SYEKH-ISLAM HAFIZ IMAM MUHY AL-DIN AL-NAWAWI AL-SYAFI‘I TENTANG ZIARAH
Dikutip dari buku Ensiklopedia Akidah Ahlus Sunah: Maulid dan Ziarah ke Makam Nabi (s) oleh Syekh Muhammad Hisyam Kabbani (q)
Imam al-Nawawi menulis dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj: 62
Ziarah Ke Makam Junjungan Kita Rasulullah saw.
Dalam bab ini akan dibahas tindakan-tindakan yang dianjurkan untuk mereka yang sedang menunaikan haji.
Masalah yang pertama berkenaan dengan mereka yang mengerjakan haji dan umrah. Bila mereka keluar dari Mekah, hendaknya mereka pergi ke kota Rasulullah saw. untuk menziarahi tanah pemakamannya. Ini salah satu tindakan terpenting yang dapat mengantar kita menuju Allah swt. Al-Bazzâr dan al-Dâruquthnî meriwayatkan dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah saw mengatakan, “Siapa menziarahi makamku, syafaatku akan terjamin baginya.”
63Poin kedua menyangkut tindakan-tindakan yang dianjurkan dan lebih disukai untuk peziarah, yaitu hendaklah ia berniat tatkala menziarahi Rasulullah saw. Niatnya hendaklah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan berkunjung ke masjidnya dan melakukan salat di dalamnya.
Ketiga, dianjurkan juga bahwa bila peziarah sedang dalam perjalanan, hendaklah ia meninggikan bacaan selawat dan salamnya kepada Nabi saw., dan bila ia melihat pohon-pohon Madinah, tanah haramnya yang diberkahi, atau tanda-tanda apa saja dari Madinah, hendaklah ia meningkatkan lagi bacaan selawat dan salamnya; dan hendaklah ia memohon kepada Allah swt agar menerima ziarahnya dan memberikan balasan baik atas ziarahnya itu.
Keempat, dianjurkan agar yang sedang berhaji melakukan penyucian diri dengan mandi sebelum memasuki Madinah dan mengenakan pakaian paling bersih. Ia mesti membayangkan dalam hatinya kemuliaan Madinah, suatu tempat terbaik di muka bumi setelah Mekah menurut sebagian ulama; yang lainnya beranggapan Madinah tempat terbaik di muka bumi tanpa pengecualian. Apa yang menjadikannya begitu mulia dan dihormati adalah karena kehadiran Nabiullah saw., sang makhluk terbaik.
Kelima, yang sedang berhaji hendaklah menyesuaikan dirinya dengan perasaan tentang kebesaran Rasulullah saw; hatinya hendaklah diliputi oleh kehadiran beliau, seolah-olah ia sedang melihat beliau.
Keenam, tatkala ia sampai ke pintu masjid beliau, hendaklah ia membaca apa yang dibacanya sewaktu memasuki Mekah; hendaknya ia masuk dengan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri, sebagaimana seharusnya ia lakukan sewaktu masuk dan keluar dari masjid lainnya. Begitu ia mendekat ke rawdhah yang suci, yaitu tempat antara makam Nabi saw. dan mimbar beliau, hendaklah ia melakukan salat tahiyatul masjid di dekat mimbar, di tempat berdirinya Rasulullah saw. Dalam buku tentang Madinah, jarak antara mimbar Nabi saw dan tempat berdirinya, yaitu tempat yang beliau gunakan untuk mengerjakan salat sampai beliau wafat, adalah empat puluh hasta dan satu jengkal, sedangkan jarak antara mimbar dan makam adalah lima puluh tiga hasta dan satu jengkal. Wa Allâh a‘lam.
Ketujuh, setelah ia melakukan salat tahiyatul masjid di rawdhah (atau di mana saja di dalam masjid), sewaktu bersyukur kepada Allah swt atas karunianya ini, dan meminta-Nya agar menyempurnakan tugasnya dan menerima ziarahnya ini, hendaklah ia menghadap ke dinding makam yang mulia, dengan kiblat ada di belakangnya, sambil melihat ke bagian terbawah dari dinding makam, merendahkan pandangannya dalam keadaan khidmat dan takzim, mengosongkan hati dari urusan dunia dan fokus pada sikap hormatnya, dan pada kedudukan orang yang kehadirannya ia rasakan. Kemudian hendaklah ia menyampaikan salam dengan suara yang tak terlalu keras dan tak terlalu halus, tetapi sedang-sedang saja; hendaknya ia membaca:
Al-salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh
Al-salâm ‘alayka yâ Nabî Allâh
Al-salâm ‘alayka yâ Khiyârat Allâh
Al-salâm ‘alayka yâ Khayr Allâh
Al-salâm ‘alayka yâ Habîb Allâh
Al-salâm ‘alayka yâ Nadzîr
Al-salâm ‘alayka yâ Basyîr
Al-salâm ‘alayka yâ Thuhr
Al-salâm ‘alayka yâ Thâhir
Al-salâm ‘alayka yâ Nabî al-rahmah
Al-salâm ‘alayka yâ Nabî al-ummah
Al-salâm ‘alayka yâ Abâ al-Qâsim
Al-salâm ‘alayka yâ Rasûl Rabb al-‘âlamîn
Al-salâm ‘alayka yâ Sayyid al-mursalîn wa yâ Khâtam al-nabiyyîn
Al-salâm ‘alayka yâ Khayr al-khalâ’iq ajma‘în
Al-salâm ‘alayka yâ Qâ‘id al-ghurr al-muhajjalîn
Al-salâm ‘alayka wa ‘alâ âlika wa ahl baytika wa azwâjika wa dzurriyyâtika wa ash hâbika ajma‘în
Al-salâm ‘alayka wa ‘alâ sâ’ir al-anbiyâ’ wa jamî‘ ‘ibâd Allâh al-shâlihîn
Jazâka Allâh yâ Rasûl Allâh ‘annâ afdhala mâ jazâ nabiyyan wa rasûlan ‘an ummatihi
Wa shallâ Allâh ‘alayka wa sallama kulla mâ dzakaraka al-dzâkirûn wa ghafala ‘an dzikrika al-ghâfilûn
Afdhala wa akmala wa athyaba mâ shallâ wa shallâ mâ ‘alâ ahad min al-khalq ajma‘în
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh wahdahu lâ syarîka lahu
Wa asyhadu annaka ‘abduhu wa rasûluhu wa khiyâratuhu min khalqihi
Wa asyhadu annaka qad ballaghta al-risâlah wa addayta al-amânah wa nashahta al-ummah wa jâhadta fî Allâh haqqa jihâdihi
Alâhumma âtihi al-wasîlah wa al-fadhîlah wab‘atshu maqâman mahmûdan alladzî wa‘adtahu
Wa âtihî nihâyata mâ yanbaghî ‘an yas’alahâ al-sâ’ilûn
Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad ‘abdika wa rasûlika al-nabî al-ummî wa ‘alâ âl sayyidinâ Muhammad wa azwâjihi wa dzurriyyâtihi
Kamâ shallayta ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm wa ‘alâ âl sayyidinâ Ibrâhîm
Wa bârik ‘alâ sayyidinâ Muhammad ‘abdika wa rasûlika al-nabî al-ummî wa ‘alâ âl sayyidinâ Muhammad wa azwâjihi wa dzurriyyâtihi
Kamâ bârakta ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm wa ‘alâ âl sayyidinâ Ibrâhîm fî al-‘âlamîn innaka hamîd majîd.
Artinya:
Kedamaian atasmu, wahai Utusan Allah swt
Kedamaian atasmu, wahai Nabi Allah swt
Kedamaian atasmu, wahai Pilihan Allah swt
Kedamaian atasmu, wahai Kebaikan Allah swt
Kedamaian atasmu, wahai Kekasih Allah swt
Kedamaian atasmu, wahai Pemberi peringatan
Kedamaian atasmu, wahai Pemberi kabar gembira
Kedamaian atasmu, wahai Kesucian
Kedamaian atasmu, wahai Orang Suci
Kedamaian atasmu, wahai Nabi penuh rahmat
Kedamaian atasmu, wahai Nabi umat manusia
Kedamaian atasmu, wahai Ayah al-Qâsim
Kedamaian atasmu, wahai Utusan Tuhan Semesta Alam
Kedamaian atasmu, wahai Junjungan para nabi dan Penutup para nabi
Kedamaian atasmu, wahai Yang terbaik dari segala makhluk
Kedamaian atasmu, wahai Pemimpin dari orang-orang yang berwajah cemerlang
Kedamaian atasmu dan atas keluargamu, penghuni rumahmu, istri-istrimu, putra-putrimu, dan semua sahabatmu
Kedamaian atasmu dan atas semua nabi dan hamba-hamba Allah yang saleh
Semoga Allah swt memberimu pahala dengan sebaik-baik pahala yang pernah diberikan kepada nabi dan rasul atas nama umatnya
Selawat dan salam dari Allah swt semoga dilimpahkan kepadamu setiap kali orang mengingatmu dan setiap kali orang lalai dari mengingatmu
Dengan selawat dan salam yang paling utama, paling sempurna, dan paling baik, dari yang pernah diberikan kepada semua makhluk
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah swt, dan tak ada sekutu bagi-Nya
Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah hamba-Nya, utusan-Nya, dan pilihan-Nya di antara semua makhluk
Dan aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah-Nya dan menunaikan amanah-Nya, memberikan nasihat kepada umat, dan berjuang untuk Allah swt dengan sebenar-benarnya
Ya Allah swt, berikanlah kepadanya kedudukan-sebagai-penghubung, keutamaan, dan angkatlah beliau ke kedudukan mulia yang telah engkau janjikan kepadanya
Dan berikanlah kepadanya tujuan tertinggi dari apa yang sepantasnya dimohonkan oleh para pemohon
Ya Allah swt, sampaikanlah selawat kami kepada junjungan kami, Muhammad saw, hamba-Mu dan rasul-Mu, nabi yang ummi; juga kepada keluarga junjungan kami, Muhammad saw, kepada istri-istrinya dan putra-putrinya
Sebagaimana engkau telah memberikan selawat kepada junjungan kami, Ibrahim as, dan kepada keluarga junjungan kami, Ibrahim as
Dan berikanlah berkah kepada junjungan kami, Muhammad saw, hamba-Mu dan rasul-Mu, nabi yang ummi; dan kepada keluarga junjungan kami, Muhammad saw, kepada istri-istri dan putra-putrinya.
Sebagaimana engkau telah memberikan barakah kepada junjungan kami, Ibrahim as, dan kepada keluarga junjungan kami, Ibrahim as, selagi di dunia
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.
Bagi mereka yang tak dapat menghafal semua bacaan ini atau tidak punya waktu membacanya, cukuplah untuk membaca sebagiannya saja, minimal hendaklah ia membaca al-salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh.
Setelah itu, bila ada orang yang memintanya menyampaikan salam kepada Rasulullah saw, maka hendaknya ia membaca al-salâm ‘alayka yâ rasûl Allâh min fulân ibn fulân (salam kepadamu, wahai Rasulullah saw dari si fulan anak fulan), atau sejenis bacaan salam lainnya. Setelah itu, hendaklah ia melangkah satu kaki ke sebelah kanan untuk mengucapkan salam kepada Abû Bakr ra karena berdiri pada bahu Rasulullah saw; kemudian ia katakan:
Al-salâm ‘alayka yâ Abâ Bakr safiyy Rasûl Allâh wa tsâniyyahu fî al-ghâr, jazâka Allâh ‘an ummat al-Nabî khayran (salam kepadamu, wahai Abû Bakr ra, teman dekat Rasulullah saw, dan pendampingnya dalam gua, semoga Allah swt membalasmu dengan pahala terbaik atas nama umat Nabi saw). Setelah itu, ia melangkah satu kaki ke sebelah kiri dari posisinya semula, ke hadapan ‘Umar ra, sambil mengatakan:
Al-salâm ‘alayka yâ ‘Umar a‘azza Allâh bika al-islâm, jazâka Allâh ‘an ummat Muhammad khayran (salam kepadamu, wahai ‘Umar ra, Allah swt telah menguatkan Islam denganmu, semoga Allah swt membalasmu dengan sebaik-baiknya pahala dengan atas nama umat Muhammad saw). Kemudian ia kembali ke posisi semula, ke depan Rasulullah saw, dan ia pun dapat bertawasul kepada Nabi saw untuk kepentingan dirinya, dan meminta syafaatnya di depan Tuhannya yang Mahasuci dan Mahatinggi, dan salah satu hal terbaik yang dapat ia bacakan adalah apa yang diriwayatkan oleh kawan-kawan kita dari al-‘Utbî, di mana mereka sungguh mengagumi apa yang dikatakannya:
Selagi aku sedang duduk dekat makam Nabi saw, seorang Arab Badui datang dan berkata, “al-Salâm ‘alayka yâ Rasûl Allâh saw! Aku telah mendengar Allah swt berfirman, ‘Kalau saja mereka itu, tatkala sadar telah berbuat zalim pada dirinya, datang kepadamu dan meminta ampunan kepada Allah swt, dan Rasul saw kemudian memintakan ampunan buat mereka, niscaya mereka akan dapatkan bahwa Allah swt itu sungguh Maha Pengampun dan Maha Penyayang’ (4:64), kini aku datang kepadamu untuk meminta ampunan atas segala dosaku, dengan mengharap bantuan syafaatmu pada Tuhanku.” Ia pun kemudian membacakan syair berikut:
Wahai yang terbaik dari semua yang tulang-belulangnya dikuburkan di kedalaman bumi,
Dan yang dari wewangiannya, kedalaman dan ketinggian menjadi terasa harum,
Biarlah aku menjadi tebusan bagi sebongkah kuburan yang engkau huni,
Yang di dalamnya terdapat kesucian, karunia, dan kemurahan hati!
Kemudian ia pergi, dan aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku melihat Nabi saw. Beliau berkata kepadaku, “Wahai ‘Utbî, cepatlah kejar orang Badui itu dan sampaikanlah kabar baik kepadanya bahwa Allah swt telah mengampuninya.”
64Peziarah kemudian hendaklah maju ke arah kepala makam dan berdiri di antara makam dan pilar yang ada di sana, sambil menghadap kiblat (dengan tidak memutarkan punggungnya pada makam). Hendaklah ia memuji Allah swt dan mengagungkannya dan memanjatkan doa untuk dirinya menyangkut apa yang ia perlukan dan ia inginkan, untuk kedua orangtuanya, dan untuk siapa saja yang ia sukai di antara kerabatnya, guru-guru yang dihormatinya, saudara-saudara, dan muslimin pada umumnya; kemudian ia mendatangi rawdhah memanjatkan doa dan melakukan salat. Terdapat keterangan dalam dua kitab Shahîh yang diriwayatkan dari Abû Hurayrah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Di antara makamku dan mimbarku terletak salah satu taman surga, dan mimbarku menghadap ke kolam (hawdh)-ku. Berdirilah di mimbar itu dan berdoalah.”
Kedelapan, tak diperbolehkan mengelilingi makam Nabi saw., dan makruh hukumnya berdiri begitu dekat dengan makam sehingga keseluruhan bagian depan atau belakang seseorang bersentuhan dengannya. Ini menurut pandangan al-Hâlimî dan yang lainnya. Juga makruh hukumnya menggosok-gosok makam dengan tangannya atau menciumnya.
65Tatacara yang baik adalah berdiri agak jauh darinya, sebagaimana halnya bila orang berada dari seseorang yang masih hidup. Begitulah yang dikatakan oleh ulama, dan hendaklah kita tak terbawa-salah oleh tindakan-tindakan orang kebanyakan yang melanggar perilaku baik ini; kita seharusnya hanyalah mengikuti resep yang dianjurkan ulama saja, tak perlu memedulikan perilaku orang-orang kebanyakan. Seorang tokoh yang dihormati, yaitu Abû ‘Alî al-Fudhayl ibn ‘Iyâdh kurang lebih mengatakan begini: Seseorang seharusnya mengikuti jalan yang sesuai dengan petunjuk dan tidak terbelokkan ke jalan-jalan yang ditempuh oleh segelintir orang, dan hati-hatilah dengan jalan kesesatan yang ditempuh oleh mereka yang akan binasa. Oleh karena itu, orang yang punya pikiran bahwa menggosok dan sejenisnya akan memberinya banyak barakah telah tersesatkan oleh kebodohannya dan ketakpeduliannya, karena barakah itu terdapat pada ajaran yang sesuai dengan syariat dan apa yang dikatakan oleh ulama; dengan demikian bagaimana mungkin pahala dapat diperoleh melalui tindakan yang bertentangan dengan ajaran yang benar?
Kesembilan, selama tinggal di Madinah, hendaknya ia mengerjakan seluruh salatnya di masjid Nabi saw, dan hendaklah berniat iktikaf di dalamnya.
Kesepuluh, dianjurkan agar ia sehari-hari pergi ke pekuburan Baqi, khususnya pada hari Jumat; pertama-tama hendaklah ia membaca salam dulu kepada Nabi saw. Bila sampai di Baqi, katakanlah:
Al-salâm ‘alaykum dâra qawmin mu’minîn wa innâ insyâ’a Allâh bikum lâhiquun, Allahummaghfir li ahli baqî al-gharqad, Allahummaghfir lanâ wa lahum. Kemudian ia berziarah ke makam-makam yang ada di sana seperti makam-makam Ibrahim, ‘Utsmân, al-‘Abbâs, al-Hasan putra ‘Alî, ‘Alî putra al-Husayn, Muhammad ibn ‘Alî, Ja‘far ibn Muhammad, dan lainnya. Titik akhir perhentian, hendaklah di makam Shafiyyah, bibi Rasulullah saw.; disebutkan dalam beberapa hadits sahih bahwa makam-makam di Baqi memiliki keutamaan, demikian juga dalam menziarahinya.
66Kesebelas, dianjurkan untuk berziarah ke makam-makam syuhada Uhud, sebaiknya dilakukan pada hari Kamis, dan hendaknya diawali dari makam Hamzah dan dimulai sejak pagi-pagi sekali setelah salat shubuh di masjid Nabi saw, sehingga ada cukup waktu yang memungkinkan untuk kembali ke masjid sebelum salat zuhur.
Kedua belas, dianjurkan sekali untuk mendatangi masjid Quba, lebih baik dilakukan pada hari Sabtu, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan ziarah ke sana dan salat di dalamnya. Ini didasarkan pada hadits yang dapat dipercaya dalam kitab al-Tirmidzî dan yang lainnya dari Usayb ibn Hudzayr, bahwa satu salat di masjid Quba seperti satu kali umrah; dan dalam dua kitab Shahîh, diriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. suka datang ke masjid Quba, baik dengan berkendaraan atau berjalan kaki, untuk melakukan salat dua rakaat di sana, dan dalam satu riwayat yang terpercaya disebutkan bahwa beliau biasanya datang ke sana pada hari Sabtu. Dianjurkan pula berziarah ke sumur al-Arisy, yang terletak di samping masjid Quba, dan meminum airnya serta berwudu dengannya.
Ketiga belas, dianjurkan agar mengunjungi semua tempat bersejarah dalam Islam. Ada sekitar tigapuluh tempat semacam ini, semuanya dikenal baik oleh penduduk Madinah. Yang berhaji hendaklah mengunjungi tempat-tempat tersebut sekerap mungkin. Ia juga hendaknya pergi ke dan minum dari sumur-sumur yang biasa digunakan oleh Rasulullah saw untuk berwudu dan mencuci. Terdapat tujuh buah sumur yang seperti ini.
Keempat belas, yang berhaji seharusnya berlaku takzim terhadap kota ini selama ia tinggal di sana, dengan memelihara perasaan dalam hatinya bahwa kota ini merupakan tempat yang dipilih sebagai tempat hijrah dan tinggal Rasulullah saw, serta tempat beliau dimakamkan; hendaknya ia bersikap seolah melihat Nabi saw datang dan pergi di kota ini, dan bagaimana beliau berjalan di jalan-jalan kota ini.
Kelima belas, tinggal di Madinah (khususnya untuk belajar) adalah dianjurkan dengan persyaratan yang sama dengan yang telah disebutkan berkaitan dengan tinggal di Mekah. Anjuran untuk melakukan hal ini terdapat dalam Shahîh Muslim; Ibn ‘Umar dan Abû Hurayrah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Siapa saja yang bertahan melalui segala kesulitan dan kesengsaraan di Madinah, aku akan menjadi saksi dan pemberi syafaat baginya pada Hari Pembalasan.”
67Keenam belas, dianjurkan bagi seorang mukmin untuk berpuasa di Madinah kapan saja dan hendaklah sesering mungkin, dan hendaklah memberi sedekah sebanyak mungkin kepada tetangga-tetangga Nabi saw (yaitu mereka yang melakukan mujâwarah, seperti tinggal di Madinah agar dapat memelihara sunah), karena hal tersebut merupakan satu cara menunjukkan kesetiaan dan kepercayaan kepada Nabi saw.
Ketujuh belas, hendaklah ia tidak membawa barang-barang tembikar yang terbuat dari tanah dan batu-batu dari Tanah Haram Madinah, juga kendi-kendi dan perkakas lain yang terbuat darinya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya berkaitan dengan Tanah Haram Mekah.
Kedelapan belas, dilarang berburu di Tanah Haram Madinah, juga mencabut dan memindahkan sesuatu dari pohon-pohonan di Tanah Haram; aturan ini telah dibahas dalam pembicaraan tentang Tanah Haram Mekah. Batas Tanah Haram Madinah adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dalam kedua kitab Shahîh-nya dari ‘Alî ibn Abî Thâlib ra dari Nabi saw., “Tanah Haram Madinah adalah antara ‘Ayr dan Tsawr (sebuah bukit di belakang Uhud)”; dan dari Abû Hurayrah ra yang mengatakan, “Bila aku melihat rusa makan rumput dan minum di Madinah aku tak akan mengganggunya.” Nabi saw juga mengatakan, “Apa yang terhampar di antara dua bidang batu hitamnya (itulah batas-batas kota).” Dengan demikian hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok sahabat dalam kedua kitab Shahîh tersebut.
Kesembilan belas, bila ia akan meninggalkan Madinah dan pulang ke negerinya atau pergi ke negeri lainnya, dianjurkan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada masjid dengan melakukan salat dua rakaat dan berdoa menyangkut apa saja yang sesuai dengan keperluannya; hendaklah ia mendatangi makam dan mengatakan hal yang sama dengan doa yang telah disebutkan pada permulaan dan katakanlah, “Ya Allah swt, janganlah Engkau jadikan ini kali terakhir bagiku untuk datang ke Tanah Haram Rasul-Mu; mudahkanlah aku untuk datang kembali ke kedua Tanah Suci ini, dan limpahkanlah kepadaku ampunan dan keamanan dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang, dan berikanlah kepada kami keselamatan selagi pulang dengan rahmatmu.” Ia pun dapat meninggalkannya dengan menghadap sambil menjauh dari makam.
Kedua puluh, hal-hal penting berkaitan dengan Masjid Nabi saw: diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhârî dari Ibn ‘Umar bahwa ia mengatakan, “Pada masa Rasulullah saw, masjid dibangun dengan bata-bata dari tanah yang dijemur, atapnya terbuat dari pelepah kurma, dan tiang-tiangnya dari batang pohon kurma. Abû Bakr ra tidak menambahkan apa pun padanya; ‘Umar ra menambahkan padanya dan membangun jalan yang biasa digunakan selama masa Nabi saw dengan batu bata dan pelepah kurma dan tiang-tiang dari batang pohon kurma. Pada gilirannya, ‘Utsmân ra mengubahnya dan menambahkan lebih banyak lagi. Beliau meninggikan dinding-dindingnya dengan batu-batu yang dipahat dan batu gamping, membuat tiang-tiang dari batu yang dipahat dan atap dari kayu jati.” Seharusnyalah melakukan salat fardu itu di masjid yang dulu ada di masa Rasulullah saw. Karena hadits sahih yang tadi disebutkan, yaitu “Satu salat di masjidku ini lebih baik dari seribu salat di masjid-masjid lain,” hanya berlaku pada masjid yang berada di tempat pada masa beliau saja.
68 Bila seseorang melakukan salat bersama jamaah, maka sebaiknyalah melangkah maju ke barisan pertama, dan barisan-barisan yang langsung berada di belakangnya. Hendaknya ia memerhatikan apa yang pernah saya peringatkan. Dalam kedua kitab Shahîh terdapat riwayat dari Abû Hurayrah ra bahwa Nabi saw mengatakan, “Mimbarku menghadap ke kolamku.” Al-Khaththâbî mengatakan bahwa makna dari hadits ini adalah bahwa siapa yang menjaga salatnya di dekat mimbarnya, maka ia akan mendapatkan air dari kolam Nabi saw pada Hari Perhitungan.
Hadis lain dalam Shahîh menyebutkan, “Di antara makam dan mimbarku, terletak salah satu taman surga.”
Kedua puluh satu, beberapa orang awam menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Siapa saja yang berziarah kepadaku dan kepada ayahku, Ibrahim as, pada tahun yang sama, aku memberi jaminan surga untuknya.” Anggapan ini salah. Pernyataan ini bukanlah dari Rasulullah saw dan kata-kata ini tak disebutkan dalam kitab hadits mana pun. Tetapi, ini lebih merupakan suatu bikinan orang-orang yang suka menyelewengkan. Menziarahi makam-makam para wali Allah swt tidaklah dilarang. Yang ditolak hanyalah apa yang diriwayatkan oleh orang umum, padahal tak ada hubungan antara berziarah ke al-Khalîl (Ibrahim as) dan ibadah haji; ziarah ke makam al-Khalîl merupakan tindakan amal saleh terpisah. Sama halnya dengan perkataan sebagian masyarakat awam yang menyatakan bahwa bila mereka berhaji dan melengkapinya dengan ziarah ke Yerusalem, maka mereka telah menyempurnakan hajinya. Ini adalah pandangan yang salah. Meskipun berziarah ke Yerusalem itu dianjurkan, namun ini tak ada hubungannya dengan ibadah haji. Wa Allâh a‘lam.
Kedua puluh dua, bila seseorang bernazar untuk berziarah ke makam Nabi saw atau Yerusalem, ada dua pandangan menurut mazhab Syafii; yang lebih tepat adalah yang menyatakan bahwa dianjurkan untuk pergi menunaikannya, tetapi tidaklah wajib. Wa Allâh a‘lam.
Catatan Kaki
62. Imam al-Nawawî, al-Îdhâh fî Manâsik al-Hajj (Damaskus: Dâr Ibn Khaldûn, tanpa tahun, h. 140-150. Lihat juga bagian yang sama dalam al-Adzkâr al-Nawawî (berbagai edisi) dan Majmû‘-nya (8:212f.).
63. Hadis hasan: lihat di atas, bagian al-Tawassul.
64. Lihat di atas.
65. Untuk restu Imam Ahmad terhadap menyentuh dan mencium makam, dan kata-kata al-Dzahabî yang membenarkan adanya efek dari tindakan ini dalam Mu’jam al-Syuyûkh, vol. 1, h. 73, #58, lihat di atas. “(Para sahabat) melihat Nabi saw dengan mata mereka sendiri tatkala beliau masih hidup, menikmati kehadirannya secara langsung, mencium tangannya secara sungguh-sungguh, mereka hampir bertarung satu sama lain memperebutkan sisa-sisa air wudunya, ikut mencukur rambutnya yang suci pada waktu berhaji, dan bahkan bila beliau memercikkan air dari mulutnya sungguh tidak akan jatuh kecuali pada tangan seseorang sehingga ia dapat mengusapkannya ke mukanya sendiri. Sementara kita tidak memiliki keberuntungan yang sedemikian besar itu untuk ikut serta merasakannya, maka kita lemparkan bagian tubuh kita sendiri pada makamnya sebagai tanda rasa keterikatan, ketakziman, dan penerimaan, bahkan dengan menciumnya. Tidakkah kamu melihat apa yang dilakukan oleh Tsâbit al-Bunanî tatkala ia mencium tangan Anas ibn Mâlik dan meletakkannya di atas mukanya sambil mengatakan: “Inilah tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah saw?” Kaum muslim tidaklah melakukan hal-hal semacam ini kecuali didorong oleh kecintaannya yang menggebu kepada Nabi saw, sebagaimana mereka diperintahkan untuk mencintai Allah swt dan Nabi-Nya saw lebih dari kecintaan mereka pada hidupnya sendiri, anak-anaknya, seluruh umat manusia, hartanya, dan surga serta bidadari-bidadarinya.”
66. Kaum “Salafi”/Wahabi telah menghancurkan semua makam ini, sehingga mereka tak lagi dapat dikenal bila ada orang ingin menziarahinya sesuai dengan tuntunan sunah menurut definisi dari Imam al-Nawawî, sehingga Baqi sekarang lebih tampak seperti padang pasir, tak satu pun dari makam-makam itu yang dapat dikenali. Pada masa Nabi saw, orang-orang yang dimakamkan di sana tidak banyak, sehingga mudah untuk dikenali di mana tempat mereka berada. Meskipun demikian, pada masa-masa kemudian karena pemakaman tersebut jadi penuh oleh kaum muslim, pentingnya tanda-tanda untuk menentukan di mana para sahabat itu dimakamkan menjadi semakin penting ketimbang pada masa lampau, sebagaimana pentingnya memelihara tanda daerah tempat makam Nabi saw berada. Itulah mengapa kaum muslim telah terus mempertahankan tanda-tanda ini dari perubahan-perubahan waktu dan penggantian, sampai kaum Wahabi dan kaum “Salafi” muncul terlibat dalam hal ini. Namun demikian, sangatlah penting memelihara tanda-tanda ini, terlebih pada masa sekarang, karena alasan yang disebutkan oleh al-Nawawî tadi.
67. Ibn Hajar al-Haytsamî menambahkan dalam syarahnya atas al-Nawawî, “Ahmad, al-Tirmidzî, dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, ‘Siapa saja yang dapat meninggal di Madinah, biarlah ia meninggal di sana, karena aku akan memberikan syafaat untuk siapa saja yang meninggal di sana.’ Banyak hadis tentang keutamaan tinggal dan meninggal di Madinah.”
68. Ibn Hajar al-Haytsamî mengatakan, “Ada perbedaaan di antara ulama sehubungan dengan hal ini. Meskipun demikian, tak ada hadis sahih dari Nabi saw yang berbeda dengan apa yang dikatakan al-Nawawî.”
Post a Comment Blogger Disqus