Rasulullah SAW Dalam Bibel: Nubuwat Yang Tergenapi Oleh Nabi Muhammad SAW
Jika kita pahami kata Himdah sebagai sosok yang nyata, dan kata Syalom sebagai agama atau kekuatan yang aktif, nubuwat ini benar dan terbukti dalam wujud Ahmad serta agama Islam. Sebab, kata Himdah dan Syalom dengan sangat mendetail menunjuk pada makna kata Ahmad dan Islam.
Prof. Abdul Ahad Dawud telah melakukan penelitian yang mendalam tentang naskah-naskah Bibel berbahasa Arami, Ibrani, Latin, dan Yunani. Sedikit pendeta masa kini yang mampu memahami terjemahan Bibel berbahasa Latin versi The Vulgate yang resmi diakui oleh gereja Katholik, sebagaimana sedikit pula pendeta yang mampu memahami naskah asli Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani.
Pada awalnya, Prof. Abdul Ahad Dawud adalah seorang pendeta besar bernama David Benyamin Kaldani, guru besar theologi sekaligus pastor Katholik Roma. Dalam bukunya Muhammad in The Bible yang kami sarikan ini, ia menulis begitu komprehensif bagaimana kedudukan Rasulullah SAW sebagai rasul terakhir untuk seluruh umat manusia berdasarkan penelitian yang ia lakukan terhadap kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Sang Nabi yang Dijanjikan
Setiap penelitian Bibel menghadapi kendala yang sangat pelik, bagaimana seseorang dapat mengandalkan keterangan di dalam kitab yang diakui oleh semua pihak telah tercemari oleh cerita rakyat bahkan keasliannya pun diragukan? Juga bagaimana mungkin dapat menggunakan kutipan dari Bibel dalam satu diskusi tetapi kutipan itu tidak membuka peluang bagi debat etimologis?
Contohnya, mari kita membaca kata-kata yang tertulis dalam Perjanjian Lama berkenaan dengan Musa (Ulangan 18/18) sebagai berikut: “Aku akan mengadakan seorang nabi di antara saudara-saudara mereka yang seperti engkau, dan Aku akan membuat firman-Ku di lidahnya.”
Jika nubuwat ini tidak tergenapi dengan kemunculan Muhammad SAW, sebenarnya nubuwat itu tidak pernah tergenapi sampai saat ini. Sebab Isa Al-Masih sendiri tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah nabi yang disebut-sebut dalam ayat tersebut. Bahkan setelah wafatnya Isa Al-Masih, kaum Hawari terus menunggu kedatangan Isa untuk kedua kalinya demi menggenapi nubuwat itu.
Akan tetapi jelas kedatangan Isa untuk kedua kalinya bukan untuk menggenapi nubuwat tersebut, seperti yang diyakini oleh gereja, Isa Al-Masih pasti akan muncul untuk menjadi hakim, dan bukan untuk menjadi penetap syari’at baru. Sebab sang nabi yang dijanjikanlah yang akan datang dengan membawa hukum dan syari’at di tangan kanannya (Ulangan 2/23).
Untuk memastikan jati diri sang nabi yang dijanjikan, kita dapat menggunakan satu nubuwat lain yang dinisbahkan kepada Musa dan membicarakan ihwal cahaya yang memancar dari Gunung Paran (Ulangan 33/2). Yang dimaksud dengan Gunung Paran adalah gunung-gunung di Makkah.
Sekarang mari kita baca kitab Ulangan 33/2 berikut ini: “Cahaya Tuhan datang dari Sinai lalu menyingsing untuk mereka dari Seir dan bersinar terang dari Gunung Paran. Dan datanglah bersamanya 10.000 orang suci dan hukum di tangan kanannya.”
Di dalam ayat ini cahaya Tuhan diserupakan dengan cahaya matahari, “Dia datang dari Sinai lalu menyingsing dari Seir.” Tetapi dia berkilauan dengan kemuliaan dari Paran, tempat 10.000 orang suci akan muncul, sambil membawa hukum (syari’at) dengan tangan kanannya.
Tidak seorang pun dari kalangan Bani Israil, termasuk Isa Al-Masih, yang memiliki hubungan dengan Paran. Siti Hajar bersama putranya Ismail-lah yang telah melakukan perjalanan dari Sinai. Keturunan merekalah yang kemudian mendiami Gunung Paran.
Ismail menikah dengan gadis Mesir (Kejadian 21/12), dan dari anak pertama pasangan itulah lahir bangsa Arab yang mendiami Gunung dan Gurun Paran. Di antara penduduk Paran itu kemudian muncul Muhammad SAW, yang pada salah satu babak dalam hidupnya akan memasuki kota Makkah bersama 10.000 orang suci (kaum beriman). Beliau datang membawa cahaya syari’at (hukum) untuk bangsanya. Jadi, secara harfiah tampak jelas bahwa nubuwat tersebut memang sudah digenapi oleh Muhammad SAW.
Sekarang mari kita lihat nubuwat yang disampaikan oleh Nabi Habakuk di dalam kitab Habakuk 3/3: “Seorang suci dari Gunung Paran. Kemuliaannya menutupi langit, sementara bumi dipenuhi oleh pujiannya.”
Di dalam ayat ini, kata pujian (hamd) memiliki makna yang sangat penting, bahwasanya kata Muhammad (yang terpuji) secara literal memiliki arti yang tepat sepadan dengan kata Al-Mahmud (yang terpuji). Dan di atas itu semua, kepada bangsa Arab yang menjadi penghuni Gunung dan Gurun Paran sebenarnya telah dijanjikan dengan turunnya wahyu yang berbunyi: “Dataran dan kota-kota akan meninggikan suaranya, sebuah kampung yang dihuni oleh Qaidar. Penduduk gunung-gunung akan menyeru dari ketinggiannya, untuk memuliakan sang tuan dan untuk memaklumi pujiannya ke pulau-pulau. Sang tuan akan keluar dengan gagah dan akan melindungi seperti seorang prajurit perang, akan berseru bergemuruh dan akan mengalahkan musuh-musuhnya.” (Yesaya 43/11-13).
Berikut ini adalah dua nubuwat yang juga sangat penting. Yang pertama tertulis di dalam Yesaya 60/6-7: “Bangkitlah karena telah datang cahayamu. Dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu. Inilah kegelapan sedang menutupi bumi dan bangsa-bangsa. Adapun bagimu, cahaya Tuhan terbit untuk memperlihatkan kemuliaannya padamu sehingga bangsa-bangsa akan berjalan di bawah cahayamu dan raja-raja akan berada di bawah sinarmu. Kau ditutupi oleh sekian banyak unta, unta Madyan dan ‘Ifah, yang semuanya datang dari Syiba dengan membawa emas dan dupa. Setiap domba Qaidar akan berkumpul padamu, dan domba-domba jantan Nabayut menjadi pelayanmu. Kau akan naik ke atas mezbah-Ku dan Aku akan mengagungkan bait keagungan-Ku.”
Nubuwat yang kedua termaktub di dalam Yesaya 21/13-17: “Dalam kesukaran di tanah Arab kau menetap, wahai kafilah. Datangkanlah air untuk orang-orang yang kehausan, wahai penduduk tanah Tayma. Cukupkanlah orang yang melarikan diri dengan rotinya. Sesungguhnya mereka melarikan diri dari pedang yang terhunus, busur-busur panah yang telah direntangkan, dan dari derita perang. Demikianlah firman Tuhan. Dalam satu tahun seperti setahun bagi seorang penyewa semua kemuliaan Qaidar akan runtuh, dan busur-busur yang tersisa di tangan para pahlawan Bani Qaidar akan tanggal.”
Kita tentu dapat melihat keterkaitan menakjubkan antara kedua nubuwat ini dan nubuwat yang terdapat di dalam kitab Ulangan tentang cahaya terang yang memancar dari Gunung Paran.
Ismail telah mendiami Gunung dan Gurun Paran, kemudian lahir Qaidar darinya, yang kelak menjadi kakek moyang bangsa Arab. Telah ditakdirkan kepada keturunan Qaidar bahwa mereka akan mendapatkan wahyu dari Allah dan hendaklah mereka mempersembahkan qurban sebagai tanda penghormatan bagi Baitullah pada saat kegelapan meliputi bumi selama berabad-abad.
Telah ditakdirkan pula bahwa anak-cucu Qaidar berikut para pemanah dan pahlawan-pahlawan mereka untuk berani menghadapi pedang yang terhunus dan busur panah yang sudah direntangkan sekitar setahun setelah mereka melaksanakan hijrah. Apakah ada orang yang dapat menggali arti tentang seseorang dari Paran kalau orang tersebut bukan Muhammad SAW?
Muhammad SAW berasal dari keturunan Ismail dan Qaidar. Beliau adalah satu-satunya nabi yang harus menghadapi bangsa Arab dengan wahyu Ilahi pada saat kegelapan meliputi bumi. Kemudian dari kegelapan itu memancar cahaya Tuhan di Paran. Makkah adalah satu-satunya negeri yang menjadi tempat diagungkannya Baitullah. Di negeri itu pula qurban-qurban dipersembahkan di dekat Baitullah.
Setelah mengalami penindasan dari kaumnya, Muhammad SAW terpaksa berhijrah dari Makkah sehingga dia harus merasakan kehausan di tengah pelariannya dari pedang yang terhunus dan busur panah yang sudah direntangkan. Tepat setahun setelah melaksanakan hijrahnya itu, beliau harus menghadapi anak-cucu Qaidar yang lain dari Makkah dalam Perang Badar dan berhasil mengalahkan keturunan Qaidar yang membawa busur-busur sehingga beliau pun menerima limpahan pemuliaan dari mereka.
Jika Muhammad SAW tidak diterima sebagai nabi yang menggenapi semua nubuwat ini, berarti semua nubuwat di atas memang tidak pernah digenapi. Sebagaimana Baitullah, yang di dalamnya nama-Nya diagungkan, yang disebut-sebut dalam kitab Yesaya 60/7 sebenarnya adalah Baitullah yang ada di Makkah, bukan gereja Kristen sebagaimana yang diyakini oleh para penafsir Nasrani.
Persembahan qurban oleh Qaidar yang disebut-sebut dalam kitab Yesaya 60/7 tidak pernah dilakukan di atas altar gereja Nasrani, sebagaimana keturunan Qaidar adalah satu-satunya kelompok yang tidak pernah terpengaruh oleh ajaran-ajaran gereja Nasrani.
Demikian pula kisah tentang 10.000 orang suci yang termaktub dalam kitab Ulangan 33/2, juga memiliki maksud yang penting. Sebab peristiwa Fath Makkah menjadi satu-satunya peristiwa dalam sejarah Paran yang dapat menggenapi nubuwat dalam ayat ini. Pada peristiwa itu Muhammad SAW masuk ke kota Makkah bersama 10.000 kaum beriman yang menjadi pengikutnya. Beliau kembali ke Baitullah dan tangan kanannya menggenggam syari’at terakhir.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan pembawa petunjuk atau ruh kebenaran yang dikabarkan oleh Isa tak lain adalah Muhammad SAW, dan sama sekali bukan Roh Kudus, seperti yang dinyatakan oleh berbagai teori theologis. Isa Al-Masih pernah berkata: “Lebih tepat bagi kalian jika aku pergi jauh. Karena kalau aku tidak pergi jauh, sang pembawa petunjuk tidak akan datang kepada kalian. Dan jika aku pergi, aku akan mendatangkannya kepada kalian.” (Yohanes 16/7).
Dari ayat itu jelas diketahui bahwa sang pembawa petunjuk akan datang setelah Isa Al-Masih, dan ia tidak mungkin telah ada bersama Isa. Jadi apakah Isa berasal dari Roh Kudus jika kedatangan Roh Kudus justru mengharuskan kepergiannya terlebih dulu?
Selain itu dari cara yang digunakan Isa untuk menyampaikan pernyataan ini jelas terlihat bahwa sebenarnya sang pembawa petunjuk adalah manusia biasa, sama sekali bukan berwujud roh. “Dan dia tidak akan berbicara berdasarkan kehendaknya, tetapi dia akan berbicara dengan apa yang didengarnya dari wahyu.” (Yohanes 16/13).
Ucapan dari Isa Al-Masih ini jelas menunjuk kepada seorang utusan Allah yang disebut oleh Isa dengan gelar roh kebenaran, dan Al-Qur’an lalu menyebut Muhammad SAW dengan gelar yang persis dengan ucapan Isa. “Padahal dia (Muhammad SAW) datang dengan membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul sebelumnya -- QS Ash-Shaffat (37): 37.
Ahmad bagi Semua Bangsa
Pada tahun 721 SM, Israil dan ibu kotanya, Syakim (Nablus), jatuh ke tangan orang-orang Assyria. Penduduknya, yang adalah sisa-sisa sepuluh keturunan Ya’qub, kemudian dibuang ke seluruh penjuru Assyria.
Hampir satu setengah abad kemudian pada tahun 586 SM Kerajaan Yahudza dan ibu kotanya, Al-Quds, jatuh ke tangan orang-orang Kaldan di bawah pimpinan Nebukadnezar. Pada saat itu Haikal Sulaiman dihancurkan, eksekusi mati diberlakukan terhadap semua keturunan Yahudza dan Benyamin, pendiri Kerajaan Yahudza. Yang selamat dari pembantaian itu diasingkan ke Babylon. Mereka tinggal di pengasingan tersebut sampai Cycrus, raja Persia, menaklukkan Babylon pada tahun 538 SM. Cycrus lalu mengizinkan mereka kembali ke Palestina dan membangun ulang kota Al-Quds berikut Haikal Sulaiman.
Ketika fondasi Haikal Sulaiman yang baru diletakkan, terdengarlah teriakan kegembiraan di antara kaum Yahudi. Perasaan haru dan tangis bahagia muncul dari kalangan tua yang pernah menyaksikan Haikal Sulaiman dengan mata sendiri sebelum tempat ibadah itu dihancurkan.
Pada saat itu Allah mengutus seorang nabi bernama Hagai untuk menyampaikan risalah penting kepada semua yang hadir: “Semua bangsa akan Ku-gemparkan dan akan datang Himdah untuk semua bangsa, sehingga Aku akan memenuhi rumah-Ku ini dengan keagungan. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Aku memiliki perak dan emas. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Keagungan rumah baru itu akan lebih hebat dari keagungan dulu. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Di tempat inilah Aku akan memberikan syalom. Demikianlah firman Tuhan semesta alam.” (Hagai 9/7-9).
“Saya telah menerjemahkan paragraf di atas dari satu-satunya naskah Bibel di tangan saya yang ditulis dengan bahasa lokal. Saya mendapat pinjaman naskah itu dari sepupu saya dari Assyria. Setelah naskah ini dibandingkan dengan naskah lain, didapati bahwa terjemah Bibel yang lain menerjemahkan kata Ibrani himdah dan syalom menjadi ‘harapan’ dan ‘kedamaian’,” kata Prof. Abdul Ahad Dawud.
“Para muffasir Yahudi dan Nasrani sama-sama menilai penting kedua janji yang terdapat di dalam nubuwat tersebut. Keduanya memahami bahwa kata himdah merupakan nubuwat akan munculnya seorang mesias. Kalau nubuwat ini hanya diinterpretasikan dengan arti ‘harapan’ dan ‘kedamaian’, tentu ia akan menjadi angan-angan kosong tanpa tujuan konkret.
Sebaliknya jika kita pahami kata himdah sebagai sosok yang nyata, dan kata syalom sebagai agama atau kekuatan yang aktif, nubuwat ini benar dan terbukti dalam wujud Ahmad serta agama Islam. Sebab, kata Himdah dan Syalom dengan sangat mendetail menunjuk pada makna kata Ahmad dan Islam.
Sebelum menetapkan kebenaran nubuwat yang berkenaan dengan kata Ahmad dan Islam ini akan lebih baik jika asal dua kata ini diurai.
Pertama, kata Himdah di dalam bahasa Ibrani diucapkan seperti dalam kalimat ‘ve yavu himdath kol haggoyim’ yang secara literal berarti ‘maka kelak akan datang himdah bagi semua bangsa’. Kata ini diambil dari bahasa Ibrani kuno atau Arami, aslinya adalah himd, yang dilafalkan tanpa huruf mati menjadi him, di dalam bahasa Ibrani berarti ‘harapan yang sangat besar’, sesuatu yang sangat diinginkan atau sesuatu yang selalu dikejar oleh manusia. Di dalam bahasa Arab kata kerja ha-mi-da juga berasal dari akar kata yang sama, ha-mim-dal, yang berarti ‘pujaan’ atau ‘yang terpuji’.
Jadi, apakah ada yang lebih patut dipuji dibandingkan seseorang yang selalu didamba dan diharapkan?
Apa pun arti yang diambil dari akar kata ini, hakikatnya tidak akan berubah dan tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa kata Ahmad dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata Himdah.”
Allah SWT berfirman, “Ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai bani Israil, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan kitab yang turun sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku yang namanya Ahmad (Muhammad).” -- QS Ash-Shaff (61): 6.
Di dalam Injil Yohanes yang ditulis dalam bahasa Yunani muncul nama Paracletos, bentuk kata yang tidak dikenal dalam sastra Yunani. Akan tetapi ada kata Periqlytos, yang makna dan maksudnya tepat merujuk pada kata Ahmad. Jadi, kata itu pasti merupakan terjemahan Yunani asli bagi kata Himdah dalam bahasa Arami sebagaimana yang dilafalkan oleh Isa Al-Masih.
Kedua, mengenai asal kata syalom dan syalama dalam bahasa Ibrani, serta kata salam dan Islam dalam bahasa Arab, semua ahli bahasa Semit mengetahui bahwa kata syalom dan syalam merupakan derivasi dari satu kata yang sama. Keduanya memunculkan arti kedamaian atau penyerahan diri.
Kini mari kita menjadi saksi sebuah nubuwat lain yang terdapat dalam kitab Maleakhi. Kitab paling akhir dari Perjanjian Lama: “Kelak Aku akan mengutus seorang utusan-Ku agar dia dapat membuka jalan di depan-Ku. Maka tiba-tiba akan datang ke haikal-Nya seorang tuan yang kalian semua minta, seorang utusan perjanjian yang kalian kehendaki. Sesungguhnya dia pasti akan datang. Demikianlah firman Tuhan semesta alam.” (Maleakhi 3/1).
Coba kita bandingkan wahyu ini dengan firman Allah SWT: “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” -- QS Al-Isra (17): 1.
Yang dimaksud dengan orang yang datang secara tiba-tiba ke Haikal di dalam kitab Haigai dan kitab Maleakhi adalah Muhammad SAW, bukan Isa Al-Masih. Berikut bukti yang kuat atas kesimpulan itu:
Pertama, adanya hubungan dan kemiripan kata himdah dan Ahmad dengan akar kata ha-mim-dal, yang menjadi sumber derivasi dua kata tersebut, memastikan bahwa subyek (pelaku) dalam kalimat “maka akan datang Himdah bagi semua bangsa” adalah Ahmad atau Muhammad.
Sebagaimana juga bisa dipastikan bahwa tidak ada hubungan sedikit pun di dalam bahasa Semit antara kata himd dan semua nama Isa atau julukannya, seperti Isa, Yesus, Al-Masih, atau Sang Penyelamat, bahkan di dalam salah satu dari huruf yang membentuk kata-kata tersebut.
Kedua, kalaupun ada sebagian ahli di antara mereka yang menyatakan bahwa akar kata Ibrani ha-min-dal-ha yang dibaca himdah merupakan nama kiasan yang berarti “harapan”, “yang sangat diinginkan”, atau “pujian”, pendapat itu malah semakin menguatkan, sebab bentuk asal kata Ibrani itu persis dengan asal kata dalam bahasa Arab.
Jadi, arti apa pun yang dipilih untuk mengartikan kata ha-mim-dal-ha, hubungannya dengan kata Ahmad tidak terbantahkan, sebagaimana akar kata tersebut tidak memiliki hubungan sama sekali dengan kata Isa.
Kalau saja St. Jerome dan para penerjemah naskah Injil Septuagint (terjemahan Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani yang disusun pada tahun 70 M) tetap menggunakan kata Ibrani ha-mim-dal-ha dan tidak menggantinya dalam bahasa Latin cupiditas atau bahasa Yunani euthymia, pasti para penerjemah Raja James I untuk menyusun terjemahan Injil versi resmi tetap menggunakan kata ha-mim-dal-ha tersebut, dan lembaga Alkitab juga pasti menggunakan kata-kata itu dalam terjemahan Injil ke dalam bahasa-bahasa Islam.
Ketiga, Herodes Agung telah membangun kembali Haikal Zorobabel, yang ditakdirkan lebih agung daripada Haikal Sulaiman. Sebab Maleakhi telah meramalkan bahwa seorang nabi agung, Sang Utusan Perjanjian, Sang Penghulu para Rasul, kelak akan mendatangi tempat itu secara tiba-tiba. Hal inilah yang benar-benar terjadi pada saat Muhammad SAW mendatangi tempat tersebut dalam perjalanan Isra Mi’raj sebagaimana terabadikan dalam surah Al-Isra.
Isa juga pernah beberapa kali mendatangi haikal tersebut dan membuat tempat itu semakin mulia dengan kedatangannya. Akan tetapi semua Injil yang merekam peristiwa kedatangan Al-Masih dan khutbahnya di haikal tersebut tidak pernah menyebut adanya orang yang mendapat petunjuk dari khutbahnya. Injil-injil tersebut justru menyatakan bahwa semua kunjungannya selalu berujung pada perdebatan sengit dengan para pendeta dan orang-orang Farisi.
Kalau saja nubuwat Hagai yang menyatakan bahwa Isa mendapat anugerah syalom menunjukkan bahwa Isa membawa perdamaian, kita harus mengatakan bahwa Isa tidak membawa perdamaian bagi alam semesta. Sebab Isa pernah mengatakan hal ini (Injil Matius 10/34). Isa juga meramalkan bahwa Haikal Zorobabel akan hancur rata dengan tanah (Matius 24/2, Markus 13/2, dan Lukas 21/6). Semua yang diramalkan Isa itu benar-benar terbukti 40 tahun kemudian di tangan orang-orang Romawi ketika bangsa Yahudi habis bercerai-berai.
Keempat, Muhammad SAW benar-benar telah diperjalankan di waktu malam. Muhammad adalah kata turunan sebagaimana kata Ahmad, keduanya berasal dari akar kata yang sama. Beliau telah diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis. Di sana beliau mengunjungi bagian suci dari sisa-sisa tempat ibadah yang telah hancur.
Di tempat itu pula Muhammad SAW melakukan shalat yang juga dihadiri oleh semua nabi. Allah SWT juga memberkahi kawasan sekeliling Masjidil Aqhsa. Di sanalah Allah menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada nabi terakhir yang Dia utus.
Penafsiran Syiloh
Menjelang kematiannya pada usia 147 tahun, Ya’qub bin Ishak bin Ibrahim memanggil dua belas anaknya beserta keluarga mereka masing-masing. Pada saat itu Ya’qub memberkahi, berwasiat, dan menyampaikan nubuwat kepada mereka tentang masa depan kabilah mereka masing-masing. Peristiwa ini dikenal dengan nama Perjanjian Ya’qub, yang kemudian ditulis dalam bahasa Ibrani menggunakan gaya bahasa yang sangat indah serta memiliki sentuhan puitis.
Di antara beberapa hal yang dinyatakan oleh kitab Kejadian adalah bahwa Ya’qub pernah mengeksploitasi kelaparan yang mendera saudaranya, Esau. Kemudian dia membeli hak kesulungan dari Esau hanya dengan semangkuk sup.
Ya’qub juga dikatakan menipu ayahnya yang sudah tua dan buta sehingga dia berhasil mendapatkan restu sang ayah atas sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Esau sebagai anak sulung.
Dikatakan bahwa Ya’qub pernah menjadi pelayan selama tujuh tahun untuk bisa menikahi Rahel. Akan tetapi ayah Rahel membohongi Ya’qub yang menikahkannya dengan kakak sulung Rahel bernama Lea. Oleh sebab itu Ya’qub pun terpaksa menjadi pelayan kembali selama tujuh tahun agar bisa menikahi Rahel.
