Mursyid Ke 9
Abu Ya`qub Yusuf ibn Ayyab ibn Yusuf ibn al-Husayn al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
Abu Ya`qub Yusuf ibn Ayyab ibn Yusuf ibn al-Husayn al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
"Jangan berpikir bahwa tidak ada pelancong di jalan,
atau bahwa atribut yang sempurna tidak meninggalkan jejak.
Hanya karena Kau tidak mengetahui rahasia,
Apakah kau berpikir bahwa tidak ada orang lain yang baik?"
atau bahwa atribut yang sempurna tidak meninggalkan jejak.
Hanya karena Kau tidak mengetahui rahasia,
Apakah kau berpikir bahwa tidak ada orang lain yang baik?"
Rumi, Fihi ma fihi.
Beliau adalah salah seorang Arif Billah yang langka, seorang Penegak Sunnah Nabi (s) dan seorang wali yang unik. Beliau adalah seorang imam, seorang `alim dan seorang `arif. Beliau adalah mursyid di zamannya, yang mengangkat maqam para pengikutnya. Para ulama dan orang-orang saleh biasa membanjiri khaniqahnya di kota Merv, kini Turkmenistan, untuk mendengar nasihatnya.
Beliau dilahirkan di Buzanjird dekat Hamadan pada tahun 440 H., beliau pindah dari Hamadan ke Baghdad ketika beliau berumur delapan belas tahun. Beliau mempelajari Mazhab Syafi’i di bawah pengawasan mursyid di zamannya, Syekh Ibrahim ibn `Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi. Beliau terus berkumpul dengan seorang ulama besar di Baghdad, Abu Ishaq asy-Syirazi, yang lebih mengistimewakannya di antara murid-murid lainnya, walaupun beliau adalah yang termuda.
Beliau adalah seorang ahli fiqih yang sangat brilian, sehingga pada masa itu beliau menjadi marja` (referensi) bagi seluruh ulama di bidangnya. Beliau terkenal di Baghdad yang merupakan pusat pengetahuan Islam, di Isfahan, Bukhara, Samarkand, Khwarazm, dan seluruh Asia Tengah.
Kemudian di dalam hidupnya beliau mengucilkan dirinya dan meninggalkan kehidupan duniawi. Beliau menjadi seorang zuhud dan mengisi waktunya dalam ibadah yang konstan dan mujahadah (perjuangan spiritual). Beliau berkumpul dengan Syekh Abdullah Ghuwayni dan Syekh Hasan Simnani, tapi rahasianya diberikan oleh Syekh Abu `Ali al-Farmadi (q). Beliau membuat kemajuan dalam penyangkalan diri dan tafakur hingga beliau menjadi Ghawts di zamannya. Beliau dikenal sebagai Hujannya Hakikat dan Kebenaran serta Pengetahuan Spiritual. Beliau akhirnya tinggal di Merv. Melalui dirinya berbagai peristiwa ajaib terjadi.
Dari Keramatnya
Beliau mencerminkan Sifat al-Qahhar terhadap orang-orang yang menentang penyebaran spiritualitas. Berikut ini adalah dua keramatnya terkait hal tersebut:
Suatu hari beliau sedang mengadakan sebuah asosiasi di mana beliau mencerahkan pendengarnya dengan pengetahuan surgawi. Dua ulama harfiah yang hadir berkata, “Diamlah, karena engkau sedang merancang suatu bid’ah.” Beliau berkata kepada mereka, “Jangan bicara tentang hal-hal yang kalian tidak mengerti. Lebih baik bagi kalian untuk mati daripada tetap hidup.” Ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut, tiba-tiba mereka jatuh tersungkur dan tewas.
Ibn Hajar al-Haytsami menuliskan di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Haditsiyya, “Abu Sa`id Abdullah ibn Abi `Asrun (w.585 H.), seorang Imam dari Mazhab Syafi’i berkata, ‘Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan sahabatku, Ibn as-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiya, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Kami mendengar bahwa di Baghdad ada seseorang yang bernama Yusuf al-Hamadani, yang dikenal sebagai al-Ghawts, dan bahwa ia bisa muncul dan menghilang kapan saja, sesuka hatinya. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn as-Saqa dan Syekh `Abdul Qadir al-Jilani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn as-Saqa berkata, ‘Apabila kita bertemu Syekh Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan beliau ketahui.’ Aku berkata, ‘Aku juga akan menanyakannya sebuah pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan beliau katakan.’ Sementara itu Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani berkata, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang wali seperti Syekh Yusuf Hamadani (q), tetapi aku akan menghadapnya untuk memohon berkah dan Ilmu Ilahiahnya.’
‘Kami memasuki majelisnya. Beliau sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya lagi hingga satu jam berikutnya. Beliau memandang Ibn as-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberi tahu namanya sebelumnya, ‘Wahai Ibn as-Saqa, bagaimana kau berani menanyakan pertanayaan kepadaku dengan niat untuk merendahkan aku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabanmu adalah ini!’ Kemudian beliau berkata kepada Ibn Saqa, ‘Aku melihat api kekufuran menyala di dalam kalbumu.’ Beliau memandangku dan berkata, ‘Wahai `Abdullah, apakah engkau ingin bertanya kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang merasa sedih terhadap dirimu karena mereka tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.’ Kemudian beliau mamandang pada Syekh `Abdul Qadir al-Jilani dan berkata kepadanya, ‘Mendekatlah wahai anakku, aku akan memberkatimu. Wahai `Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara dan memberi petunjuk kepda orang-orang dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihatmu bahwa setiap wali di zamanmu akan menghormatimu karena ketinggian maqam dan kehormatanmu.’”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran `Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika beliau mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di leher semua awliya,’ dan beliau menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang di zamannya menuju tujuan akhir mereka.”
“Berbeda keadaannya dengan Ibn as-Saqa. Ia menjadi seorang ahli hukum Islam yang menonjol. Ia mengungguli semua ulama di zamannya. Ia sering berdebat dengan para ulama di zamannya dan mengalahkan mereka, hingga khalifah memanggilnya untuk menjadi salah satu anggota dewan peradilannya. Pada suatu hari khalifah mengutusnya untuk menemui Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Kristen untuk berdebat dengannya. Ibn as-Saqa mampu mengalahkan mereka semua di dalam debat itu. Mereka semua tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia memberi mereka berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolah di hadapannya.
“Kecemerlangannya mempesona Raja Bizantium sehingga ia mengundangnya ke dalam acara pertemuan pribadi keluarganya. Di sana mata Ibn as-Saqa bertemu dengan putri Raja. Ia jatuh cinta kepadanya dan melamar sang putri untuk dinikahinya. Putri itu menolak, kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk Kristen, agama sang putri. Setelah menikah, Ibn Saqa menderita sakit parah. Mereka lalu mengeluarkannya dari istana. Jadilah ia menjadi pengemis di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang, namun demikian tidak ada orang yang ingin memberinya. Kegelapan menutupi wajahnya.
Suatu hari ia melihat seseorang yang telah dikenalnya sebelumnya. Orang itu berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya, “Apakah engkau mengingat sesuatu dari kitab suci al-Qur’an?” Ia menjawab, “Aku hanya ingat rubbama yawaddu-l-ladziina kafaru law kanu muslimiin (‘Seringkali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi Muslim’ [15:2]).
‘Ia gemetar seolah-olah sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke arah Ka’bah (ke Barat), tetapi ia terus berpaling ke arah Timur. Kemudian aku kembali menghadapkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia kembali lagi ke Timur. Aku lalu mencoba untuk ketiga kalinya, tetapi lagi-lagi ia memalingkan wajahnya ke Timur. Kemudian bersamaan dengan ruhnya meninggalkan jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, ini adalah akibat aku tidak menghormati Ghawts-Mu, Yusuf al-Hamadani.’”
Imam Haytsami melanjutkan, “Ibn `Asrun berkata, ‘Aku pergi ke Damaskus dan Raja di sana, Nuridin asy-Syahiid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerimanya. Sebagai hasilnya, dunia datang dari segala penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.’”
Dari Perkataannya
Pembukaan kekuatan indera Pendengaran Spiritual pada Awliyaullah adalah seperti sebuah Pesan dari Hakikat, sebuah Bab dalam Kitab Allah, sebuah berkah dari Ilmu Alam Gaib. Ini adalah awal dari pembukaan Kalbu dan penyingkapannya -- kabar gembira dari Maqam-Maqam Surgawi! Ini adalah fajar pemahaman Makna Ilahi. Pendengaran ini adalah rezeki bagi ruh dan kehidupan bagi kalbu. Ini adalah Kekekalan (baqa) bagi Rahasia (sirr). Allah membuat Diri-Nya sendiri sebagai Penglihatan bagi Hamba-Nya yang Terpilih, dan membusanai mereka dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang diberkati dan menghiasi mereka dengan Sifat-Nya.
Dari para Awliya-Nya, Dia membuat satu kelompok yang mendengar melalui Syuhada at-tanzih-Nya; Dia membuat kelompok lain mendengar melalui Wahdaniyyah-Nya; Dia juga membuat kelompok lain mendengar melalui Rahmat-Nya. Dan Dia membuat beberapa di antaranya mendengar melalui Qudrah-Nya.
Ketahuilah wahai manusia, bahwa Allah telah menciptakan dari Cahaya Tajali-Nya, 70.000 malaikat dan menugaskan mereka ke berbagai maqam antara `Arasy dengan Kursi. Dalam Hadirat yang Intim (uns), mereka berbusana dengan wol hijau, wajah mereka bagaikan bulan purnama, mereka berdiri dalam Hadirat-Nya dengan rasa kagum, pingsan, mabuk dengan Cinta-Nya, berlari tanpa henti dari `Arasy ke Kursi dan sebaliknya karena emosi dan rahmat yang terbakar di dalam kalbu mereka. Mereka adalah para Sufi dari Langit dan Israfil (malaikat yang akan meniup sangkakala pada Hari Kiamat) adalah panglima mereka dan mursyid mereka, sementara Jibril adalah kepala dan pembicara mereka, dan al-Haqq (Allah) adalah Sultan mereka. Berkat Allah tercurah pada mereka.
Inilah bagaimana Yusuf al-Hamadani (q), Bayang-Bayang Tuhan di Bumi sering menggambarkan hakikat surgawi dan maqam-maqam terpuji dari para Sufi. Semoga Allah memberkati ruhnya dan mensucikannya.
Beliau wafat di Khorasan, antara Herat dan Bakshur, pada tanggal 12 Rabi`ul-Awwal, 535 H., dan dimakamkan di Merv. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid dan madrasah yang besar.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Abul `Abbas yang kemudian meneruskannya kepada `Abdul Khaliq al-Ghujdawani, di mana beliau juga menerimanya secara langsung dari Yusuf al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-yaqub-yusuf-al-hamadani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Beliau dilahirkan di Buzanjird dekat Hamadan pada tahun 440 H., beliau pindah dari Hamadan ke Baghdad ketika beliau berumur delapan belas tahun. Beliau mempelajari Mazhab Syafi’i di bawah pengawasan mursyid di zamannya, Syekh Ibrahim ibn `Ali ibn Yusuf al-Fairuzabadi. Beliau terus berkumpul dengan seorang ulama besar di Baghdad, Abu Ishaq asy-Syirazi, yang lebih mengistimewakannya di antara murid-murid lainnya, walaupun beliau adalah yang termuda.
Beliau adalah seorang ahli fiqih yang sangat brilian, sehingga pada masa itu beliau menjadi marja` (referensi) bagi seluruh ulama di bidangnya. Beliau terkenal di Baghdad yang merupakan pusat pengetahuan Islam, di Isfahan, Bukhara, Samarkand, Khwarazm, dan seluruh Asia Tengah.
Kemudian di dalam hidupnya beliau mengucilkan dirinya dan meninggalkan kehidupan duniawi. Beliau menjadi seorang zuhud dan mengisi waktunya dalam ibadah yang konstan dan mujahadah (perjuangan spiritual). Beliau berkumpul dengan Syekh Abdullah Ghuwayni dan Syekh Hasan Simnani, tapi rahasianya diberikan oleh Syekh Abu `Ali al-Farmadi (q). Beliau membuat kemajuan dalam penyangkalan diri dan tafakur hingga beliau menjadi Ghawts di zamannya. Beliau dikenal sebagai Hujannya Hakikat dan Kebenaran serta Pengetahuan Spiritual. Beliau akhirnya tinggal di Merv. Melalui dirinya berbagai peristiwa ajaib terjadi.
Dari Keramatnya
Beliau mencerminkan Sifat al-Qahhar terhadap orang-orang yang menentang penyebaran spiritualitas. Berikut ini adalah dua keramatnya terkait hal tersebut:
Suatu hari beliau sedang mengadakan sebuah asosiasi di mana beliau mencerahkan pendengarnya dengan pengetahuan surgawi. Dua ulama harfiah yang hadir berkata, “Diamlah, karena engkau sedang merancang suatu bid’ah.” Beliau berkata kepada mereka, “Jangan bicara tentang hal-hal yang kalian tidak mengerti. Lebih baik bagi kalian untuk mati daripada tetap hidup.” Ketika beliau mengucapkan kata-kata tersebut, tiba-tiba mereka jatuh tersungkur dan tewas.
Ibn Hajar al-Haytsami menuliskan di dalam kitabnya, Al-Fatawa al-Haditsiyya, “Abu Sa`id Abdullah ibn Abi `Asrun (w.585 H.), seorang Imam dari Mazhab Syafi’i berkata, ‘Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan sahabatku, Ibn as-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiya, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Kami mendengar bahwa di Baghdad ada seseorang yang bernama Yusuf al-Hamadani, yang dikenal sebagai al-Ghawts, dan bahwa ia bisa muncul dan menghilang kapan saja, sesuka hatinya. Jadi, aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn as-Saqa dan Syekh `Abdul Qadir al-Jilani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn as-Saqa berkata, ‘Apabila kita bertemu Syekh Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan sebuah pertanyaan yang jawabannya tidak akan beliau ketahui.’ Aku berkata, ‘Aku juga akan menanyakannya sebuah pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan beliau katakan.’ Sementara itu Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani berkata, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang wali seperti Syekh Yusuf Hamadani (q), tetapi aku akan menghadapnya untuk memohon berkah dan Ilmu Ilahiahnya.’
‘Kami memasuki majelisnya. Beliau sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya lagi hingga satu jam berikutnya. Beliau memandang Ibn as-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberi tahu namanya sebelumnya, ‘Wahai Ibn as-Saqa, bagaimana kau berani menanyakan pertanayaan kepadaku dengan niat untuk merendahkan aku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabanmu adalah ini!’ Kemudian beliau berkata kepada Ibn Saqa, ‘Aku melihat api kekufuran menyala di dalam kalbumu.’ Beliau memandangku dan berkata, ‘Wahai `Abdullah, apakah engkau ingin bertanya kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang merasa sedih terhadap dirimu karena mereka tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.’ Kemudian beliau mamandang pada Syekh `Abdul Qadir al-Jilani dan berkata kepadanya, ‘Mendekatlah wahai anakku, aku akan memberkatimu. Wahai `Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara dan memberi petunjuk kepda orang-orang dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihatmu bahwa setiap wali di zamanmu akan menghormatimu karena ketinggian maqam dan kehormatanmu.’”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran `Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syekh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika beliau mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di leher semua awliya,’ dan beliau menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang di zamannya menuju tujuan akhir mereka.”
“Berbeda keadaannya dengan Ibn as-Saqa. Ia menjadi seorang ahli hukum Islam yang menonjol. Ia mengungguli semua ulama di zamannya. Ia sering berdebat dengan para ulama di zamannya dan mengalahkan mereka, hingga khalifah memanggilnya untuk menjadi salah satu anggota dewan peradilannya. Pada suatu hari khalifah mengutusnya untuk menemui Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Kristen untuk berdebat dengannya. Ibn as-Saqa mampu mengalahkan mereka semua di dalam debat itu. Mereka semua tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia memberi mereka berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolah di hadapannya.
“Kecemerlangannya mempesona Raja Bizantium sehingga ia mengundangnya ke dalam acara pertemuan pribadi keluarganya. Di sana mata Ibn as-Saqa bertemu dengan putri Raja. Ia jatuh cinta kepadanya dan melamar sang putri untuk dinikahinya. Putri itu menolak, kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk Kristen, agama sang putri. Setelah menikah, Ibn Saqa menderita sakit parah. Mereka lalu mengeluarkannya dari istana. Jadilah ia menjadi pengemis di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang, namun demikian tidak ada orang yang ingin memberinya. Kegelapan menutupi wajahnya.
