Mursyid Ke 11
Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
"Cahaya-cahaya beberapa orang mendahului dhikr mereka, sementara dzikir beberapa orang mendahului cahaya mereka. Ada orang yang melakukan (keras) dhikr sehingga hatinya diterangi; dan ada orang yang hatinya telah diterangi dan dia melakukannya. (diam) dzikir."
Ibn Ata'illah.
Beliau dikenal sebagai Syekh yang Keramat, Seorang yang Bersinar bagaikan Matahari, dan beliau adalah Penguasa Maqam-Maqam Spiritual yang tinggi di zamannya. Beliau adalah seorang `Arif Kamil di bidang Sufisme dan hidup dalam zuhud. Beliau dianggap sebagai Pancuran utama dari tarekat yang mulia ini dan merupakan Mata Air bagi para Khwajagan (Guru-Guru di Asia Tengah).
Ayah beliau adalah Syekh `Abdul Jamil, salah seorang ulama yang termasyhur di bidang ilmu lahiriah dan batiniah di zaman Bizantium. Ibunya adalah seorang putri keturunan Raja Seljuk Anatolia.
Abdul Khaliq (q) lahir di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara yang kini dikenal sebagai Uzbekistan. Sepanjang hidupnya beliau tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Beliau juga dimakamkan di sana. Beliau adalah keturunan dari Imam Malik (r). Di masa kanak-kanak beliau mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, ‘ilm al-Hadits, bahasa Arab, dan Fiqh bersama Syekh Sadruddin. Setelah menguasai ilmu Syari`ah, beliau mendalami jihad an-nafs, hingga beliau mencapai suatu maqam kemurnian yang tinggi. Beliau kemudian pindah ke Damaskus dan mendirikan sebuah madrasah dan melahirkan banyak lulusannya. Mereka menjadi ahli fiqh dan hadits serta tasawwuf dan menyebar ke kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.
Penulis kitab al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau sampai pada maqam yang tinggi dalam Silsilah Keemasan, “Beliau bertemu Khidr (a) dan menemaninya. Beliau memperoleh ilmu laduni darinya melengkapi ilmu spiritual yang beliau peroleh dari gurunya, Syekh Yusuf al-Hamadani (q).”
“Suatu hari ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an di hadapan Syekh Sadruddin, beliau sampai pada ayat berikut “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas-batas.” [7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk bertanya pada Syekh Sadruddin mengenai hakikat Zikir Khafi dan metodenya. Abdul Khaliq bertanya, “Di dalam Zikir Jahar, kau harus menggunakan lidahmu dan orang bisa mendengar dan melihatmu, sedangkan pada Zikir Khafi dalam hati, Setan mungkin dapat mendengarmu karena Nabi (s) bersabda dalam hadits suci, ‘Setan dapat bergerak dengan bebas dalam pembuluh nadi anak cucu Adam.’ Lalu bagaimana hakikat ‘Berdoalah dalam kerahasiaan hatimu?’” Syekhnya menjawab, ‘Wahai anakku, ini adalah hal yang tersembunyi, ini adalah ilmu laduni, dan aku berharap bahwa Allah `Azza wa Jalla mengirimkan salah seorang wali-Nya kepadamu untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai hakikat dari zikir rahasia ini.’
“Sejak saat itu Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) menunggu doa itu dikabulkan. Suatu hari beliau bertemu Khidr (a) yang mengatakan kepadanya, “Sekarang wahai anakku, aku mempunyai izin dari Nabi (s) untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai zikir yang tersembunyi dengan jumlahnya.” Khidr (a) memerintahkannya untuk menenggelamkan dirinya ke dalam air dan mulai berzikir di dalam hatinya (LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH). Beliau melakukan bentuk zikir ini setiap hari hingga Cahaya Ilahi, Hikmah Ilahi, Cinta Ilahi dan Daya Tarik Ilahi dibukakan dalam kalbunya. Karena karunia-karunia ini, orang-orang mulai tertarik pada Abdul Khaliq dan berusaha untuk mengikuti jejaknya, dan ia membawa mereka untuk mengikuti jejak Nabi (s).
“Beliau adalah yang pertama dalam Tarekat yang mulia ini yang menggunakan Zikir Khafi dan beliau dianggap sebagai penghulu dari bentuk zikir tersebut. Ketika syekh spiritualnya, al-Ghawts ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani (q) datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepadanya. Beliau berkata mengenai Syekh Yusuf al-Hamadani (q), ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syekh Yusuf al-Hamadani (q) memerintahkan Khidr (a) untuk terus membesarkan aku dan mengawasiku hingga akhir hayatku.’”
Syekh Muhammad Parsa, seorang sahabat dan penulis biografi Syah Naqsyband (q) mengatakan di dalam kitabnya Faslul-Kitab, bahwa metode Khwaja Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) dalam zikir dan ajarannya tentang Delapan Prinsip dianut dan diagungkan oleh keempatpuluh tarekat sebagai jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Nabi (s), dengan meninggalkan bid’ah dan dengan hati-hati menentang keinginan rendah (dari ego). Karena hal itu beliau menjadi Mursyid di zamannya dan Yang Pertama di jalan spiritualitas ini.
Reputasinya sebagai seorang Guru spiritual yang cemerlang semakin meluas. Berbondong-bondong orang datang mengunjunginya dari segala penjuru. Beliau mengumpulkan murid-murid yang tulus dan setia di sekelilingnya untuk dibimbing dan dilatih dalam pengawasannya. Terkait hal ini, beliau menulis surat kepada putranya, al-Qalb al-Mubarak Syekh al-Awliya Kabir, untuk menentukan adab para pengikut tarekat ini. Beliau berkata,
“Wahai anakku, aku mendorongmu untuk memperoleh ilmu dan adab serta takwa kepada Allah. Ikuti jalannya para Salafus saleh (generasi awal). Berpegang teguh pada Sunnah Nabi (s), dan menjaga hubungan dengan para Mukhlisin. Bacalah kitab fiqh, Sirah Nabawiyah dan tafsir Qur’an. Hindari para penipu yang bodoh, dan jagalah salat berjamaah. Waspadalah terhadap ketenaran dan bahayanya. Bergaullah dengan orang-orang biasa dan jangan mencari jabatan. Jangan menjalin kedekatan dengan raja-raja dan anak-anak mereka atau dengan orang-orang yang melakukan bid’ah. Jangan banyak bicara, jangan makan dan tidur berlebihan. Menjauhlah dari orang-orang seperti halnya engkau lari dari singa. Jaga khalwatmu. Makanlah dari makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang meragukan kecuali dalam keadaan darurat. Jauhi cinta dunia yang rendah karena mungkin ia dapat membuatmu takjub. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menjadi kematian bagi kalbu. Jangan mempermalukan siapapun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang-orang. Jangan meminta kepada siapapun kecuali Allah. Jangan meminta siapapun untuk melayanimu. Layani syekhmu dengan uangmu, kekuatanmu, dan jangan mengkritik tindakan mereka. Siapapun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena ia tidak memahami mereka. Jadikan perbuatanmu tulus dengan niat hanya untuk Allah. Berdoalah kepada-Nya dengan kerendahan hati. Jadikan fiqh sebagai urusanmu, masjid sebagai rumahmu, dan Sahabatmu sebagai tuanmu.”
Prinsip-Prinsip Tarekat Naqsybandi
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mengemukakan frasa-frasa berikut ini yang sekarang dianggap sebagai prinsip-prinsip Tarekat Naqsybandi:
Bernapas dengan Sadar ("Hosh dar dam")
Hosh artinya “pikiran.” Dar artinya “di dalam.” Dam artinya “napas.” Itu artinya, menurut `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),
"Seorang pencari yang bijaksana harus menjaga napasnya dari kelalaian, ketika menarik dan menghembuskan napasnya, ia menjaga agar kalbunya senantiasa dalam Hadirat Ilahi; dan ia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian serta mempersembahkan ibadahnya itu kepada Tuhannya dengan penuh gairah, karena setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadiran adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati, dan tidak tersambung dengan Hadirat Ilahi."
Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Misi terpenting bagi seorang salik dalam Tarekat ini adalah untuk menjaga napasnya, dan orang yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan bahwa ‘ia telah kehilangan dirinya.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Tarekat ini dibangun dengan napas. Jadi seorang salik wajib menjaga napasnya pada saat menarik dan menghembuskannya dan lebih dari itu, menjaga napasnya dalam interval antara saat menarik dan menghembuskan napasnya.”
Syekh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan di dalam kitabnya, Fawatih al-Jamal, "Zikir mengalir di dalam tubuh setiap makhluk hidup dengan kebutuhan akan napas mereka—bahkan tanpa disengaja—sebagai sebuah tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka. Melalui napas mereka, bunyi huruf “Ha” dari Asmaullah Allah dikeluarkan dalam setiap tarikan dan hembusan napas dan itu merupakan sebuah tanda dari Esensi Gaib mengungkapkan penekanan pada Keesaan Tuhan. Oleh sebab itu diperlukan kehadiran dalam napas itu, untuk menyadari (merasakan) Esensi Sang Pencipta."
Asma 'Allah' yang mencakup kesembilan puluh sembilan Asma wal Sifat terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama (ALLAH). Para pengikut Sufisme mengatakan bahwa Esensi Gaib Mutlak dari Allah `Azza wa Jalla diekspresikan oleh huruf terakhir yang diberi harakat Alif, yaitu "Ha." Itu merepresentasikan Kegaiban Mutlak "Dia" dari Allah `Azza wa Jalla (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah `azza wa jall). Huruf Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta`rif) dan huruf Lam kedua untuk penekanan (mubalagha).
Menjaga napas kalian dari kelalaian akan mengantarkan kalian pada Hadirat penuh, dan Hadirat penuh akan mengantarkan kalian pada Penglihatan penuh, dan Penglihatan penuh akan mengantarkan kalian pada Tajali Asmaul Husna wal Sifat sepenuhnya. Allah mengantarkan kalian menuju Tajali Asmaul Husna wal Sifat dan Sifat-Sifat-Nya yang lain, karena “Sifat-Sifat Allah adalah tak terhingga, sejumlah bilangan napas manusia.”
Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa menjaga napas dari kelalaian merupakan hal yang sulit bagi seorang salik. Oleh sebab itu mereka harus menjaganya dengan beristighfar karena itu akan memurnikan dan mensucikannya dan mempersiapkan dirinya bagi Tajali Allah yang hakiki di mana-mana.
Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar qadam")
Itu artinya seorang salik ketika berjalan harus mengarahkan pandangan matanya ke kakinya. Ke mana pun kakinya melangkah, matanya harus tertuju ke sana. Ia tidak diperkenankan untuk menoleh ke sana ke sini, melihat ke kiri atau ke kanan, atau ke depannya, karena pandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan hijab di dalam kalbu tercipta oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata kalian ke dalam pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat mengganggu kalbu kalian dengan turbulensi karena berbagai macam keinginan yang telah tercetak di dalam pikiran kalian. Gambaran-gambaran ini bagaikan hijab di dalam kalbu. Mereka menghalangi Cahaya dari Hadirat Ilahiah. Itulah sebabnya mengapa para Awliya tidak membolehkan para pengikut mereka, yang telah memurnikan kalbu mereka melalui zikir yang konstan, untuk melihat selain daripada kaki mereka. Kalbu mereka bagaikan cermin, yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudah. Ini dapat mengganggu mereka dan membawa pengotor ke dalam kalbu mereka. Jadi seorang salik diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar tidak diserang oleh panah-panah Setan.
Merendahkan pandangan juga merupakan tanda ketawadukan, orang yang bangga akan dirinya dan juga sombong tidak pernah melihat pada kaki mereka. Itu juga merupakan tanda bahwa seseorang mengikuti jejak Nabi (s), di mana ketika beliau berjalan, beliau tidak pernah menoleh ke kiri atau ke kanan, tetapi hanya melihat pada kakinya, bergerak dengan mantap menuju tujuannya. Itu juga merupakan tanda bagi ketinggian maqam ketika seorang salik tidak melihat ke mana-mana, kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seseorang yang berniat untuk mencapai tujuannya dengan cepat, begitu pula dengan seorang salik di Jalan Allah, ia akan bergerak dengan cepat tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak melihat pada kesenangan duniawi, tetapi memandang pada Hadirat Ilahi.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) berkata di dalam surat ke-295 di dalam Maktubat-nya:
“Pandangan mata mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan mata. Kenaikan menuju maqam yang tinggi pertama dengan Penglihatan, diikuti oleh Langkah. Ketika Langkah mencapai level Kenaikan Pandangan, maka Pandangan akan diangkat menuju level berikutnya, yang pada gilirannya akan diikuti oleh Langkah. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai level Kesempurnaan di mana ia akan menarik Langkahnya. Kita katakan, ‘Ketika Langkah mengikuti Pandangan, murid telah mencapai keadaan Siap untuk mendekati Jejak Nabi (s). Jadi Jejak langkah Nabi (s) dapat dianggap sebagai Asal dari semua langkah.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika kita melihat pada kesalahan teman-teman kita, maka kita tidak akan mempunyai teman, karena tidak ada orang yang sempurna.”
Perjalanan Pulang ("safar dar watan")
Itu artinya perjalanan kembali ke kampung halaman. Itu artinya seorang salik menempuh perjalanan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Diriwayatkan bahwa Nabi (s) bersabda, “Aku menuju Tuhanku dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik dan dari satu maqam menuju maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa seorang salik harus menempuh perjalanan dari hawa nafsu untuk hal-hal yang terlarang menjadi nafsu yang baik, yaitu keinginan untuk mencapai Hadirat Ilahi.
Tarekat Naqsybandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori: perjalanan eksternal dan perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam mencari seorang mursyid yang sempurna untuk membawa dan mengantarkan kalian menuju tujuan kalian. Perjalanan ini membuat kalian beranjak ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Seorang salik ketika sudah menemukan seorang mursyid yang sempurna dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal banyak kesulitan yang tidak dapat dihadapi oleh para pemula sehingga mereka jatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, karena mereka lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan internal. Seorang salik harus meninggalkan perilaku rendahnya dan beranjak menuju perilaku yang terpuji, membuang semua nafsu duniawi dari dalam kalbunya. Ia akan diangkat dari keadaan yang belum suci menuju keadaan yang suci dan murni. Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Ia telah memurnikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan bagaikan kristal, mengkilap bagaikan cermin, memperlihatkan hakikat dari semua hal yang penting dalam kehidupan sehari-harinya, tanpa perlu melakukan perbuatan eksternal dari dirinya. Dalam kalbunya akan muncul segala yang diperlukan di dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Khalwat di dalam Keramaian ("khalwat dar anjuman")
"Khalwat" artinya mengasingkan diri. Itu artinya tampak luar bersama orang-orang, tetapi batinnya selalu bersama Tuhan. Ada dua kategori khalwat, yaitu: khalwat eksternal dan khalwat internal.
Di dalam khalwat eksternal seorang salik mengasingkan diri di dalam sebuah tempat pribadi yang kosong, tidak ada orang di sana. Ia tinggal sendiri di sana, berkonsentrasi dan bertafakur pada zikrullah untuk mencapai keadaan di mana Alam Surgawi menjadi terwujud. Ketika kalian membelenggu indera eksternal, maka indera internal (batin) kalian menjadi bebas untuk mencapai Alam Surgawi. Ini akan membawa kalian pada kategori kedua, yaitu khalwat internal.
Khalwat internal maksudnya khalwat di antara orang-orang. Di sana kalbu seorang salik harus hadir dengan Tuhannya dan absen dari makhluk lainnya ketika secara fisik ia hadir bersama mereka. Dikatakan, “Seorang salik akan begitu dalam terlibat dengan zikir khafi di dalam kalbunya sehingga bahkan jika ia memasuki keramaian orang, ia tidak mendengar suara mereka. Keadaan zikir melingkupinya. Tajali dari Hadirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak menyadari yang lain selain Tuhannya. Ini adalah keadaan khalwat tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [24:37]. Inilah jalan Tarekat Naqsybandi.
Khalwat utama dari para syekh dalam Tarekat Naqsybandi adalah khalwat internal. Mereka bersama Tuhan mereka dan sekaligus bersama orang banyak. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, “Aku mempunyai dua sisi: satu menghadap Penciptaku dan yang satunya menghadap ciptaan.” Syah Naqsyband (q) menekankan kebaikan dalam kebersamaan ketika beliau mengatakan, “Thariqatuna ash-shuhbat wa ‘l-khayru fi ‘l-jam`iyyat ("Jalan kita adalah persahabatan dan kebaikan ada di dalam jemaah). Dikatakan bahwa seorang mukmin yang dapat bergaul dengan masyarakat dan memikul kesulitan mereka adalah lebih baik daripada yang seorang mukmin yang menyendiri dari orang-orang. Mengenai hal yang sensitif ini, Imam Rabbani (q) berkata, “Patut diketahui bahwa seorang salik pada awalnya dapat menggunakan khalwat eksternal untuk mengasingkan diri dari orang-orang, untuk beribadah dan berkonsentrasi pada Allah (swt), sampai ia mencapai keadaan yang lebih tinggi. Pada saat itu ia akan dinasihati oleh syekhnya, yang dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz dikatakan, ‘Kesempurnaan itu bukan dilihat dari peragaan karamah, tetapi kesempurnaan adalah untuk duduk di antara orang banyak, melakukan jual beli, menikah dan mempunyai anak; namun tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan dalam sekejap.’”
Zikir Esensial ("yad kard")
Makna dari ‘yad’ adalah Zikir. Makna dari ‘kard’ adalah esens dari zikir. Seorang salik harus melakukan zikir dengan negasi/penyangkalan dan afirmasi/penegasan di lidahnya sampai ia mencapai keadaan kontemplasi di dalam kalbunya (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan membaca setiap hari negasi (LA ILAHA) dan afirmasi (ILLALLAH) di lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan elemen-elemen yang menodai dan membuat karat pada kalbu. Zikir ini memoles kalbu dan membawa sang salik ke dalam keadaan Tajali. Ia harus menjaga zikir harian itu, baik dengan kalbu maupun dengan lidahnya, mengulangi Asma ALLAH, Asma esens/utama dari Tuhan yang mencakup seluruh Asmaullah wal Sifaat, atau melalui negasi dan afirmasi dengan mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH.
Zikir harian ini akan membawa sang salik ke dalam hadirat sempurna dari Dzat yang Mahasuci.
Zikir dengan negasi dan afirmasi, dalam tata cara guru-guru Tarekat Naqsybandi menghendaki sang salik untuk menutup matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, mengelem lidahnya pada langit-langit mulutnya dan menahan napasnya. Ia harus melakukan zikir melalui kalbunya, dengan negasi dan afirmasi, memulainya dengan kata LA (“Tidak”). Ia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusarnya hingga ke otaknya. Ketika sampai di otak, kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAHA (“tuhan/ilah”), bergerak dari otaknya ke pundak kiri dan menabrak kalbu dengan kata ILLALLAH (“kecuali Allah”). Ketika kata itu menabrak kalbu energi dan panasnya tersebar ke seluruh tubuh. Seorang salik yang telah menyangkal semua yang ada di dunia ini dengan kata LA ILAHA, lalu menegaskan dengan kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah lenyap dalam Hadirat Ilahi.
Sang salik mengulangi ini dalam setiap napasnya, termasuk ketika menarik dan menghembuskan napas, selalu memasukannya ke dalam kalbu sesuai dengan jumlah bilangan yang telah ditentukan oleh syekhnya. Pada akhirnya sang salik akan mencapai keadaan di mana dalam satu napas ia dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH dua puluh tiga kali. Seorang syekh yang sempurna dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH tak terhingga banyaknya dalam setiap napas. Makna dari praktik ini adalah bahwa tujuan satu-satunya adalah ALLAH dan tidak ada tujuan lain bagi kita. Dengan melihat Hadirat Ilahi sebagai satu-satunya eksistensi yang ada, ini akan memasukkan kecintaan pada Nabi (s) ke dalam kalbu murid dan pada saat itu ia akan mengucapkan, “MUHAMMADUN RASULULLAH” (“Muhammad adalah Utusan Allah”) yang merupakan kalbu dari Hadirat Ilahi.
Kembali ("baz gasht")
Ini adalah suatu keadaan di mana seorang salik, yang berzikir dengan negasi dan afirmasi (penyangkalan dan penegasan), sampai pada pemahaman akan ungkapan Nabi Suci (s), “ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi” (“Wahai Tuhanku, Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu adalah yang kudambakan). Pembacaan dari ungkapan ini akan meningkatkan kesadaran sang salik tentang Keesaan Allah, sampai ia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluk) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, ke manapun ia memandang, adalah Allah ash-Shamad. Murid Naqsybandi membaca zikir semacam ini untuk mengekstrak rahasia Al-Ahad dari kalbunya, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadirat Allah yang Unik. Para pemula tidak berhak untuk meninggalkan zikir ini bila ia tidak mendapati kekuatan itu muncul di dalam kalbunya. Ia harus tetap membaca zikir ini mengikuti (meniru) Syekhnya, karena Nabi (s) telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan, ia akan menjadi bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya, suatu hari akan mendapati rahasia itu terbuka bagi kalbunya.
Arti dari kata “baz gasht” adalah kembali kepada Allah `Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sepenuhnya dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan kerendahan hati sepenuhnya dengan memberikan puji-pujian kepada-Nya. Itulah alasan Nabi (s) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat-Mu sebagaimana Engkau patut diingat, Ya Madzkur, Wahai Dzat Yang Patut Diingat.”). Sang salik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam zikirnya, bila ia tidak melakukan zikirnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayazid [al-Bisthami]: “Ketika aku mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatanku terhadap-Nya.” Sang pencari tidak dapat melakukan zikir oleh dirinya sendiri. Ia harus mengetahui bahwa Allah justru yang sedang melakukan Zikir melalui dirinya itu.
Perhatian ("nigah dasht")
"Nigah" artinya pandangan. Itu artinya bahwa seorang salik harus mengawasi kalbunya dan menjaganya dengan mencegah pikiran buruk masuk ke dalamnya. Kecenderungan buruk akan menghalangi kalbu dari penyatuan diri dengan Hadirat Ilahi. Di dalam Naqsybandiyya diakui bahwa jika seorang salik dapat menjaga kalbunya dari kecenderungan yang buruk selama lima belas menit, maka itu adalah suatu pencapaian yang besar. Untuk ini ia akan dianggap sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk menjaga kalbu dari pikiran buruk dan melindunginya dari kecenderungan yang rendah. Barang siapa yang mencapai kedua sasaran ini, ia akan mengenal kalbunya, dan barang siapa yang mengenal kalbunya maka ia akan mengenal Tuhannya. Nabi Suci (s) bersabda, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Seorang syekh Sufi berkata, “Karena aku menjaga kalbuku selama sepuluh malam, kalbuku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”
Abu Bakr al-Qattani berkata, “Aku adalah seorang penjaga di pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membukanya untuk siapapun kecuali untuk Allah `Azza wa Jalla, hingga kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah `Azza wa Jalla.”
Abul Hassan al-Kharqani berkata, “Sudah 40 tahun Allah melihat ke dalam kalbuku dan tidak mendapati siapapun kecuali Diri-Nya sendiri. Dan tidak ada ruangan dalam kalbuku kecuali untuk Allah.”
Ingatan ("yada dasht")
Itu artinya bahwa seorang yang melakukan zikir menjaga kalbunya dengan negasi dan afirmasi di dalam setiap napasnya tanpa meninggalkan Hadirat Allah `Azza wa Jalla. Seorang salik harus menjaga kalbunya agar tetap berada dalam Hadirat Allah secara terus-menerus. Ini akan membuatnya dapat menyadari dan merasakan Cahaya Esensi yang Unik dari Allah (anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Ia kemudian akan membuang tiga dari empat bentuk pikiran: pikiran egoistik, pikiran jahat, pikiran malaikat dan mempertahankan dan menegaskan bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan mengantarkan sang salik kepada kondisi kesempurnaan tertinggi dengan membuang semua khayalannya dan hanya merangkul hakikat, yaitu: Keesaan Allah, `Azza wa Jalla.
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Syekh Ahmad ash-Shiddiq, yang berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Awliya Terbesar”), Syekh Arif Awliya al-Kabir (q) yang berasal dari Bukhara, beliau adalah seorang ulama besar baik dalam ilmu lahiriah maupun batiniah. Khalifah ketiga adalah Syekh Sulayman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah Syekh `Arif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempatnyalah `Abdul Khaliq (q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abdul-khaliq-al-ghujdawani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Ayah beliau adalah Syekh `Abdul Jamil, salah seorang ulama yang termasyhur di bidang ilmu lahiriah dan batiniah di zaman Bizantium. Ibunya adalah seorang putri keturunan Raja Seljuk Anatolia.
Abdul Khaliq (q) lahir di Ghujdawan, sebuah kota dekat Bukhara yang kini dikenal sebagai Uzbekistan. Sepanjang hidupnya beliau tinggal di sana hingga akhir hayatnya. Beliau juga dimakamkan di sana. Beliau adalah keturunan dari Imam Malik (r). Di masa kanak-kanak beliau mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, ‘ilm al-Hadits, bahasa Arab, dan Fiqh bersama Syekh Sadruddin. Setelah menguasai ilmu Syari`ah, beliau mendalami jihad an-nafs, hingga beliau mencapai suatu maqam kemurnian yang tinggi. Beliau kemudian pindah ke Damaskus dan mendirikan sebuah madrasah dan melahirkan banyak lulusannya. Mereka menjadi ahli fiqh dan hadits serta tasawwuf dan menyebar ke kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah.
Penulis kitab al-Hada’iq al-Wardiyya memberitahu kita bagaimana beliau sampai pada maqam yang tinggi dalam Silsilah Keemasan, “Beliau bertemu Khidr (a) dan menemaninya. Beliau memperoleh ilmu laduni darinya melengkapi ilmu spiritual yang beliau peroleh dari gurunya, Syekh Yusuf al-Hamadani (q).”
“Suatu hari ketika beliau sedang membaca Al-Qur’an di hadapan Syekh Sadruddin, beliau sampai pada ayat berikut “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas-batas.” [7:55]. Ayat ini mendorongnya untuk bertanya pada Syekh Sadruddin mengenai hakikat Zikir Khafi dan metodenya. Abdul Khaliq bertanya, “Di dalam Zikir Jahar, kau harus menggunakan lidahmu dan orang bisa mendengar dan melihatmu, sedangkan pada Zikir Khafi dalam hati, Setan mungkin dapat mendengarmu karena Nabi (s) bersabda dalam hadits suci, ‘Setan dapat bergerak dengan bebas dalam pembuluh nadi anak cucu Adam.’ Lalu bagaimana hakikat ‘Berdoalah dalam kerahasiaan hatimu?’” Syekhnya menjawab, ‘Wahai anakku, ini adalah hal yang tersembunyi, ini adalah ilmu laduni, dan aku berharap bahwa Allah `Azza wa Jalla mengirimkan salah seorang wali-Nya kepadamu untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai hakikat dari zikir rahasia ini.’
“Sejak saat itu Syekh Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) menunggu doa itu dikabulkan. Suatu hari beliau bertemu Khidr (a) yang mengatakan kepadanya, “Sekarang wahai anakku, aku mempunyai izin dari Nabi (s) untuk mengilhamkan dirimu baik di lidah maupun di dalam hati mengenai zikir yang tersembunyi dengan jumlahnya.” Khidr (a) memerintahkannya untuk menenggelamkan dirinya ke dalam air dan mulai berzikir di dalam hatinya (LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL ALLAH). Beliau melakukan bentuk zikir ini setiap hari hingga Cahaya Ilahi, Hikmah Ilahi, Cinta Ilahi dan Daya Tarik Ilahi dibukakan dalam kalbunya. Karena karunia-karunia ini, orang-orang mulai tertarik pada Abdul Khaliq dan berusaha untuk mengikuti jejaknya, dan ia membawa mereka untuk mengikuti jejak Nabi (s).
“Beliau adalah yang pertama dalam Tarekat yang mulia ini yang menggunakan Zikir Khafi dan beliau dianggap sebagai penghulu dari bentuk zikir tersebut. Ketika syekh spiritualnya, al-Ghawts ar-Rabbani, Yusuf al-Hamadani (q) datang ke Bukhara, beliau menghabiskan waktunya untuk berkhidmah kepadanya. Beliau berkata mengenai Syekh Yusuf al-Hamadani (q), ‘Ketika aku berumur 22 tahun, Syekh Yusuf al-Hamadani (q) memerintahkan Khidr (a) untuk terus membesarkan aku dan mengawasiku hingga akhir hayatku.’”
Syekh Muhammad Parsa, seorang sahabat dan penulis biografi Syah Naqsyband (q) mengatakan di dalam kitabnya Faslul-Kitab, bahwa metode Khwaja Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) dalam zikir dan ajarannya tentang Delapan Prinsip dianut dan diagungkan oleh keempatpuluh tarekat sebagai jalan kebenaran dan kesetiaan, jalan kesadaran dalam mengikuti Sunnah Nabi (s), dengan meninggalkan bid’ah dan dengan hati-hati menentang keinginan rendah (dari ego). Karena hal itu beliau menjadi Mursyid di zamannya dan Yang Pertama di jalan spiritualitas ini.
Reputasinya sebagai seorang Guru spiritual yang cemerlang semakin meluas. Berbondong-bondong orang datang mengunjunginya dari segala penjuru. Beliau mengumpulkan murid-murid yang tulus dan setia di sekelilingnya untuk dibimbing dan dilatih dalam pengawasannya. Terkait hal ini, beliau menulis surat kepada putranya, al-Qalb al-Mubarak Syekh al-Awliya Kabir, untuk menentukan adab para pengikut tarekat ini. Beliau berkata,
“Wahai anakku, aku mendorongmu untuk memperoleh ilmu dan adab serta takwa kepada Allah. Ikuti jalannya para Salafus saleh (generasi awal). Berpegang teguh pada Sunnah Nabi (s), dan menjaga hubungan dengan para Mukhlisin. Bacalah kitab fiqh, Sirah Nabawiyah dan tafsir Qur’an. Hindari para penipu yang bodoh, dan jagalah salat berjamaah. Waspadalah terhadap ketenaran dan bahayanya. Bergaullah dengan orang-orang biasa dan jangan mencari jabatan. Jangan menjalin kedekatan dengan raja-raja dan anak-anak mereka atau dengan orang-orang yang melakukan bid’ah. Jangan banyak bicara, jangan makan dan tidur berlebihan. Menjauhlah dari orang-orang seperti halnya engkau lari dari singa. Jaga khalwatmu. Makanlah dari makanan yang halal dan tinggalkan perbuatan yang meragukan kecuali dalam keadaan darurat. Jauhi cinta dunia yang rendah karena mungkin ia dapat membuatmu takjub. Jangan banyak tertawa, karena banyak tertawa akan menjadi kematian bagi kalbu. Jangan mempermalukan siapapun. Jangan memuji diri sendiri. Jangan berdebat dengan orang-orang. Jangan meminta kepada siapapun kecuali Allah. Jangan meminta siapapun untuk melayanimu. Layani syekhmu dengan uangmu, kekuatanmu, dan jangan mengkritik tindakan mereka. Siapapun yang mengkritik mereka tidak akan selamat, karena ia tidak memahami mereka. Jadikan perbuatanmu tulus dengan niat hanya untuk Allah. Berdoalah kepada-Nya dengan kerendahan hati. Jadikan fiqh sebagai urusanmu, masjid sebagai rumahmu, dan Sahabatmu sebagai tuanmu.”
Prinsip-Prinsip Tarekat Naqsybandi
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mengemukakan frasa-frasa berikut ini yang sekarang dianggap sebagai prinsip-prinsip Tarekat Naqsybandi:
Bernapas dengan Sadar ("Hosh dar dam")
Hosh artinya “pikiran.” Dar artinya “di dalam.” Dam artinya “napas.” Itu artinya, menurut `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),
"Seorang pencari yang bijaksana harus menjaga napasnya dari kelalaian, ketika menarik dan menghembuskan napasnya, ia menjaga agar kalbunya senantiasa dalam Hadirat Ilahi; dan ia harus menghidupkan napasnya dengan ibadah dan pengabdian serta mempersembahkan ibadahnya itu kepada Tuhannya dengan penuh gairah, karena setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan Kehadiran adalah hidup dan terhubung dengan Hadirat Ilahi. Setiap napas yang ditarik dan dihembuskan dengan kelalaian adalah mati, dan tidak tersambung dengan Hadirat Ilahi."
Ubaidullah al-Ahrar (q) berkata, “Misi terpenting bagi seorang salik dalam Tarekat ini adalah untuk menjaga napasnya, dan orang yang tidak dapat menjaga napasnya, akan dikatakan bahwa ‘ia telah kehilangan dirinya.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Tarekat ini dibangun dengan napas. Jadi seorang salik wajib menjaga napasnya pada saat menarik dan menghembuskannya dan lebih dari itu, menjaga napasnya dalam interval antara saat menarik dan menghembuskan napasnya.”
Syekh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan di dalam kitabnya, Fawatih al-Jamal, "Zikir mengalir di dalam tubuh setiap makhluk hidup dengan kebutuhan akan napas mereka—bahkan tanpa disengaja—sebagai sebuah tanda kepatuhan, yang merupakan bagian dari penciptaan mereka. Melalui napas mereka, bunyi huruf “Ha” dari Asmaullah Allah dikeluarkan dalam setiap tarikan dan hembusan napas dan itu merupakan sebuah tanda dari Esensi Gaib mengungkapkan penekanan pada Keesaan Tuhan. Oleh sebab itu diperlukan kehadiran dalam napas itu, untuk menyadari (merasakan) Esensi Sang Pencipta."
Asma 'Allah' yang mencakup kesembilan puluh sembilan Asma wal Sifat terdiri atas empat huruf: Alif, Lam, Lam dan Ha yang sama (ALLAH). Para pengikut Sufisme mengatakan bahwa Esensi Gaib Mutlak dari Allah `Azza wa Jalla diekspresikan oleh huruf terakhir yang diberi harakat Alif, yaitu "Ha." Itu merepresentasikan Kegaiban Mutlak "Dia" dari Allah `Azza wa Jalla (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah `azza wa jall). Huruf Lam pertama adalah untuk identifikasi (ta`rif) dan huruf Lam kedua untuk penekanan (mubalagha).
Menjaga napas kalian dari kelalaian akan mengantarkan kalian pada Hadirat penuh, dan Hadirat penuh akan mengantarkan kalian pada Penglihatan penuh, dan Penglihatan penuh akan mengantarkan kalian pada Tajali Asmaul Husna wal Sifat sepenuhnya. Allah mengantarkan kalian menuju Tajali Asmaul Husna wal Sifat dan Sifat-Sifat-Nya yang lain, karena “Sifat-Sifat Allah adalah tak terhingga, sejumlah bilangan napas manusia.”
Hendaknya diketahui oleh semua orang bahwa menjaga napas dari kelalaian merupakan hal yang sulit bagi seorang salik. Oleh sebab itu mereka harus menjaganya dengan beristighfar karena itu akan memurnikan dan mensucikannya dan mempersiapkan dirinya bagi Tajali Allah yang hakiki di mana-mana.
Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar qadam")
Itu artinya seorang salik ketika berjalan harus mengarahkan pandangan matanya ke kakinya. Ke mana pun kakinya melangkah, matanya harus tertuju ke sana. Ia tidak diperkenankan untuk menoleh ke sana ke sini, melihat ke kiri atau ke kanan, atau ke depannya, karena pandangan yang tidak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan hijab di dalam kalbu tercipta oleh gambar-gambar yang ditransmisikan dari mata kalian ke dalam pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat mengganggu kalbu kalian dengan turbulensi karena berbagai macam keinginan yang telah tercetak di dalam pikiran kalian. Gambaran-gambaran ini bagaikan hijab di dalam kalbu. Mereka menghalangi Cahaya dari Hadirat Ilahiah. Itulah sebabnya mengapa para Awliya tidak membolehkan para pengikut mereka, yang telah memurnikan kalbu mereka melalui zikir yang konstan, untuk melihat selain daripada kaki mereka. Kalbu mereka bagaikan cermin, yang memantulkan dan menerima setiap gambar dengan mudah. Ini dapat mengganggu mereka dan membawa pengotor ke dalam kalbu mereka. Jadi seorang salik diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar tidak diserang oleh panah-panah Setan.
Merendahkan pandangan juga merupakan tanda ketawadukan, orang yang bangga akan dirinya dan juga sombong tidak pernah melihat pada kaki mereka. Itu juga merupakan tanda bahwa seseorang mengikuti jejak Nabi (s), di mana ketika beliau berjalan, beliau tidak pernah menoleh ke kiri atau ke kanan, tetapi hanya melihat pada kakinya, bergerak dengan mantap menuju tujuannya. Itu juga merupakan tanda bagi ketinggian maqam ketika seorang salik tidak melihat ke mana-mana, kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seseorang yang berniat untuk mencapai tujuannya dengan cepat, begitu pula dengan seorang salik di Jalan Allah, ia akan bergerak dengan cepat tanpa menoleh ke kiri atau ke kanan, tidak melihat pada kesenangan duniawi, tetapi memandang pada Hadirat Ilahi.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) berkata di dalam surat ke-295 di dalam Maktubat-nya:
“Pandangan mata mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan mata. Kenaikan menuju maqam yang tinggi pertama dengan Penglihatan, diikuti oleh Langkah. Ketika Langkah mencapai level Kenaikan Pandangan, maka Pandangan akan diangkat menuju level berikutnya, yang pada gilirannya akan diikuti oleh Langkah. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai level Kesempurnaan di mana ia akan menarik Langkahnya. Kita katakan, ‘Ketika Langkah mengikuti Pandangan, murid telah mencapai keadaan Siap untuk mendekati Jejak Nabi (s). Jadi Jejak langkah Nabi (s) dapat dianggap sebagai Asal dari semua langkah.’”
Syah Naqsyband (q) berkata, “Jika kita melihat pada kesalahan teman-teman kita, maka kita tidak akan mempunyai teman, karena tidak ada orang yang sempurna.”
Perjalanan Pulang ("safar dar watan")
Itu artinya perjalanan kembali ke kampung halaman. Itu artinya seorang salik menempuh perjalanan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Diriwayatkan bahwa Nabi (s) bersabda, “Aku menuju Tuhanku dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik dan dari satu maqam menuju maqam yang lebih tinggi.” Dikatakan bahwa seorang salik harus menempuh perjalanan dari hawa nafsu untuk hal-hal yang terlarang menjadi nafsu yang baik, yaitu keinginan untuk mencapai Hadirat Ilahi.
Tarekat Naqsybandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori: perjalanan eksternal dan perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam mencari seorang mursyid yang sempurna untuk membawa dan mengantarkan kalian menuju tujuan kalian. Perjalanan ini membuat kalian beranjak ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Seorang salik ketika sudah menemukan seorang mursyid yang sempurna dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal banyak kesulitan yang tidak dapat dihadapi oleh para pemula sehingga mereka jatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, karena mereka lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan internal. Seorang salik harus meninggalkan perilaku rendahnya dan beranjak menuju perilaku yang terpuji, membuang semua nafsu duniawi dari dalam kalbunya. Ia akan diangkat dari keadaan yang belum suci menuju keadaan yang suci dan murni. Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Ia telah memurnikan kalbunya, membuatnya jernih bagaikan air, transparan bagaikan kristal, mengkilap bagaikan cermin, memperlihatkan hakikat dari semua hal yang penting dalam kehidupan sehari-harinya, tanpa perlu melakukan perbuatan eksternal dari dirinya. Dalam kalbunya akan muncul segala yang diperlukan di dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Khalwat di dalam Keramaian ("khalwat dar anjuman")
"Khalwat" artinya mengasingkan diri. Itu artinya tampak luar bersama orang-orang, tetapi batinnya selalu bersama Tuhan. Ada dua kategori khalwat, yaitu: khalwat eksternal dan khalwat internal.
Di dalam khalwat eksternal seorang salik mengasingkan diri di dalam sebuah tempat pribadi yang kosong, tidak ada orang di sana. Ia tinggal sendiri di sana, berkonsentrasi dan bertafakur pada zikrullah untuk mencapai keadaan di mana Alam Surgawi menjadi terwujud. Ketika kalian membelenggu indera eksternal, maka indera internal (batin) kalian menjadi bebas untuk mencapai Alam Surgawi. Ini akan membawa kalian pada kategori kedua, yaitu khalwat internal.
Khalwat internal maksudnya khalwat di antara orang-orang. Di sana kalbu seorang salik harus hadir dengan Tuhannya dan absen dari makhluk lainnya ketika secara fisik ia hadir bersama mereka. Dikatakan, “Seorang salik akan begitu dalam terlibat dengan zikir khafi di dalam kalbunya sehingga bahkan jika ia memasuki keramaian orang, ia tidak mendengar suara mereka. Keadaan zikir melingkupinya. Tajali dari Hadirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak menyadari yang lain selain Tuhannya. Ini adalah keadaan khalwat tertinggi dan dianggap sebagai khalwat yang sebenarnya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [24:37]. Inilah jalan Tarekat Naqsybandi.
Khalwat utama dari para syekh dalam Tarekat Naqsybandi adalah khalwat internal. Mereka bersama Tuhan mereka dan sekaligus bersama orang banyak. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, “Aku mempunyai dua sisi: satu menghadap Penciptaku dan yang satunya menghadap ciptaan.” Syah Naqsyband (q) menekankan kebaikan dalam kebersamaan ketika beliau mengatakan, “Thariqatuna ash-shuhbat wa ‘l-khayru fi ‘l-jam`iyyat ("Jalan kita adalah persahabatan dan kebaikan ada di dalam jemaah). Dikatakan bahwa seorang mukmin yang dapat bergaul dengan masyarakat dan memikul kesulitan mereka adalah lebih baik daripada yang seorang mukmin yang menyendiri dari orang-orang. Mengenai hal yang sensitif ini, Imam Rabbani (q) berkata, “Patut diketahui bahwa seorang salik pada awalnya dapat menggunakan khalwat eksternal untuk mengasingkan diri dari orang-orang, untuk beribadah dan berkonsentrasi pada Allah (swt), sampai ia mencapai keadaan yang lebih tinggi. Pada saat itu ia akan dinasihati oleh syekhnya, yang dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz dikatakan, ‘Kesempurnaan itu bukan dilihat dari peragaan karamah, tetapi kesempurnaan adalah untuk duduk di antara orang banyak, melakukan jual beli, menikah dan mempunyai anak; namun tidak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan dalam sekejap.’”
Zikir Esensial ("yad kard")
Makna dari ‘yad’ adalah Zikir. Makna dari ‘kard’ adalah esens dari zikir. Seorang salik harus melakukan zikir dengan negasi/penyangkalan dan afirmasi/penegasan di lidahnya sampai ia mencapai keadaan kontemplasi di dalam kalbunya (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan membaca setiap hari negasi (LA ILAHA) dan afirmasi (ILLALLAH) di lidah, antara 5.000 dan 10.000 kali, menyingkirkan elemen-elemen yang menodai dan membuat karat pada kalbu. Zikir ini memoles kalbu dan membawa sang salik ke dalam keadaan Tajali. Ia harus menjaga zikir harian itu, baik dengan kalbu maupun dengan lidahnya, mengulangi Asma ALLAH, Asma esens/utama dari Tuhan yang mencakup seluruh Asmaullah wal Sifaat, atau melalui negasi dan afirmasi dengan mengucapkan LA ILAHA ILLALLAH.
Zikir harian ini akan membawa sang salik ke dalam hadirat sempurna dari Dzat yang Mahasuci.
Zikir dengan negasi dan afirmasi, dalam tata cara guru-guru Tarekat Naqsybandi menghendaki sang salik untuk menutup matanya, menutup mulutnya, merapatkan giginya, mengelem lidahnya pada langit-langit mulutnya dan menahan napasnya. Ia harus melakukan zikir melalui kalbunya, dengan negasi dan afirmasi, memulainya dengan kata LA (“Tidak”). Ia mengangkat kata “Tidak” ini dari bawah pusarnya hingga ke otaknya. Ketika sampai di otak, kata “Tidak” mengeluarkan kata ILAHA (“tuhan/ilah”), bergerak dari otaknya ke pundak kiri dan menabrak kalbu dengan kata ILLALLAH (“kecuali Allah”). Ketika kata itu menabrak kalbu energi dan panasnya tersebar ke seluruh tubuh. Seorang salik yang telah menyangkal semua yang ada di dunia ini dengan kata LA ILAHA, lalu menegaskan dengan kata ILLALLAH bahwa semua yang ada telah lenyap dalam Hadirat Ilahi.
Sang salik mengulangi ini dalam setiap napasnya, termasuk ketika menarik dan menghembuskan napas, selalu memasukannya ke dalam kalbu sesuai dengan jumlah bilangan yang telah ditentukan oleh syekhnya. Pada akhirnya sang salik akan mencapai keadaan di mana dalam satu napas ia dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH dua puluh tiga kali. Seorang syekh yang sempurna dapat mengulang zikir LA ILAHA ILLALLAH tak terhingga banyaknya dalam setiap napas. Makna dari praktik ini adalah bahwa tujuan satu-satunya adalah ALLAH dan tidak ada tujuan lain bagi kita. Dengan melihat Hadirat Ilahi sebagai satu-satunya eksistensi yang ada, ini akan memasukkan kecintaan pada Nabi (s) ke dalam kalbu murid dan pada saat itu ia akan mengucapkan, “MUHAMMADUN RASULULLAH” (“Muhammad adalah Utusan Allah”) yang merupakan kalbu dari Hadirat Ilahi.
Kembali ("baz gasht")
Ini adalah suatu keadaan di mana seorang salik, yang berzikir dengan negasi dan afirmasi (penyangkalan dan penegasan), sampai pada pemahaman akan ungkapan Nabi Suci (s), “ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi” (“Wahai Tuhanku, Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu adalah yang kudambakan). Pembacaan dari ungkapan ini akan meningkatkan kesadaran sang salik tentang Keesaan Allah, sampai ia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluk) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, ke manapun ia memandang, adalah Allah ash-Shamad. Murid Naqsybandi membaca zikir semacam ini untuk mengekstrak rahasia Al-Ahad dari kalbunya, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadirat Allah yang Unik. Para pemula tidak berhak untuk meninggalkan zikir ini bila ia tidak mendapati kekuatan itu muncul di dalam kalbunya. Ia harus tetap membaca zikir ini mengikuti (meniru) Syekhnya, karena Nabi (s) telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan, ia akan menjadi bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya, suatu hari akan mendapati rahasia itu terbuka bagi kalbunya.
Arti dari kata “baz gasht” adalah kembali kepada Allah `Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sepenuhnya dan tunduk kepada Kehendak-Nya, dan kerendahan hati sepenuhnya dengan memberikan puji-pujian kepada-Nya. Itulah alasan Nabi (s) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka haqqa dzikrika ya Madzkur (“Kami tidak Mengingat-Mu sebagaimana Engkau patut diingat, Ya Madzkur, Wahai Dzat Yang Patut Diingat.”). Sang salik tidak dapat datang ke Hadirat Allah dalam zikirnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam zikirnya, bila ia tidak melakukan zikirnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bayazid [al-Bisthami]: “Ketika aku mencapai-Nya, aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatanku terhadap-Nya.” Sang pencari tidak dapat melakukan zikir oleh dirinya sendiri. Ia harus mengetahui bahwa Allah justru yang sedang melakukan Zikir melalui dirinya itu.
Perhatian ("nigah dasht")
"Nigah" artinya pandangan. Itu artinya bahwa seorang salik harus mengawasi kalbunya dan menjaganya dengan mencegah pikiran buruk masuk ke dalamnya. Kecenderungan buruk akan menghalangi kalbu dari penyatuan diri dengan Hadirat Ilahi. Di dalam Naqsybandiyya diakui bahwa jika seorang salik dapat menjaga kalbunya dari kecenderungan yang buruk selama lima belas menit, maka itu adalah suatu pencapaian yang besar. Untuk ini ia akan dianggap sebagai seorang Sufi sejati. Sufisme adalah kekuatan untuk menjaga kalbu dari pikiran buruk dan melindunginya dari kecenderungan yang rendah. Barang siapa yang mencapai kedua sasaran ini, ia akan mengenal kalbunya, dan barang siapa yang mengenal kalbunya maka ia akan mengenal Tuhannya. Nabi Suci (s) bersabda, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Seorang syekh Sufi berkata, “Karena aku menjaga kalbuku selama sepuluh malam, kalbuku telah menjagaku selama dua puluh tahun.”
Abu Bakr al-Qattani berkata, “Aku adalah seorang penjaga di pintu kalbuku selama 40 tahun, dan aku tidak pernah membukanya untuk siapapun kecuali untuk Allah `Azza wa Jalla, hingga kalbuku tidak mengenali siapapun kecuali Allah `Azza wa Jalla.”
Abul Hassan al-Kharqani berkata, “Sudah 40 tahun Allah melihat ke dalam kalbuku dan tidak mendapati siapapun kecuali Diri-Nya sendiri. Dan tidak ada ruangan dalam kalbuku kecuali untuk Allah.”
Ingatan ("yada dasht")
Itu artinya bahwa seorang yang melakukan zikir menjaga kalbunya dengan negasi dan afirmasi di dalam setiap napasnya tanpa meninggalkan Hadirat Allah `Azza wa Jalla. Seorang salik harus menjaga kalbunya agar tetap berada dalam Hadirat Allah secara terus-menerus. Ini akan membuatnya dapat menyadari dan merasakan Cahaya Esensi yang Unik dari Allah (anwar adz-dzat al-Ahadiyya). Ia kemudian akan membuang tiga dari empat bentuk pikiran: pikiran egoistik, pikiran jahat, pikiran malaikat dan mempertahankan dan menegaskan bentuk pikiran keempat, yaitu haqqani atau pikiran kebenaran. Ini akan mengantarkan sang salik kepada kondisi kesempurnaan tertinggi dengan membuang semua khayalannya dan hanya merangkul hakikat, yaitu: Keesaan Allah, `Azza wa Jalla.
‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Syekh Ahmad ash-Shiddiq, yang berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya (“Awliya Terbesar”), Syekh Arif Awliya al-Kabir (q) yang berasal dari Bukhara, beliau adalah seorang ulama besar baik dalam ilmu lahiriah maupun batiniah. Khalifah ketiga adalah Syekh Sulayman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah Syekh `Arif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempatnyalah `Abdul Khaliq (q) meneruskan rahasia dari Silsilah Keemasan sebelum beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul-Awwal 575 H. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abdul-khaliq-al-ghujdawani-qaddasa-l-lahu-sirrah/)
Post a Comment Blogger Disqus