Menantu Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya (Kang Ayip Muh) Cirebon
Suatu ketika Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki datang ke Bangil dan menjadi tamu di pesantren Darul Lughah wad Da’wah, asuhan Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Seperti biasa seorang santri diperintahkan untuk menyampaikan kalimat tahrib (selamat datang), dan yang menyampaikannya adalah seorang santri bernama Quraisy, adik Habib Miqdad sendiri. Rupanya Abuya terkesan dengan sambutan bahasa Arab dari santri cilik itu, dan menanyakan ke Habib Hasan, bagaimana jika ia dibawa ke Makkah untuk belajar di sana. Tentunya Habib Hasan senang mendengarnya, namun sang ibu masih khawatir karena usianya baru 12 tahun waktu itu. Abuya menanyakan kembali, kalau ada kakaknya, tidak apa. Dan disitulah Habib Miqdad yang lahir di Sumenep 16 Agustus 1967 di tanya oleh Abuya, sudah berapa lama nyantri, kitab apa saja yang telah di kaji, mau tidak belajar di Makkah. Habib Miqdad menyanggupinya meskipun syaratnya lumayan berat karena selama menempuh pendidikan disana tidak boleh di jenguk selama 7 tahun oleh keluarga dan kerabatnya.
Tanpa membuang waktu, sepekan setelah itu Habib Miqdad berangkat bersama Abuya ke Arab Saudi kediaman Abuya di tahun 1983, 4 tahun pertama beliau ditempatkan di Madinah, di bawah asuhan guru yang ditugaskan Abuya, tiap tahun beliau sempatkan untuk berhaji, hingga tahun 1987 beliau dipindahkan ke Makkah tepatnya di Rusaifan di bawah didikan langsung Abuya. Dengan konsen disiplin ilmu Hadist, sirah, usul fiqih, dan tafsir. Guru beliau diantaranya, Habib Salim bin Umar Assegaf, Syaikh Abdullah al Lahji, Syaikh Ahmad bin Jabir Jibran, Sayyid Ahmad Ar Ruqami al Yamani, Syaikh Farhan al Misri, Syaikh Muhammadd bin Ali Ash Shabuni pakar tafsir al Quran terkemuka.
Hari-Hari Bersama Abuya
Selain belajar aktifitas Habib Miqdad adalah berkhidmat kepada Abuya, semua kebutuhan sang guru mulia, bersih-bersih lingkungan tempat belajar, sepekan sekali mencuci mobil Abuya. Beliau jalani semua dengan penuh suka cita, dengan keyakinan penuh keberkahan bersama sang guru, sampai sempat beliau di tugaskan untuk mengangkat AC berukuran besar naik turun rumah Abuya 4 lantai, beliau hanya berujar “semua itu memberi keberkahan pada diri ana saat ini” dengan senyuman beliau ceritakan kisahnya.
Pagi hari setelah tugas mencuci mobil selesai sekitar pukul 09.00 semua santri beristirahat, setelah mandi sarapan dan sebagainya, dilanjutkan jam 9.30 ta’lim bersama Abuya di kamar pribadinya sampai 1.30 siang. Biasanya sampai membaca tiga kitab, setelahnya dilanjut sholat Dzuhur berjamaah, dan istirahat sampai waktu Ashar. Ketika Ashar tiba, sholat berjamaah dipimpin Abuya di Musholah, semua santri setelahnya membaca wirid Hizbul Bahr, setelahnya ada ta’lim lagi selesai pukul 5.00 sore. Setelahnya sholat maghrib berjamaah, Abuya mengajar santrinya sampai sekitar 8.30 malam, lalu sholat isya berjamaah.
