Abu Ya’qub bin al Husain ar Razi telah melakukan perjalanan yang jauh, dari Rayy kota kelahirannya, sampai ke Arab dan Mesir dimana ia bertemu dengan Dzun Nun al Mishri dan belajar kepadanya. Kemudian ia kembali ke Rayy untuk mengajar di sana dan di Rayy inilah ia meninggal dunia tahun 304 H / 916 M.
Pertaubatan Yusuf bin al Husain ar Razi
Kehidupan spiritual Yusuf bin al Husain ar Razi dimulai sebagai berikut:
Ia melakukan perjalanan bersama sahabat-sahabatnya di Negara Arab. Ketika sampai ke suatu daerah kekuasaan suatu suku, seorang puteri kepala suku itu melihatnya, lantas tergila-gila kepada Yusuf yang memang berwajah tampan. Setelah menanti saat-saat yang tepat, akhirnya si gadis dapat menghadang Yusuf. Dengan tubuh gemetar Yusuf meninggalkan si gadis dan berangkat menuju perkampungan yang lebih jauh letaknya.
Suatu malam, ketika Yusuf tertidur dengan menyandarkan kepala ke lututnya, ia bermimpi sedang berada di suatu tempat yang belum dikenalnya. Seseorang sedang duduk di atas sebuah tahta dengan segala kebesaran sebagaimana layaknya seorang raja, di sekelilingnya berdiri pengawal-pengawal berjubah hijau. Karena rasa ingin tahu siapa mereka. Yusuf menghampiri mereka. Semua memberi jalan kepada Yusuf dan bersikap hormat kepadanya.
“Siapakah kalian?” Tanya Yusuf.
“Kami adalah malaikat-malaikat, dan yang duduk di atas tahta itu adalah Yusuf as. Ia datang berkunjung kepada Yusuf bin al Husain.”
Marilah kita dengarkan lanjutan kisah ini menurut penuturan Yusuf bin al Husain sendiri:
Aku tak dapat menahan air mataku dan berseru, “Siapakah aku ini sehingga Nabi Allah sendiri telah datang untuk mengunjungiku?”
Yusuf as turun dari tahtanya dan merangkulku. Kemudian ia mendudukkan aku ke atas tahta itu. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Nabi Allah, siapakah aku sehingga engkau sedemikian baiknya terhadapku?”
Yusuf as menjawab, “Ketika gadis jelita itu menghadangmu tetapi engkau menyerahkan diri kepada Allah dan minta perlindungan-Nya, Allah menunjukkan dirimu kepadaku dan para malaikat ini. Dan Allah berkata kepadaku, ‘Lihatlah wahai Yusuf! Engkau adalah Yusuf yang birahi terhadap Zulaikha dan menolaknya. Tetapi dia adalah Yusuf yang tak birahi terhadap puteri seorang raja Arab dan melarikan dirinya. Allah sendiri mengutusku beserta malaikat-malaikat ini untuk mengunjungimu. Ia sampaikan kabar gembira padamu bahwa engkau adalah salah seorang di antara manusia-manusia kesayangan-Nya.”
Kemudian Yusuf a.s. menambahkan, “Di dalam setiap zaman ada seorang penunjuk jalan. Penunjuk jalan pada zaman ini adalah Dzun Nun al Mishri. Dia telah mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Pergilah kepadanya.”
Ketika Yusuf bin al Husain terjaga (pengisah meneruskan kisahnya), hatinya sangat terharu. Hasratnya menggelora. Ia sangat ingin mengetahui yang terbesar di antara nama-nama Allah. Berangkatlah ia ke negeri Mesir. Sesampainya di masjid Dzun Nun, ia pun mengucapkan salam dan duduk. Dzun Nun membalas salamnya. Setahun lamanya Yusuf duduk di sudut masjid itu. Ia tak berani bertanya kepada Dzun Nun. Setelah setahun barulah Dzun Nun bertanya kepadanya, “Anak muda, apakah tujuanmu kemari?”
“Untuk menemuimu,” jawab Yusuf.
Setelah itu setahun pula lamanya Dzun Nun tidak berkata-kata kepadanya.
“Anak muda apakah yang engkau kehendaki?”
