Syekh-Syekh dari Tarekat Naqsybandi dikenal sebagai Silsilah Keemasan karena koneksi mereka terhadap manusia paling sempurna, Nabi Muhammad (s), manusia paling agung, yang pertama diciptakan, yang pertama disebutkan, yang pertama dimuliakan.
Ketika Allah memerintahkan Qalam untuk menulis, ia bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah berfirman, “Tulislah ‘La Ilaha Ill-Allah.’” Kemudian Qalam menulis, “La Ilaha Ill-Allah” selama tujuh puluh ribu tahunnya Allah dan kemudian berhenti. Satu tahun dalam perhitungan Allah setara dengan seribu tahun menurut perhitungan kita. Kemudian Allah memerintahkan Qalam untuk menulis kembali dan Qalam bertanya, “Apa yang harus kutulis?” dan Allah menjawab, “Tulislah ‘Muhammadun Rasul-Allah.’” Kemudian Qalam bertanya, “Ya Allah, siapakah Muhammad ini yang Kau sandingkan Nama-Mu dengan namanya?” Allah berfirman, “Kau harus tahu bahwa jika bukan untuk Muhammad, aku tidak akan menciptakan apa-apa di antara Makhluk.” Demikianlah, lalu Qalam menulis ‘Muhammadun Rasul-Allah’ selama tujuh puluh ribu tahun lagi.
Kapankah Allah memerintahkan Qalam untuk menulis? Kapan Qalam menulis? Kapankah penulisan “La ilaha ill-Allah Muhammadun Rasul-Allah” terjadi? Tidak ada yang tahu. Penyebutan nama Nabi (s) oleh Allah (swt) adalah sesuatu yang terjadi sebelum penciptaan segala sesuatu dan hakikatnya terjadi pada zaman pra azali. Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda, “kuntu Nabiyyan wa adamu bayni-l-ma’i wa-t-tin” - “Aku adalah seorang Nabi ketika Adam masih berada di antara air dan tanah.”
Beliau adalah Insan Kamil. Beliau adalah Penutup seluruh Nabi dan Rasul. Apa yang dapat dikatakan oleh seorang hamba yang lemah untuk menghormati Junjungan seluruh Rasul? Jika bukan untuk beliau, tidak ada seorang pun yang akan mengenal Allah (swt). Tidak ada kain di alam semesta ini yang akan ditenun menjadi nyata sebagaimana ia telah ditenun. Oleh sebab itu Qalam tidak dapat mendeskripsikan manusia yang paling sempurna, Junjungan dari seluruh junjungan, Raja dari semua raja, Sultan dari semua sultan di Hadratillah.
Beliau adalah Kalbu Hadratillah. Beliau adalah Kalbu Inti yang Khas. Beliau adalah Tanda untuk Keesaan dan Tanda bagi Keesaan. Beliau dikenal sebagai Rahasia bagi semua Rahasia. Beliaulah satu-satunya yang akan dituju (diajak berbicara) oleh Allah (swt), karena beliaulah satu-satunya yang dianggap Bertanggung Jawab di Hadratillah, sebagaimana Allah berifirman, “Jika bukan untuknya, Aku tidak akan menciptakan satu pun makhluk.” Seluruh makhluk diberikan kepada Nabi (s) sebagai isyarat penghormatan yang diberikan oleh Allah (swt). Oleh sebab itu Nabi (s) bertanggung jawab atas ciptaan itu, yang merupakan kehormatan dan amanat baginya. Untuk itulah beliau menjadi satu-satunya yang akan ditanya di Hadratillah.
Status tunggal dari Nabi (s) adalah kalbu dan Dzat dari kalimat tauhid [La ilaha ill-Allah Muhammadun Rasul-Allah] dan fondasi Sufisme. Nabi (s) adalah “satu jiwa” sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat Qur’an, “[Wahai manusia] tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur itu) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” [31:28]. Nabi (s) pulalah yang dikatakan sebagai “satu kehidupan” yang direpresentasikan di dalam ayat, ”Barang siapa membunuh seorang manusia… seolah-olah ia telah membunuh seluruh manusia: dan jika seseorang memelihara kehidupan satu manusia, seolah-olah ia telah menyelamatkan seluruh manusia.” [5:32]
Lebih jauh, tanggung jawab Nabi (s) disebutkan di dalam hadits, a`malakum tu`radu `alayya kulla yawm, “Seluruh perbuatan kalian ditunjukkan kepadaku setiap hari. Jika amal itu baik, aku akan berdoa untukmu, jika buruk, aku memintakan ampunan kepada Allah untukmu.” Itu berarti Nabi (s) adalah orang yang mempertanggungjawabkan umatnya terhadap Allah (swt). Itulah sebabnya, sebagaimana yang kami katakan, beliau adalah “satu-satunya yang akan diajak berbicara oleh-Nya.” Itulah makna dari syafaat. Allah merujuk syafaat ini di dalam ayat, “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati bahwa Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” [4:64].
Biografinya yang mulia dan ucapan-ucapannya dan perbuatannya yang penuh berkah tidak akan pernah cukup dituliskan di dalam sebuah buku. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa beliau adalah Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim dan bahwa silsilahnya kembali kepada Nabi Ibrahim (s). Beliau dilahirkan di kota Mekah al-Mukarramah pada hari Senin, tanggal 12 Rabi`ul Awwal, 570 M. pada tahun Gajah. Ibunya, Sayyida Amina, ketika melahirkannya melihat seberkas cahaya dari dalam dirinya yang menerangi seluruh kegelapan hingga Persia. Ketika beliau dilahirkan, yang pertama beliau lakukan setelah keluar dari rahim ibunya adalah melakukan sujud. Ayahnya telah wafat sebelum beliau dilahirkan. Beliau disusui oleh Tsuayba dan kemudian oleh Halima as-Sa`diyya, beliau tinggal bersamanya hingga berusia empat tahun.
Ketika kembali dari mengunjungi pamannya di Madinat al-Munawwarah (pada saat itu disebut Yatsrib), ibunya jatuh sakit dan kemudian wafat. Beliau masih berusia enam tahun. Beliau kemudian dibesarkan oleh kakeknya selama dua tahun, sampai beliau juga wafat. Menjadi yatim tiga kali, akhirnya beliau tinggal bersama pamannya, Abu Thalib. Allah (swt) memerintahkan Malaikat Israfil menemaninya sepanjang waktu hingga berumur sebelas tahun. Kemudian Allah memerintahkan malaikat Jibril (a) untuk menemaninya dan menjaganya di dalam pengawasannya, serta mengirimkan Kekuatan Surgawi dan Kekuatan Spiritual ke dalam kalbunya.
Beliau melakukan perjalanan bersama pamannya ke Syam (Damaskus). Di tengah perjalanannya, mereka melewati Basra dan bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhaira, yang tinggal di sebuah biara di sekitar sana. Pendeta itu berkata kepada sang paman, “Bawalah ia kembali, itu lebih aman baginya.” Pada saat itu beliau berumur dua belas tahun. Bertahun-tahun kemudian beliau kembali bepergian ke Syam bersama Maysara, untuk berdagang atas nama Siti Khadija (r). Mereka sangat sukses. Maysara bercerita kepada Khadija (r) mengenai keistimewaannya dan ketajaman dagangnya, sehingga Khadija (r) menjadi tertarik kepadanya dan mengajaknya untuk menikah. Beliau (s) menerimanya dan akhirnya mereka menikah ketika Nabi (s) berumur 25 tahun sementara Khadija (r) empat puluh tahun.
Di lingkungan sukunya, beliau dikenal sebagai ash-Shadiq al-Amin, Orang yang Jujur dan Dapat Dipercaya. Ketika beliau (s) berusia 35 tahun, suku Quraisy ingin merenovasi Baitullah, Ka’bah. Mereka berselisih satu sama lain mengenai siapa yang akan meletakkan hajaru-l-aswad di tempatnya. Akhirnya mereka setuju bahwa orang yang paling terpercayalah yang akan melakukannya, dan orang itu adalah Nabi (s).
Pada saat itu sebuah ilham dan wahyu datang ke dalam kalbunya. Beliau selalu berada dalam keadaan penglihatan dan pencerahan spiritual, tetapi beliau tidak diberi otorisasi untuk membicarakannya. Beliau lebih senang menyendiri dan menggunakan sebuah gua di sebuah gunung yang disebut al-Hira untuk bertafakur dan merenung. Beliau melakukan pengasingan sebagai jalan untuk meraih Hadirat Allah `Azza wa Jalla.
Beliau menghindari segala jenis keterikatan, bahkan dengan keluarganya. Beliau selalu dalam keadaan meditasi dan tafakur, melayang di Samudra Zikir Kalbu. Beliau memutuskan dirinya sepenuhnya terhadap segala sesuatu, hingga tampak padanya cahaya Allah `Azza wa Jalla, yang menghiasi dirinya dengan kondisi kedekatan dan kebahagiaan yang lengkap. Kedekatan itu membuat cermin wahyu semakin murni dan cerah, sampai beliau mencapai maqam kesempurnaan tertinggi, di mana beliau dapat mengamati munculnya makhluk yang baru. Tanda-tanda primordial keindahan bersinar, tersebar mengiasi seluruh alam. Pepohonan, batu-batuan, tanah, bintang-gemintang, matahari, bulan, awan, angin, hujan, dan binatang-binatang akan menyapanya dengan bahasa Arab yang fasih dan mengucapkan, “as-Salam `alayka Ya Rasul-Allah” — “Salam sejahtera bagimu, wahai Utusan Allah.”
Pada usia empat puluh tahun, ketika beliau berdiri di Gunung Hira, di cakrawala tampak sebuah sosok yang tidak dikenalinya berbicara kepadanya, “Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan engkau adalah Nabi Allah yang diutus kepada umat ini.” Kemudian ia membawakan sehelai kain sutra yang dihiasi dengan permata. Ia letakkan kain itu ditangannya dan berkata kepadanya, “Bacalah!” Beliau bertanya, “Apa yang harus kubaca?” Ia memeluk Nabi (s) dan berkata, “Bacalah!” Kemudian beliau berkata lagi, “Apa yang harus kubaca?” Malaikat Jibril kemudian memeluknya lagi dan berkata,
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu, yang Menciptakan,
Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah,
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah
Yang mengajar (manusia) dengan Kalam,
Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya! [96:1-5]
Kemudian ia memerintahkannya untuk turun gunung menuju dataran di bawahnya; ia lalu menempatkannya pada sebuah batu putih yang besar dan memberinya dua jubah hijau. Kemudian Jibril menghantam tanah dengan kakinya. Dengan segera air memancar dari tempat itu dan Jibril melakukan wudu dan memerintahkannya untuk melakukan hal yang sama. Kemudian Jibril (a) mengambil segenggam air dan memercikannya ke wajah Nabi (s). Para awliya mengatakan bahwa air yang dipercikkan itu merupakan tanda bahwa Nabi (s) telah diberi otoritas untuk menyebarkan Ilmu mengenai Rahasia Hadratillah kepada manusia, baik dengan jalan fisik maupun spiritual. Kemudian Jibril (a) melakukan salat dua rakaat dan mengatakan kepada Nabi (s), “Beginilah caranya beribadah,” kemudian ia menghilang.
Nabi (s) kemudian kembali ke Mekah dan berkata kepada istrinya apa yang telah terjadi. Ia mempercayainya dan menjadi Muslim pertama. Kemudian ia pergi bersama Nabi (s) ke rumah sepupunya, Waraqah bin Nawfal, yang dipandang sebagai orang yang berilmu dalam hal spiritualitas. Nabi (s) menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun mempercayainya dan ia menjadi pria pertama yang percaya kepada Nabi (s). Ia berkata, “Ini adalah Roh Kudus yang datang kepada Musa (a).” Ia berkata, “Apakah aku masih hidup ketika umatmu mengusirmu dari Mekah?” Nabi (s) bertanya, “Apakah umatku akan mengusirku dari Mekah?” Ia berkata, “Ya, itulah yang tertulis.”
Kemudian Abu Bakar (r) menyusul menjadi seorang mukmin dan diikuti oleh Ali (r). Di hadapan umum Nabi (s) memberi nasihat yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, dan di lingkungan privat beliau memberi nasihat untuk mencapai Maqamul Ihsan. Itulah sebabnya mengapa Abu Huraira (r) berkata di dalam sebuah hadits sahih yang disebutkan di dalam Bukhari bahwa, “Nabi (s) telah mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku sebarkan kepada orang-orang, tetapi yang lain jika aku ungkapkan, mereka akan memenggal leherku.”
Ilmu yang dimaksud oleh Abu Huraira (r) itu adalah ilmu rahasia, ilmu yang tersembunyi yang diberikan oleh Nabi (s) kepada para Sahabat. Beliau (s) tidak mengizinkannya untuk menyebarkan ilmu itu, karena itu adalah ilmu rahasia kalbu. Dari rahasia-rahasia semua mursyid dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi dan semua tarekat lainnya menerima ilmu mereka. Ilmu ini ditransmisikan hanya dari kalbu ke kalbu, baik melalui Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r) maupun Sayyidina `Ali (r).
Selama tiga tahun, seiring dengan bertambahnya jumlah Muslim, mereka menggunakan Dar al-Arqam sebagai masjid untuk menyampaikan pengajaran, untuk beribadah dan sebagai tempat bersembunyi. Kemudian Nabi (s) diperintahkan untuk memproklamirkan agamanya secara terbuka. Allah menurunkan sebuah surat dari al-Qur’an yang menantang semua orang untuk menulis sesuatu yang menyerupainya. Para penyair, pemimpin dan orang-orang terkenal berusaha melakukannya sampai mereka sendiri secara terbuka menerima kenyataan bahwa jelas itu adalah mustahil. Namun demikian tetap saja orang-orang kafir mendatangi paman Nabi (s), untuk mengeluh dan berkata, “Serahkan Muhammad (s) kepada kami, agar kami dapat membunuhnya.” Beliau berkata, “Tidak ada orang yang boleh menyentuhnya selama aku masih hidup.” Orang-orang kafir itu menyiksa semua orang yang percaya kepada Nabi (s). Mereka menculik istri-istrinya, membunuh anak-anak mereka dan memperkosa putri-putri mereka. Muslim-muslim baru itu menderita berbagai kesulitan di tangan orang-orang kafir.
Selama tiga belas tahun Nabi (s) tinggal di Mekah, berdakwah menyeru orang-orang kepada agama Allah.
Orang-orang kafir meminta mukjizat atau sebuah tanda di langit. Nabi Suci (s) membelah bulan purnama menjadi dua di depan mata mereka. Sebagian dari mereka percaya tetapi sebagian lagi tidak. Setelah ini penyiksaan masih terus berlangsung dan sebagian Muslim meminta izin untuk hijrah. Mereka hijrah ke Ethiopea, di mana raja di sana memberi mereka suaka dan melalui pengaruh mereka, raja menjadi percaya kepada Nabi (s). Mereka tinggal di sana selama lima tahun sebelum sebagian dari mereka kembali ke Mekah. Paman Nabi (s) dan kemudian istri beliau, Khadija al-Kubra (r) wafat. Keduanya merupakan pendukung yang setia. Itu adalah tahun yang penuh dengan kesedihan.
Satu setengah tahun kemudian, beliau (s) diundang ke Hadratillah, `Azza wa Jalla. Dari Mekah ke Jerusalem (Quds), beliau ditemani oleh Malaikat Jibril (a). Dari Jerusalem beliau naik ke langit dengan mengendarai Buraq. Semua Nabi dalam tingkatan langit yang berbeda-beda menyambut kedatangannya. Beliau naik dan naik lebih tinggi lagi, sampai beliau mendengar guratan Kalam, yang menulis Qadha Allah. Beliau (s) mendekati Hadratillah, lebih dekat dan dekat lagi sampai Jibril (a) berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa melanjutkan perjalananku, bila terus aku akan musnah.” Nabi (s) berkata, “Wahai Jibril, temani aku!” Ia berkata, “Aku tidak bisa menemanimu, aku akan terbakar di dalam Nurullah, Cahaya Allah.” Jadi, Nabi Muhammad (s), yang paling sempurna dari yang sempurna, melanjutkan perjalannya sendiri. Didorong oleh cintanya kepada Hadratillah, beliau (s) mendekat dan mendekat, mencapai Maqamul Fana yang lengkap dalam lima tahap yang berbeda.
Dari satu tahap ke tahap berikutnya, Nabi (s) bergerak ke dalam Sirrullah, Rahasia Ilahiah Allah. Antara satu tahap dengan tahap berikutnya berjarak lima ratus ribu tahun. Beliau menembus Samudra Ilmu Ilahiah yang luas ini, yang telah diciptakan Allah, sampai beliau benar-benar larut di dalam Eksistensi Allah, tidak melihat yang lain kecuali Allah. Kemudian Allah memanggilnya agar kembali ke alam nyata setelah beliau mencapai Maqamul Fana. Beliau (s) kembali dan Allah berfirman kepadanya, “Wahai Muhammad, Mendekatlah.” Dari sini dapat dipahami bahwa ketika Nabi (s) mencapai Maqamul Fana sepenuhnya, beliau (s) dipanggil namanya oleh Allah, dan itu menunjukkan bahwa beliau (s) muncul lagi dengan Penampilan Ilahiah. Beliau sampai begitu dekat dengan Cahaya Ilahi, di mana beliau sampai pada maqam “Qaaba Qawsayni aw Adnaa” “Sejarak Dua Busur atau lebih dekat lagi.” [53:9]. Allah bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wahai Muhammad?” Pada saat itu Nabi (s) tidak menyadari dirinya dan beliau (s) menjawab, “Engkau, wahai Tuhanku.” Ini adalah kesempurnaan dari maqam tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Itu merupakan tanda kesempurnaan Tauhid, ketika tidak ada yang ada kecuali Kemulian-Nya, Dzat-Nya, Dia Sendiri.
Dari ilmu rahasia para Awliya, Syekh Nazim al-Haqqani menceritakan tentang beberapa kejadian yang terjadi dalam perjalanan Nabi (s) yang menakjubkan. Ini adalah ilmu dari Nabi (s) yang dirujuk oleh Abu Hurayrah (r) di dalam hadits yang diriwayatkannya, ilmu yang diturunkan dari kalbu Abu Bakr as-Siddiq (r). Nabi (s) bersabda, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu ash-Shiddiq.” Ilmu ini kemudian diteruskan kepada para Syekh Sufi Naqsybandi dan menjadi warisian spiritual mereka.
Syekh Nazim al-Haqqani berkata, “Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) pada malam Isra Mi’raj, ‘Wahai Muhammad, Aku telah menciptakan seluruh makhluk demi engkau, dan Aku serahkan semuanya untukmu. Pada saat itu Allah mengaruniai Nabi (s) kekuatan untuk melihat semua ciptaan-Nya, dengan seluruh cahaya mereka dan semua nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka dengan menghiasi mereka dengan Atribut-Nya dan dengan Cinta dan Keindahan Ilahiah-Nya.
“Muhammad (s) terpikat dan terpesona karena Allah telah memberinya pemberian berupa seluruh makhluk itu. Allah berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau senang dengan ciptaan ini?’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, wahai Tuhanku.’ Dia berkata, ‘Aku serahkan mereka kepadamu sebagai amanat untuk dijaga, dan untuk dikembalikan kepada-Ku sebagaimana ketika Aku menyerahkan mereka kepadamu.’ Muhammad (s) melihat mereka dengan suka cita karena mereka diterangi dengan cahaya-cahaya yang indah, dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku terima.’ Allah bertanya, ‘Apakah kau menerima?’ Beliau (s) menjawab, ‘Aku menerima, aku menerima.’ Setelah beliau menjawab ketiga kalinya, Allah memberinya sebuah ru’ya, pemandangan spiritual di mana mereka akan jatuh ke dalam berbagai dosa, kesedihan, kegelapan dan kelalaian.
“Ketika Muhammad (s) melihat hal ini, beliau (s) menjadi khawatir, memikirkan bagaimana beliau akan mengembalikan mereka kepada Tuhannya dalam keadaan suci seperti keadaan awalnya. Beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, apakah ini?’ Allah menjawab, ‘Wahai Kekasih-Ku, ini adalah tanggung jawabmu. Kau harus mengembalikan mereka kepada-Ku dalam keadaan suci seperti ketika Aku menyerahkannya kepadamu.’ Kemudian Muhammad (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku penolong untuk membantuku membersihkan mereka, untuk mensucikan ruh mereka, dan membawa mereka dari kegelapan dan kealpaan menuju maqam ilmu, kesalehan, kedamaian dan cinta.’
“Kemudian Allah `Azza wa Jalla memberinya penglihatan spiritual di mana Allah memberitahu Nabi (s) bahwa Dia telah memilih di antara umatnya 7.007 Wali Naqsybandi. Dia berkata kepadanya, ‘Wahai Kekasih-Ku, wahai Muhammad, para wali ini berasal dari Wali-Wali yang paling mulia yang Aku ciptakan untuk membantumu menjaga ciptaan ini agar tetap suci. Di antara mereka terdapat 313 Wali yang tingkatannya tertinggi, dengan Maqam yang paling sempurna di Hadratillah. Mereka adalah para pewaris rahasia dari 313 Rasul. Kemudian Aku memberimu empat puluh, yang membawa kekuatan paling tinggi, dan mereka dianggap sebagai Pilar bagi semua wali. Mereka akan menjadi Penghulu di masanyadan mereka akan menjadi Pewaris Rahasia Hakikat.’
“‘Di tangan para wali ini, setiap orang akan disembuhkan dari luka-lukanya baik lahir maupun batin. Para wali ini akan mampu membawa seluruh umat dan seluruh makhluk tanpa tanda-tanda kelelahan. Setiap orang di antara mereka akan menjadi Ghawts di masanya, dan di bawahnya akan ada lima Qutub.’
“Nabi (s) gembira dan beliau (s) berkata, ‘Wahai Tuhanku, berikan aku lebih banyak! Kemudian Allah menunjukkan kepadanya 124.000 wali dan Dia berkata, ‘Wali-wali ini merupakan pewaris dari 124.000 Nabi. Masing-masing merupakan pewaris dari satu Nabi. Mereka juga akan berada di sana untuk membantumu membersihkan umat ini.’
“Ketika Nabi (s) melakukan mi’raj ke Hadratillah, Allah membuatnya dapat mendengar suara manusia. Suara itu adalah suara Sahabat terdekatnya, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Allah (swt) meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) untuk memanggil semua Wali Naqsybandi: yang 40, 313, dan 7.007, serta seluruh pengikut mereka, dalam wujud spiritual, untuk datang ke Hadratillah. Semuanya menerima Cahaya dan Berkah yang istimewa itu.
“Kemudian Allah memerintahkan Nabi (s), yang kemudian memerintahkan kepada Abu Bakr (r) untuk memanggil 124.000 wali dari 40 tarekat lainnya dan para pengikut mereka untuk diberi Cahaya dalam Hadratillah itu. Semua Syekh mulai muncul dalam pertemuan itu dengan seluruh pengikutnya. Allah lalu meminta Nabi (s) untuk memandang mereka dengan kekuatan dan cahaya kenabiannya, untuk mengangkat mereka semua ke Maqam Ash-Shiddiqin. Kemudian Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) dan kemudian Nabi (s) menyampaikannya kepada para wali, ‘Kalian semua dan pengikut kalian akan menjadi bintang yang bersinar di antara seluruh manusia, untuk menyebarkan cahaya yang telah Kuberikan kepada kalian pada zaman pra Azali kepada seluruh manusia di bumi.’”
Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Itu hanyalah satu rahasia yang telah diungkapkan mengenai Laylatul Isra wal Mi’raj kepada kalbu para awliya melalui transmisi Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi.” Banyak lagi ru’ya (penglihatan) yang diberikan kepada Nabi (s), tetapi belum ada izin untuk mengungkapkannya.
Pada malam itu, Nabi (s) diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan salat 50 kali sehari. Atas nasihat Nabi Musa (a), Nabi (s) memohon untuk menguranginya hingga 5 kali sehari. Beliau (s) kembali dari Isra Mi’raj itu dan orang yang mempercayainya adalah Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Orang-orang kafir berharap dapat mempermalukannya dengan bertanya mengenai gambaran kota Jerusalem. Nabi (s) lalu menggambarkannya secara mendetail sehingga malah membuat mereka dipermalukan.
Penganiayaan terhadap Nabi (s) dan Sahabatnya semakin meningkat. Kemudian Allah mengirimkan orang-orang Anshar dari Madinah kepadanya. Islam mulai tersebar di antara suku-suku dari oasis kecil yang tak jauh dari Mekah ini. Allah mengizinkan kaum Mukmin untuk hijrah ke Madinah, kampungnya kaum Anshar. Abu Bakr (r) ingin melakukan hijrah, tetapi Nabi Muhammad (s) berkata kepadanya, “Jangan pergi dulu, tunggulah, kau akan berangkat denganku. Ada sebuah peristiwa penting yang akan terjadi.”
Nabi (s) berangkat di malam hari bersama Abu Bakr (r) dan meninggalkan `Ali (r) di tempat tidurnya untuk berpura-pura sebagai dirinya. Dalam perjalanannya, beliau berhenti untuk bersembunyi di Gua Tsur. Abu Bakr (r) berkata, “Wahai Nabi (s), jangan masuk dulu, aku akan memeriksanya dulu.” Di dalam hatinya ia berpikir bahwa barangkali ada sesuatu yang berbahaya di dalam gua itu dan ia memilih untuk menghadapinya duluan. Ia menemukan sebuah lubang di dalam gua. Ia lalu memanggil Nabi (s) untuk datang dan ia menutupi lubang itu dengan kakinya. Nabi (s) datang dan membaringkan kepalanya pada paha Abu Bakar (r). Seekor ular di dalam lubang itu mulai menggigit kaki Abu Bakar (r). Ia berusaha untuk tidak bergerak meskipun ia sangat kesakitan. Air mata mengalir ke pipinya. Setetes air matanya yang hangat jatuh mengenai wajah Nabi (s) yang diberkati. Saat itu, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, “Beliau (s) berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita.’” [9: 40] dan beliau (s) juga berkata, “Bagaimana menurutmu terhadap keduanya bila Allah menjadi yang Ketiga di antara mereka?” [57: 4]. Abu Bakar (r) berkata kepada Nabi (s), “Wahai Nabiullah (s), aku bukannya sedih, tetapi aku kesakitan. Seekor ular menggigit kakiku dan aku khawatir bahwa ia akan menggigitmu. Aku menangis karena hatiku mendidih memikirkan keselamatanmu.” Nabi (s) sangat senang mendengar jawaban Sahabat terdekatnya, lalu beliau (s) memeluk Abu Bakar ash-Shiddiq (r), menempelkan tangannya pada kalbu Abu Bakar (r) dan menuangkan semua ilmu yang Allah berikan kepadanya ke dalam kalbu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Itulah sebabnya beliau (s) bersabda di dalam sebuah hadits, “Apapun yang Allah tuangkan ke dalam kalbuku, aku tuangkan ke dalam kalbu Abu Bakar (r).”
Grandsyekh kita Muhammad Nazim al-Haqqani (q) berkata, “Kemudian Nabi (s) meletakkan tangannya yang lain pada kaki Abu Bakar ash-Shiddiq (r) dan membaca, “Bismillah ir-Rahman ir-Rahim,” kemudian kaki itu menjadi sembuh. Beliau (s) lalu memerintahkan ular itu untuk keluar, dan ia pun keluar, menggulung dirinya di hadapan Nabi (s). Kamudian Nabi (s) bersabda kepada ular itu, ‘Apakah engkau tidak tahu bahwa menggigit daging seorang Shiddiq diharamkan bagimu? Mengapa engkau menggigit daging Sahabatku?’ Ular itu menjawab dalam bahasa Arab yang murni dan fasih, ‘Wahai Nabiullah, bukankan semua makhluk diciptakan untuk dirimu dan sebagai kecintaan terhadapmu? Wahai Nabi, aku juga sangat mencintaimu. Ketika aku mendengar bahwa Allah `azza wa Jalla berfirman bahwa umat terbaik adalah umatmu, aku berdoa agar Allah memanjangkan umurku dan mengaruniaiku kehormatan untuk menjagi bagian dari umatmu dan memberiku kesempatan untuk melihat wajahmu. Dan Allah mengabulkan permintaanku. Ketika Abu Bakar (r) meletakkan kakinya di lubang itu, ia menutupi pandanganku. Aku ingin agar ia memindahkan kakinya agar aku dapat memandangmu. Nabi (s) bersabda, “Sakarang, pandangilah aku dan penuhi keinginanmu.” Ular itu memandangi wajah Nabi (s); setelah itu ia wafat. Nabi (s) memerintahkan jin untuk membawanya dan menguburkannya.”
Mawlana Syekh Nazim berkata, “Ini adalah rahasia-rahasia yang telah diberikan ke dalam kalbu para Wali Naqsybandi.” Beliau melanjutkan ceritanya, “Kemudian Nabi (s) berkata kepada Abu Bakar (r), ‘Tidak perlu berhenti di gua ini, kecuali bahwa ada suatu peristiwa penting yang akan terjadi di sini. Cahaya dari akar Pohon spiritual yang akan menyebar ke seluruh penjuru manusia, Cahaya yang langsung berasal dari Hadratillah itu akan muncul di sini. Allah telah memerintahkan aku untuk menyampaikannya kepadamu dan kepada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi.’
“Silsilah ini tidak disebut Naqsybandi pada saat itu, tetapi dikenal sebagai Bani Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dan beliau dikenal sebagai ‘Ayah’ bagi garis silsilah ini.
“Kemudian Allah meminta Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) untuk memanggil seluruh Mursyid Silsilah Keemasan yang merupakan para pewaris Abu Bakar (r). Kemudian beliau memanggil seluruh Grandsyekh dari Silsilah Keemasan ini, mereka semua, dari zaman beliau hingga zaman Mahdi (a). Mereka semua dipanggil melalui ruh mereka dari Alam Arwah. Kemudian beliau diperintahkan untuk memanggil 7007 Wali Naqsybandi. Kemudian Nabi (s) memanggil 124.000 Nabi.
“Abu Bakar ash-Shiddiq (r), atas perintah Nabi (s) memerintahkan setiap Grandsyekh untuk memanggil semua pengikutnya untuk muncul secara spiritual (rohani). Kemudian Abu Bakar ash-Shiddiq (r) memerintahkan semua Syekh untuk memegang tangan para pengikutnya untuk menerima bay’at. Beliau meletakkan tangannya di atas mereka semua, dan kemudian Nabi Muhammad (s) meletakkan tangannya di atas tangan mereka semua, kemudian Allah meletakkan Tangan-Nya, Tangan Kekuasaan (Qudrah) di atas mereka semua. Allah Sendiri memberikan talqiin adz-Dzikir kepada setiap orang yang hadir, dan Dia mengatakan kepada Nabi (s) untuk memerintahkan Abu Bakar ash-Shiddiq (r) untuk memerintahkan seluruh wali yang hadir bersama para pengikutnya untuk membaca apa yang mereka dengar dari Suara Kekuasaan:
Semua yang hadir mengikuti Syekh mereka dan mengikuti apa yang mereka dengar dari apa yang dibaca oleh Nabi (s). Kemudian Allah (swt) mengajarkan rahasia zikir yang dikenal dengan Khatm-il-Khwajagan, kepada `Abdul Khaliq al-Ghujduwani, yang kemudian memimpin zikir untuk pertama kalinya di antara para wali dari Tarekat ini. Nabi (s) mengumumkan kepada Abu Bakar (r), yang kemudian mengumumkan kepada seluruh wali, bahwa `Abdul Khaliq al-Ghujdawani adalah imam Khatm-i-Khwajagan. Setiap orang mendapat kehormatan untuk menerima rahasia dan cahaya dari Khwaja `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), dalam hadirat seluruh wali, dalam hadirat Abu Bakar ash-Shiddiq (r), dalam hadirat Nabi (s), dalam Hadratillah.
Mawlana Syekh Nazim berkata, “Setiap orang yang menerima bay’at dari kami atau menghadiri zikir kami harus tahu bahwa ia berada di dalam gua pada saat yang diberkati itu, dalam hadirat Nabi (s), dan bahwa ia kemudian menerima semua rahasia ini. Rahasia-rahasia ini telah ditransmisikan kepada kita dari para mursyid dalam Silsilah Keemasan melalui Abu Bakar ash-Shiddiq (r).”
Abu Bakar ash-Shiddiq (r) sangat bergembira dan terkejut dengan apa yang terjadi di gua itu, dan beliau mengerti bahwa Nabi (s) telah memilihnya untuk menjadi pendampingnya dalam hijrahnya. Para Syekh Naqsybandi menganggap bahwa peristiwa di gua itu sebagai fondasi dari Tarekat. Bukan hanya itu menjadi sumber bagi wirid harian, tetapi juga bahwa ruh dari seluruh pengikut Tarekat ini hadir secara bersama-sama pada saat itu.
Setelah kejadian di dalam gua itu, mereka melanjutkan perjalanannya ke Madinat al-Munawwarah. Ketika mereka sampai di Quba, sebuah desa dekat Madinah, pada hari Senin di bulan Rabi’ul Awwal, mereka singgah selama beberapa hari. Di sana Nabi (s) membangun masjid pertamanya. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka pada hari Jumat, setelah salat Jumat di Quba. Itu adalah Jumat pertama yang beliau lakukan. Beliau (s) lalu memasuki Madinah dengan sahabatnya, di antara teriakan takbir (ALLAHU AKBAR) dan tahmid (AL-HAMDU LILLAH) serta keceriaan dan kegembiraan setiap orang yang menyambutnya. Beliau lalu pergi ke tempat di mana untanya berhenti, dan di sanalah beliau membangun masjid dan rumahnya. Beliau tinggal sebagai tamu di rumah Abu Ayyub al-Anshari (r) sampai masjidnya selesai dibangun.
Ketika Nabi (s) datang ke Madinah, banyak wabah penyakit di sana. Segera setelah beliau tiba, wabah penyakit itu lenyap. Berikut ini adalah beberapa kejadian utama selama sepuluh tahun berikutnya.
Tahun Pertama
Nabi (s) terinspirasi untuk memanggil orang-orang untuk salat melalui suara manusia (adzan).
Tahun Kedua
Beliau (s) diperintahkan untuk melembagakan bulan puasa Ramadan, dan beliau (s) mengarahkan wajahnya ke Ka`bah di Mekah ketika salat, tidak lagi menghadap ke Jerusalem sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya. Pada tahun ini beliau (s) memerangi kaum kafir dalam sebuah pertempuran yang penting, yaitu Perang Badar.
Tahun Ketiga
Nabi (s) memerangi kaum kafir di Jabal Uhud.
Tahun Keempat
Terjadi Perang Bani Nadiir, dan diperbolehkan untuk memendekkan salat selama dalam perjalanan dan ketika perang. Alkohol dilarang. Tayammum, atau ritual bersuci dengan debu ketika tidak ada air diperbolehkan dan “Salat Khauf (salat dalam keadaan perang atau ketakutan)” diperbolehkan.
Tahun Kelima
Perang Khandaq terjadi dan terjadi pembelotan Banu Quraizah dan Mustaliq.
Tahun Keenam
Perjanjian Hudaibiyyah berlangsung di bawah pohon, sebagaimana Ikrar Kesetiaan--seperti bay’at di kalangan Sufi. Rukun kelima dari agama, yaitu kewajiban menunaikan ibadah haji (bagi yang mampu) juga muncul pada tahun ini.
Tahun Ketujuh
Terjadi Perang Khaibar.
Tahun Kedelapan
Peristiwa Mu’ta, penaklukan damai Mekah dan pertempuran Hunayn terjadi.
Tahun Kesembilan
Perang Tabuk dan Hajinya ash-Shiddiq berlangsung. Ini disebut Tahun Wufud.
Tahun Kesepuluh
Nabi (s) melakukan apa yang dikenal sebagai Haji Wada atau Haji Perpisahan.
Tahun Kesebelas
Nabi (s) wafat.
Deskripsi mengenai Ciri-Ciri Nabi Suci (s)
Allah (swt) menghiasi Nabi (s) dengan Nurillah dan Akhlakul Karimah, kemudian Dia menambahkannya lagi dengan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” [68:4].
Nabi (s) tidak tinggi maupun pendek, tinggi beliau sedang. Beliau mempunyai bahu yang lebar. Warna kulitnya terang, tidak gelap maupun putih. Beliau mempunyai dahi yang lebar dengan alis yang tebal dan tidak tersambung, namun terdapat sebuah bagian yang bersinar bagaikan perak di antara kedua alisnya itu. Matanya besar. Giginya sangat putih, bagaikan mutiara. Rambutnya tidak ikal dan tidak pula lurus, tetapi di antaranya. Lehernya panjang. Dadanya lebar, tanpa banyak daging. Warna dadanya terang, dan antara tulang dada dengan pusarnya terdapat sebaris rambut. Beliau tidak mempunyai rambut lain di dadanya selain sebarin rambut tersebut. Bahunya lebar dan berambut. Pada bahu tersebut terdapat dua tanda Nubuat. Semua Sahabatnya biasa melihat tanda itu. Pada bahu kanan terdapat tanda hitam yang indah, dan di sekelilingnya ditumbuhi rambut-rambut yang halus, seperti rambut pada seekor kuda. Lengan bawahnya besar. Pergelangan tangannya panjang. Jari-jemarinya juga panjang. Telapak tangannya lebih lembut daripada sutra. Setiap kali beliau meletakkan tangannya di atas kepala seorang anak atau pria dewasa, wangi yang harum terpancar darinya. Ke mana pun beliau pergi, segumpal awan senantiasa menaunginya dari panasnya matahari. Keringatnya bagaikan mutiara, dan wanginya bagaikan amber dan kesturi. Para Sahabat berkata bahwa mereka tidak pernah melihat sesuatu yang seperti itu sebelumnya.
Nabi Suci (s) lebih banyak merendahkan pandangannya daripada mengangkat kepalanya. Siapapun yang melihatnya dari kejauhan akan terpesona dengannya dan siapapun yang mengenalnya dengan baik akan jatuh cinta kepadanya. Beliau adalah makhluk yang paling tampan, baik dalam penampilan eksternal maupun internalnya.
Amr ibn al-`As said (r) berkata, “Tidak ada orang yang lebih kusayangi daripada Nabi Suci (s) dan tidak ada pula orang yang lebih mulia daripada beliau di mataku. Begitu cemerlangnya kemuliaan beliau sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya untuk beberapa saat, sehingga bila aku diminta untuk menggambarkannya aku tidak akan mampu karena aku tidak dapat memandangnya cukup lama.”
Nabi (s) adalah yang paling berani di antara semua orang, beliau juga yang paling adil dan yang paling dermawan. Beliau biasa berjalan sendiri di antara para musuhnya di malam hari tanpa kehadiran seorang pengawal. Beliau tidak pernah merasa takut terhadap sesuatu di dunia ini. Beliau juga adalah orang yang paling sederhana, paling tulus, dan paling saleh. Beliau tidak pernah bicara hanya untuk mengisi waktu. Beliau lebih senang diam daripada bicara, dan tidak pernah memperlihatkan kesombongan, walaupun beliau adalah orang yang paling fasih dalam berbicara.
Allah memberi Nabi (s) keahlian di bidang politik dan keahlian dalam kepribadian. Meskipun beliau tidak menulis atau membaca, Allah mengangkatnya dari tanah jahiliah, mengajarinya akhlak dan perilaku terbaik.
Beliau adalah orang yang paling lembut, paling toleran dan paling penyang, sebagaimana Allah (swt) sendiri menyebutnya, “ar-Raufu ‘r-Rahiim” [9:128]. Beliau tersenyum kepada setiap orang dan senang bergurau dengan setiap orang dengan cara yang pantas. Ketika sendiri beliau selalu menangis dan memohon ampunan kepada Allah bagi umatnya. Beliau selalu melakukan kontemplasi dan tafakur. Beliau selalu duduk untuk mengingat Allah dengan membaca Zikir.
Beliau sering berjalan bersama janda-janda dan anak-anak yatim. Beliau menunjukkan kerendahan hati kepada orang-orang kafir dan mendoakan mereka untuk menjadi orang yang beriman. Seseorang pernah memintanya, “Berdoalah pada Allah untuk mengutuk orang-orang kafir.” Beliau berkata, “Aku tidak diutus untuk mengutuk, tetapi sebagai Rahmat. Aku akan berdoa agar mereka mendapat hidayah karena mereka tidak mengetahui (apa yang mereka lakukan).”
Beliau menyeru semua orang kepada Allah. Beliau tidak pernah menghina orang miskin. Beliau tidak pernah takut terhadap seorang raja. Beliau selalu memilih jalan yang mudah, sesuai dengan Kehendak Allah [2:185, 20:2]. Beliau tertawa tetapi tidak terbahak-bahak. Beliau selalu berkata, “Layani orang-orangmu.” Beliau biasa memerah susu kambingnya, dan melayani keluarganya, menambal pakaiannya, kadang berjalan tanpa alas kaki, menjenguk orang yang sakit, bahkan jika mereka adalah orang kafir atau seorang yang munafik, berziarah ke makam orang-orang yang beriman dan memberi salam pada mereka, berlatih menggunakan pedang, belajar memanah, mengendarai kuda, unta, dan keledai. Beliau biasa makan dengan orang-orang miskin dan yang sedang ditimpa kemalangan. Beliau selalu menerima hadiah dengan senang hati, bahkan jika itu hanya sesendok yoghurt, dan beliau selalu menghargainya. Beliau tidak pernah makan dari sedekah, tetapi segera menyalurkannya kepada fakir miskin. Beliau tidak pernah menyimpan satu dinar atau satu dirham di dalam rumahnya, kecuali beliau berikan kepada fakir miskin. Beliau tidak pernah pulang ke rumah sampai beliau habiskan semua yang telah Allah berikan kepadanya.
Beliau sangat baik kepada keluarga dan sahabatnya. Beliau mendesak sahabat-sahabatnya untuk berjalan di depan beliau dan beliau berjalan di belakang mereka. Beliau berkata, “Tinggalkan punggungku untuk para malaikaat.” Persahabatannya adalah persahabatan dengan kesabaran dan rasa malu. Siapa yang berdebat dengannya akan melihat kesabarannya, dan beliau tidak membalas orang-orang yang menghinanya. Beliau tidak pernah menentang seseorang dengan kemarahan atau menggunakan kata-kata yang kasar. Beliau tidak pernah marah untuk dirinya sendiri, beliau hanya marah demi Allah. Beliau biasa makan bersama para pelayannya. Beliau tidak pernah menampar seseorang dengan tangannya. Beliau tidak pernah memberi hukuman untuk suatu kesalahan, melainkan selalu memaafkan. Seorang pelayannya, Anas (r) berkata, “Sepanjang hidupku, beliau tidak pernah sekalipun bertanya padaku: mengapa kau melakukan ini, atau mengapa kau tidak melakukan itu?”
Busana Nabi Suci (s)
Beliau biasa memakai apapun yang beliau dapati, katun atau wol, tetapi kebanyakan beliau mengenakan busana berbahan katun. Beliau menyukai pakaian berwarna hijau. Abu Huraira (r) mengatakan, “Beliau memakai gamis panjang yang longgar, dengan burdah dan habrah serta jubbah, dan beliau memakai turban dengan sebuah cadar dan ujung yang longgar, izar dan rida’.” Jabir ibn Samurah (r) mengatakan, “Aku melihat Nabi (s) pada malam purnama. Beliau (s) memakai mantel berwarna merah yang menutupi seluruh tubuhnya, dan aku melihatnya dengan penuh perhatian ke arahnya dan ke arah bulan. Tentu saja, bagiku beliau lebih indah daripada bulan itu sendiri.” Beliau (s) biasa memakai turban putih dan hitam serta kadang-kadang turban merah. Beliau (s) biasa meninggalkan ekor di bagian belakang turbannya. Imam Tabari berkata, “Beliau (s) biasa mempunyai turban sepanjang tujuh hasta.” Beliau mempunyai sebuah turban yang dinamakan Sihaab (Awan) yang diberikan kepada `Ali (r). Beliau (s) biasa memakai cincin perak pada tangan kanannya dan bertuliskan kalimat, “Muhammadun Rasul-Allah.” Beliau (s) biasa memakai khuff (kaos kaki kulit) di kakinya. Beliau (s) menyukai minyak wangi dan wewangian lainnya.
Beliau (s) tidak pernah melihat kemudahan dan beliau (s) tidak memiliki apa-apa, bahkan sebuah tempat tidur pun tidak, karena beliau (s) ingin membangun tempat tinggalnya di akhirat. Kasurnya terbuat dari dedaunan. Beliau (s) mempunyai sebuah mantel yang besar di mana beliau (s) sering meletakkannya di lantai dan kemudian duduk di atasnya. Kadang-kadang beliau (s) tidur di atas tikar atau langsung di atas lantai.
Mukjizat Nabi Suci (s)
Beliau (s) adalah seorang tabib baik bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Beliau (s) biasa menyembuhkan penyakit dengan membacakan al-Qur’an kepada orang yang sakit. Beliau (s) memberi peringatan kepada orang-orang agar tidak makan secara berlebihan. Beliau (s) menunjukkan begitu banyak mukjizat. Beliau (s) berdoa agar `Ali (r) tidak merasakan cuaca panas dan dingin, dan nyatanya beliau tidak pernah merasakannya. Beliau (s) berdoa untuk Ibn `Abbas (r) agar menjadi seorang yang pintar dalam agama, fiqh dan tafsir Qur’an dan itu menjadi kenyataan. Ketika mata Qutada (r) keluar dari tempatnya, beliau (s) mengembalikannya kembali, dan Qutada (r) mampu melihat seperti semula. Beliau (s) menggosok kaki Ibn Abi `Atiq (r) ketika patah, dan dengan segera kakinya sembuh. Bulan terbelah atas perintahnya sebagai suatu tanda bagi orang-orang kafir. Air memancar dari jari-jemarinya di mana seluruh pasukan dapat minum dan melakukan wudu darinya. Dari secangkir kecil air, air mengalir dan menjadikan padang pasir menjadi sebuah oasis. Cabang pohon di mana beliau (s) duduk menunduk sebagai isyarat cinta ketika beliau (s) berdiri hendak pergi. Mimbar di mana beliau (s) biasa memberikan khotbah sering mengeluarkan suara erangan seolah-olah menangis untuknya. Batu-batuan memuji Allah di tangannya hingga setiap orang dapat mendengarnya. Binatang-binatang mengeluh kepadanya. Rusa dan serigala bersaksi untuk kenabiannya. Beliau (s) memprediksikan bahwa putrinya Fatima (a) akan menjadi yang pertama menyusul kematiannya. Beliau (s) meramalkan bahwa Utsman Dzu-n-Nurayn, khalifah ketiganya dan juga menantunya akan dibunuh. Beliau (s) mengumumkan pembunuhan al-Aswad bin Annasi (r) pada malam kematiannya di Sana’a jauh di luar Yaman. Beliau (s) menyebutkan kematian dari Raja Persia kepada para Sahabatnya tepat ketika saat itu terjadi. Beliau (s) makan daging yang penuh dengan racun, tetapi tidak terjadi apa-apa padanya meskipun orang yang makan bersamanya tewas seketika. Tak terhitung lagi mukjizat lainnya yang bisa disebutkan.
Kata-Kata Nabi Suci (s)
Tidak ada seorang pun yang dapat membuat catatan lengkap mengenai perkataannya. Bahkan jika samudra di dunia ini menjadi tinta dan pepohonan menjadi kalamnya, tidak ada yang dapat menuliskan seluruh perkataan Nabi Muhammad (s). Ribuan dan ratusan ribu ahadits (riwayat perkataan) telah dituliskan dari apa yang beliau (s) katakan dan ini dikenal sebagai `Ilm al-Hadits atau Ilmu mengenai Sabda Nabi (s).
Beliau (s) bersabda,
“Allah menghargai orang-orang sesuai dengan apa yang mereka capai.”
“Allah berfirman, ‘Barang siapa yang menentang satu di antara wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.’”
“Wali-wali Allah berada di bawah Kubah-Nya. Tidak ada yang mengetahui tentang mereka kecuali Dia.”
“Dekatlah dengan orang yang fakir [dalam arti fakir secara spiritual] karena mereka mempunyai pemerintahannya sendiri.”
“Jadilah kamu di dunia ini laksana orang asing atau seorang musafir, jadikanlah masjid sebagai rumahmu, dan ajari kalbumu untuk toleran dan lemah lembut, perbanyak zikir dan banyak menangis.”
“Berapa banyak orang yang menyambut datangnya suatu hari tetapi pada akhirnya mereka tidak lagi hidup untuk melihat, dan berapa banyak yang mengharapkan datangnya esok hari tetapi mereka tidak dapat mencapainya?”
“Katakanlah yang benar, walaupun itu pahit.”
“Jadikanlah segala sesuatu mudah dan jangan dipersulit. Berikan kabar gembira dan jangan membuat orang menjadi pergi.”
“Allah berfirman, ‘Wahai Bani Adam, kau akan meraih apa yang kau niatkan, dan kau akan bersama dengan orang yang lebih kau cintai.’”
“Jagalah Allah dan Dia akan menjagamu. Jagalah Allah di hadapanmu. Jika engkau memerlukan pertolongan, mintalah Pertolongan-Nya.”
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya orang akan mencintaimu.”
“Orang yang mempunyai pikiran sempurna adalah orang yang paling bertakwa keapda Allah.”
“Waspadalah terhadap dunia karena itu adalah ilmu hitam.”
“Tahanlah dirimu kecuali dari kata-kata yang baik.”
“Kembalikan amanat dan jangan mengkhianatinya.”
“Ketika Allah mencintai seseorang, Dia akan menempatkannya pada kesulitan.”
“Ketika Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, Dia akan membimbingnya kepada seseorang yang dapat menunjukkan jalan baginya.”
“Berilah maaf, dan Allah akan memaafkanmu.”
“Jadilah orang yang pemurah, Allah akan bermurah hati padamu.”
“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang garang.”
“Orang yang berada di bawah hukuman terberat pada Yaumil Hisab adalah seorang ulama yang ilmunya tidak bermanfaat baginya.”
“Mintalah ampunan dan kesehatan kepada Allah.”
“Jagalah apa yang engkau lakukan dengan rahasia.”
“Orang yang paling berdosa adalah orang yang lidahnya selalu berbohong.”
“Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Yang paling dicintai-Nya di antara mereka adalah orang yang membantu saudara-saudaranya.”
“Amal terbaik adalah ketika orang selamat dari lidah dan tanganmu.”
“Selama dirimu mengucapkan, ‘La ilaha ill-Allah’ itu akan mengangkat Hukuman Allah darimu dan mengubahmu dengan kebaikan.”
“Wahai manusia, apakah engkau tidak malu bahwa engkau mengumpulkan lebih banyak dari yang kau makan, dan kau membangun rumah-rumah lebih dari yang kau perlukan untuk tinggal di dalamnya?”
Wafatnya Nabi Suci (s)
Ketika Allah `Azza wa Jalla telah menyempurnakan umatnya dan telah mencukupkan nikmat-Nya pada Nabi (s), Dia memindahkan beliau (s) ke sebuah rumah yang lebih baik daripada rumah beliau, dan kepada Sahabat yang lebih baik daripada sahabat-sahabatnya. Allah memanggil ruhnya pada akhir hayatnya. Sebagai hasilnya, penyakit terakhirnya dimulai pada sepuluh hari terakhir di bulan Shafar, di rumah istrinya Maimuna (r). Ketika sakitnya semakin parah, beliau (s) dipindahkan ke rumah `A’isyah (r). Beliau (s) mengalami sakit selama dua belas hari. Beliau (s) biasa menugaskan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) untuk memimpin salat sebagai tanda bagi para Sahabat bahwa beliau (s) telah menunjuknya sebagai penerusnya.
Beliau wafat pada hari Senin, tanggal 12 Rabi`ul Awwal. Berbalut gamis malamnya, beliau (s) dimandikan oleh Sayyidina`Ali (r), `Abbas ibn `Abd al-Muththalib (r) dan kedua putranya, Qutham (r) dan Fadl (r). `Usama bin Zaid (r) dan Syakran menuangkan air yang dibawa dari sumur oleh Awwas Khazraji (r). Ketika mereka memandikan beliau, jenazahnya memancarkan wangi yang sangat harum, sehingga `Ali (r) terus berkata, “Demi Allah, apa yang telah kuberikan padamu! Betapa manisnya engkau dan betapa baik dirimu, baik semasa hidup maupun ketika wafat!” Para Sahabatnya memasuki rumahnya satu per satu untuk berdoa untuknya, kemudian kaum wanita dan disusul anak-anak. Beliau (s) dimakamkan di tempat yang sama dengan tempat wafatnya, di rumah `A’isya (r). Abu Thalhah Zayd ibn Sahl menggali kuburnya dan orang-orang yang memandikannya menurunkan jenazahnya yang diberkati ke dalamnya. Kemudian makam itu ditutup, diratakan dan mereka menyirami air ke sana.
Orang-orang terdiam, lidah menjadi kelu. Dunia seakan-akan menjadi gelap. Orang-orang tidak tahu harus berkata apa. Ruhul Qudus--Malaikat Jibril (a) tidak lagi datang untuk membawa wahyu. Wafatnya Nabi (s) merupakan bencana terbesar bagi para Sahabat. Banyak orang yang menangis dan meraung. Tetapi Allah mengirimkan para pendukung untuk agama-Nya. Karena beliau (s) adalah Khatamul Anbiya, Allah (swt) mengirim seorang Mujaddid (pembangkit) agama ini dari satu abad ke abad lainnya. Wali demi wali, kita mendapati bahwa setiap Grandsyekh dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi adalah bagaikan bayang-bayang Nabi (s), mereka membangkitkan agama dan melatih para salik untuk menemukan Tuhan mereka sebagaimana para Sahabat telah digembleng.
Rahasia dukungan Allah yang kuat dan bimbingan yang murni diteruskan dari Nabi Muhammad (s) kepada sahabatnya tercinta, Abu Bakr ash-Shiddiq (r). Apa yang dituangkan oleh Nabi (s) ke dalam kalbu Abu Bakr (r) tidak ada orang yang mengetahuinya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan Cahaya-Nya kepada Nabi kita (s)! Beliau (s) diutus sebagai Rahmat bagi manusia dan rahasianya diteruskan dari satu wali kepada wali lainnya untuk mendukung agama ini dan membawa rahasianya kepada kalbu manusia. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/prophet-muhammad-ibn-abd-allah-salla-allahu-alayhi-wa-alihi-wa-sallam/)
Post a Comment Blogger Disqus