Dikatakan pula bahwa Ya’qub pernah mengalami duka mendalam ketika kehilangan istrinya tercinta, Rahel, disusul dengan hilangnya putra kesayangannya, Yusuf, selama bertahun-tahun. Selain itu juga dinyatakan, penglihatan Ya’qub kembali pulih setelah ia mengetahui keberadaan Yusuf. Dia juga bertemu dengan Yusuf di Mesir yang menjadi peristiwa yang paling membahagiakan baginya.
Ya’qub adalah seorang nabi yang mendapat julukan Israil dari Allah. Nama inilah yang dipegang teguh oleh 12 kabilah keturunan anak-anaknya.
Mengenai nubuwat terkenal yang dianggap sebagai inti peristiwa Perjanjian Ya’qub ini adalah ayat di dalam kitab Kejadian 49/10: “Tongkat kerajaan dan penetapan hukum tidak akan terlepas dari Yahudza dari antara kakinya sampai datang Syiloh, kepadanya bangsa-bangsa akan tunduk.”
Kata Syiloh dalam ayat ini sangat unik dan tidak pernah muncul lagi pada bagian lain dari Perjanjian Lama. Di dalam bahasa Suryani kata syiloh diterjemahkan menjadi “seseorang yang memiliki tongkat kerajaan dan penetapan hukum”. Dengan terjemahan seperti ini, makna kenabian menjadi jelas.
Tapi sebenarnya kata syiloh juga bisa berarti derivasi dari kata kerja syalah, yang memiliki arti “kedamaian”, “ketenangan”, dan “kepercayaan”. Kata kerja ini juga bisa berarti “mengutus” atau “menyerahkan”.
Sampai di sini kata syiloh akan memiliki arti syiluah, yang memiliki arti sama persis dengan kata rasul yah, julukan yang hanya dianugerahkan kepada Muhammad Rasulullah.
Orang Yahudi dan Nasrani meyakini bahwa Perjanjian Ya’qub adalah salah satu bentuk nubuwat mesianis tentang kedatangan Juru Selamat yang paling menonjol. Tidak diragukan lagi, semua pemeluk Islam mengimani sepenuhnya bahwa Isa, sang nabi dari Nazareth, adalah Al-Masih, karena Al-Qur’an sendiri telah menetapkan hal itu.
Jadi, siapa gerangan penguasa dan penetap hukum yang agung itu? Tentu ia bukanlah Musa, karena ia adalah orang yang pertama kali menyatukan dua belas kabilah Israil. Sebelum Musa, tidak pernah ada seorang pun raja atau nabi yang berasal dari Yahudza.
Orang itu juga bukan Isa Al-Masih, karena ia sendiri pernah mengumumkan bahwa sang mesias yang ditunggu-tunggu oleh Bani Israil bukan berasal dari keturunan Dawud (Matius 22/44-45, Lukas 20/41-44).
Selain itu, Isa juga tidak pernah meninggalkan ketetapan hukum yang tertulis dan tidak pernah memikirkan kekuasaan duniawi. Pernah suatu kali dalam suatu kesempatan para pengikut Isa ingin mengangkatnya sebagai raja. Isa justru melarikan diri dan bersembunyi dari para pedukungnya itu. Injil Isa sebenarnya termaktub di dalam hatinya. Ia telah menyampaikan kabar gembira (Injil) melalui lisan, tidak secara tertulis.
Di dalam nubuwat Isa, sama sekali tidak pernah disebut apa yang diklaim kaum Nasrani sebagai penebus dosa turunan melalui seseorang yang disalib, atau bersemayamnya seorang tuhan yang berwujud manusia. Isa tidak pernah menggugurkan syari’at Nabi Musa, ia malah menyatakan terus terang bahwa ia diutus untuk menguatkan syari’at Musa itu.
Sementara itu Muhammad SAW datang dengan kekuasaan duniawi dan Al-Qur’an untuk mengganti tongkat kekuasaan bangsa Yahudi yang telah keropos, syari’at yang tidak lagi diamalkan, dan institusi kependetaan yang telah rusak.
Muhammad SAW membawa agama yang paling murni dan penauhidan Tuhan secara benar. Beliau meletakkan prinsip-prinsip dasar implementasi akhlaq dan budi pekerti manusia. Dengan Islam, beliau menyatukan semua bangsa di seluruh dunia untuk tidak menyekutukan Dia dengan apa pun jua.
Para pengikut yang berasal dari semua bangsa itu juga sangat taat, cinta, dan menghormati beliau tanpa pernah menyembahnya, mengkultuskannya, apalagi sampai menjadikannya tuhan. Beliaulah yang kemudian menghancurkan benteng pertahanan terakhir kaum Yahudi di Quraizhah dan Khaibar untuk mengakhiri hegemoni mereka.
Arti kedua dari kata syiloh juga merujuk pada keshalihan Muhammad SAW karena kata syiloh juga dapat berarti “yang tenang”, “yang damai”, “yang terpercaya”, atau “yang mendapat titipan”. Dalam bahasa Arami terdapat kata yang sebanding lurus dengan arti kata syiloh, yaitu kata syilya, yang berasal dari akar kata syala dan tidak terdapat dalam bahasa Arab.
Sudah menjadi fakta sejarah bahwa, sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad SAW adalah orang yang sangat tenang, cinta damai, dan sangat terpercaya. Sampai-sampai penduduk Makkah memberikan julukan kepadanya Al-Amin (yang terpercaya). Tentu saja, ketika penduduk Makkah menjuluki beliau dengan julukan tersebut, mereka tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang syiloh dan segala macam arti kata Ibrani tersebut.
Sungguh merupakan suatu keajaiban luar biasa ketika risalah kenabian Muhammad SAW justru turun di tengah bangsa Arab, yang merupakan kaum paganis dan buta huruf, kemudian dihadapkan kepada kaum Yahudi, yang terpelajar, memiliki banyak naskah suci, dan mengetahui dengan baik segala kandungannya.
Arti ketiga dari kata syiloh merupakan penyimpangan dari kata syaluah. Jika memang demikian, kata ini akan bersesuaian arti dengan julukan sang nabi asal Arab yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an “sang utusan” (ar-rasul), yang artinya sama persis dengan arti kata syaluah, utusan. Dalam bahasa Ibrani arti kata syaluah Elohim berarti utusan Allah (Rasulullah).
Kata rasul berkali-kali muncul dalam Al-Qur’an tetapi kita tidak akan pernah menemukannya di dalam Perjanjian Lama kecuali hanya di satu tempat, dalam peristiwa Perjanjian Ya’qub, yang menyebut kata syiloh atau syaluah.
Arti apa pun yang kita pilih untuk menafsirkan nubuwat Ya’qub ini, kita tetap harus mengakui bahwa semua nubuwat itu telah tergenapi dengan kemunculan Muhammad SAW. Kini kita bisa menyimpulkan bahwa sia-sialah kaum Yahudi yang terus menunggu kedatangan syiloh selain Nabi Muhammad SAW, sebagaimana umat Nasrani yang terus tenggelam dalam keyakinan mereka bahwa Isa-lah yang dimaksud dengan syiloh.
Hanya Islam
Dalam sejarah manusia tidak pernah dikenal satu umat seperti bangsa Israil yang hampir 400 tahun selalu diuji dengan kemunculan nabi-nabi palsu.
Para nabi palsu ini terdiri dari dua macam. Pertama, nabi-nabi palsu yang menisbahkan dirinya kepada syari’at atau ajaran Yahwah dan mengeluarkan nubuwat atas namanya. Kedua, mereka yang mengangkat diri atas nama Ba’al atau dewa-dewa pagan lainnya. Hal ini dapat mereka lakukan dengan adanya perlindungan dari beberapa raja Israil yang menganut paganisme.
Para nabi palsu kategori yang pertama ada yang hidup sezaman dengan beberapa nabi asli, seperti Nabi Mikha dan Nabi Yeremia. Nabi palsu kategori kedua ada yang telah menyebabkan terjadinya pembantaian terhadap beberapa orang nabi asli dan orang-orang beriman, seperti yang terjadi pada masa kekuasaan salah seorang raja Israil bernama Ahab dan istrinya, Jazabel, tahun 896-874 SM.
Di antara kedua jenis nabi palsu ini yang paling berbahaya bagi agama yang benar adalah nabi palsu jenis pertama. Alasannya karena mereka bersikap di hadapan umat seolah benar-benar telah menerima wahyu dari Allah. Mereka juga melangsungkan berbagai upacara keagamaan di tempat-tempat ibadah.
Nabi asli yang paling merasakan penyiksaan dan kesengsaraan disebabkan perbuatan para nabi palsu ini adalah Nabi Yeremia. Ia memulai misi kenabiannya sejak akhir abad keenam SM, tepatnya saat Kerajaan Yahudza berada dalam ancaman serangan Kerajaan Kaldan. Waktu itu kaum Yahudi bersekutu dengan Fir’aun Mesir. Akan tetapi kaum Kaldan, yang berada di bawah pimpinan Nebukadnezar, berhasil mengalahkan Fir’aun sehingga kota Al-Quds jatuh.
Di tengah hari-hari yang genting itu, Nabi Yeremia mendesak kaum Yahudi dan para pemimpin mereka untuk tunduk kepada Nebukadnezar, dengan harapan kota Al-Quds tidak dihancurkan, sekaligus untuk menyelematkan bangsa Yahudi dari penangkapan atau pengusiran. Ia menyampaikan khutbah yang luar biasa kepada raja, pendeta, dan pembesar kaumnya, tapi sia-sia saja, sehingga akhirnya Al-Quds jatuh pada tahun 586 SM.
Disebabkan peristiwa itu dimulailah pengasingan bangsa Yahudi ke Babylon oleh Nebukadnezar. Kebanyakan mereka yang ditawan adalah raja dan pembesar.
Kitab Yeremia yang ada sekarang ternyata jauh berbeda dengan kitab Yeremia yang terdapat di dalam Perjanjian Lama versi Septuagint. Topik penting yang dikemukakan oleh Nabi Yeremia adalah bagaimana sebenarnya cara membedakan nabi asli dan nabi palsu. Atas pertanyaan itu Nabi Yeremia memberikan jawaban yang sangat memuaskan. “Nabi asli itu adalah nabi yang mengabarkan ihwal Islam.” (Kitab Yeremia 28/9).
Untuk memahami hal di atas, mari kita baca ucapan Nabi Yeremia yang mendahului pernyataan di atas. Ia berkata kepada Nabi palsu Hananya, “Sesungguhnya nabi-nabi yang datang sebelum aku dan sebelum engkau sejak dulu telah menyampaikan nubuwat kepada banyak negeri dan kerajaan-kerajaan besar berupa peperangan, malapetaka, dan wabah penyakit. Sesungguhnya seorang nabi yang menubuwatkan asy-Syalom (Islam) dapat langsung diketahui bahwa Allah telah benar-benar mengutusnya ketika nubuwat itu digenapi.” (Yeremia 28/8-9).
Sebagian orang tampaknya akan menolak pengertian asy-Syalom yang diterjemahkan menjadi Islam dengan pernyataan bahwa dua huruf alif dan lam (al) yang terletak di depan kata Syalom diartikan sebagai “tentang” atau “yang berhubungan dengan”. Akan tetapi telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kata syalom dalam bahasa Ibrani, kata syalama dalam bahasa Suryani, kata salam dan Islam dalam bahasa Arab, berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Semit: syalam yang juga memiliki arti sama. Hal ini sudah diketahui oleh semua pakar bahasa Semit.
Kata kerja syalam identik dengan “menerima”, “menyerahkan diri”, dan “menerapkan kedamaian”, sampai seseorang menjadi damai dan tenang dengan dirinya sendiri, juga dengan orang lain.
Di dunia ini tidak ada sistem keberagamaan yang memiliki nama atau karakter yang lebih baik, lebih komprehensif, lebih berwibawa, dan lebih tinggi, dibandingkan Islam. Sebab agama Allah yang benar tidak mungkin dinamai dengan nama seseorang atau sebuah tempat tertentu.
Sesungguhnya kesucian dan kema’shuman kata Islam inilah yang menyebabkan timbulnya perasaan gentar, takut, dan segan di dalam hati musuh-musuhnya bahkan ketika umat Islam dalam kondisi lemah dan susah.
Inilah nama agama yang memerintahkan ketundukan dan penyerahan diri secara mutlak kepada Allah. Islam membawa pemeluknya pada kedamaian dan ketenangan, seperti apa pun gangguan dan kesulitan yang mengancam mereka. Itulah keimanan yang teguh terhadap keesaan Allah. Dengan rahmat dan keadilan-Nya, setiap muslim menjadi lebih istimewa dibandingkan umat selain mereka.
Jadi inti pernyataan Nabi Yeremia, setiap nabi yang mengajarkan Islam sebagai agama dan jalan hidup adalah nabi yang benar-benar diutus oleh Allah.
Yeremia adalah satu-satunya nabi sebelum Al-Masih yang menggunakan kata syalom dengan arti “agama”. Dialah yang menggunakan kata ini untuk membuktikan kebenaran setiap nabi hakiki.
Menurut nash Al-Qur’an, Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Musa, Isa, dan semua nabi lainnya, adalah muslim. Kata Islam dan semua kata padanannya seperti syalom dan syalama sudah dikenal kalangan Yahudi dan Nasrani yang tinggal di Jazirah Arab ketika Muhammad SAW muncul untuk menyempurnakan dan menyebarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia.
Hanya Islam yang mampu menentukan kebenaran seorang nabi asli. Allah jelas ahad (tunggal), agama yang diridhai-Nya juga hanya satu. Tidak ada agama lain di dunia selain Islam yang terus mempertahankan dan mengajarkan keesaan Allah. Oleh sebab itu nabi yang asli pasti berani mengorbankan kemaslahatan lain demi membela urusan agama yang satu ini. Hanya agama Islam yang bisa dijadikan perangkat untuk mengetahui kebenaran seorang nabi.
Nubuwat tentang masa depan atau perbuatan ajaib belum tentu memadai untuk menjadi bukti keaslian seorang nabi. Syalom tidak lain adalah agama Islam. Kita berani menantang orang yang menolak interpretasi demikian untuk menemukan padanan kata syalom dalam bahasa Arab selain kata Islam dan salam.
Kita juga tantang mereka untuk mencari padanan kata Islam dalam bahasa Ibrani selain syalom. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, tampaknya mereka harus menerima kenyataan bahwa kata syalom memang semakna dengan kata salam dalam bentuk mujarrad (abstrak), dan kata syalom semakna dengan kata Islam atau aqidah dalam bentuk malmus (konkret).
Sumber: Ihsan M. Rusli
Post a Comment Blogger Disqus