“Aku datang supaya engkau mengatakan kepadaku Nama Yang Terbesar,” jawab Yusuf.
Setahun pula Dzun Nun membisu. Kemudian diberikannya kepada Yusuf sebuah tabung kayu yang tertutup dan berkata, “Pergilah ke seberang sungai Nil. Di suatu tempat ada seorang tua. Berikanlah tabung ini kepadanya dan ingatlah apa-apa yang dikatakannya kepadamu.”
Yusuf menerima tabung kayu itu dan pergilah ia menyeberang sungai Nil. Di tengah perjalanan hatinya tergoda.
“Apakah yang bergerak-gerak di dalam tabung ini?,” ia bertanya di dalam hati. Tabung itu dibukanya dan seekor tikus meloncat keluar, kemudian melarikan diri, Yusuf merasa bingung.
“Kemanakah aku harus pergi sekarang? Haruskah aku ke orang tua itu atau kembali kepada Dzun Nun?”
Akhirnya ia memutuskan untuk menjumpai si orang tua itu. Menyaksikan kedatangan Yusuf yang menenteng tabung kayu yang telah kosong itu, si orang tua tersenyum dan menegurnya, “Engkau menanyakan nama Allah Yang Terbesar kepada Dzun Nun?”
“Ya,” jawab Yusuf.
“Dzun Nun mengetahui sikapmu yang tidak sabar dan oleh karena itu dititipkannya seekor tikus kepadamu. Maha Besar Allah, seekor tikus saja tidak dapat engkau jaga, apalagi Nama Yang Terbesar itu.”
Yusuf malu sekali, ia pun kembali ke masjid Dzun Nun. Dzun Nun menyambutnya.
“Kemarin, tujuh kali aku memohon ijin kepada Allah untuk menyampaikan nama-Nya yang terbesar itu, tetapi Allah tidak memperkenankannya. Hal ini berarti, belum tiba saatnya. Kemudian Allah menunjukiku: ‘Cobalah ia dengan seekor tikus.’ Dan setelah engkau kucoba ternyata beginilah jadinya. Kembalilah ke negeri asalmu dan tunggulah hingga saat yang tepat.”
“Sebelum aku meninggalkan tempat ini, berilah aku sebuah petuah,” Yusuf bermohon kepada Dzun Nun.
“Akan kuberi kepadamu tiga petuah,” jawab Dzun Nun. “Yang satu besar, yang sedang, dan yang terakhir kecil. Petuah yang besar adalah: Lupakanlah segala sesuatu yang telah engkau baca dan hapuskanlah segala sesuatu yang telah engkau tulis, agar selubung penutup matamu terbuka.”
“Petuah ini tak dapat kulaksanakan,” sela Yusuf.
“Petuah yang sedang adalah: Lupakanlah aku dan jangan bicarakan diriku dengan siapa pun juga. Jika seseorang berkata, muridku mengatakan begini atau guruku mengatakan begitu sesungguhnya semua itu memuji dirinya sendiri.”
“Petuah ini pun dapat kulaksanakan,” sela Yusuf.
“Yang terakhir yang kecil adalah: Serulah manusia kepada Tuhan mereka.”
“Petuah ini insya Allah dapat kulaksanakan,” sahut Yusuf.
“Tetapi dengan satu syarat, bahwa dalam menyeru manusia itu engkau bukan mereka karena mereka.”
“Aku penuhi syarat itu.”
Maka berangkatlah Yusuf ke Rayy. Ia adalah dari keluarga terhormat dan karena itu warga kota datang menyambut kedatangannya. Ketika memulai khutbahnya, Yusuf mengemukakan realitas-realitas mistik. Mendengar ajaran-ajaran ini, penduduknya yang hanya mengenal doktrin eksoteris melalui pengajaran formal, marah dan menentang Yusuf. Nama Yusuf jatuh sehingga akhirnya tak seorang pun yang mau datang mendengar ceramahnya.
Seperti biasanya, suatu hari ia pun tampil untuk berceramah. Tetapi ketika itu tak datang seorang pun yang hadir mendengarkannya, ia pun bermaksud pulang. Saat itu, seorang perempuan tua berseru, “Bukankah engkau telah berjanji kepada Dzun Nun bahwa engkau akan menyeru manusia bukan karena mereka tetapi karena Allah semata?”