Setelah santri bubar untuk istirahat ke kamar masing-masing, Abuya menerima tamu, dengan segala keperluannya, baru Abuya pulang ke rumah untuk menemui istri, ibu, dan anak beliau, setelahnya baru Abuya ke meja kerja beliau untuk menulis agenda dan sebagainya, sampai tengah malam baru Abuya beristirahat. Abuya tidak pernah tidur di ranjang, melainkan tidur di bawah beralaskan kasur tipis, sambil berkata “saya malu kepada Rasulullah, Beliau s.a.w tidur di tikar, bagaimana mungkin saya tidur di kasur”, suatu ketika ada yang menanyakan kebiasaannya itu. Saat subuh juga seperti biasa Abuya sudah berada di mushola terlebih dahulu dari para santrinya, setelah berjamaah, wirid, dilanjutkan ta’lim. Bisa dikatakan dari subuh sampai 9.30 malam adalah waktu untuk santri dan umat, selebihnya untuk keluarga.
Dan tepatnya pada tahun 1993 Habib Miqdad mendapatkan tugas khusus menjadi sekretaris pribadi Abuya, yang tugas utamanya adalah menulis apa yang diperintahkan Abuya dan memastikan kesiapan semua ta’lim Abuya, membersihkan ruangan belajar, menyalakan AC, sampai memegang kunci majelis. Setelah semua persiapan selesai baru para santri masuk, ketika semua bubar pun, beliau masih menemani Abuya terutama ketika Abuya menerima tamu.
Bukan untuk Beristirahat
Berkat kedekatannya dengan sang guru, beliau juga berkesempatan bertemu dengan guru-guru mulia lainnya dan mendapat ijazah dari mereka yang berkunjung ke Abuya. Seperti Habib Abdul Qodir bin Ahmad Aseegaf Jedah, Habib Abubakar Aththas bin Abdullah al Habsyi, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al Haddad, Habib Muhammad bin Abdullah al Haddar, yang paling baru mendapatkan rantaian ilmu sambung ke Habib Salim bin Abdullah Asy Shathiri dan Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz Yaman.
Tak terasa waktu 7 tahun itu beliau lalui, dan masih merasa belum mendapatkan “apa-apa”, dan melanjutkan lagi selama 1 tahun. Dan masih saja dirasakan kurang, sehingga beliau genapkan 10 tahun, ujar Habib Miqdad “masih banyak hal yang masih ana belum tau, semakin banyak yang belum diketahui, ya sudah, sekalian ana genapkan 10 tahun belajar disini”. Setelah sepuluh tahum rasa itu juga masih dirasakan, semakin kurang, dan kurang dengan keilmuan, karena sejatinya ilmu adalah sangat luas. Namun dari keluarga beliau menginginkan agar beliau cepat pulang, sampai paman beliau Habib Musthafa pernah menyurati, yang hanya berisikan “pulaaaaaang…..” tahun 1993 beliau memberanikan diri untuk berpamitan kepada Abuya, Abuya mengiyakan saja. Tapi setelahnya aktifitas sehari-hari terus berlanjut, seolah tidak ada tindak lanjut dari persetujuan Abuya, dikarenakan kesibukan yang sangat padat. Abuya terlupa. Dan Habib Miqdad baru mengingatkan kembali setelah berjalan 1 tahun setelahnya, begitu di ingatkan, Abuya berkata “Ya Allah ana lupa, ya sudah tahun depan saja ya, tapi sebelum ente pulang, ana akan ajak ente berkeliling”.
Ketika datang waktu yang dijanjikan Abuya, setelah genap 12 tahun, Habib Miqdad selama sepekan di ajak berkeliling ke Mesir, dan Maroko. Bersama 4 kawan yang lain, beliau berziarah ke makam para awliya dan bersilaturahim ke ulama terkemuka. Setelah sampai di Makkah di hari terakhirnya di tempat Abuya, Abuya memakaikan imamah kepadanya, kemudian diperintahkan untuk berthawaf ke Masjidil Haram, thawaf wada’. “Dari sini sampai kembali nanti imamah ini jangan dilepaskan” pesan Abuya.
Setelah kembali, majelis Abuya telah dimulai beliau bersama kedua rekannya, duduk di belakang, kemudian Abuya memanggil mereka, untuk kedepan, dan Abuya mengatakan “hari ini ada 3 dari saudara kita akan kembali ke Indonesia. Mereka pulang bukan untuk beristirahat, bukan untuk berlibur, tapi untuk berjihad, mereka akan berhadapan langsung dengan misionaris, dengan kaum munafikin, dengan kaum yang tidak suka dengan Rasulullah, dengan kaum yang tidak suka dengan Islam, doakanlah mereka bertiga”.
Hijrah ke Cirebon
Singkat cerita, beliau sampai di Bangil, langsung dibawa ke pesantren lalu diajak ke masjid, kemudian ke kediaman Habib Hasan Baharun, pamannya, di kantor Habib Hasan, beliau meminta agar bersedia membantunya di pesantren, “selama satu tahun. Kalo mau nambah ya terserah ente”, besoknya beliau langsung terlibat di kegiatan pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil.
Pada tanggal 21 Maret 1996 beliau mempersunting cucu Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya (Kang Ayip Muh, Jagasatru Cirebon) Setelah pernikahannya itu beliau sering ke Cirebon, terutama ketika pesantren libur, tepat bulan Shafar 1988 Paman beliau, Habib Hasan Baharun wafat, sebulan setelahnya bulan Maulid beliau datang ke Cirebon, sampai di sana subuh, langsung diajak Habib Muhammad menghadiri acara maulid, dan bertemu dengan Habib Shaleh bin Abdullah Assegaf, sesepuh Habaib di kota Cirebon kala itu.
Saat bersalaman dengan Habib Shaleh, di genggamnya tangan Habib Miqdad begitu lama, dan berkata kepada Habib Muhammad, “Muh, biar Miqdad tinggal di Cirebon”, dan Habib Muh menjawab pelan “Iya, semua ada waktunya”. Entah mengapa pembicaraan kedua sesepuh Cirebon itu begitu membekas di hati Habib Miqdad, belum lagi melihat aktivitas dakwah Habib Muh yang begitu padat, beliau pun berkeingingan meringankan beban kakek mertua itu dan berkhidmat kepadanya. Dan hasilnya tahun 1999 Habib Miqdad hijrah ke Cirebon.
Bermula dari majelis kecil yang dibina Habib Miqdad, kemudian berkembang sampai berdirilah Pesantren Al Khariyyah di Watubelah, Plered Cirebon. Bila dulu Abuya berperang dalam mengembangkan kazanah keilmuanya, sekarang dirasakan, Habib Muhammad bin Syekh bin Yahya berperan membentuk kepribadian dan mengenalkan dirinya ke tengah masyarakat di Cirebon. “Ini mantu cucu saya”, ditirukan Habib Miqdad apa yang dikatakan Habib Muh, ketika memperkenalkan dirinya ke orang, dia baru datang dari Jawa Timur.
Habib Muh, dimata Habib Miqdad adalah sosok yang sangat dicintai dan dikaguminya disamping gurunya, Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al Maliki. Akhlak beliau sangat luar biasa, begitu juga sifat tawadu'nya, qona’ahnya, dan kesederhanaannya. Dan kagum juga dengan cara membagi waktu dan karakter dakwah Habib Muh yang diterima di semua lapisan masyarakat. Terutama sikap perhatian Habib Muh tentang masalah akidah ummat. Suatu hari di majelis Jagasatru, Ahad pagi, Habib Muh sudah bersiap untuk keluar rumah menuju majelis. Habib Miqdad menemui Habib Muh, kemudian duduk di ruang tamunya, karena ada tamu yang hendak berkunjung, sambil duduk Habib Miqdad melihat satu persatu jamaah, dari berbagai pelosok kampung di Cirebon, untuk menghadiri majelis Habib Muh. Tiba tiba Habib Muh menangis, dan membisikan kalimat ke telinga Habib Miqdad, “Man Ya’tani bi dinihim…”, siapa yang memperhatikan urusan agama mereka… kata-kata itu begitu menyentuh hati Habib Miqdad, hingga hari ini. Dan menjadi cambuk baginya untuk terus menebar ilmu dan berdakwah di tengah-tengah masyarakat.
Sumber:
- http://www.almuhibbin.com/
- http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
- http://www.facebook.com/SYAFAAH.dan.BAROKAH
- http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
Post a Comment Blogger Disqus