Suatu hari ia melihat seseorang yang telah dikenalnya sebelumnya. Orang itu berkata, ‘Aku bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.” Orang itu bertanya, “Apakah engkau mengingat sesuatu dari kitab suci al-Qur’an?” Ia menjawab, “Aku hanya ingat rubbama yawaddu-l-ladziina kafaru law kanu muslimiin (‘Seringkali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi Muslim’ [15:2]).
‘Ia gemetar seolah-olah sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke arah Ka’bah (ke Barat), tetapi ia terus berpaling ke arah Timur. Kemudian aku kembali menghadapkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia kembali lagi ke Timur. Aku lalu mencoba untuk ketiga kalinya, tetapi lagi-lagi ia memalingkan wajahnya ke Timur. Kemudian bersamaan dengan ruhnya meninggalkan jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, ini adalah akibat aku tidak menghormati Ghawts-Mu, Yusuf al-Hamadani.’”
Imam Haytsami melanjutkan, “Ibn `Asrun berkata, ‘Aku pergi ke Damaskus dan Raja di sana, Nuridin asy-Syahiid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerimanya. Sebagai hasilnya, dunia datang dari segala penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.’”
Dari Perkataannya
Pembukaan kekuatan indera Pendengaran Spiritual pada Awliyaullah adalah seperti sebuah Pesan dari Hakikat, sebuah Bab dalam Kitab Allah, sebuah berkah dari Ilmu Alam Gaib. Ini adalah awal dari pembukaan Kalbu dan penyingkapannya -- kabar gembira dari Maqam-Maqam Surgawi! Ini adalah fajar pemahaman Makna Ilahi. Pendengaran ini adalah rezeki bagi ruh dan kehidupan bagi kalbu. Ini adalah Kekekalan (baqa) bagi Rahasia (sirr). Allah membuat Diri-Nya sendiri sebagai Penglihatan bagi Hamba-Nya yang Terpilih, dan membusanai mereka dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang diberkati dan menghiasi mereka dengan Sifat-Nya.
Dari para Awliya-Nya, Dia membuat satu kelompok yang mendengar melalui Syuhada at-tanzih-Nya; Dia membuat kelompok lain mendengar melalui Wahdaniyyah-Nya; Dia juga membuat kelompok lain mendengar melalui Rahmat-Nya. Dan Dia membuat beberapa di antaranya mendengar melalui Qudrah-Nya.
Ketahuilah wahai manusia, bahwa Allah telah menciptakan dari Cahaya Tajali-Nya, 70.000 malaikat dan menugaskan mereka ke berbagai maqam antara `Arasy dengan Kursi. Dalam Hadirat yang Intim (uns), mereka berbusana dengan wol hijau, wajah mereka bagaikan bulan purnama, mereka berdiri dalam Hadirat-Nya dengan rasa kagum, pingsan, mabuk dengan Cinta-Nya, berlari tanpa henti dari `Arasy ke Kursi dan sebaliknya karena emosi dan rahmat yang terbakar di dalam kalbu mereka. Mereka adalah para Sufi dari Langit dan Israfil (malaikat yang akan meniup sangkakala pada Hari Kiamat) adalah panglima mereka dan mursyid mereka, sementara Jibril adalah kepala dan pembicara mereka, dan al-Haqq (Allah) adalah Sultan mereka. Berkat Allah tercurah pada mereka.
Inilah bagaimana Yusuf al-Hamadani (q), Bayang-Bayang Tuhan di Bumi sering menggambarkan hakikat surgawi dan maqam-maqam terpuji dari para Sufi. Semoga Allah memberkati ruhnya dan mensucikannya.
Beliau wafat di Khorasan, antara Herat dan Bakshur, pada tanggal 12 Rabi`ul-Awwal, 535 H., dan dimakamkan di Merv. Di dekat makamnya dibangun sebuah masjid dan madrasah yang besar.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Abul `Abbas yang kemudian meneruskannya kepada `Abdul Khaliq al-Ghujdawani, di mana beliau juga menerimanya secara langsung dari Yusuf al-Hamadani. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abu-yaqub-yusuf-al-hamadani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus