Mursyid Ke 14
Syekh Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
Syekh Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
"Tidak ada yang namanya hati yang hancur berbalik dari aku kepada-Mu;
Sebenarnya, dari aku untuk Engkau, semua sel di tubuhku adalah hati."
Sebenarnya, dari aku untuk Engkau, semua sel di tubuhku adalah hati."
Abu Bakr ash-Shibli.
Beliau adalah seorang Penjunjung Panji Islam yang mulia dan seorang ulama besar yang membuka kunci-kunci perbendaharaan kalbu dan menjelaskan rahasia-rahasia dari yang gaib. Beliau menerima dari Kesultanan Makrifat, Karunia, Penghargaan dan Kehormatan. Beliau membimbing orang-orang yang membutuhkan menuju Maqam Ilmu Spiritual. Namanya menjulang ke langit-langit Bimbingan dan tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan ilmu atau rasanya. Bagi kita, beliau dapat digambarkan seperti halnya Ummul Kitab (kitab suci al-Qu’ran), sebagai “orang yang ditulis pada maqam yang tinggi.”
Beliau dilahirkan di desa Ramitan, dua mil dari Bukhara. Beliau tinggal di sana, dan beliau gemar mempelajari ilmu Syariah, sampai beliau menjadi terkenal di bidang Ilmu Hadits, Qur’an, Fiqh dan Sunnah. Beliau menjadi rujukan (marja`) bagi orang-orang yang ingin meminta fatwa.
Kemudian beliau menghubungi Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q) untuk mendapatkan bimbingan spiritual. Dalam hadirat Syekh, beliau diangkat ke maqam yang tinggi dari Tajali Cinta Ilahi dan Tajali Hadratillah. Beliau menjadi terkenal dengan sebutan Azizan, sebuah kata dalam bahasa Persia yang digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai maqam yang tinggi.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Lakukan dan jangan menghitung-hitung.
Akui kekuranganmu dan lanjutkan pekerjaanmu.
Raihlah Hadratillah, terutama ketika engkau sedang makan dan ketika engkau sedang berbicara.
Allah `Azza wa Jalla berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” Ayat ini memberi kabar gembira bagi kita. Karena Allah meminta tobat, itu artinya Dia akan menerimanya, karena jika Dia tidak akan menerima tobat kita, Dia tidak akan mengatakan kepada kalian untuk bertobat.
Nabi (s) bersabda, ‘Allah melihat pada kalbu orang-orang beriman 360 kali sepanjang siang dan malam.’ Ini artinya kalbu mempunyai 360 pintu masuk. Dan setiap organ mempunyai 360 akar, dan semuanya terhubung dengan kalbu. Jadi, jika kalbu itu, di bawah pengaruh Zikrullah, diantarkan kepada Maqam Tatapan Allah, ini akan mengantarkan semua organ tubuh kepada Tatapan Allah. Hasilnya, setiap organ akan menjadi patuh kepada Allah dan dari cahaya kepatuhan itu, setiap organ akan terkoneksi kepada Curahan Ilahi. Inilah yang menarik Tatapan Rahmat dari Allah kepada kalbu orang-orang yang berzikir.
Lebih Jauh mengenai Zikir Jahar
Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar di zamannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengeraskan suara ketika berzikir?” Syekh Ali (q) mengatakan,
“Wahai saudaraku, para ulama Muslim selama berabad-abad, sejak zaman Tabi`in (generasi setelah Sahabat) hingga sekarang telah mengizinkan zikir jahar pada akhir hayat. Pada saat-saat ini orang-orang yang sedang mengalami sakaratul maut dianjurkan untuk mengulangi syahadatnya. Nabi (s) bersabda, ‘laqqina mawtakum syahadatan LA ILAHA ILLALLAH (“buatlah agar orang-orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian mengucapkan: Tiada tuhan selain Allah.’) Di dalam ilmu Sufisme, para ulama menekankan bahwa setiap detik bisa jadi adalah saat-saat terakhirmu. Ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa engkau boleh mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras pada setiap saat dalam kehidupanmu.”
Beliau ditanya oleh Syekh Mawlana Badruddin al-Midani, yang merupakan seorang ulama besar di zamannya, “Allah telah memerintahkan kita di dalam al-Qur’an untuk memperbanyak zikir melalui firman-Nya, “Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” [33:41]. Apakah zikir itu dilakukan dengan lidah atau dalam hati?”
Syekh `Ali Ramitani (q) menjawab,
Bagi pemula lebih baik dengan lidahnya, dan bagi yang sudah mahir dapat melakukannya dalam hati.” Beliau melanjutkan, “Hal ini karena bagi pemula untuk berzikir, ia harus mengerahkan banyak upaya. Karena kalbunya terganggu dan tidak stabil dan upayanya tidak merata, sehingga lebih baik baginya untuk melakukan dengan lidahnya. Tetapi yang mahir telah memoles kalbunya dan dengan mudah terpengaruh dengan zikir. Seluruh organnya menjadi dzakiriin (turut berzikir) sehingga seluruh tubuh orang yang sudah terampil itu senantiasa mengingat Allah secara lahir dan batin setiap saat. Satu hari zikirnya orang yang mahir adalah setara dengan satu tahun zikir bagi seorang pemula.
Beliau melanjutkan,
Tugas seorang mursyid yang pertama adalah mengetahui kemampuan para salik. Kemudian ia akan meletakkan metode zikir yang paling sempurna di lidahnya (talqin) untuk mengangkatnya ke maqam tertinggi.
Jika ada satu pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) di zamannya Hallaj (q), Hallaj (q) tidak akan dieksekusi.” Ini artinya akan ada seseorang yang mampu membelanya dari tuduhan orang-orang yang tidak mengetahui.
Syekh Fakhruddin an-Nuri, ulama terpandang lainnya di zamannya bertanya kepadanya, “Allah menyebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an bahwa pada Hari Perjanjian, Dia bertanya, “Alastu bi Rabbikum, qala bala [7:172] (“Bukankah Aku Tuhanmu? — Mereka berkata, “Ya!”), sedangkan pada Hari Kiamat Dia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [40:16] (‘kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’) dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Mengapa mereka menjawab pertanyaan ‘Bukankah Aku Tuhanmu’ tetapi pada Hari Kiamat mereka tidak menjawab?” Dalam jawabannya, Syekh Ali Ramitani (q) mendemonstrasikan kedalaman pemahamannya yang luar biasa terhadap al-Qur’an dan Hadits Suci sebagaimana yang dimiliki oleh para Guru Naqsybandi. Beliau berkata,
Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’ diberikan kepada manusia, itu adalah hari di mana Allah menempatkan kewajiban Syariah kepada semua manusia. Menjawab ketika ditanya adalah suatu kewajiban menurut Syariah. Itulah sebabnya mereka menjawab pertanyaan itu. Namun pada Hari Kiamat, semua kewajiban telah berakhir, dan pada saat itu, kesadaran akan Kebenaran dan alam spiritual dimulai. Di dalam spiritualitas tidak ada ucapan yang lebih baik daripada diam, karena spiritualitas adalah suatu aliran dari dan menuju kalbu dan tidak ada hubungannya dengan lidah. Itulah sebabnya pada pertanyaan kedua tidak perlu memberikan jawaban. Allah Sendiri yang menjawab Pertanyaan-Nya, ‘Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’ dengan mengatakan, ‘lillah il-Wahid il-Qahhar, ‘Itu adalah milik Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’
Setelah menerima perintah surgawi, beliau pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika beliau sampai di Khwarazm, beliau tidak memasuki kota, tetapi tinggal di gerbangnya dan mengirim utusannya menemui raja untuk mengatakan,
Seorang tukang tenun yang miskin telah datang untuk memasuki kerajaanmu dan tinggal di dalamnya. Apakah engkau memberi izin atau tidak? Jika engkau memberi izin, ia akan masuk. Jika tidak ia akan pulang kembali.
Beliau meminta utusannya untuk mendapat surat tertulis yang ditandatangani oleh raja, memberikan izinnya. Ketika beliau menerima surat itu Syekh masuk ke dalam kota dan mulai menyebarkan Tarekat Naqsybandi. Setiap hari beliau pergi ke pusat kota, berbicara dengan orang-orang, meminta mereka untuk datang ke majelisnya dan membayar upah mereka untuk hari itu. Beliau menjadikan seluruh kota sebagai pengikutnya, menjadi orang-orang yang taat beribadah dan senantiasa berzikir. Beliau menjadi sangat terkenal di kota itu. Orang-orang sering mengunjunginya dari berbagai penjuru. Reputasinya yang baik membuat raja dan menteri-menterinya mengkhawatirkan pengaruhnya kepada orang-orang. Mereka berusaha untuk mengusirnya dari kota itu. Beliau telah memprediksi hal ini, sehingga beliau mengirimkan kembali surat dari raja itu kepadanya. Mendapati hal ini raja mendatangi syekh dan meminta maaf. Ia kemudian menjadi salah satu muridnya yang utama.
Syekh Ali wafat pada hari Senin, 18 Dzul Qa’idah tahun 715 H./1315 M. atau 721 H./1321 M. pada usia 130 tahun.
Beliau mempunyai dua anak yang sangat terkenal dalam mengikuti jejaknya. Namun beliau tidak meneruskan rahasianya kepada mereka, melainkan kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ali-ar-ramitani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Beliau dilahirkan di desa Ramitan, dua mil dari Bukhara. Beliau tinggal di sana, dan beliau gemar mempelajari ilmu Syariah, sampai beliau menjadi terkenal di bidang Ilmu Hadits, Qur’an, Fiqh dan Sunnah. Beliau menjadi rujukan (marja`) bagi orang-orang yang ingin meminta fatwa.
Kemudian beliau menghubungi Syekh Mahmud al-Injir al-Faghnawi (q) untuk mendapatkan bimbingan spiritual. Dalam hadirat Syekh, beliau diangkat ke maqam yang tinggi dari Tajali Cinta Ilahi dan Tajali Hadratillah. Beliau menjadi terkenal dengan sebutan Azizan, sebuah kata dalam bahasa Persia yang digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai maqam yang tinggi.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Lakukan dan jangan menghitung-hitung.
Akui kekuranganmu dan lanjutkan pekerjaanmu.
Raihlah Hadratillah, terutama ketika engkau sedang makan dan ketika engkau sedang berbicara.
Allah `Azza wa Jalla berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an, “Wahai orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” Ayat ini memberi kabar gembira bagi kita. Karena Allah meminta tobat, itu artinya Dia akan menerimanya, karena jika Dia tidak akan menerima tobat kita, Dia tidak akan mengatakan kepada kalian untuk bertobat.
Nabi (s) bersabda, ‘Allah melihat pada kalbu orang-orang beriman 360 kali sepanjang siang dan malam.’ Ini artinya kalbu mempunyai 360 pintu masuk. Dan setiap organ mempunyai 360 akar, dan semuanya terhubung dengan kalbu. Jadi, jika kalbu itu, di bawah pengaruh Zikrullah, diantarkan kepada Maqam Tatapan Allah, ini akan mengantarkan semua organ tubuh kepada Tatapan Allah. Hasilnya, setiap organ akan menjadi patuh kepada Allah dan dari cahaya kepatuhan itu, setiap organ akan terkoneksi kepada Curahan Ilahi. Inilah yang menarik Tatapan Rahmat dari Allah kepada kalbu orang-orang yang berzikir.
Lebih Jauh mengenai Zikir Jahar
Mawlana Sayfuddin Fidda, seorang ulama besar di zamannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengeraskan suara ketika berzikir?” Syekh Ali (q) mengatakan,
“Wahai saudaraku, para ulama Muslim selama berabad-abad, sejak zaman Tabi`in (generasi setelah Sahabat) hingga sekarang telah mengizinkan zikir jahar pada akhir hayat. Pada saat-saat ini orang-orang yang sedang mengalami sakaratul maut dianjurkan untuk mengulangi syahadatnya. Nabi (s) bersabda, ‘laqqina mawtakum syahadatan LA ILAHA ILLALLAH (“buatlah agar orang-orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian mengucapkan: Tiada tuhan selain Allah.’) Di dalam ilmu Sufisme, para ulama menekankan bahwa setiap detik bisa jadi adalah saat-saat terakhirmu. Ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa engkau boleh mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH dengan suara keras pada setiap saat dalam kehidupanmu.”
Beliau ditanya oleh Syekh Mawlana Badruddin al-Midani, yang merupakan seorang ulama besar di zamannya, “Allah telah memerintahkan kita di dalam al-Qur’an untuk memperbanyak zikir melalui firman-Nya, “Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya” [33:41]. Apakah zikir itu dilakukan dengan lidah atau dalam hati?”
Syekh `Ali Ramitani (q) menjawab,
Bagi pemula lebih baik dengan lidahnya, dan bagi yang sudah mahir dapat melakukannya dalam hati.” Beliau melanjutkan, “Hal ini karena bagi pemula untuk berzikir, ia harus mengerahkan banyak upaya. Karena kalbunya terganggu dan tidak stabil dan upayanya tidak merata, sehingga lebih baik baginya untuk melakukan dengan lidahnya. Tetapi yang mahir telah memoles kalbunya dan dengan mudah terpengaruh dengan zikir. Seluruh organnya menjadi dzakiriin (turut berzikir) sehingga seluruh tubuh orang yang sudah terampil itu senantiasa mengingat Allah secara lahir dan batin setiap saat. Satu hari zikirnya orang yang mahir adalah setara dengan satu tahun zikir bagi seorang pemula.
Beliau melanjutkan,
Tugas seorang mursyid yang pertama adalah mengetahui kemampuan para salik. Kemudian ia akan meletakkan metode zikir yang paling sempurna di lidahnya (talqin) untuk mengangkatnya ke maqam tertinggi.
Jika ada satu pengikut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) di zamannya Hallaj (q), Hallaj (q) tidak akan dieksekusi.” Ini artinya akan ada seseorang yang mampu membelanya dari tuduhan orang-orang yang tidak mengetahui.
Syekh Fakhruddin an-Nuri, ulama terpandang lainnya di zamannya bertanya kepadanya, “Allah menyebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an bahwa pada Hari Perjanjian, Dia bertanya, “Alastu bi Rabbikum, qala bala [7:172] (“Bukankah Aku Tuhanmu? — Mereka berkata, “Ya!”), sedangkan pada Hari Kiamat Dia akan bertanya, liman al-mulk ul-yawm [40:16] (‘kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’) dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Mengapa mereka menjawab pertanyaan ‘Bukankah Aku Tuhanmu’ tetapi pada Hari Kiamat mereka tidak menjawab?” Dalam jawabannya, Syekh Ali Ramitani (q) mendemonstrasikan kedalaman pemahamannya yang luar biasa terhadap al-Qur’an dan Hadits Suci sebagaimana yang dimiliki oleh para Guru Naqsybandi. Beliau berkata,
Ketika pertanyaan pertama, ‘Bukankah Aku Tuhanmu?’ diberikan kepada manusia, itu adalah hari di mana Allah menempatkan kewajiban Syariah kepada semua manusia. Menjawab ketika ditanya adalah suatu kewajiban menurut Syariah. Itulah sebabnya mereka menjawab pertanyaan itu. Namun pada Hari Kiamat, semua kewajiban telah berakhir, dan pada saat itu, kesadaran akan Kebenaran dan alam spiritual dimulai. Di dalam spiritualitas tidak ada ucapan yang lebih baik daripada diam, karena spiritualitas adalah suatu aliran dari dan menuju kalbu dan tidak ada hubungannya dengan lidah. Itulah sebabnya pada pertanyaan kedua tidak perlu memberikan jawaban. Allah Sendiri yang menjawab Pertanyaan-Nya, ‘Kepunyaan siapa Kerajaan pada hari ini?’ dengan mengatakan, ‘lillah il-Wahid il-Qahhar, ‘Itu adalah milik Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.’
Setelah menerima perintah surgawi, beliau pindah dari Bukhara ke Khwarazm. Ketika beliau sampai di Khwarazm, beliau tidak memasuki kota, tetapi tinggal di gerbangnya dan mengirim utusannya menemui raja untuk mengatakan,
Seorang tukang tenun yang miskin telah datang untuk memasuki kerajaanmu dan tinggal di dalamnya. Apakah engkau memberi izin atau tidak? Jika engkau memberi izin, ia akan masuk. Jika tidak ia akan pulang kembali.
Beliau meminta utusannya untuk mendapat surat tertulis yang ditandatangani oleh raja, memberikan izinnya. Ketika beliau menerima surat itu Syekh masuk ke dalam kota dan mulai menyebarkan Tarekat Naqsybandi. Setiap hari beliau pergi ke pusat kota, berbicara dengan orang-orang, meminta mereka untuk datang ke majelisnya dan membayar upah mereka untuk hari itu. Beliau menjadikan seluruh kota sebagai pengikutnya, menjadi orang-orang yang taat beribadah dan senantiasa berzikir. Beliau menjadi sangat terkenal di kota itu. Orang-orang sering mengunjunginya dari berbagai penjuru. Reputasinya yang baik membuat raja dan menteri-menterinya mengkhawatirkan pengaruhnya kepada orang-orang. Mereka berusaha untuk mengusirnya dari kota itu. Beliau telah memprediksi hal ini, sehingga beliau mengirimkan kembali surat dari raja itu kepadanya. Mendapati hal ini raja mendatangi syekh dan meminta maaf. Ia kemudian menjadi salah satu muridnya yang utama.
Syekh Ali wafat pada hari Senin, 18 Dzul Qa’idah tahun 715 H./1315 M. atau 721 H./1321 M. pada usia 130 tahun.
Beliau mempunyai dua anak yang sangat terkenal dalam mengikuti jejaknya. Namun beliau tidak meneruskan rahasianya kepada mereka, melainkan kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ali-ar-ramitani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus