Abu Abdullah Muhammad bin Khafif bin Isfaksyad, lahir di Syraz tahun 270 H/882 M. Ia adalah seorang tokoh suci di Persia, dan berasal dari keluarga bangsawan. Setelah mendapat pengetahuan yang luas, Ibnu Khafif berangkat ke Baghdad, di kota ini ia bertemu dengan al Hajjaj beserta tokoh-tokoh sufi lainnya. Setidak-tidaknya ia telah enam kali menunaikan ibadah haji ke Makkah dan diriwayatkan pula bahwa ia pernah berkunjung ke Mesir dan Asia Kecil. Ia telah menulis beberapa buah buku dan meninggal dunia dalam usia lanjut di kota kelahirannya pada tahun 371 H/982 M.
Pertapaan Ibnu Khafif
Ibnu Khafif dari Fars berasal dari keluarga bangsawan. Ia dijuluki demikian karena ia memikul beban yang ringan, memiliki jiwa yang lapang, dan akan menghadapi masa perhitungan yang mudah. Setiap malam ia memakan tidak lebih dari tujuh buah kismis sebagai pembuka puasanya. Pada suatu malam pelayannya menyajikan delapan buah kismis kepadanya. Ibnu Khafif tidak menyadari hal ini dan menghabiskannya. Tetapi karena tidak mendapatkan kepuasan di dalam ibadahnya kepada Allah dan tidak seperti yang dialaminya setiap malam, maka dipanggilnyalah si pelayan untuk dimintai keterangannya.
"Aku telah memberikan delapan buah kismis kepadamu," si pelayan mengaku.
"Mengapa?" tanya Ibnu Khafif.
"Kulihat engkau sangat lemah dan aku merasa kasihan," jawab si pelayan. "Aku ingin agar engkau memperoleh kekuatan."
"Dengan berbuat demikian engkau bukanlah sahabatku tetapi musuhku," hardik Ibnu Khafif. "Jika engkau memang bersahabat denganku, niscaya engkau akan memberikan enam buah kismis kepadaku, bukan delapan buah."
Pelayan itu dipecatnya dan digantinya dengan yang baru.
***
Ibnu Khafif mengisahkan seperti berikut ini:
Ketika masih muda, aku ingin sekali pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ketika aku sampai di kota Baghdad, kepalaku penuh dengan kecongkakan sehingga aku tidak mau menemui Junaid. Aku meneruskan perjalanan dengan membawa seutas tali dan sebuah timba. Ketika telah berada jauh di tengah padang pasir, aku merasa sangat dahaga. Dari jauh terlihatlah olehku sebuah telaga dan seekor rusa yang sedang minum. Bagitu aku sampai di tepi telaga itu ternyata airnya telah habis terserap bumi.
"Ya Allah," seruku, "apakah Abdullah lebih hina dari seekor rusa?"
"Rusa itu tidak membawa tali dan timba," kudengar sebuah jawaban, "ia berpasrah diri kepada Kami."
Dengan hati gembira tali dan timba itu kubuang, kemudian kulanjutkan perjalananku.
"'Abdullah" kudengar sebuah panggilan, "Kami hanya mengujimu, ternyata engkau tabah, oleh karena itu kembalilah dan minumlah air telaga itu."
Aku pun balik dan kudapati air telaga itu telah penuh kembali. Aku bersuci dan meminum air telaga itu. Setelah itu aku berangkat dan di sepanjang perjalanan ke Madinah aku tidak pernah membutuhkan air karena telah bersuci di telaga tadi.
Pada hari Jum'at ketika aku berada kembali di Baghdad, aku pergi ke masjid. Junaid melihatku dan berkata kepadaku, "Seandainya dulu engkau benar-benar bersabar, niscaya air akan menyembur dari bawah kakimu."
***
Ketika aku masih remaja (Ibnu Khafif meriwayatkan), seorang guru sufi datang mengunjungiku. Setelah melihat betapa aku sangat lapar, ia mengajakku ke rumahnya. Ketika sampai, ternyata di dapur sedang dimasak daging dan baunya memenuhi seluruh ruangan. Aku merasa mual dan tidak sanggup memakannya. Sang guru sufi yang melihat keenggananku itu menjadi sangat malu. Aku sendiri pun menjadi sangat bingung, lalu aku tinggalkan santapan itu, kemudian aku dan beberapa orang sahabat melanjutkan perjalanan.
Di Qadisiyah kami tersesat, sedang bekal kami telah habis. Beberapa hari kami masih dapat bertahan, tetapi akhirnya tiada berdaya. Penderitaan kami sedemikian beratnya sehingga kami membeli seekor anjing dengan harga yang mahal. Kemudian kami memanggang anjing itu. Sebagai bagianku kuterimalah sekerat. Ketika aku hendak memakannya teringatlah aku peristiwa di rumah guru sufi dan makanan yang disuguhkannya kepadaku.
"Inilah hukumanku karena telah membuat malu sang guru Sufi," aku berkata di dalam hati.
Aku memohon ampun kepada Allah, dan Allah menunjukkan jalan kepada kami. Ketika sampai di rumah, aku pergi meminta maaf kepada si guru sufi.
***
Pada suatu hari aku mendengar berita bahwa di negeri Mesir ada seorang tua dan seorang pemuda yang secara terus menerus mengadakan meditasi. Maka berangkatlah aku ke Mesir dan di negeri itu kutemukan dua orang yang dengan kepala tertunduk menghadap, ke arah kota Makkah. Tetapi setelah tiga kali kuucapkan salam, mereka tetap membungkam.
"Demi Allah, jawablah salamku!," aku berseru kepada mereka.
"Ibnu Khafif," si pemuda menyahut sambil mengangkat kepalanya, "dunia ini adalah kecil, dan dari dunia yang kecil ini hanya sedikit yang masih tersisa. Dari sisa yang sedikit ini ambillah bagianmu yang sebesar-besarnya. Engkau telah membuang banyak waktu dengan mengucapkan salam kepada kami."
Setelah berkata demikian si pemuda menundukkan kepalanya kembali. Walaupun tadi aku merasa lapar dan dahaga, tetapi kini lapar dan dahaga itu tidak terasa lagi. Aku benar-benar kagum terhadap mereka. Aku tidak beranjak dari tempat itu. Shalat Zhuhur dan 'Ashar aku lakukan bersama mereka. Kemudian aku bermohon kepada mereka, "Berilah aku sebuah petuah."
"Ibnu Khafif," jawab si pemuda, "kami berdua adalah manusia-manusia yang berduka. Kami tidak mempunyai lidah untuk memberikan nasehat. Orang inilah yang harus memberikan nasehat kepada orang-orang yang berduka."
Aku terus bertahan di tempat itu selama tiga hari tiga malam dan selama itu pula aku tidak makan dan tidak tidur.
"Apakah yang harus kukatakan agar mereka mau memberikan petuah kepadaku?" aku berkata di dalam hati.
Si pemuda mengangkat kepalanya dan berkata, "Temuilah seseorang yang apabila memandangnya engkau teringat kepada Allah, dan karena terpesona kepadanya hatimu akan terjaga, yaitu seorang yang akan memberi nasehat melalui perbuatan, bukan melalui kata-kata."
***
Setahun lamanya aku berdiam di Bizantium. Pada suatu hari aku berjalan-jalan ke padang pasir. Di sana kulihat orang ramai sedang menggotong mayat seorang rahib yang kurus kering. Kemudian mereka membakarnya dan abunya itu mereka sapukan ke mata orang-orang yang buta. Sungguh ajaib, karena kekuasaan Allah, orang-orang buta itu dapat melihat kembali. Kemudian orang-orang yang menderita penyakit, menelan abu itu pula dan sesaat itu juga mereka menjadi sehat kembali. Aku terheran-heran, bagaimanakah itu mungkin terjadi karena mereka sesungguhnya menganut agama yang salah. Pada malam itu aku bermimpi bertemu dengan Nabi.
"Ya Rasulullah, apakah yang sedang engkau lakukan?" aku bertanya.
"Aku telah datang demi engkau," jawab Nabi.
"Ya Rasulullah, bagaimanakah keajaiban tadi bisa terjadi?". aku bertanya.
"Itulah hasil kesungguhan hati dan disiplin diri di dalam kesesatan," jawab Nabi. "Coba bayangkan, apabila hal itu dilakukan di dalam kebenaran."
Ibnu Khafif dan Isteri-Isterinya
Pada suatu malam Ibnu Khafif memanggil pelayannya. "Carikanlah seorang wanita untukku," katanya kepada si pelayan.
"Kemanakah hendak kucari seorang wanita tengah malam seperti ini?," jawab si pelayan, "tetapi aku mempunyai seorang puteri, jika tuan mengizinkan aku akan pergi menjemputnya."
Pergilah dan bawalah puterimu kemari," kata Ibnu Khafif.
Si pelayan membawa puterinya dan pada saat itu juga Ibnu Khafif menikahinya. Tujuh bulan kemudian lahirlah seorang bayi, tetapi tidak lama kemudian bayi itu mati.
"Suruhlah puterimu itu meminta cerai dariku," kata Ibnu Khafif kepada pelayannya. "Atau kalau dia suka, dia boleh tetap tinggal bersamaku."
"Tuan, apakah rahasia di balik semua ini?" si pelayan bertanya.
"Pada malam pernikahan itu," Ibnu Khafif menjelaskan, "aku bermimpi hari berbangkit telah tiba. Banyak orang yang berdiri kebingungan sedang keringat melimpah sampai ke leher mereka. Tiba-tiba muncul seorang anak meraih tangan ayah bundanya dan cepat bagaikan angin dibimbingnya mereka melalui jembatan di antara Surga dan neraka. Oleh karena itulah aku ingin mempunyai seorang anak. Ketika anakku itu lahir dan kemudian mati, maka tercapailah sudah keinginanku itu."
Orang-orang mengatakan bahwa sejak itu Ibnu Khafif telah menikah sebanyak empat ratus kali. Karena ia keturunan bangsawan maka ketika ia bertaubat dan mencapai kesalehan yang sempurna, banyaklah wanita-wanita yang memajukan diri untuk dilamarnya. Dalam waktu yang bersamaan ia beristeri dua atau tiga orang. Salah seorang di antaranya, puteri wazir yang menjadi isterinya selama empat puluh tahun.
Kepada isteri-isterinya ini beberapa orang pernah bertanya, bagaimanakah sikap Ibnu Khafif terhadap mereka secara pribadi.
"Tidak sesuatu pun yang kami ketahui mengenai dirinya," jawab mereka.
"Kalau di antara kami ada juga yang tahu, tentulah ia itu puteri wazir."
Maka bertanyalah mereka kepada puteri wazir, mereka mendapat jawaban, "Apabila kuketahui Syaikh hendak berkunjung ke kamarku pada malam hari, kupersiapkan makanan yang lezat-lezat. Kemudian aku berdandan. Ketika ia datang dan melihat apa yang aku lakukan, aku pun dipanggilnya dan dipandanginya beberapa saat lamanya. Kemudian untuk beberapa saat pula dipandangnya makanan yang telah kusediakan itu. Pada suatu malam Syaikh menarik tanganku dengan lengan bajunya kemudian diusapkannya ke perutnya. Terabalah olehku lima buah simpul di antara dada dan pusarnya. 'Tidak inginkah engkau bertanya simpul-simpul apakah ini?' ia bertanya kepadaku. Maka aku pun bertanya, 'Simpul-simpul apakah itu? 'Semua ini adalah gejolak-gejolak api ketabahan yang telah kusimpulkan satu persatu agar aku dapat bertahan terhadap kejelitaan dan makanan lezat yang engkau hidangkan kepadaku', jawab beliau. Kemudian ia pergi meninggalkan aku. Itulah satu-satunya hubungan intim di antara kami. Alangkah kokoh disiplin diri Ibnu Khafif."
Anekdot-Anekdot Mengenai Diri Ibnu Khafif
Ada dua orang murid Ibnu Khafif, yang seorang bernama Ahmad Tua dan yang seorang lagi Ahmad Muda. Di antara kedua muridnya ini, Ibnu Khafif lebih menyayangi Ahmad Muda. Murid-murid lain tidak setuju terhadap sikap Ibnu Khafif ini. Mereka berdalih: Bukankah Ahmad Tua telah menjalankan lebih banyak perintah dan disiplin diri? Setelah mengetahui perihal ini, Ibnu Khafif ingin membuktikan kepada mereka, bahwa Ahmad Muda lebih unggul dari Ahmad Tua. Pada saat itu ada seekor unta yang sedang tidur di depan pintu.
"Ahmad Tua," Ibnu Khafif memanggil.
"Saya," sahut Ahmad Tua.
"Angkatlah unta itu ke atas loteng," perintah Ibnu Khafif.
"Guru," kata Ahmad Tua, "mana mungkin aku dapat mengangkat unta itu ke atas loteng."
"Cukup," jawab Ibnu Khafif. Kemudian ia memanggil Ahmad Muda.
"Ahmad Muda," panggilnya.
"Saya," Ahmad Muda menyahut.
"Angkatlah unta itu ke atas loteng."
Ahmad Muda segera mengencangkan ikat pinggangnya, menggulung lengan bajunya, dan berlari-lari keluar. Ahmad Muda menaruh kedua tangannya ke bawah tubuh binatang itu dengan sekuat tenaga mengangkatnya, namun sia-sia.
"Cukup," baik sekali!" Ibnu Khafif berseru.
Kemudian berkatalah ia kepada murid-muridnya.
"Sekarang tahulah kalian bahwa Ahmad Mudalah yang telah melakukan kewajibannya. Ia menaati perintah tanpa membantah. Yang dipentingkannya ialah perintahku dan tidak peduli apakah perintah itu dapat dilaksanakannya atau tidak. Sebaliknya dengan Ahmad Tua, ia hanya ingin berdalih dan membantah. Dari sikap yang terlihat kita dapat memahami keinginan di dalam hati seseorang."
***
Seorang pengelana mengunjungi Ibnu Khafif. Ia mengenakan jubah hitam, syal hitam, celana hitam dan baju hitam. Di dalam batinnya, Syaikh Ibnu Khafif merasa cemburu. Ketika si pengelana melakukan shalat sunnat dua raka'at dan mengucapkan salam, Ibnu Khafif bertanya kepadanya, "Mengapa engkau berpakaian serba hitam?"
"Karena tuhan-tuhanku telah mati (yang dimaksudnya adalah hawa nafsunya). Pernahkah engkau menyaksikan seseorang yang mempertuhankan hawa nafsunya?"
"Usir orang itu keluar," Ibnu Khafif memberi perintah kepada murid-muridnya.
Dengan kasar si pengelana diusir keluar.
Kemudian Ibnu Khafif memerintahkan pula, "Bawalah dia masuk."
Orang itu pun dibawa masuk, Perlakuan yang seperti itu berulang sampai empat puluh kali. Akhirnya Ibnu Khafif bangkit dari tempat duduknya, mencium kepala si pengelana dan memohon maaf, "Engkau memang berhak berpakaian serba hitam," kata Ibnu Khafif, "telah empat puluh kali murid-muridku menyakiti hatimu tetapi engkau tetap tabah."
***
Dari negeri yang jauh, datang dua orang sufi untuk berkunjung kepada Ibnu Khafif. Karena tidak menemukan Syaikh di tempatnya, maka bertanya-tanyalah mereka, di manakah kiranya Ibnu Khafif berada pada saat itu.
"Di istana Azud ad Daula," seseorang memberikan keterangan.
"Apakah urusan Syaikh Ibnu Khafif di istana?" kedua sufi itu bertanya-tanya.
"Selama ini kita mengira bahwa ia adalah orang yang mulia." Kemudian mereka berkata, "Lebih baik kita melihat-lihat kota ini."
Maka pergilah mereka ke pasar. Kemudian mereka menuju ke tempat tukang jahit untuk menambalkan jubah mereka yang robek di sebelah depannya. Tetapi ketika itu si penjahit lagi kehilangan guntingnya.
"Kalian mencuri gunting," orang ramai menuduh mereka berdua dan menyerahkan mereka kepada polisi. Kedua sufi itu digiring ke istana.
"Potonglah tangan mereka," Azud ad Daula memberikan perintah.
"Tunggu!" Ibnu Khafif yang ketika itu berada di istana berseru, "mereka ini bukan pencuri."
Maka kedua sufi itu pun dibebaskan. Kemudian Ibnu Khafif berkata kepada mereka, "Persangkaan buruk kalian terhadap diriku memang wajar. Tetapi urusanku yang sebenarnya di istana adalah untuk tujuan-tujuan seperti membebaskan tadi"
Sejak itu keduanya menjadi murid Ibnu Khafif.
Sumber:
Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar
Post a Comment Blogger Disqus