesuai dengan apa yang di anjurkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. terhadap ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. dan pembentukan pola fikir pada masyarakat dan anak didiknya, menjadi konsep kunci dalam memahami kontribusi Daud Rasyidi dalam dunia pendidikan dan pengembangan dakwah Islamiyah di Sumatera Barat.

Dalam sejarah gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat, dimana Daud Rasyidi masuk dalam bahagian gerakan tersebut, umumnya isu pembaharuan tersebut berada dalam perdebatan mengenai ”hukum adat versus hukum Islam” dan – ini yang paling sering terjadi – ”mensikapi kehadiran dan praktek tareqat di Sumatera Barat dilihat dari perspektif normatif-ritual Islam. Terdapat dua kelompok besar, satu kelompok yang mendukung gerakan tareqat, dan kelompok lain adalah yang menolaknya. Inilah yang menjadi the major trendsetter of ideology yang terjadi pada Daud Rasyidi awal abad ke XIX M. di Sumatera Barat, dimana pada masa ini pula Daud Rasyidi hidup. Akhria Nazar mengatakan bahwa penolakan terhadap praktek tareqat di suarakan oleh para murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy diantaranya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Daud Rasyidi, Tuanku Syekh Abaas serta Haji Djamil. Bahkan seorang ulama di Minangkabau pernah terlibat perdebatan us dan berkelanjutan dengan tokoh tareqat naqsyabandi di Padang pada tahun 1906. Tokoh Naqsyabandi tersebut adalah Syekh Khatib Ali, Khatib Saidina, Tuanku Syekh Bayang dan Tuanku Syekh Subarang Padang dan Imam Masjid Ganting. Dalam perdebatan tersebut, pihak pembela tareqat naqsyabandi kewalahan menghadapi ulama muda yang merupakan ”miniatur ideologis” dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy. Dalam beberapa perdebatan, ulama-ulama muda yang memiliki kemampuan yang baik dalam ber-hujjah mampu mengemukakan alasan-alasan dan dasar-dasar yang kuat dalam menentang tareqat. Salah satu dari para ulama muda tersebut adalah Daud Rasyidi.

Kiprah Daud Rasyidi dalam dunia politik bisa ditelusuri sejak awal abad ke-XX (penjajahan Belanda dan Jepang) hingga pasca kemerdekaan. Salah satu bentuk peranan Daud Rasyidi pada masa penjajahn Belanda adalah ketika beliau berjuang secara aktif menghimpun para ulama dan para pemimpin Islam untuk mengadakan suatu sidang. Sidang yang dilaksanakan di Padang ini bertujuan untuk menyatukan pendapat dalam menentang ordonansi Sekolah Liar pemerintah Belanda tahun 1932, serta Ordonansi Kawin Tercatat yang menghilangkan hak kuasa (otoritas) wali dan ninik mamak. Dua kebijakan ini bagi Daud Rasyidi sangat krusial untuk dikritisi, bahkan ditentang. Di Sumatera Barat, aksi penolakan terhadap Ordonansi Sekolah Liar berjalan dengan alot. Kebijakan ini ditentang dengan keras, terutama bagi kaum ulama karena dianggap anti terhadap sekolah agama. Sekalipun pemerintah telah menjalaskan bahwa kebijakan ini tidak menghambat sekolah agama, namun kecurigaan ”adanya maksud lain” dibalik dikeluarkannya kebijakan ini, namun seluruh ulama beranggapan bahwa melarang sekolah umum swasta berarti melarang ksempatan menuntut ilmu.

Sedangkan mengenai kebijakan Ordonansi Kawin Tercatat dianggap oleh beberapa ulama, salah satu diantaranya Daud Rasyidi, bertentangan dengan adat dan agama. Kebijakan ini berpotensi akan menghilangkan otoritas wali dan ninik mamak dalam sebuah prosesi perkawinan. Untuk mensikapi kebijakan ini, di Padang Panjang, Daud Rasyidi bersama-sama dengan ketua MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau) serta alim ulama lainnya berikrar untuk menolak dengan tegas dalam bentuk ikrar (kebulatan tekad) kebijakan Ordanansi Kawin Tercatat ini. Ikrar tersebut merupakan hasil dari sidang bersama (alim ulama dan MTKAAM) pada tahun 1941. Daud Rasyidi tidak bertindak ”konfrontatif-fisik” dengan pemerintah kolonial Belanda, namun beliau lebih menekankan kepada membentuk sebuah kesadaran bagi masyarakat dengan jalan mendewasakan masyarakat secara politik. Beliau bertindak secara intelek dengan memaparkan dan memberitahukan kepada masyarakat, argumentasi dan rasionalisasi mengapa beliau dan kawan-kawan menolak berbagai kebijakan Belanda, terutama Guru Ordonansi dan Ordonansi Kawin Tercatat. Style-nya ini membuat banyak pihak memberi gelar pada Daud Rasyidi dengan gelar ”Gandhi Indonesia”. Untuk mendukung upaya ”perlawanan” dan pendewasaan politik bagi masyarakat Sumatera Barat, Daud Rasyidi tidak segan-segan mengeluarkan biaya pribadi, meskipun beliau bukan orang kaya. Beliau menyadari bahwa perjuangan butuh ”ongkos” yang demikian tinggi. Bukan hanya kontribusi fisik dan pikiran saja yang harus dikorbankan, namun finansial juga harus disumbangkan. Bagi Daud Rasyidi, ini merupakan konsekuensi logis terhadap sebuah perjuangan. Pada anaknya yang juga ulama besar Sumatera Barat – Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo – Daud Rasyidi pernah mengatakan, ”Berjuang jangan menghitung-hitung”. Mungkin maksudnya adalah perjuangan itu harus ikhlas dan seluruh potensi yang ada pada diri kita seperti fisik, tenaga dan finansial-dana, harus dikontribusikan bagi perjuangan tersebut.

Pada zaman penjajahan Jepang, praktek ritual seikere – yang menurut Daud Rasyidi berpotensi merusak dan mereduksi akibad imani ummat Islam – ditentangnya dengan keras. Praktek ritual yang merupakan karakteristik ritual-spritual a-la kultur Jepang dengan membungkukkan badan menghadap Matahari pada pagi hari, bagi ayah Mansur Daud Datuk Palimo Kayo ini dianggap menyekutukan Tuhan. Menurut Buya Hamka, dengan tanpa lelah, Daud Rasyidi melakukan counter-ideology terhadap praktek ritual seikere tersebut. Tanpa kenal lelah, beliau berjalan dari kampung ke kampung memberikan keterangan, pencerahan dan sikap tegasnya untuk terus mau berkata ”tidak” terhadap seikere tersebut. Pada zaman Jepang ini, Daud Rasyidi berusaha menjauh dari ”rangkulan” Jepang.

Dalam memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat Sumatera Barat, disamping memberikan pencerahan dan pendewasaan politik bagi masyarakat, Daud Rasyidi bersama-sama dengan beberapa kawan-kawannya dari kalangan ulama mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT). Kelahiran MIT ini dilatarbelakangi oleh keinginan Daud Rasyidi dan kawan-kawannya untuk mempersatukan para alim ulama di Sumatera Barat. Dengan berkumpul secara organisatoris dalam satu wadah, para alim ulama bisa menyatukan kekuatan menghadapi penjajah Jepang, dan yang paling utama lagi adalah agar para ulama tidak ”ditunggangi” ataupun tidak dipecah belah secara horizontal-internal. Kelahiran MIT ini merupakan suatu peristiwa sejarah dalam konteks perjuangan anak bangsa Indonesia yang cukup signifikan pada zamannya. Ahmad Hussein mengatakan bahwa jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera Barat telah berdiri Majelis Islam Tinggi (MIT) yaitu satu majelis yang didirikan oleh alim ulama se-Minangkabau, sebagai wadah tempat para alim ulama bermusyawarah menghadapi politik pemerintahan Jepang. MIT ini mendapat dukungan seluruh rakyat Minangkabau.

Sementara itu, kontribusi Daud Rasyidi pasca kemerdekaan terlihat dari apa yang dicatat oleh sejarah. Pada tahun 1946, sewaktu wakil Presiden Republik Indonesia beradada di Bukittinggi dalam rangka membentuk panitia ”Pengumpulan Mas” yang bertujuan untuk membeli sebuah pesawat terbang sebagai sarana perang tentara rakyat. Daud Rasyidi pernah menyusup ditengah-tengah ”hujan peluru” pada front pertempuran di Pasar Usang dan Indarung untuk mengantarkan perbekalan dan pakaian bagi pejuang-pejuang bangsa yang sedang bertempur. Sebelumnya, Daud Rasyidi bersama-sama dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek telah turun pula berjalan kaki mengelilingi daerah-daerah Minangkabau. Tujuan Daud Rasyidi ”turba” dengan Inyiak Parabek ini dalam rangka mencari dana berupa bantuan dari ummat Islam, yang hasilnya ternyata cukup banyak dan kemudian diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia.

Daud Rasyidi, disamping dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau, beliau juga dikenal sebagai seorang ulama yang merintis beberapa institusi pendidikan dan beberapa organisasi soasial-agama-kemasyarakatan diantaranya seperti VSB dan PMDN serta juga dikenal sebagai seorang ulama-pendidik. Banyak murid-murid beliau yang kemudian hari dikenal sebagai ulama. Salah seorang muridnya yang kemudian dikenal namanya sebagai salah seorang ulama besar Sumatera Barat adalh Syekh Adam Balai-Balai atau lebih populer dipanggil dengan Mak Adam BB. Beliau juga seorang ulama idealis yang tidak bisa ”dibeli” oleh pihak penjajah – baik ketika zaman Belanda maupun Jepang. Daud Rasyidi beruntung hidup di tiga alam yaitu zaman penjajahan Belanda, Jepang dan Pasca Kemerdekaan. Dalam setiap masa tersebut, kontribusi Daud Rasyidi sangat signifikan. Idealisme dan konsistensi sikap Daud Rasyidi terlihat dengan jelas pada tiga zaman tersebut. Beliau selalu memegang prinsip yang diyakininya benar, walaupun ”suasana zaman” berubah. Beliau akan terus tercatat dalam tinta emas sejarah intelektual dan perjuangan masyarakat Sumatera Barat. Hari itu, Senin tanggal 26 Januari 1948, di waktu sholat maghrib di Surau Inyiak Djambek, Daud Rasyidi bertindak sebagai imam sholat. Tepat pada tahyat pertama setelah membaca tasahut awwal ketika ketiak akan berdiri, kaki Daud Rasyidi tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Beliau-pun rubuh. Salah seorang jamaah yang sengaja menghentikan atau memutuskan sholat-nya, menyambut tubuh Daud Rasyidi. Beberapa saat kemudian, putra Balingka ini menghadap sang khalik. Tanggal 27 Januari 1948, bertepatan dengan 15 Rabiul Awwal 1368 H., jenazah Daud Rasyidi dikebumikan disamping makam sahabatnya, Syekh Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi. :: (c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang (http://ulama-minang.blogspot.co.id)

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Syekh Haji Daud Rasyidi | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top