Yusuf tersentak mendengar kata-kata ini. Ia pun memulai khutbahnya. Demikian dilakukannya secara terus menerus selama lima puluh tahun, baik ada yang mendengar atau tidak.
Yusuf bin al Husain dan Ibrahim bin Khauwash
Ibrahim bin Khauwash adalah salah seorang murid Yusuf bin al Husain. Berkat persahabatannya dengan Yusuf itulah Ibrahim bin Khauwash memperoleh kemajuan spiritual yang menakjubkan, sehingga ia sanggup berjalan mengarungi padang pasir tanpa bekal makanan dan binatang tunggangan. Melalui Ibrahim bin Khauwash inilah kita mendengar kisah berikut ini.
Pada suatu malam terdengar olehku sebuah suara yang menyeruku.
“Pergi dan katakan kepada Yusuf bin al Husain engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!”
Kata-kata ini demikian menyedihkan hatiku, sehingga seandainya sebuah gunung ditimpakan ke atas kepalaku, niscaya lebih mudah kutanggungkan daripada menyampaikan kata-kata itu kepada Yusuf.”
Malam esoknya terdengar pula seruan yang lebih keras, “Katakanlah kepada Yusuf, ‘Engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!”
Aku bangun, bersuci dan memohon ampunan Allah. Aku merenungi hal ini hingga malam yang ketiga, dan seruan itu terdengar pula, “Katakanlah kepada Yusuf, ‘Engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak!’ Jika pesan ini tidak engkau sampaikan kepadanya, akan Kami timpakan bencana kepadamu sehingga kau tak dapat bangun lagi.”
Dengan sangat sedih aku pun bangkit dan pergi ke masjid, dimana kulihat Yusuf sedang duduk di tempat imam shalat.
“Adakah syair yang hapal olehmu?” Yusuf bertanya ketika ia melihat kedatanganku.
“Ya,” jawabku. Aku pun mengingat-ingat sebuah syair berbahasa Arab lalu kusenandungkan. Yusuf begitu senang mendengar syair itu. Ia berdiri dan tetap berdiri untuk waktu yang lama. Air matanya bercucuran, seolah bercampur dengan darah. Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata, “Sejak dilahirkan hingga saat ini, orang-orang telah membacakan al Qur’an untukku, namun tak setetes air mata yang pernah kutumpahkan. Tetapi melalui sebuah syair yang engkau senandungkan itu, aku mengalami keadaan seperti ini, air mataku bercucuran. Sangatlah tepat apabila orang-orang mengatakan bahwa aku adalah seorang bid’ah. Seruan Ilahi telah berkata dengan sebenarnya, bahwa aku adalah salah seorang di antara orang-orang yang ditolak. Seseorang yang demikian terharu mendengar sebuah syair tetapi al Qur’an tak sedikit pun menggugah hatinya, adalah benar-benar salah seorang yang ditolak.”
Hatiku goncang karena menyaksikan kejadian ini dan mendengarkan kata-katanya. Goyahlah keyakinanku kepada Yusuf. Aku takut. Aku pun bangkit dan berjalan ke arah padang pasir. Dalam perjalanan itu kebetulan aku bertemu dengan Khidir dan ia berkata kepadaku, “Yusuf bin al Husain telah menerima pukulan Allah, tetapi tempatnya adalah puncak tertinggi di dalam surga. Seorang manusia harus menempuh jalan Allah demikian jauh dan demikian kokohnya, sehingga walau dahinya ditampar oleh tangan penolakan, tempatnya masih tetap di puncak tertinggi di dalam surga. Apabila di atas jalan Allah ini tingkat para raja tak tercapai olehnya, setidak-tidaknya tingkatnya tidak di bawah para menteri.”
Yusuf bin al Husain dan Seorang Hamba Perempuan
Seorang saudagar telah membeli seorang hamba perempuan seharga seribu dinar di Nishapur. Ia berpiutang kepada seorang di kota lain. Si saudagar hendak pergi ke sana dengan segera untuk menagih piutangnya itu. Tetapi di kota Nishapur tak seorang pun yang dapat mempercayainya untuk dititipkan hamba perempuannya itu. Oleh karena itu pergilah ia menemui Abu Utsman al Hiri dan menjelaskan masalah yang dihadapinya itu. Mula-mula Abu Utsman menolak titipan budak perempuan itu, tetapi si saudagar tetap meminta pertolongannya.
“Izinkanlah dia tinggal di dalam haremmu. Aku akan kembali dalam waktu secepatnya.”
Akhirnya Abu Utsman menyerah dan si saudagar meninggalkan tempat itu. Tanpa disengaja terpandanglah gadis itu oleh Abu Utsman dan ia pun tergila-gila kepadanya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Akhirnya pergilah ia ke rumah gurunya Abu Hafshin bin Haddad, untuk meminta nasehat. Abu Hafshin bin Haddad menasehatkan, “Pergilah ke Rayy dan mintalah nasehat kepada Yusuf bin al Husain.”
Maka berangkatlah Abu Utsman ke negeri Iraq. Ketika sampai di kota Rayy, ditanyakannya tempat tinggal Abu Yusuf bin al Husain, tetapi orang-orang mencegahnya ke sana.
“Apakah urusanmu dengan manusia bid’ah yang terkutuk itu? Engkau tampaknya sebagai seorang yang shaleh, bergaul dengannya berarti menjerumuskan dirimu sendiri.”
Sedemikian banyak keburukan-keburukan Yusuf yang diperkatakan orang sehingga Abu Utsman menyesal, mengapa ia sampai datang ke kota Rayy itu. Akhirnya ia pun kembali ke Nishapur.
“Apakah engkau telah bertemu dengan Yusuf bin al Husain?” satu pertanyaan Abu Hafshin yang menyambut kedatangannya di Nishapur.
“Tidak,” jawab Abu Utsman.
“Mengapa tidak?” Tanya Abu Hafshin.
“Aku dengar segala tingkah laku Yusuf.” Kemudian dikisahkannya segala sesuatu yang disampaikan penduduk Rayy kepadanya. “Oleh karena itulah aku tidak pergi menemuinya dan kembali ke Nishapur.”
“Kembalilah ke Rayy, dan temuilah Yusuf,” Abu Hafshin mendesak Utsman.
Abu Utsman pergi lagi ke Rayy dan sekali lagi bertanya-tanya, di manakah tempat tinggal Yusuf, dilihatnya seorang tua yang sedang duduk. Dan seorang remaja tampan yang tak berjanggut berada di depannya. Si pemuda sedang menyajikan sebuah cembung dan cangkir. Wajahnya berseri-seri. Abu Utsman masuk, mengucapkan salam dan duduk. Syaikh Yusuf memulai pembicaraan, mengucapkan ajaran-ajaran yang demikian mulia dan luhur, membuat Abu Utsman terheran-heran.
Akhirnya berkatalah Abu Utsman, “Demi Allah, dengan kata-kata dan pemikiran-pemikiran seperti ini, apakah yang telah terjadi atas dirimu? Anggur dan seorang remaja yang belum berjanggut?”
“Remaja yang tak berjanggut ini adalah puteraku, dan hanya sedikit orang yang tahu bahwa ia adalah puteraku,” jawab Yusuf. “Aku sedang mengajarkan al Qur’an kepadanya. Bejana anggur ini, kebetulan kutemukan di tempat sampah. Bejana ini kuambil, kucuci dan kuisi air, sehingga aku dapat menyuguhkan air kepada orang-orang yang ingin minum karena selama ini aku tak punya sebuah tempayan pun.”
Abu Utsman bertanya pula, “Demi Allah, mengapa engkau bertingkah laku seperti ini sehingga orang-orang mengatakan hal-hal yang bukan-bukan mengenai dirimu?”
“Aku bertingkah laku seperti ini agar tidak ada orang yang sudi menitipkan hamba perempuannya yang berbangsa Turki kepadaku.”
Mendengar jawaban ini, Abu Utsman merebahkan dirinya di kaki sang Syaikh. Sadarlah ia bahwa Yusuf sebenarnya telah mencapai tingkat keshalehan yang tinggi.
Sumber:
Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar
Post a Comment Blogger Disqus