Mistikus Cinta

0
Mursyid Ke 10
Abul 'Abbas al-Khidr alayhi-s-salam

"Siapa pun yang memasuki Jalan tanpa pemandu akan membutuhkan seratus tahun untuk melakukan perjalanan dua hari.
Nabi berkata, 'Dengan cara ini, Kau tidak memiliki sahabat yang lebih setia daripada pekerjaanmu.'
Bagaimana ini bisa berhasil dan penghasilan ini di jalan kebenaran bisa dicapai tanpa seorang tuan, wahai ayah?
Dapatkah Kau mempraktekkan profesi paling kejam di dunia tanpa bimbingan seorang guru?
Siapa pun yang melakukan profesi tanpa seorang guru menjadi bahan tertawaan kota dan kota."

Rumi, Mathnavi.


Abul `Abbas adalah Khidr (a), yang Allah sebutkan di dalam kitab suci al-Qur’an [18:65.] sebagai seorang hamba Allah yang bertemu dengan Nabi Musa (a). Beliau menjaga dan mempertahankan Hakikat Silsilah Keemasan hingga mata rantai berikutnya di dalam Silsilah, `Abdul Khaliq (q) dapat memikul maqam yang telah ditakdirkan.

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Kitab mengenai Nabi-Nabi bahwa Nabi (s) bersabda, “Al-Khidr (‘Sang Manusia Hijau’) dinamakan seperti itu karena pada suatu hari beliau duduk di tanah putih yang tandus, dan beberapa saat kemudian tanah itu menjadi subur dan menghijau dengan berbagai tanaman.”

Peran penting Khidr (a) sebagai mursyid para awliya dapat diilustrasikan dengan pentingnya peranannya sebagai mursyidnya para Nabi, khususnya Nabi Musa (a). Nabi Musa (a) adalah salah seorang Nabi yang sangat kuat dan merupakan salah satu di antara Ulul Azmi yang diutus Allah ke dunia ini, yaitu: Nuh (a), Ibrahim (a), Musa (a), Isa (a) dan Muhammad (s). Namun demikian meskipun ilmunya tinggi, Allah membuatnya memerlukan Khidr (a), meskipun Khidr (a) bukan seorang Nabi. Hal ini mengajarkan kita, sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an bahwa, “Di atas tiap-tiap orang alim, ada lagi yang lebih alim dari mereka.” [12: 76].

Kisah Musa (a) bertemu Khidr (a) diriwayatkan di dalam Surat al-Kahfi ayat 65-82 sebagai berikut: Musa (a) dan khadimnya menemukan salah seorang hamba Allah yang Allah muliakan secara unik dan yang telah diajari ilmu dari Hadirat-Nya. Musa (a) berkata kepadanya, “Aku ingin menemanimu.” Beliau menjawab, “Kau tidak akan tahan untuk menemaniku.” Musa (a) terkejut dan bersikukuh bahwa beliau mampu melakukannya. Khidr (a) berkata, “Tidak, kau tidak bisa, tetapi jika kau tetap mau melakukannya, jangan bertanya apa yang kulakukan, tidak peduli apapun yang kau lihat aku melakukannya. Dengan syarat itu kau boleh mengikutiku; tetapi bila engkau mau bertanya, jangan ikuti aku.” Ini artinya bahwa Khidr (a) akan melakukan sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh Musa (a), meskipun beliau adalah seorang Rasul dari agama besar, beliau tetap memerlukan Khidr (a) untuk mengajarinya sesuatu.

Mereka menaiki perahu dan menyebrangi Sungai Tiberias di Palestina. Ketika mereka sampai di tengah sungai, Khidr membuat sebuah lubang di perahu itu agar ia tenggelam. Musa (a) tidak dapat menahan dirinya dan berkata, “Mengapa engkau melakukan perbuatan kekakak-kanakan ini? Orang-orang itu memberimu perahu tetapi mengapa sekarang kau melubanginya?” Khidr (a) menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan sanggup menemaniku?” Musa (a) masih belum mengerti, meskipun beliau adalah seorang Nabi dan dapat membaca apa yang ada di dalam kalbu, tetapi ada sesuatu yang terjadi dan beliau tidak mengerti. Mereka melanjutkan perjalanannya dan bertemu seorang anak laki-laki. Segera setelah bertemu anak itu, Khidr (a) membunuhnya. Musa (a) berkata, “Apa yang kau lakukan? Kau telah menenggelamkan perahu dan kini kau membunuh seorang anak? Ini menyalahi semua hukum!” Sekali lagi Khidr (a) berkata, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu menemaniku? Tiga kali kau bertanya, kita akan berpisah.” Kemudian mereka sampai di sebuah kota di mana mereka meminta makanan. Tidak ada seorang pun yang memberi mereka makanan, dan mereka malah mengusirnya. Di dalam perjalanannya mereka menemukan sebuah dinding yang hampir runtuh. Khidr (a) membangun kembali dinding itu dan membuatnya berdiri tegak. Musa (a) bertanya, “Mengapa engkau melakukan hal ini? Tidak ada orang yang mau menerima kita sebagai tamu mereka di kota ini, tetapi kau malah membangun dinding ini untuk mereka?” Khidr (a) berkata, “Ini adalah titik di mana kita akan berpisah, karena engkau tidak mengerti hikmah dari apa yang telah kulakukan.”

“Wahai Musa, apa yang kita lakukan adalah apa yang Allah katakan kepada kita untuk melakukannya. Pertama, aku menyebabkan perahu ini tenggelam karena ada seorang diktator yang ingin merampas semua perahu dari orang-orang miskin di pinggir kota ini. Agar orang-orang ini tidak kehilangan perahu mereka, aku membuatnya tenggelam. Diktator itu akan mati besok, dan besok mereka dapat mengambil kembali perahu mereka dan menggunakannya dengan aman. Aku membunuh anak itu karena Allah tidak ingin anak itu membuat orang tuanya, yang percaya kepadamu, meninggalkan agamanya. Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik daripadanya. Aku membangun dinding milik seseorang yang semasa hidupnya sangat dermawan kepada fakir miskin. Ketika ia meninggal dunia, ia meninggalkan harta yang dikubur di bawah dinding untuk kedua anaknya yang menjadi yatim. Bila dinding itu runtuh, orang-orang dapat menemukan harta itu dan mengambilnya. Aku membangunnya kembali agar kedua anak itu dapat mendapatkan hartanya kelak. Kau tidak mengerti hikmah Ilahi.”

Musa (a) saja yang dengan segala kehormatan yang dikaruniakan Allah kepadanya mendapati dirinya bodoh di hadapan Khidr (a). Lalu bagaimana dengan kita, yang tahu begitu sedikit dibandingkan dengan Musa (a), menganggap diri kita berilmu jika Musa (a) saja, dengan semua pengetahuan dari Hadirat Ilahi, tidak mampu memahami hal-hal tertentu? Ini adalah sebuah pelajaran dalam hal ketawadukan bagi manusia, khususnya bagi para ulama dan tokoh agama, yaitu bahwa “Ilmu kalian tidak layak untuk disebutkan. Ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi dan lebih luas dibanding kalian. Karena semakin tinggi atau dalam kalian menuntut ilmu, ada ilmu yang lebih tinggi dan lebih dalam dari tempat di mana kalian berdiri.”

Itulah sebabnya, ketika seseorang duduk untuk memberi nasihat, ia harus duduk dengan kerendahan hati sepenuhnya dan penghormatan penuh kepada para pendengarnya. Ia tidak bisa menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka, jika tidak, cahaya tidak akan pernah sampai pada kalbu mereka. Itulah sebabnya mengapa setiap orang juga memerlukan seorang mursyid, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Sang Mursyid dari para mursyid sendiri, Nabi (s), ketika beliau (s) menjadikan Jibril (a) sebagai pemandu dalam menerima Wahyu, dan ketika beliau mengambil pemandu pada saat hijrah ke Madinah.

Berikut ini bagaimana Ibn `Arabi (q) menjelaskan tiga perbuatan Khidr (a) yang disaksikan oleh Nabi Musa (a) di dalam kitab Fusus al-Hikam:

Musa (a) diuji ‘dengan banyak cobaan’ [20:41], yang pertama adalah pembunuhan seorang pria Mesir [28:14-15], suatu perbuatan yang beliau lakukan dengan Dorongan Ilahiah dan dengan persetujuan Tuhan jauh di dalam dirinya, namun demikian beliau tidak merasakan penderitaan di dalam jiwanya karena telah membunuh pria Mesir itu, meskipun beliau sendiri tidak dibebaskan sampai beliau menerima Wahyu mengenai hal itu. Karena semua Nabi dipelihara dari dosa tanpa mereka menyadarinya, bahkan sebelumnya mereka telah diperingatkan melalui ilhamnya.

Itulah alasannya bahwa al-Khidr (a) menunjukkan kepadanya mengenai menempatkan kematian pada anak itu, sebuah tindakan yang dicela oleh Musa (a) tanpa mengingat peristiwa pembunuhan pria Mesir sebelumnya. Atas peristiwa itu al-Khidr (a) berkata kepadanya, “Aku tidak melakukannya atas inisiatifku sendiri,” hal ini mengingatkan Musa (a) pada suatu situasi di mana beliau mendapati dirinya ketika beliau tidak tahu bahwa pada dasarnya beliau dipelihara dari semua perbuatan yang bertentangan dengan Perintah Ilahi.

Khidr (a) juga menunjukkan tindakan melubangi perahu, yang tampaknya dilakukan untuk mencelakakan orang, namun demikian makna tersembunyinya adalah menyelamatkan mereka dari tangan ‘orang yang jahat’. Beliau menunjukkan hal ini kepadanya sebagai analogi untuk bahtera (keranjang) yang telah menyembunyikan Musa (a) ketika beliau (semasa bayi) dihanyutkan ke sungai Nil; dilihat dari penampilannya, tindakan ini sama-sama membahayakannya, tetapi menurut makna tersembunyi, itu adalah untuk menyelamatkannya. Sekali lagi ibunya melakukan hal itu karena takut terhadap ‘orang yang jahat’, dalam hal ini Firaun, sehingga ia tidak akan membunuh anak itu dengan keji.

Musa (a) kemudian tiba di Madyan, di sana beliau bertemu dua gadis dan untuk mereka beliau menimba air dari sumur, tanpa meminta imbalan dari mereka. Kemudian beliau ‘menarik diri ke bawah suatu naungan’, artinya berlindung ke bawah Naungan Ilahiah, dan beliau berdoa, “Wahai Tuhanku, aku hanyalah seorang fakir dibandingkan berkah yang Kau limpahkan kepadaku.” Beliau mengkaitkan bahwa esensi dari kebaikan yang beliau lakukan kembali kepada Allah dan beliau menganggap dirinya hanya sebagai seorang fakir di hadapan Tuhannya. Dengan alasan itulah al-Khidr (a) membangun kembali dinding yang hampir runtuh itu di hadapannya tanpa meminta imbalan atas pekerjaannya hingga Musa (a) menegurnya; kemudian Khidr (a) mengingatkannya pada perbuatannya mengambilkan air tanpa meminta imbalan, dan hal-hal lain juga, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an; sehingga Rasulullah (s) menyesali bahwa Musa (a) tidak tetap tenang dan terus bersama al-Khidr (a), sehingga Allah (swt) bisa lebih banyak menceritakan tentang tindakan mereka.


Mengenai ucapan Khidr (a) kepada Sahl at-Tustari (q) menurut Ibn `Arabi (q)

Allah menciptakan Nur Muhammad (s) dari Nur-Nya... Cahaya ini tinggal di sisi Allah selama 100.000 tahun. Allah mengarahkan Pandangan-Nya kepada Cahaya itu 70.000 kali sepanjang siang dan malam, dan menambahkannya dari Cahaya-Nya setiap waktu. Kemudian, dari Cahaya itu, Dia menciptakan seluruh ciptaan.

Ketika Nabi (s) meninggalkan dunia ini dan belasungkawa berdatangan, mereka mendengar suara dari sudut rumah yang mengatakan, "Semoga kedamaian, rahmat Allah dan keberkahan tercurah bagi kalian, wahai ahlul bait Nabi (s)!” `Ali (r) kemudian bertanya apakah diantara mereka ada yang tahu siapa orang ini, lalu beliau mengatakan bahwa itu adalah Khidr (a). Baihaqi mentransmisikannya dalam Dala'il an-Nubuwwa. (http://www.naqshbandi.org/golden-chain/the-chain/abul-abbas-al-khidr-alayhi-s-salam/)


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Abul `Abbas, al-Khidr | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top