Mursyid Ke 20
Syekh Ubaydullah Al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
Syekh Ubaydullah Al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
"Begitu aku mengingatmu - rahasiaku, hatiku,
Dan rohku mulai menggangguku selama mengingat Engkau.
Sampai pengawas dari Engkau dulu memanggilku,
'Waspadalah, berhati-hatilah - ingatlah hati-hati.'
Apakah Engkau tidak melihat yang Nyata? Bukti-buktinya muncul.
Arti totalitas bergabung dengan makna Engkau.
Para pengingat ketika mengingatnya
Lebih pelupa daripada orang yang lupa mengingat-Nya.
Nabi (saw) berkata, 'Orang yang mengenal Allah,
Lidahnya kelu.'"
Dan rohku mulai menggangguku selama mengingat Engkau.
Sampai pengawas dari Engkau dulu memanggilku,
'Waspadalah, berhati-hatilah - ingatlah hati-hati.'
Apakah Engkau tidak melihat yang Nyata? Bukti-buktinya muncul.
Arti totalitas bergabung dengan makna Engkau.
Para pengingat ketika mengingatnya
Lebih pelupa daripada orang yang lupa mengingat-Nya.
Nabi (saw) berkata, 'Orang yang mengenal Allah,
Lidahnya kelu.'"
Anonim.
Ia adalah Kutub bagi Lingkaran para Ahli Makrifat, Samudra Ilmu yang tak pernah habis, walaupun seluruh makhluk minum darinya untuk memuaskan dahaga spiritual mereka. Ia adalah seorang Raja yang memiliki cahaya murni dari Essens yang Unik dan dilepaskan dari penangkarannya dari Yang Tersembunyi untuk disebarkan kepada semua orang yang Arif. Ia menyingkap sisi gelap bulan dari Sifat-Sifat Ilahi mulai dari buaian sampai ia mencapai keadaannya yang sempurna. Ketika masih muda, ia telah diberi otoritas dan mulai bekerja untuk menerima Rahasia dari Rahasia dan untuk menyingkap Hijab. Ia tidak pernah melirik pada keinginan duniawi. Ia terus maju sampai ia mencapai maqam kewalian tertinggi, di mana ilmu mengenai Intisari Yang Gaib diberikan, dan rahasia mengenai Kenihilan Mutlak diungkapkan. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dari Kenihilan Mutlak menuju Cahaya Mutlak. Allah membangkitkan Tarekat ini melalui dirinya di zamannya dan Dia mendukungnya dengan Nikmat-Nya. Dia menjadikannya sebagai satu tautan keemasan di dalam Silsilah Keemasan ini, dan Dia menjadikannya salah satu dari pewaris Nabi (s) yang tertinggi.
Syekh Ubaydullah (q) berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Ia menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju Maqam Keyakinan dan Perbendaharaan Ilmu Spiritual yang tersembunyi.
Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.
Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”
Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya
Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”
Ia berkata,
Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.
Ia berkata,
Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.
Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.
Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”
Ia meriwayatkan,
“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al-Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”
“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”
“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”
“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar. Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”
“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al-Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.
Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu. Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”
“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar. Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”
Keunggulan dalam Khidmah
Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya.
Ia berkata,
Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.
Ia berkata,
Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”
Syekh Ubaydullah (q) berkata,
“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”
Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”
Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an
Ia berkata,
Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.
Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy-syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]? Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.
Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.
Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.
Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.
Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.
Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,
Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.
Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.
Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], ia berkata,
Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.
Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.
Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.
Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya. Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.
Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.
Makna dari Shiddiq
Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.
Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.
Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’
Adab Syekh dan Murid
Ia berkata,
Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.
Ia berkata,
Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.
Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda-beda.
Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’
Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.
Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.
Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”
Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al-Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.
“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.
“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari `Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’
Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”
Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l-i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.
Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as-Samarqandi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ubaydullah-al-ahrar-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Syekh Ubaydullah (q) berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Ia menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju Maqam Keyakinan dan Perbendaharaan Ilmu Spiritual yang tersembunyi.
Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.
Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”
Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya
Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”
Ia berkata,
Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.
Ia berkata,
Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.
Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.
Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”
Ia meriwayatkan,
“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al-Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”
“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”
“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”
“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar. Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”
“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al-Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.
Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu. Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”
“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar. Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”
Keunggulan dalam Khidmah
Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya.
Ia berkata,
Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.
Ia berkata,
Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”
Syekh Ubaydullah (q) berkata,
“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”
Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”
Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an
Ia berkata,
Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.
Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy-syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]? Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.
Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.
Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.
Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.
Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.
Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,
Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.
Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.
Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], ia berkata,
Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.
Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.
Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.
Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya. Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.
Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.
Makna dari Shiddiq
Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.
Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.
Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’
Adab Syekh dan Murid
Ia berkata,
Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.
Ia berkata,
Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.
Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda-beda.
Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’
Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.
Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.
Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”
Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al-Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.
“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.
“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari `Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’
Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”
Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l-i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.
Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as-Samarqandi (q). (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/ubaydullah-al-ahrar-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus