Mursyid Ke 22
Syekh Darwish Muhammad as-Samarqandi qaddasa-l-Lahu sirrah
"Ini bukan bagian saya, jika cobaan datang ke arah saya, untuk berpaling dari mereka,
juga, jika saya dibanjiri dengan sukacita, untuk meninggalkan diri saya sendiri;
Karena aku bukan dari mereka yang, karena kehilangan satu hal, merasa terhibur
Dengan yang lain; Saya berharap tidak kurang dari Semua. "
juga, jika saya dibanjiri dengan sukacita, untuk meninggalkan diri saya sendiri;
Karena aku bukan dari mereka yang, karena kehilangan satu hal, merasa terhibur
Dengan yang lain; Saya berharap tidak kurang dari Semua. "
Shaykh `Abdul-Qadir al-Jilani.
Ia adalah seorang Ghawts dari para Awliya yang termasyhur dan Berkah dari para Ulama Islam. Ia adalah Fajar dan Cahaya bagi Timur dan Barat. Ia adalah Master bagi Kerajaan Bimbingan. Ia dibesarkan di rumah pamannya yang mengajarinya akhlak terpuji, mendidiknya dengan ilmu agama dan spiritualitas, dan merawatnya dari keran moralitas dan etika. Ia memuaskan dahaganya dengan Hakikat Surgawi dan Ilmu Gaib, sampai kalbunya menjadi Rumah bagi Wahyu Ilahi, sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Langit dan bumi tidak bisa menampung Aku, tetapi kalbu hamba-Ku yang Mukmin dapat menampung-Ku.”
Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru-guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.
Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”
Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu
Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”
Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.
Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.
Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”
Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).
Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid-muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.
Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/darwish-muhammad-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru-guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.
Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”
Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu
Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”
Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.
Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.
Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”
Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).
Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid-muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.
Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/darwish-muhammad-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus