Mistikus Cinta

0
Mursyid Ke 29
Syekh Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah

"Mataku tidak pernah melihat siapa pun yang lebih cantik darimu;
Tidak ada wanita yang melahirkan satu lagi yang tampan,
Lahir sempurna seolah-olah itu adalah keinginanmu. "

Hassan ibn Thabit, berbicara kepada Nabi.


Ia adalah Matahari dari Kebahagiaan Abadi. Ia adalah Kekasih Allah (swt). Ia adalah Ruh bagi Ahlul Haqq, dan ia adalah Inti dari Ruh Ahlul Dzawq. Ia adalah salah satu Panji dari Rasul yang Mulia. Ia mengangkat Agama Nabi Muhammad (s). Ia membangkitkan Tarekat Naqsybandi.

Ia dilahirkan pada tahun 1113 H./1701 M. di India. Sejak kanak-kanak cahaya Bimbingan dan jejak Kesalehan bersinar dari keningnya. Karakternya dicetak dengan Tajali Keindahan Ilahiah (tajalli-l-jamal). Ia terkenal akan ketampanannya, seperti Nabi Yusuf (a), dan setiap orang mencintainya karena ia melambangkan keindahan. Itu adalah Sifat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi (s), “Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan,” dan itu juga merupakan sifat Nabi (s), sebagaimana Anas (r) berkata, “Nabimu (s) adalah sosok yang paling indah penampilannya dan suaranya adalah yang terindah di antara semua Nabi.” Karena hal ini, Syekh `Abdur-Ra’uf al-Munawi berkata, “Nabi (s) tidak ada duanya dalam hal keindahannya.”

Ketika Syekh Mazhar (q) berusia sembilan tahun, ia melihat Sayyidina Ibrahim (a) yang memberikan kekuatan keramat melalui transmisi spiritual. Pada usianya ini, jika seseorang menyebutkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dalam kehadirannya, ia akan melihatnya muncul dengan mata fisiknya. Ia juga mampu melihat Nabi (s) dan seluruh Sahabat Nabi (s) dan para Syekh Tarekat Naqsybandi, khususnya Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q).

Ayahnya membesarkannya dan mendidiknya dalam semua cabang ilmu agama. Pada usia yang masih muda kalbunya tertarik dengan cahaya spiritual yang muncul dari Syekhnya, yaitu as-Sayyid Nur Muhammad (q). Syekhnya membukakan mata kalbunya dan menyuapinya dengan nektar dari bunga Ilmu yang tersembunyi. Syekh membawanya keluar dari Maqam Kesadaran Diri dan mengangkatnya ke Maqam-Maqam yang lebih tinggi yang membuatnya sangat takjub dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia menemani Syekh Nur Muhammad (q) dalam mi’raj berikutnya. Syekh mengizinkannya untuk mengamati Misteri dari Dunia yang Tersembunyi dan memberinya hadiah-hadiah berupa Kekuatan Keramat dan Maqam-Maqam yang Tinggi.

Seseorang melihat Syekhnya membukakan Sembilan Titik, yang merupakan lokus dari Rahasia-Rahasia Naqsybandi pada dirinya. Dari ilmu sembilan titik ini, ia menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam lima titik yang lebih kuat, hingga Syekhnya memberinya otoritas untuk “mengaktifkan” Kesembilan Titik itu setiap saat dan untuk menggunakannya. Kemudian Syekh membawanya kembali ke hadiratnya dan hanya hadiratnya. Beliau membawanya naik-turun, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan membungkusnya dengan cahayanya dan melindunginya dengan pandangannya, sampai ia mencapai kesempurnaan tertinggi dan membangkitkan dirinya dari Kebodohan.

Dengan teguh dan tulus ia berkhidmah kepada Syekhnya. Ia terus mengalami kemajuan dengan melaksanakan khalwat di gurun dan hutan atas perintah Syekhnya. Dalam khalwat ini makanannya hanya rumput dan dedaunan dan yang dipakainya hanyalah apa yang menutupi auratnya. Suatu hari setelah berkali-kali khalwat, ia memandang cermin tetapi ia tidak melihat dirinya, yang dilihat adalah Syekhnya.

Pada tahap ini Syekh memberinya otoritas untuk membimbing hamba Allah menuju tujuan mereka, membimbingnya ke Jalan yang Lurus, dan beliau menempatkannya pada Singgasana Penerus, dan melalui dirinya Matahari Bimbingan naik ke Menara Kebahagiaan.

Ketika gurunya wafat, ia terus berziarah ke makamnya selama dua tahun dan ia menerima cahaya dan ilmu yang dapat ditransmisikan oleh Syekhnya dari makamnya. Kemudian melalui hubungan spiritual ia diperintahkan untuk terhubung dengan seorang syekh yang masih hidup.

Ia sampai di Pintu seorang Mursyid Kamil di zamannya, Syekh Muhammad Afzal, Syekh Safi Sa`dullah, dan Syekh Muhammad `Abid. Ia merapatkan diri kepada Syekh Syah Kalsyan dan kepada syekh lain yang bernama Muhammad az-Zubair. Ia sering menghadiri sesi Syekh Muhammad Afzal, salah satu khalifah dari putra Syekh Muhammad Ma`sum (q). Ia datang dan belajar dari Syekh `Abdul Ahad dan menerima ilmu hadits Nabi (s) darinya. Selama di kelas, setiap kali Syekh menyebutkan sebuah hadits, ia akan lenyap melalui mahuwa dzat (menarik diri), dan sebuah penglihatan akan muncul kepadanya di mana ia akan mendapati dirinya sedang duduk bersama Nabi (s) dan mendengar hadits itu secara langsung dari Nabi (s). Ia akan mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi dalam narasi hadits yang disampaikan, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang jenius di dalam ilmu hadits.

Ia terus menemani Syekh-Syekh ini selama dua puluh tahun. Ia terus mengalami kemajuan dalam Maqam Kesempurnaan, sampai ia menjadi Samudra Ilmu. Ia diangkat menuju Cakrawala Qutub sampai ia menjadi Qutub di zamannya, bersinar seperti matahari di siang hari. Syekh Muhammad Afzal berkata, “Syekh Mazhar Habibullah diberi Maqam Qutub dan ia adalah poros tengah dari tarekat ini di masa kini.”

Kesempurnaan spiritualnya menarik orang dari segala penjuru di Sub Benua India. Dalam hadiratnya, setiap salik akan menemukan apa yang ia perlukan, sampai-sampai dengan berkahnya Sub Benua India menjadi seperti Ka`bah yang dikelilingi oleh kumpulan malaikat.

Di dalam dirinya yang mulia berpadu kekuatan dari empat tarekat. Ia adalah mursyid bagi Tarekat Naqsybandi, Qadiri, Suhrawardi dan Chisti. Ia sering berkata, “Aku menerima rahasia-rahasia dan ilmu dari tarekat-tarekat ini dari Syekhku, Sayyid Nur Muhammad Badawani (q), sampai aku menerima kekuatan yang istimewa dalam tarekat-tarekat ini. Beliau mengangkatku dari Tahap Ibrahimiah ke Tahap Muhammadiah, yang membuatku dapat melihat Nabi (s) duduk di tempatku sementara aku duduk di tempat beliau. Kemudian aku menghilang dan aku melihatnya duduk di kedua tempat itu. Kemudian aku melihatnya menghilang dan aku melihat diriku sendiri duduk di kedua tempat itu.”

Berikut ini adalah beberapa perkataan dari Syekh Mazhar (q):

“Suatu ketika aku sedang duduk dalam hadirat Syekh Muhammad `Abid dan Syekh berkata, “Kedua matahari pada kedua ujung bertemu, dan jika cahaya keduanya dipadukan dan dipancarkan ke seluruh alam semesta ini, ia akan membakar segala sesuatu.”

“Syekh Muhammad Afzal lebih tua dariku tetapi beliau biasa berdiri ketika aku masuk ke ruangan, dan beliau berkata kepadaku, ‘Aku berdiri untuk menghormati silsilah mulia yang kau miliki.’”

“Dunia dan segala isinya serta alam semesta dan segala isinya ada dalam genggamanku, dan aku dapat melihat mereka sejelas aku dapat melihat tanganku.”

Ia mempunyai pengalaman ajaib yang tak terhitung dan penglihatan spiritual yang sangat banyak tentang alam Surgawi begitu juga dengan dunia yang lebih rendah.

Suatu ketika ia berjalan dengan beberapa pengikutnya tanpa membawa perbekalan. Mereka berjalan dan setiap mereka merasa lelah, mereka akan beristirahat. Syekh akan memanggil mereka dan berkata, “Makanan ini untuk kalian,” dan semeja makanan muncul di hadapan mereka.

Suatu hari dalam perjalanan terjadi badai yang sangat mengerikan, angin menerbangkan semua yang ditemuinya. Cuaca sangat dingin dan orang-orang menggigil karena kedinginan. Situasi mereka bertambah buruk hingga seolah-olah mereka akan mati di gurun yang membeku itu. Kemudian Syekh Mazhar mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia mengelillingi kami tetapi tidak mengenai kami.” Dengan segera awan diangkat dari mereka, dan meskipun hujan yang dingin terus berlangsung selama satu mil ke depan, di sekeliling mereka suhunya meningkat hingga ke suhu yang nyaman bagi mereka.

Ia berkata, “Suatu ketika aku berziarah ke makam Syekh Muhammad Hafiz Muhsin. Aku mengalami keadaan fana dan dalam penglihatan spiritualku aku melihat tubuhnya. Tubuhnya utuh, tidak terurai, dan kain kafannya masih utuh dan bersih, hanya sedikit kotor di bagian kakinya. Melalui kekuatan spiritualku, aku bertanya mengenai hal itu. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku akan menceritakan sebuah kisah kepadamu. Suatu hari aku mengambil sebuah batu dari halaman tetanggaku dan meletakkannya pada sebuah lubang di halamanku, dan aku berkata kepada diriku, ‘Besok pagi akan kukembalikan padanya,’ tetapi aku lupa. Akibatnya muncul kotoran di kafanku. Perbuatan tadi mencemari kafanku.’”

Ia berkata, “Sepanjang kalian diangkat dalam kesalehan, kalian akan diangkat dalam kewalian.”

Suatu hari ia menjadi marah pada seorang tiran, dan ia berkata, “Sebuah penglihatan spiritual datang kepadaku di aman aku melihat semua Syekh, dari Abu Bakr ash-Shiddiq (r) hingga Syekh yang sekarang, mereka semua tidak senang dengan tiran itu.” Hari berikutnya tiran itu meninggal dunia.

Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, saudaraku telah dipenjara di desa sebelah. Mohon doanya agar Allah menyelamatkannya.” Ia berkata, “Wahai anakku, saudaramu tidak dipenjara, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang salah dan besok kau akan menerima surat darinya.” Apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.

Ia menginformasikan kepada para pengikutnya mengenai kabar gembira dan beberapa orang yang iri menolak untuk menerima apa yang ia katakan. Ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, mari kita bawa seorang hakim. Kita akan menyampaikan sudut pandang kita masing-masing dan biarkan ia menilai di antara kita.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima hakim lain kecuali Nabi (s) dan di Yawmil Hisab kami akan meminta penilaiannya mengenai hal ini.” Kemudian ia berkata, “Tidak perlu menunggu sampai Hari Kiamat. Kita akan meminta Nabi (s) memberikan penilaiannya sekarang.” Ia kemudian bertafakur secara mendalam dan ia diminta untuk membaca Surat al-Fatihah. Setelah ia melakukannya, tiba-tiba Nabi (s) muncul ke hadapan semua orang dan beliau (s) berkata, “Al-Mazhar Habibullah adalah benar dan kalian semua salah.”

Mengenai Penciptaan

Ia berkata, “Wujud hanyalah Sifat Allah sendiri. Dunia ini semata-mata hanyalah bayangan dari hakikat yang wujudnya ada di Hadriat Ilahi. Hakikat dari semua makhluk yang mungkin (haqa’iq al-mumkinat) adalah hasil dari perbuatan Sifat dan Kualitas Ilahiah pada Sesuatu yang Hampa (`adm). Wujud Sejati dari semua yang termanifestasi dalam makhluk fisik yang ditegaskan dalam bentuk cahaya dalam Hadirat Ilahi.

“Segala sesuatu yang muncul dalam penciptaan fisik semata-mata hanyalah bayangan dari hakikatnya yang bercahaya yang diproyeksikan oleh Kualitas Ilahiah terhadap kekosongan dari yang tak berwujud. Alam dari Sifat Ilahiah merupakan Asal dari Mata Air bagi Alam Semesta yang tercipta (mabadi’ ta`ayyunat al-a`lam). Karena semua makhluk fisik muncul dari kombinasi Kualitas Ilahiah Allah dengan Kekosongan, dengan demikian makhluk mempunyai bagian dari dua asal yang sifatnya berbeda. Dari sifat kehampaan yang tak berwujud dan bukan apa-apa muncul kualitas yang kental dari substansi fisik di mana dalam lingkup perbuatan manusia ia menghasilkan kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Dari Sifat Ilahiah muncul Cahaya, Ilmu, dan Kebaikan. Dengan demikian seorang Sufi ketika ia melihat pada dirinya sendiri, melihat semua kebaikan di dalam dirinya sebagai cahaya dari Sifat Ilahi yang terefleksikan padanya, tetapi itu bukan berasal darinya. Sebuah perumpamaan mengenai hal itu bisa berupa sebuah setelan bagus yang dipinjam membuat orang terlihat menawan, tetapi sesungguhnya itu bukan miliknya dan untuk itu ia tidak patut menerima pujian. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai substansi dasar, penuh kegelapan dan kebodohan, dengan sifat yang lebih buruk daripada binatang. Dengan persepsi ganda ini, ia melepaskan keterikatannya dari tarikan ego dan tidak menonjolkan dirinya, dan berpaling ke arah tobat terhadap Sumber Ilahiah untuk semua Kebaikan. Dengan berpalingnya ini, Allah mengisi kalbunya dengan cinta dan rindu terhadap Hadirat Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”

Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan beremosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiaan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt). Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.

Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ada di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir. Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang-orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat. Ingatlah aku di dalam doamu.” Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya.

Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok. Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid. Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat. Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”

Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal tujuh Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya. Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya salat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku memaafkannya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”

Ia wafat pada hari Jumat. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al-Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 salat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.” Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk salat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda salatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/shamsuddin-habib-allah-qaddasa-l-lahu-sirrah/)

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Shamsuddin Habib Allah | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top