Awal pertemuan Gus Miek dengan KH. Hamid Kajoran bisa dikatakan berawal dari rumah KH. Ashari, Lempuyangan karena saat itu KH. Hamid Kajoran aktif mengikuti kegiatan mujahadah yang diadakan oleh KH. Ashari, dan Gus Miek sangat dekat dengan keluarga KH. Ashari. Apalagi pada waktu-waktu selanjutnya, KH. Hamid Kajoran menjadi besan dari KH. Ashari.
Dalam dakwahnya di Semarang, Gus Miek mengalami berbagai hambatan sehingga dakwahnya tersebut belum bisa maksimal. Di antara hambatan itu adalah besarnya pengaruh trio wali Jawa Tengah, yakni KH. Dalhar Watucongol, KH. Muslih Mranggen, Demak, dan KH. Hamid Kajoran, Magelang. Melihat kenyataan ini, hampir bisa dipastikan bahwa masyarakat Islam di Jawa Tengah tentu tidak akan mudah menerima keberadaan Gus Miek dengan gaya dakwahnya.
Suatu hari, di Semarang, rombongan KH. Hamid Kajoran dan Khozin Abdullah usai menghadiri acara mauludan di rumah Gus Mad Watucongol, berusaha mengejar Gus Miek yang tengah berada di masjid Kauman, Semarang. Tetapi, Gus Miek yang tinggal di rumah Jauhari sedang keluar bersama Muntad. Karena lama menunggu Gus Miek belum juga datang, KH. Hamid berpamitan dan meninggalkan pesan untuk Gus Miek pada para Huffazh yang berada di situ. Esok harinya, mereka tetap tidak bisa bertemu Gus Miek karena Gus Miek telah berangkat ke Jawa Timur.
Hujan masih turun dengan derasnya di malam itu ketika Gus Miek beserta rombongan pulang dari pasar malam di Bondowoso. Tiba di depan pasar malam Arjasa, Gus Miek berhenti mampir di sebuah warung kopi dengan pelayan seorang perempuan tua. Setelah beberapa saat, Gus Miek berkata: “Aku tertarik dengan orang itu karena dua hal; pertama, orang itu ganteng dan simpatik; kedua, aku kasihan sama orang itu.”
Rombongan KH. Hamid Kajoran, yang beberapa bulan sebelumnya gagal bertemu dengan Gus Miek di Semarang, berusaha mencari Gus Miek lagi. Kali ini dengan rombongan dari Yogyakarta untuk mencari Gus Miek ke Pasuruan. Dalam rombongan itu ada Hadi Mustadi, KH. Daldiri beserta istri, dan Nyai Hamid Kajoran. Rombongan tersebut akhirnya bertemu dengan Gus Miek di perempatan Mojoagung, Jombang.
Gus Miek mengajak rombongan KH. Hamid ke salah satu warung. Setelah beberapa lama mengobrol, Gus Miek menyuruh KH. Hamid dan KH. Daldiri beserta istri mengunjungi salah seorang habib di Panggul, sementara Gus Miek, Nyai Hamid, dan Hadi Mustadi langsung ke Setonogedong untuk ziarah.
Karena di Setonogedong belum ada listrik, ziarah terpaksa memakai senter. Dari Setonogedong dilanjutkan ke makam KH. Zaenudin, Mojosari. Sebelum pulang, Hadi Mustadi yang menderita gula, mengadukan penyakitnya kepada Gus Miek. Gus Miek kemudian memberi dia obat.
Beberapa minggu kemudian, Gus Miek datang ke Yogyakarta dan menginap di Hotel Utara selama beberapa hari untuk mengkoordinir para jama’ah yang semakin bertambah di Kota Gudeg tersebut. Setelah di Yogyakarta, Gus Miek melanjutkan perjalanannya ke Semarang. Ada satu cerita yang berkenaan dengan KH. Hamid Kajoran saat di Semarang ini. Suatu hari, saat Khozin (pengikut Gus Miek yang rumahnya dijadikan mangkal Gus Miek dan jama’ahnya di Semarang) sedang bekerja sebagai tukang jahit. Tiba-tiba ada tamu memakai baju Eropa (Belanda) berwarna putih lengkap dengan topi klopnya, masuk begitu saja tanpa permisi. Khozin membiarkan saja karena mengira tamu itu orang yang hendak memesan baju.
”Mas Khozin, minta es. Aku haus,” kata tamu itu.
Khozin terkejut karena tamunya ternyata KH. Hamid Kajoran. Khozin pun segera mengambilkan minum.
“Dari mana Kiai?” Tanya Khozin sambil sambil memberikan minum.
“Gus Miek itu payah, aku “digarap.” Aku bertemu Gus Miek di jalan, lalu disuruh melepas sarung dan berganti baju Belanda dan diajak main (berjudi) ke THR. Menang banyak, tapi ia bagikan semuanya kepada tukang becak di sepanjang jalan. Di jalan, bertemu mobil pickup yang isinya penuh cewek artis. Semuanya memanggil Gus Miek, Papi. Gus Miek menyuruhku langsung ke Kauman, sementara dia langsung naik mobil berbaur cewek-cewek itu. Payah, kalau aku bertemu jama’ahku dengan pakaian seperti ini, mau aku taruh di mana mukaku,” jawab KH. Hamid Kajoran berapi-api. Khozin hanya tertawa mendengarnya.
Selanjudnya, Gus Miek meninggalkan Semarang dan meminta bantuan KH. Hamid Kajoran untuk “menggarap” wilayah Semarang dengan pusat gerakan di Kauman. Hal ini dilakukan karena KH. Hamid Kajoran sangat dihormati dan disegani, dan yang pasti bisa diterima di wilayah Jawa Tengah.
Sumber:
Dunia pesantren
Post a Comment Blogger Disqus