Mursyid ke-6
Thayfur Abu Yazid al-Bisthami, radhiya-l-Lahu `anh
Kehidupannya
Kakek Bayazid adalah seorang Majusi (Penyembah Api) dari Persia. Bayazid melakukan studi mendetail mengenai Syariah dan menerapkan zuhud dengan ketat dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang hidupnya ia tekun menjalani kewajiban agamanya dan melakukan ibadah-ibadah nawafil.
Beliau menganjurkan murid-muridnya untuk menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan mendorong mereka untuk menerima akidah tauhid yang murni dengan ikhlas. Akidah ini terdiri dari lima prinsip, yaitu: menjaga kewajiban sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, selalu mengatakan yang haqq, menjaga kalbu dari kebencian, menghindari makanan yang haram dan menjauhi bid`ah.
Perkataannya
Salah satu pekataannya adalah, “Aku telah sampai pada posisi mengenal Allah melalui Allah, dan aku telah sampai pada posisi mengenal apa-apa selain Allah melalui cahaya Allah.”
Beliau berkata, “Allah telah mengaruniai hamba-hamba-Nya berbagai nikmat dengan maksud untuk membawa mereka lebih dekat kepada-Nya; bukannya malah membuat mereka terpesona dengan nikmat itu dan menjauhkan mereka dari-Nya.”
Dan beliau berkata, berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan makhluk ini tanpa sepengetahuan mereka dan Engkau telah meletakkan amanat pada mereka tanpa keinginan mereka. Jika Engkau tidak menolong mereka, siapa lagi yang akan menolongnya?”
Bayazid berkata bahwa tujuan akhir dari Sufi adalah mengalami penglihatan terhadap Allah di Akhirat. Dampak hal itu beliau katakan, “Ada hamba-hamba Allah yang jika Allah menghijab Diri-Nya dari pandangan mereka di Surga, mereka akan memohon kepada-Nya untuk dikeluarkan dari Surga, seperti halnya para penghuni Neraka yang memohon kepada-Nya agar dikeluarkan dari Neraka.”
Beliau mengatakan tentang bagaimana cinta Allah terhadap hamba-hamba-Nya, “Jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan mengaruniai tiga atribut sebagai bukti cinta-Nya: kemurahan seperti kemurahannya lautan, dan kenikmatan seperti kenikmatan yang diberikan matahari dalam memberi cahayanya, dan ketawadukan seperti tawaduknya bumi. Pecinta sejati tidak pernah menganggap setiap penderitaan terlalu besar dan tidak pernah menurunkan ibadahnya karena imannya yang murni.”
Seseorang bertanya pada Bayazid, “Tunjukkan padaku amal apa yang dapat mendekatkan aku dengan Tuhanku.” Beliau berkata, “Cintailah wali-wali Allah agar mereka mencintaimu. Karena Allah melihat pada kalbu wali-wali-Nya dan Dia akan melihat namamu terukir di dalam kalbunya dan Dia akan mengampunimu.” Untuk itulah para pengikut Naqsybandi telah diangkat melalui cinta mereka terhadap Syekhnya. Cinta ini mengangkat mereka menuju maqam kebahagiaan terus-menerus dan kehadiran terus-menerus di dalam kalbu Syekh yang mereka cintai.
Banyak ulama Muslim di zamannya, dan banyak ulama setelahnya yang berkata bahwa Bayazid al-Bisthami (q) adalah yang pertama yang menyebarkan Haqiqat Fana’. Bahkan ulama yang paling ketat, Ibn Taymiyya, yang muncul pada abad ke-7 H. mengagumi Bayazid untuk hal ini dan menganggapnya sebagai salah satu gurunya. Ibn Taymiyya mengatakan tentangnya, “Ada dua kategori fana‘: yang pertama adalah untuk para Nabi dan Wali yang kamil (sempurna), dan kedua untuk para salik di antara para Wali dan Shalihiin. Bayazid al-Bisthami (q) tergolong pada kategori pertama dari yang mengalami fana’, yang artinya penolakan mutlak terhadap segala sesuatu selain Allah. Beliau tidak menerima apapun kecuali Allah. Beliau tidak menyembah apapun kecuali Allah, dan beliau tidak meminta kepada siapapun kecuali Allah.” Ia meneruskan kutipan kata-kata Bayazid, “Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali apa yang Dia inginkan.”
Dilaporkan mengenai Bayazid bahwa beliau berkata, “Aku menceraikan dunia tiga kali agar aku tidak dapat kembali kepadanya dan aku bergerak menuju Tuhanku sendiri, tanpa orang lain, dan aku menyebut-Nya sendiri untuk meminta pertolongan, dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ya Allah, tidak ada lagi yang tersisa untukku kecuali Engkau.’ Pada saat itu aku mengetahui keikhlasan doa di dalam kalbuku dan hakikat ketidakberdayaan egoku. Kalbuku segera dapat mengetahui penerimaan doa itu. Ini membuka suatu penglihatan padaku bahwa aku tidak lagi ada dan diriku telah lenyap sepenuhnya dan fana’ ke dalam Diri-Nya. Dan Dia membawa semua yang telah aku ceraikan sebelumnya ke hadapanku, dan membusanaiku dengan Cahaya dan Sifat-Nya.”
Bayazid berkata, “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” Dan beliau terus berkata, “Aku sudah berada di lautan ketika para Nabi sebelumnya masih berada di pantai.” Dan beliau berkata, “Wahai Tuhanku, Kepatuhan-Mu terhadapku lebih besar daripada kepatuhanku terhadap-Mu.” Artinya, “Wahai Tuhan, Engkau telah mengabulkan permintaanku walaupun aku belum mematuhi-Mu.”
Beliau berkata, “Aku membuat empat kesalahan dalam tahap-tahap awalku di jalan ini: aku berpikir bahwa aku mengingat-Nya dan aku mengetahui-Nya dan aku mencintai-Nya dan aku mencari-Nya; tetapi ketika aku telah mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatnya Dia terhadapku mendahului ingatnya aku terhadap-Nya, dan pengetahuan-Nya mengenaiku mendahului pengetahuanku mengenai-Nya dan cinta-Nya terhadapku lebih dahulu daripada cintaku terhadap-Nya, dan Dia telah mencariku agar aku mulai mencari-Nya.”
Adz-Dzahabi banyak mengutipnya dalam banyak hal besar, di antaranya “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” dan “Tidak ada apa-apa di dalam jubah yang kupakai kecuali Allah.” Guru Adz-Dzahabi, yaitu Ibn Taymiyya menjelaskan, “Beliau tidak lagi melihat dirinya sendiri ada, tetapi beliau hanya melihat eksistensi Allah, karena zuhud yang diterapkannya.”
Lebih lanjut Adz-Dzahabi meriwayatkan, “Beliau berkata, ‘Ya Allah, mana Neraka-Mu? Itu bukan apa-apa. Biarkan aku menjadi satu-satunya orang yang masuk ke dalamnya agar yang lainnya selamat. Dan mana Surga-Mu? Itu hanya mainan bagi anak-anak. Dan mana orang-orang kafir yang ingin Kau siksa? Mereka adalah hamba-Mu. Ampunilah mereka.”
Ibn Hajar berkata, merujuk pada ungkapan Bayazid yang termasyhur, “Allah mengetahui rahasia dan Allah mengetahui isi kalbu. Apapun yang dikatakan oleh Aba Yazid dari Ilmu Hakikat, orang-orang di zamannya tidak dapat memahaminya. Mereka mengutuknya dan mengusirnya tujuh kali dari kotanya. Setiap kali beliau diusir, bencana yang mengerikan akan menimpa kota itu sampai orang-orang memanggilnya kembali, kemudian berbay’at kepadanya, dan menerimanya sebagai seorang Wali sejati.”
Attar dan Arusi meriwayatkan bahwa ketika Bayazid diusir dari kotanya, beliau berkata, “Wahai kota yang diberkati, yang dibuang adalah Bayazid!”
Suatu ketika Bayazid berkata, “Allah Yang Maha Adil memanggilku ke Hadirat-Nya dan berkata kepadaku, ‘Wahai Bayazid, bagaimana engkau sampai ke Hadirat-Ku?’ Aku menjawab, ‘Melalui zuhud, dengan meninggalkan dunia.’ Dia berkata, ‘Nilai dunia adalah seperti sayap seekor nyamuk. Zuhud seperti apa yang kau lakukan untuk datang kepada-Ku?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui tawakkul, dengan berserah diri kepada-Mu.’ Kemudian Dia berkata, ‘Pernahkah Aku melanggar amanat yang Aku janjikan kepadamu?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui-Mu.’ Pada saat itu Allah berkata, ‘Sekarang Kami menerimamu.’”
Beliau berkata, “Aku berdiri bersama orang-orang saleh, tetapi aku tidak mendapat kemajuan bersama mereka. Aku berdiri bersama para prajurit dalam gerakannya tetapi aku tidak menemukan kemajuan satu langkah pun bersama mereka. Aku berdiri bersama mereka yang banyak melakukan salat dan puasa tetapi aku tidak membuat satu pun kemajuan. Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?’ dan Allah menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan datanglah.’”
Ibrahim Khawwas berkata, “Jalan yang Allah tunjukkan kepadanya, dengan kata-kata yang sangat halus dan penjelasan yang sangat sederhana adalah ‘tinggalkan ketertarikanmu terhadap dua alam, dunia dan akhirat, tinggalkan semuanya selain Aku.’ Itu adalah jalan terbaik dan termudah untuk datang kepada Allah `Azza wa Jalla, maqam tertinggi dan yang paling sempurna dalam menegaskan Keesaan Allah, tidak menerima apapun atau siapapun kecuali Allah Ta`ala.”
Salah seorang dari pengikut Dzul Nun al-Misri mengikuti Bayazid. Bayazid bertanya kepadanya, “Siapa yang kau inginkan?” Ia menjawab, “Aku menginginkan Bayazid.” Beliau berkata, “Wahai anakku, Bayazid menginginkan Bayazid selama 40 tahun tetapi masih belum menemukannya.” Murid Dzul Nun itu kemudian mendatangi gurunya dan menceritakan peristiwa ini kepadanya. Mendengar cerita itu, Dzul Nun jatuh pingsan. Beliau kemudian menjelaskan, “Guruku Bayazid telah fana dalam Cinta Allah. Hal itu menyebabkan ia berusaha untuk mencari dirinya kembali.”
Orang-orang memintanya, “Ajari kami bagaimana engkau mencapai Hakikat sejati.” Beliau berkata, “Dengan melatih diriku, melalui khalwat.” Mereka bertanya, “Bagaimana?” Beliau berkata, “Aku memanggil diriku untuk menerima Allah `Azza wa Jalla, tetapi ia menolaknya. Kemudian aku bersumpah bahwa aku tidak akan minum air dan aku tidak akan merasakan tidur sampai aku dapat membawa diriku (nafs) di bahwa kendaliku.”
Beliau juga berkata, “Ya Allah, tidak aneh bila aku mencintai-Mu karena aku adalah hamba yang lemah, tetapi aneh bahwa Engkau mencintaiku karena Engkau adalah al-Malik al-Mulk, Raja dari semua Raja.”
Beliau berkata, “Selama tiga puluh tahun, ketika aku ingin mengingat Allah dan melakukan zikir, aku biasa membersihkan mulut dan lidahku untuk bertasbih mengagungkan-Nya.”
Beliau berkata, “Selama seorang hamba berpikir bahwa ada di antara umat Muslim yang lebih rendah darinya, hamba itu masih mempunyai kesombongan.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Gambarkan mengenai siangmu dan gambarkan tentang malammu.” Beliau berkata, “Aku tidak mempunyai siang dan aku tidak mempunyai malam, karena siang dan malam adalah untuk mereka yang mempunyai karakteristik sebagai makhluk. Aku telah melepaskan diriku sebagaimana ular melepaskan kulitnya.”
Mengenai Sufisme, Bayazid berkata, “Itu adalah meninggalkan istirahat dan menerima penderitaan.”
Mengenai kewajiban untuk mengikuti seorang mursyid, beliau berkata, “Barang siapa yang tidak mempunyai syekh, maka syekhnya adalah Setan.”
Dalam mencari Tuhan, beliau berkata, “Lapar adalah awan hujan. Jika seorang hamba lapar, Allah akan mencurahkan kalbunya dengan hikmah.”
Mengenai perantaraannya, beliau berkata, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat bagi semua orang di zamanku, aku tidak akan merasa sombong, karena aku hanya memberi syafaat bagi sekeping tanah,” dan, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat, pertama aku akan memberikannya kepada orang-orang yang telah menyakitiku dan orang-orang yang telah mengingkariku.”
Kepada seorang anak muda yang menginginkan sepotong jubah tuanya untuk keberkahan, Bayazid berkata, “Seandainya engkau mengambil semua kulit Bayazid dan memakaikannya pada dirimu, itu tidak akan memberi manfaat apa-apa kepadamu, kecuali engkau mengikuti teladannya.”
Orang-orang berkata kepadanya, “Kunci Surga adalah, ‘La ilaha ill-Allah.” Beliau berkata, “Itu benar, tetapi kunci itu adalah untuk membuka gemboknya; dan kunci syahadat semacam itu hanya akan bekerja dengan kondisi sebagai berikut:
1) dengan lidah yang tidak berbohong dan bergunjing;
2) kalbu yang tidak berkhianat;
3) perut tanpa rezeki yang haram atau meragukan;
4) amal tanpa pamrih atau bid’ah.”
Beliau berkata, “Ego atau nafs selalu melihat pada dunia, ruh selalu melihat pada akhirat dan makrifat selalu melihat Allah `Azza wa Jalla. Orang yang dikalahkan oleh egonya tergolong orang-orang yang dihancurkan, dan orang yang ruhnya menguasai egonya termasuk orang yang saleh, dan orang yang makrifatnya menguasai egonya termasuk orang yang bertakwa.”
Ad-Dailami berkata, “Suatu ketika aku bertanya kepada `Abdur Rahman bin Yahya mengenai maqam berserah diri kepada Allah (tawakkul). Beliau berkata, “Jika engkau meletakkan tanganmu di mulut singa, jangan takut pada siapapun kecuali Allah.” Di benakku aku ingin menanyakan hal ini kepada Bayazid. Aku lalu mengetuk pintunya dan aku mendengar suara dari dalam, “Tidakkah yang dikatakan oleh `Abdur Rahman cukup untukmu? Kau datang hanya untuk bertanya, dan bukan dengan niat untuk berkunjung kepadaku.” Aku mengerti dan aku datang lagi pada tahun berikutnya dan mengetuk pintunya. Kali ini beliau menjawab, “Selamat datang wahai anakku, kali ini engkau datang sebagai orang yang berkunjung, bukan sebagai penanya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Kapankah seseorang dikatakan dewasa?” Beliau berkata, “Ketika ia tahu kesalahan dirinya dan ia menyibukkan diri untuk memperbaikinya.”
Beliau berkata, “Selama dua belas tahun aku menempa diriku, dan lima tahun memoles cermin dalam kalbuku, dan selama satu tahun aku memandang pada cermin itu dan aku melihat korset orang kafir di perutku. Aku berusaha untuk memotongnya dan aku menghabiskan dua belas tahun untuk melakukannya. Kemudian aku melihat cermin itu lagi dan aku melihat korset itu di dalam tubuhku. Aku menghabiskan lima tahun untuk memotongnya. Kemudian aku menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat apa yang telah kulakukan. Dan Allah membukakan padaku penglihatan kepada semua makhluk. Dan aku melihat mereka semua mati. Dan aku melakukan empat kali takbir jenazah (salat jenazah) bagi mereka.”
Suatu ketika beliau berkata, “Jika Arasy dan semua yang berada di sekitarnya dan apa yang berada di dalamnya diletakkan di sudut kalbu seorang Arifin, semua akan lenyap sepenuhnya di dalamnya.”
Mengenai maqam Bayazid, al-`Abbas ibn Hamza meriwayatkan hal berikut, “Aku melakukan Salat Zhuhur di belakang Bayazid, dan ketika beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat itu karena takutnya terhadap Nama Suci Allah, dan seluruh tubuhnya gemetar dan suara tulang-belulang yang patah terdengar darinya; aku merinding ketakutan.”
Munawi meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Bayazid menghadiri kelas seorang faqih yang sedang menjelaskan hukum waris, “Ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anu dan anu, anak-anaknya akan mewarisi anu dan anu dan seterusnya.” Bayazid berseru, “Wahai faqih, wahai faqih! Apa yang akan kau katakan mengenai orang yang mati tetapi tidak meninggalkan apa-apa kecuali Allah?” Orang-orang mulai menangis, dan Bayazid melanjutkan, “Seorang hamba tidak memiliki apa-apa; ketika ia mati, ia tidak meninggalkan apa-apa kecuali tuannya. Ia akan kembali seperti ketika Allah menciptakannya pada mulanya.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Kau akan kembali kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana yang Kami ciptakan pada mulanya.” [6:94].
Sahl at-Tustari mengirim sebuah surat kepada Bayazid yang berbunyi, “Ini adalah seorang pria yang minum minuman yang membuatnya segar sepanjang masa.” Bayazid menjawab, “Ini adalah seorang pria yang telah meminum semua eksistensi, tetapi mulutnya kering dan terbakar dengan kehausan.”
Wafatnya
Ketika Bayazid wafat, beliau berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Sebelum beliau wafat, seseorang bertanya mengenai umurnya. Beliau berkata, “Aku berumur empat tahun. Karena selama tujuh puluh tahun aku terhijab. Aku baru menyingkirkan hijabku empat tahun yang lalu.” Syekh ke-39 dalam Silsilah Keemasan, Sulthan al-Awliya Syekh `Abdullah Daghestani (q), merujuk pada ucapan ini dalam pertemuannya dengan Khidr (a), yang mengatakan kepadanya sambil menunjuk makam beberapa ulama besar di kompleks pemakaman Muslim, “Yang ini berumur tiga tahun, yang itu tujuh, yang itu dua belas.”
Bayazid wafat pada tahun 261 H./875 M. Dikatakan bahwa beliau dimakamkan di dua tempat yang berbeda, satu di Damaskus dan satu lagi di Bistham, Iran. Rahasia Silsilah Keemasan diteruskan dari Bayazid al-Bisthami (q) kepada Abul Hasan al-Kharqani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/tayfur-abu-yazid-al-bistami-radiya-l-lahu-canh/)
Aku telah menanamkan cinta di dalam hatiku
yang tidak akan terusik hingga Hari Kiamat.
Kau telah melukai hatiku ketika Engkau datang mendekatiku.
Hasratku tumbuh, cintaku bergejolak.
Ia telah menuangkan seteguk minuman untukku.
Ia telah memacu jantungku dengan secangkir cinta
Yang telah diisinya pada samudra persahabatan.
Bayazid
Kehidupannya
Kakek Bayazid adalah seorang Majusi (Penyembah Api) dari Persia. Bayazid melakukan studi mendetail mengenai Syariah dan menerapkan zuhud dengan ketat dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang hidupnya ia tekun menjalani kewajiban agamanya dan melakukan ibadah-ibadah nawafil.
Beliau menganjurkan murid-muridnya untuk menyerahkan urusan mereka kepada Allah dan mendorong mereka untuk menerima akidah tauhid yang murni dengan ikhlas. Akidah ini terdiri dari lima prinsip, yaitu: menjaga kewajiban sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, selalu mengatakan yang haqq, menjaga kalbu dari kebencian, menghindari makanan yang haram dan menjauhi bid`ah.
Perkataannya
Salah satu pekataannya adalah, “Aku telah sampai pada posisi mengenal Allah melalui Allah, dan aku telah sampai pada posisi mengenal apa-apa selain Allah melalui cahaya Allah.”
Beliau berkata, “Allah telah mengaruniai hamba-hamba-Nya berbagai nikmat dengan maksud untuk membawa mereka lebih dekat kepada-Nya; bukannya malah membuat mereka terpesona dengan nikmat itu dan menjauhkan mereka dari-Nya.”
Dan beliau berkata, berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau telah menciptakan makhluk ini tanpa sepengetahuan mereka dan Engkau telah meletakkan amanat pada mereka tanpa keinginan mereka. Jika Engkau tidak menolong mereka, siapa lagi yang akan menolongnya?”
Bayazid berkata bahwa tujuan akhir dari Sufi adalah mengalami penglihatan terhadap Allah di Akhirat. Dampak hal itu beliau katakan, “Ada hamba-hamba Allah yang jika Allah menghijab Diri-Nya dari pandangan mereka di Surga, mereka akan memohon kepada-Nya untuk dikeluarkan dari Surga, seperti halnya para penghuni Neraka yang memohon kepada-Nya agar dikeluarkan dari Neraka.”
Beliau mengatakan tentang bagaimana cinta Allah terhadap hamba-hamba-Nya, “Jika Allah mencintai hamba-Nya, Dia akan mengaruniai tiga atribut sebagai bukti cinta-Nya: kemurahan seperti kemurahannya lautan, dan kenikmatan seperti kenikmatan yang diberikan matahari dalam memberi cahayanya, dan ketawadukan seperti tawaduknya bumi. Pecinta sejati tidak pernah menganggap setiap penderitaan terlalu besar dan tidak pernah menurunkan ibadahnya karena imannya yang murni.”
Seseorang bertanya pada Bayazid, “Tunjukkan padaku amal apa yang dapat mendekatkan aku dengan Tuhanku.” Beliau berkata, “Cintailah wali-wali Allah agar mereka mencintaimu. Karena Allah melihat pada kalbu wali-wali-Nya dan Dia akan melihat namamu terukir di dalam kalbunya dan Dia akan mengampunimu.” Untuk itulah para pengikut Naqsybandi telah diangkat melalui cinta mereka terhadap Syekhnya. Cinta ini mengangkat mereka menuju maqam kebahagiaan terus-menerus dan kehadiran terus-menerus di dalam kalbu Syekh yang mereka cintai.
Banyak ulama Muslim di zamannya, dan banyak ulama setelahnya yang berkata bahwa Bayazid al-Bisthami (q) adalah yang pertama yang menyebarkan Haqiqat Fana’. Bahkan ulama yang paling ketat, Ibn Taymiyya, yang muncul pada abad ke-7 H. mengagumi Bayazid untuk hal ini dan menganggapnya sebagai salah satu gurunya. Ibn Taymiyya mengatakan tentangnya, “Ada dua kategori fana‘: yang pertama adalah untuk para Nabi dan Wali yang kamil (sempurna), dan kedua untuk para salik di antara para Wali dan Shalihiin. Bayazid al-Bisthami (q) tergolong pada kategori pertama dari yang mengalami fana’, yang artinya penolakan mutlak terhadap segala sesuatu selain Allah. Beliau tidak menerima apapun kecuali Allah. Beliau tidak menyembah apapun kecuali Allah, dan beliau tidak meminta kepada siapapun kecuali Allah.” Ia meneruskan kutipan kata-kata Bayazid, “Aku tidak menginginkan apa-apa kecuali apa yang Dia inginkan.”
Dilaporkan mengenai Bayazid bahwa beliau berkata, “Aku menceraikan dunia tiga kali agar aku tidak dapat kembali kepadanya dan aku bergerak menuju Tuhanku sendiri, tanpa orang lain, dan aku menyebut-Nya sendiri untuk meminta pertolongan, dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ya Allah, tidak ada lagi yang tersisa untukku kecuali Engkau.’ Pada saat itu aku mengetahui keikhlasan doa di dalam kalbuku dan hakikat ketidakberdayaan egoku. Kalbuku segera dapat mengetahui penerimaan doa itu. Ini membuka suatu penglihatan padaku bahwa aku tidak lagi ada dan diriku telah lenyap sepenuhnya dan fana’ ke dalam Diri-Nya. Dan Dia membawa semua yang telah aku ceraikan sebelumnya ke hadapanku, dan membusanaiku dengan Cahaya dan Sifat-Nya.”
Bayazid berkata, “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” Dan beliau terus berkata, “Aku sudah berada di lautan ketika para Nabi sebelumnya masih berada di pantai.” Dan beliau berkata, “Wahai Tuhanku, Kepatuhan-Mu terhadapku lebih besar daripada kepatuhanku terhadap-Mu.” Artinya, “Wahai Tuhan, Engkau telah mengabulkan permintaanku walaupun aku belum mematuhi-Mu.”
Beliau berkata, “Aku membuat empat kesalahan dalam tahap-tahap awalku di jalan ini: aku berpikir bahwa aku mengingat-Nya dan aku mengetahui-Nya dan aku mencintai-Nya dan aku mencari-Nya; tetapi ketika aku telah mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatnya Dia terhadapku mendahului ingatnya aku terhadap-Nya, dan pengetahuan-Nya mengenaiku mendahului pengetahuanku mengenai-Nya dan cinta-Nya terhadapku lebih dahulu daripada cintaku terhadap-Nya, dan Dia telah mencariku agar aku mulai mencari-Nya.”
Adz-Dzahabi banyak mengutipnya dalam banyak hal besar, di antaranya “Terpujilah Aku, untuk Kebesaran-Ku!” dan “Tidak ada apa-apa di dalam jubah yang kupakai kecuali Allah.” Guru Adz-Dzahabi, yaitu Ibn Taymiyya menjelaskan, “Beliau tidak lagi melihat dirinya sendiri ada, tetapi beliau hanya melihat eksistensi Allah, karena zuhud yang diterapkannya.”
Lebih lanjut Adz-Dzahabi meriwayatkan, “Beliau berkata, ‘Ya Allah, mana Neraka-Mu? Itu bukan apa-apa. Biarkan aku menjadi satu-satunya orang yang masuk ke dalamnya agar yang lainnya selamat. Dan mana Surga-Mu? Itu hanya mainan bagi anak-anak. Dan mana orang-orang kafir yang ingin Kau siksa? Mereka adalah hamba-Mu. Ampunilah mereka.”
Ibn Hajar berkata, merujuk pada ungkapan Bayazid yang termasyhur, “Allah mengetahui rahasia dan Allah mengetahui isi kalbu. Apapun yang dikatakan oleh Aba Yazid dari Ilmu Hakikat, orang-orang di zamannya tidak dapat memahaminya. Mereka mengutuknya dan mengusirnya tujuh kali dari kotanya. Setiap kali beliau diusir, bencana yang mengerikan akan menimpa kota itu sampai orang-orang memanggilnya kembali, kemudian berbay’at kepadanya, dan menerimanya sebagai seorang Wali sejati.”
Attar dan Arusi meriwayatkan bahwa ketika Bayazid diusir dari kotanya, beliau berkata, “Wahai kota yang diberkati, yang dibuang adalah Bayazid!”
Suatu ketika Bayazid berkata, “Allah Yang Maha Adil memanggilku ke Hadirat-Nya dan berkata kepadaku, ‘Wahai Bayazid, bagaimana engkau sampai ke Hadirat-Ku?’ Aku menjawab, ‘Melalui zuhud, dengan meninggalkan dunia.’ Dia berkata, ‘Nilai dunia adalah seperti sayap seekor nyamuk. Zuhud seperti apa yang kau lakukan untuk datang kepada-Ku?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui tawakkul, dengan berserah diri kepada-Mu.’ Kemudian Dia berkata, ‘Pernahkah Aku melanggar amanat yang Aku janjikan kepadamu?’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku.’ Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, aku datang kepada-Mu melalui-Mu.’ Pada saat itu Allah berkata, ‘Sekarang Kami menerimamu.’”
Beliau berkata, “Aku berdiri bersama orang-orang saleh, tetapi aku tidak mendapat kemajuan bersama mereka. Aku berdiri bersama para prajurit dalam gerakannya tetapi aku tidak menemukan kemajuan satu langkah pun bersama mereka. Aku berdiri bersama mereka yang banyak melakukan salat dan puasa tetapi aku tidak membuat satu pun kemajuan. Kemudian aku berkata, ‘Ya Allah, bagaimana jalan menuju Engkau?’ dan Allah menjawab, ‘Tinggalkan dirimu dan datanglah.’”
Ibrahim Khawwas berkata, “Jalan yang Allah tunjukkan kepadanya, dengan kata-kata yang sangat halus dan penjelasan yang sangat sederhana adalah ‘tinggalkan ketertarikanmu terhadap dua alam, dunia dan akhirat, tinggalkan semuanya selain Aku.’ Itu adalah jalan terbaik dan termudah untuk datang kepada Allah `Azza wa Jalla, maqam tertinggi dan yang paling sempurna dalam menegaskan Keesaan Allah, tidak menerima apapun atau siapapun kecuali Allah Ta`ala.”
Salah seorang dari pengikut Dzul Nun al-Misri mengikuti Bayazid. Bayazid bertanya kepadanya, “Siapa yang kau inginkan?” Ia menjawab, “Aku menginginkan Bayazid.” Beliau berkata, “Wahai anakku, Bayazid menginginkan Bayazid selama 40 tahun tetapi masih belum menemukannya.” Murid Dzul Nun itu kemudian mendatangi gurunya dan menceritakan peristiwa ini kepadanya. Mendengar cerita itu, Dzul Nun jatuh pingsan. Beliau kemudian menjelaskan, “Guruku Bayazid telah fana dalam Cinta Allah. Hal itu menyebabkan ia berusaha untuk mencari dirinya kembali.”
Orang-orang memintanya, “Ajari kami bagaimana engkau mencapai Hakikat sejati.” Beliau berkata, “Dengan melatih diriku, melalui khalwat.” Mereka bertanya, “Bagaimana?” Beliau berkata, “Aku memanggil diriku untuk menerima Allah `Azza wa Jalla, tetapi ia menolaknya. Kemudian aku bersumpah bahwa aku tidak akan minum air dan aku tidak akan merasakan tidur sampai aku dapat membawa diriku (nafs) di bahwa kendaliku.”
Beliau juga berkata, “Ya Allah, tidak aneh bila aku mencintai-Mu karena aku adalah hamba yang lemah, tetapi aneh bahwa Engkau mencintaiku karena Engkau adalah al-Malik al-Mulk, Raja dari semua Raja.”
Beliau berkata, “Selama tiga puluh tahun, ketika aku ingin mengingat Allah dan melakukan zikir, aku biasa membersihkan mulut dan lidahku untuk bertasbih mengagungkan-Nya.”
Beliau berkata, “Selama seorang hamba berpikir bahwa ada di antara umat Muslim yang lebih rendah darinya, hamba itu masih mempunyai kesombongan.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Gambarkan mengenai siangmu dan gambarkan tentang malammu.” Beliau berkata, “Aku tidak mempunyai siang dan aku tidak mempunyai malam, karena siang dan malam adalah untuk mereka yang mempunyai karakteristik sebagai makhluk. Aku telah melepaskan diriku sebagaimana ular melepaskan kulitnya.”
Mengenai Sufisme, Bayazid berkata, “Itu adalah meninggalkan istirahat dan menerima penderitaan.”
Mengenai kewajiban untuk mengikuti seorang mursyid, beliau berkata, “Barang siapa yang tidak mempunyai syekh, maka syekhnya adalah Setan.”
Dalam mencari Tuhan, beliau berkata, “Lapar adalah awan hujan. Jika seorang hamba lapar, Allah akan mencurahkan kalbunya dengan hikmah.”
Mengenai perantaraannya, beliau berkata, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat bagi semua orang di zamanku, aku tidak akan merasa sombong, karena aku hanya memberi syafaat bagi sekeping tanah,” dan, “Jika Allah mengizinkan aku untuk memberi syafaat, pertama aku akan memberikannya kepada orang-orang yang telah menyakitiku dan orang-orang yang telah mengingkariku.”
Kepada seorang anak muda yang menginginkan sepotong jubah tuanya untuk keberkahan, Bayazid berkata, “Seandainya engkau mengambil semua kulit Bayazid dan memakaikannya pada dirimu, itu tidak akan memberi manfaat apa-apa kepadamu, kecuali engkau mengikuti teladannya.”
Orang-orang berkata kepadanya, “Kunci Surga adalah, ‘La ilaha ill-Allah.” Beliau berkata, “Itu benar, tetapi kunci itu adalah untuk membuka gemboknya; dan kunci syahadat semacam itu hanya akan bekerja dengan kondisi sebagai berikut:
1) dengan lidah yang tidak berbohong dan bergunjing;
2) kalbu yang tidak berkhianat;
3) perut tanpa rezeki yang haram atau meragukan;
4) amal tanpa pamrih atau bid’ah.”
Beliau berkata, “Ego atau nafs selalu melihat pada dunia, ruh selalu melihat pada akhirat dan makrifat selalu melihat Allah `Azza wa Jalla. Orang yang dikalahkan oleh egonya tergolong orang-orang yang dihancurkan, dan orang yang ruhnya menguasai egonya termasuk orang yang saleh, dan orang yang makrifatnya menguasai egonya termasuk orang yang bertakwa.”
Ad-Dailami berkata, “Suatu ketika aku bertanya kepada `Abdur Rahman bin Yahya mengenai maqam berserah diri kepada Allah (tawakkul). Beliau berkata, “Jika engkau meletakkan tanganmu di mulut singa, jangan takut pada siapapun kecuali Allah.” Di benakku aku ingin menanyakan hal ini kepada Bayazid. Aku lalu mengetuk pintunya dan aku mendengar suara dari dalam, “Tidakkah yang dikatakan oleh `Abdur Rahman cukup untukmu? Kau datang hanya untuk bertanya, dan bukan dengan niat untuk berkunjung kepadaku.” Aku mengerti dan aku datang lagi pada tahun berikutnya dan mengetuk pintunya. Kali ini beliau menjawab, “Selamat datang wahai anakku, kali ini engkau datang sebagai orang yang berkunjung, bukan sebagai penanya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Kapankah seseorang dikatakan dewasa?” Beliau berkata, “Ketika ia tahu kesalahan dirinya dan ia menyibukkan diri untuk memperbaikinya.”
Beliau berkata, “Selama dua belas tahun aku menempa diriku, dan lima tahun memoles cermin dalam kalbuku, dan selama satu tahun aku memandang pada cermin itu dan aku melihat korset orang kafir di perutku. Aku berusaha untuk memotongnya dan aku menghabiskan dua belas tahun untuk melakukannya. Kemudian aku melihat cermin itu lagi dan aku melihat korset itu di dalam tubuhku. Aku menghabiskan lima tahun untuk memotongnya. Kemudian aku menghabiskan waktu satu tahun untuk melihat apa yang telah kulakukan. Dan Allah membukakan padaku penglihatan kepada semua makhluk. Dan aku melihat mereka semua mati. Dan aku melakukan empat kali takbir jenazah (salat jenazah) bagi mereka.”
Suatu ketika beliau berkata, “Jika Arasy dan semua yang berada di sekitarnya dan apa yang berada di dalamnya diletakkan di sudut kalbu seorang Arifin, semua akan lenyap sepenuhnya di dalamnya.”
Mengenai maqam Bayazid, al-`Abbas ibn Hamza meriwayatkan hal berikut, “Aku melakukan Salat Zhuhur di belakang Bayazid, dan ketika beliau mengangkat kedua tangannya untuk mengucapkan, ‘Allahu Akbar’ beliau tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat itu karena takutnya terhadap Nama Suci Allah, dan seluruh tubuhnya gemetar dan suara tulang-belulang yang patah terdengar darinya; aku merinding ketakutan.”
Munawi meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Bayazid menghadiri kelas seorang faqih yang sedang menjelaskan hukum waris, “Ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anu dan anu, anak-anaknya akan mewarisi anu dan anu dan seterusnya.” Bayazid berseru, “Wahai faqih, wahai faqih! Apa yang akan kau katakan mengenai orang yang mati tetapi tidak meninggalkan apa-apa kecuali Allah?” Orang-orang mulai menangis, dan Bayazid melanjutkan, “Seorang hamba tidak memiliki apa-apa; ketika ia mati, ia tidak meninggalkan apa-apa kecuali tuannya. Ia akan kembali seperti ketika Allah menciptakannya pada mulanya.” Kemudian beliau membacakan ayat, “Kau akan kembali kepada Kami sendiri-sendiri, sebagaimana yang Kami ciptakan pada mulanya.” [6:94].
Sahl at-Tustari mengirim sebuah surat kepada Bayazid yang berbunyi, “Ini adalah seorang pria yang minum minuman yang membuatnya segar sepanjang masa.” Bayazid menjawab, “Ini adalah seorang pria yang telah meminum semua eksistensi, tetapi mulutnya kering dan terbakar dengan kehausan.”
Wafatnya
Ketika Bayazid wafat, beliau berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Sebelum beliau wafat, seseorang bertanya mengenai umurnya. Beliau berkata, “Aku berumur empat tahun. Karena selama tujuh puluh tahun aku terhijab. Aku baru menyingkirkan hijabku empat tahun yang lalu.” Syekh ke-39 dalam Silsilah Keemasan, Sulthan al-Awliya Syekh `Abdullah Daghestani (q), merujuk pada ucapan ini dalam pertemuannya dengan Khidr (a), yang mengatakan kepadanya sambil menunjuk makam beberapa ulama besar di kompleks pemakaman Muslim, “Yang ini berumur tiga tahun, yang itu tujuh, yang itu dua belas.”
Bayazid wafat pada tahun 261 H./875 M. Dikatakan bahwa beliau dimakamkan di dua tempat yang berbeda, satu di Damaskus dan satu lagi di Bistham, Iran. Rahasia Silsilah Keemasan diteruskan dari Bayazid al-Bisthami (q) kepada Abul Hasan al-Kharqani (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/tayfur-abu-yazid-al-bistami-radiya-l-lahu-canh/)
Post a Comment Blogger Disqus