Pendahuluan
Syeikh Ibrahim al-Kurani, sosok ulama
yang menjadi rujukan para ahli Islam Nusantara pada abad ketujuh belas. Ia
berhasil memberikan sentuhan gagasan jalan tengah sebagai sebuah tawaran
win-win solution atas dua kutub yang saling berseberangan dengan pandangannya
reinterpretasi takwil.
Dalam konteks Nusantara, Syeikh
Ibrahim al-Kurani memberikan semangat baik untuk toleransi keberagamaan dan
juga untuk memberikan aspek yang seimbang antara pemahaman agama yang bersifat
filosofis dan juga tradisi yang bersifat praktik sehari-hari, yaitu ritual
keagamaan.
Syeikh Ibrahim al-Kurani juga menaruh
pemahaman penting lainnya, seperti menekankan praktik sufisme tanpa
meninggalkan syariat, menolak keras pemahaman takfiri, dan mengampanyekan
toleransi.
Pandangannya yang sedemikian luwes itu
dilatarbelakangi proses pendidikannya. Ia memiliki jalur keilmuan dari dua
kutub imperium, yakni Timuriah yang menekankan sufisme filosofis dan Mamluk dan
Utsmani yang lebih bersifat hadis.
Kemudian, Syeikh Ibrahim al-Kurani menyemai
pandangannya ke para muridnya, termasuk dari Nusantara, seperti Syekh Yusuf
al-Makassari, Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan Syekh Abdurrouf al-Singkili.
Para murid Syeikh Ibrahim al-Kurani
mentransmisikan dan mendominasi otoritas keagamaan abad 17 paruh kedua.
Pasalnya, para muridnya tersebut memiliki otoritas secara intelektual dan
keagamaan hingga diangkat menduduki jabatan di wilayahnya masing-masing.
Pandangan Syeikh Ibrahim al-Kurani di
Nusantara, tidak hanya ditopang oleh adanya ulama Nusantara yang belajar
langsung kepadanya dan menyalin ulang beberapa manuskrip yang ditulisnya,
tetapi juga secara material, naskah salinannya dibawa ke Nusantara. Namun, nama
Syeikh Ibrahim al-Kurani tidak begitu dikenal oleh masyarakat Nusantara saat
ini, terlebih beragam pandangan dan pemahaman keagamaannya.
Syeikh Ibrahim al-Kurani merupakan
ulama yang berasal dari wilayah Kurdi, meskipun tinggal di Madinah. Sebagaimana
diketahui bersama, Kurdi tidak memiliki kedaulatan atas wilayahnya sehingga
sangat mempengaruhi politik edisi manuskrip karya-karyanya yang berjumlah lebih
dari 100 itu.
Belakangan, baru muncul penelitian
tentangnya karena kesadaran intelektual. Oman Fathurahman, misalnya, karena
latar belakang keindonesiaannya. Baru-baru ini terdapat penelitian tentangnya
di Turki dan Mesir.
Biografi Syeikh Ibrahim al-Kurani al-Madani
Nama lengkap beliau, Burhanuddin
Ibrahim bin Hasan bin Syihabuddin al-Kurani al-Madani (Beliau lahir pada tahun
1023 H (1615 M) dan wafat 1101 H (1690M)), adalah seorang ulama tasawuf yang
lahir di kota Syahrani, wilayah Syahrizor, yang dahulu termasuk Kurdistan. Beliau
merupakan seorang Mutakallimun yang intelektual dan juga merupakan Mursyid
Tariqah yang spiritual. Beliau dinisbahkan juga dengan nama al-Kurdi,
al-Syahrazuri dan al-Syahrani. Ia adalah seorang ulama yang mendalami dan
menjadi pengikut dari beberapa tarekat, terutama di antaranya ialah
Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syattariyah. Di Madinah, ia menjadi murid
terkemuka dan berpengaruh dari Ahmad al-Qusyasyi, serta menggantikannya sebagai
pemimpin tarekat setelah gurunya wafat. Ia menulis mengenai beragam ilmu-ilmu
keislaman, terutama tentang fikih, tauhid, dan tasawuf.
Pendidikan
Pada awalnya Al-Kurani belajar agama
di Turki, kemudian kepada para ulama di Persia, Irak, Suriah, dan Mesir,
sebelum akhirnya ia menetap di Madinah hingga wafatnya. Di Mesir, ia
mengunjungi Al-Azhar dan mempelajari Taysir fi al-Qira’ah al-Sab’ah karya Abu
Amru ad-Dani al-Qurthubi kepada Nuruddin Ali bin Ali al-Shabramallisi, serta
Thayyibah al-Nasyr fi al-Qira’ah al-’Asyr karya Ibnu al-Jazari. Selain itu, di
Mesir ia juga belajar pada Azayim Sultan bin Ahmad al-Marakhi dan Muhammad bin
Alauddin al-Babili, seorang ahli hadits ternama. Di Damaskus ia belajar pada
Muhammad bin Muhammad al-'Arami. Di Madinah, ia belajar kepada Ahmad
al-Qusyasyi, Ahmad bin Ali al-Syinnawi, Mullah Muhammad Syarif bin Yusuf
al-Kurani, dan Abdul Karim bin Abi Bakr al-Husaini al-Kurani.
Pengajaran
Baik dalam pengajaran maupun dalam
karya tulisnya, Al-Kurani menekankan keserasian antara tasawuf dan kalam dengan
syariah. Ia beranggapan bahwa berbagai cabang ilmu keislaman itu sebagai
jalan-jalan menuju pemahaman yang sebenarnya mengenai tauhid (keesaan Tuhan).
Walaupun Al-Kurani tetap menyelami ajaran Ibnu 'Arabi dan Al-Jili, ia
menekankan lebih pada persesuaian antara sudut-sudut pandang yang berbeda
daripada memilih salah satunya. Sikap Al-Kurani tersebut tercermin pula pada
pilihannya untuk mengikuti lebih dari satu tarekat, sebagaimana yang dilakukan
oleh gurunya Al-Qusyasyi.
Pengaruh
Al-Kurani adalah seorang ulama yang
ternama pada zamannya, dan ia diperkenankan mengajar di Masjid Nabawi.
Al-Jabarti menyebutnya Syeikh al-Syuyukh, yang mana murid-muridnya berdatangan
dari berbagai negara. Ia dihormati oleh para pelajar di Hijaz, dan ia dikenal
luas oleh para ulama dari India dan Jawi (nusantara). Ia mempunyai hubungan
yang akrab dengan Abdurrauf al-Singkili, dan tetap berhubungan setelah
Al-Singkili kembali ke Aceh. Al-Hamawi mencatat bahwa para pelajar Nusantara
lainnya juga menjalin hubungan dengan Al-Kurani.
Karya
Karya tulis Al-Kurani diperkirakan
mencapai lebih dari seratus karya, namun sebagian besar belum diterbitkan.
Karyanya Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi membahas
Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad bin Fadhlullah
al-Burhanpuri, yang dibuat atas permintaan relasinya di Nusantara. Selain itu,
karyanya Al-Lum‘ah al-Saniyah fi Tahqiq al-Ilqa’ fi al-Umniyah membahas tentang
tauhid dan tasawuf, dan Al-Amam li-Iqaz al-Himam membahas biografi dan
kredensial intelektualnya sebagai pengajar.
Karya Syeikh Ibrahim al-Kurani
al-Madani pernah menjadi silabus pengajaran dan pendidikan di Terengganu. Tok Syeikh
Duyong menjadikan karya Syeikh Ibrahim al-Kurani sebagai pengajaran utama dibanding
kitab-kitab yang lain. Dapat dilihat bahwa Syeikh Ibrahim al-Kurani adalah
tokoh besar yang memainkan peranan penting dalam membentuk tradisi keagamaan di
Terengganu bahkan juga di Nusantara.
Murid-Murid Syeikh Ibrahim Al-Kurani
Syeikh Ibrahim al-Kurani al-Madani (w.
1690), sebagai seorang ulama sentral dunia Islam yang berkedudukan di Madinah
dan menyandang gelar “Mujaddid Islam Pada Zamannya”.
Dalam karya monumentalnya, Prof. Dr.
Azyumardi Azra mengulas dengan panjang lebar sosok besar ini beserta dua orang
ulama Nusantara yang menjadi muridnya, yaitu Syeikh Abdul Rauf Singkel (w.
1693) dan Syeikh Yusuf Makassar (w. 1699). Pun demikian Prof. Dr. Oman
Fathurrahman, yang menyunting manuskrip karya al-Kurani yang berjudul “Ithaf
al-Dzaki fi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi” dan memiliki hubungan
erat dengan wacana intelektual keislaman yang berkembang di Nusantara pada
kurun masa abad ke-17 M.
Namun demikian, ternyata masih ada
sejumlah ulama Nusantara lainnya yang menjadi murid langsung dari al-Kurani dan
belum tereksplorasi (bahkan belum tersebut) dalam kajian Prof. Azra dan Prof.
Oman. Diantaranya adalah Syeikh Abdul Syakur bin Abdul Karim al-Bantani dari
Banten, Syeikh Muhammad bin Abdul Lathif al-Bantani dari Banten, dan Syeikh
Abdul Mahmud bin Shalih al-Matharami dari Mataram Jawa.
Belakangan, intelektual muda Dr. Zacky
K. Umam, dengan serius mengkaji sosok al-Kurani dan jaringan murid-muridnya
dari Nusantara yang sebagian belum tereksplorasi itu.
Beruntungnya, ketiga nama ulama di
atas meninggalkan jejak manuskrip. Sebagian tersimpan di PNRI Jakarta, dan
sebagian lagi di Perpustakaan Arif Hikmet Effendi di Madinah (Saudi Arabia).
Syeikh Ibrahim Al-Kurani Ulama Besar Ahli
Sunnah Wal Jamaah Menjadi Rujukan Ulama Sesudahnya
Hal ini disebabkan golongan ini gagal
memahami konsep Khurafat sehingga menuduh para ulama’ sebagai pelaku Khurafat.
Mereka gagal konsep Syariat-Hakikat sehingga menyalahkan ajaran Tasawuf yang
benar dengan tuduhan Batiniyyah yang sebenarnya berbeda dengan apa yang mereka pahami.
Maka mengupas sejarah tentang Syeikh Ibrahim
al-Kyrani ini perlu dilakukan sebagai jawaban kepada golongan tersebut bahwa Syeikh
Ibrahim Al-Kurani merupakan Ulama’ Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang telah memadukan
Ilmu Kalam – Ilmu Syariat – Ilmu Tasawwuf ke dalam satu model terbaik hingga
menjadi Guru Besar dari ulama’-ulama’ Nusantara setelahnya.
Sesungguhnya Syeikh Ibrahim Al-Kurani
merupakan seorang ulama’ besar yang memiliki keilmuwan yang bersanad pada
ulama’ muktabar sebelumnya.
Beliau mendalami pelbagai lapisan ilmu
antaranya Ilmu Kalam dalam memperteguh Akidah, Ilmu Fiqih dalam pengamalan
Syariat serta Ilmu Tasawwuf dalam memahami Hakikat Ihsan. Beliau telah
menjelajah ke pelbagai kota perkembangan Ilmu yaitu di Turki, Parsi, Iraq,
Syria, Mesir dan Madinah.
Beliau mengambil amalan Tariqat
Qadiriyyah ketika berada di Baghdad. Beliau telah mendalami keilmuan Tasawwuf Syeikh
Abdul Qadir Al-Jaylani ketika di Baghdad yang merupakan tempat ajaran Imam
Al-Ghazali disebarkan.
Malah beliau mempelajari ajaran
Esoterik Ilmuwan terkenal Syeikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi. Pengajaran Tasawwuf Ibn
‘Arabi ini didapat dari Syeikh Muhammad Al-Amiri selama 4 tahun ketika beliau
berada di Damsyik.
Maka keilmuwan Imam Al-Ghazali,
Al-Jaylani dan Ibn ‘Arabi terangkum dan termanifestasi dalam pemikiran Syeikh
Ibrahim Al-Kurani. Ini menunjukkan bahwa beliau mengikuti jalur pemikiran Ahli
Sunnah Wal Jama’ah yang lengkap dalam Tasawwuf.
Beliau juga sempat berada di Mesir
dengan mempelajari ilmu Tafsir dan Hadis di Universitas Al-Azhar. Al-Azhar yang
merupakan pusat pengkajian Ahli Sunnah Wal Jama’ah sedunia kukuh dan tertanam
di dalam jiwa beliau.
Beliau juga telah belajar Ilmu Fiqih
(Syariat) kepada Syeikh Al-Qushashi kepada Syeikh As-Sinwani seterusnya kepada
Imam Shamsudin Ar Romli sampai kepada Imam Zakaria Ansori. Sanad keilmuwan ini
menunjukkan bahwa beliau telah belajar dari tokoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang
bermazhab Syafi’i.
Pembelajaran Hadis beliau terutama
dalam Kutubus Sittah juga diambil dari Syeikh Alauddin Al-Babli, Shihabudin
Al-Masri dan Sultan Ahmad Al-Azhari. Ini menunjukkan bahwa beliau mementingkan
dan mencintai Hadis Nabi dalam mengeluarkan Hukum-Hakam. Sangat paradoks
apabila beliau dituduh sebagai Bathiniyyah.
Beliau juga merupakan Khalifah
Syatariah yang mengambil dari Al-Qushashi. Jalur ini membuktikan bahwa
Tariqatnya berlandaskan landasan Imam Al-Ghazali. Ini membatalkan tuduhan bahwa
beliau mengajar khurafat yang sesat. Hakikatnya ajaran beliau penuh dengan
ajaran pembersihan rohani dan penerapan nilai Akhlak yang tinggi. Beliau juga
pernah ke Madinah menuntut ilmu di bawah pengawasan penuh di bawah Al-Qushashi.
Keilmuwan beliau telah mempengaruhi Nusantara
sehingga menuangkan nilai keilmuwan tersebut kepada tokoh ilmuwan terkenal
Abdul Rauf As-Singkil dan Yusuf Al-Makassari. Abdul Rauf As-Singkel merupakan
mufti Ahli Sunnah Wal Jama’ah di Aceh. Ini menunjukkan guru Abdul Rauf
As-Singkel yaitu Syeikh Ibrahim Al-Kurani juga merupakan Ilmuwan Ahli Sunnah
Wal Jama’ah.
Beliau telah mengupas tentang Tuhfat
Al-Mursalah karangan Al-Burhanpuri dalam tajuk Ithafu Dhaki dalam hal Wahdatul
Wujud serta Martabat Tujuh.
Kitab Tuhfat diadaptasi sehingga
mempengaruhi dalam pemikiran Hamzah Fansuri dan Samsuddin Sumatrani. Kupasan
beliau dalam hal ini membuktikan bahwa kewujudan yang hakiki hanya Allah SWT saja,
adapun kewujudan makhluk adalah sementara serta maya yang bergantung kepada
Wajib Al-Wujud.
Kupasan ini menunjukkan bahwa beliau
berpegang kepada Tauhid sejati. Muqaddimah kitab beliau saja penuh dengan
ketauhidan kepada Allah SWT. Ini membatalkan tuduhan fitnah dari para Sufaha’
Al-Ahlam yang konon beliau mengajar ilmu Khurafat Bathiniyyah.
Malah kitab beliau berkenaan
Al-Jawabat Al-Gharawiyyah Lil Masail Al-Jawiyah Al-Johriyyah telah menjawab
persoalan-persoalan yang besar di nusantara berkenaan Wahdat Al-Wujud. Kitab
Kasf Al-Muntazir Lima Muhtayar Muhtadhir dan Al-Maslak Al-Jali Fi Jukm Syatah
Al-Wali juga telah menjawab secara tuntas berkenaan Syatahat Wali. Kitab
tersebut juga telah menjawab pelbagai persoalan berkenaan Martabat Tujuh dengan
dalil Al-Quran dan As-Sunnah berkenaan pengalaman Ahli Tasawwuf.
Syeikh Ibrahim Al-Kurani meneruskan ajaran
Ibn ‘Arabi dan Al-Jili dalam mencapai status Insan Al-Kamil. Mungkin disebabkan
inilah muncul golongan yang memfitnah Syeikh Ibrahim Al-Kurani.
Sesungguhnya Syeikh Ibrahim Al-Kurani
telah memadukan antara Kalam, Syariat dan Sufi secara terpadu. Keterpaduan ini
adalah unsur ketauhidan yang menyatakan segala-galanya berasal dari Wajib
Al-Wujud yaitu Allah.
Beliau merupakan Mahaguru Ulama’
Nusantara. Beliau merupakan Mujaddid Islam Abad ke-11 H. Al-Kattani, seorang
ilmuwan Hadis terkenal telah meletakkan beliau sebagai Mujaddid Ummah yang
sangat Prolifik.
Al-Kattani telah mengiktiraf beliau
sebagai guru besar sehingga mampu membangkitkan Tasawuf pada landskap Sunni.
Mustahil seorang Mujaddid Ummah Abad ke-11 H mengajar ajaran Khurafat dan
Batiniyyah. Beliau diiktiraf oleh ilmuwan besar yang lainnya yang mempunyai
kredibilitas dan otoritas dalam kajian ilmu.
Beliau digelari sebagai Ilmuwan Besar
yang memiliki Intelektual dan Spiritual yang matang pada kurun ke-17 M seperti
di dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Sharh atas Sunan Abi Dawud karangan al-Muhaddith
Abu Tayyib Muhammad Shamsul Haqq al-Azim Abadi. Ini menunjukkan Ahli Hadith
juga mengiktiraf beliau.
Dalam kitab tersebut juga dinyatakan
bahwa beliau sebaris dengan Syeikhul Islam Zakaria Al-Ansari Mujaddid abad
ke-15, Imam Ar-Ramli pada abad ke-16 Sheikh Murtadha Al-Zabidi pada abad ke-18.
Pengiktirafan beliau sebagai Mujaddid dilakukan oleh ulama’-ulama’ besar yang
tahqiq dalam keilmuwan. Bukan seperti Sufaha’ Al-Ahlam yang gagal memahami text
karya beliau yang penuh dengan bahasa tinggi yang tidak dicapai oleh akal
mereka.
Karya beliau mencapai 80 buah buku
yang meliputi pelbagai bidang keilmuan. Tulisan beliau telah mempengaruhi
ulama’-ulama’ sesudahnya karena daya tarik pemikirannya yang kuat. Penulisannya
terus dikaji dan melahirkan ulama’-ulama’ lain yang kompeten. Ini menunjukkan Syeikh
Ibrahim Al-Kurani merupakan sebuah gunung yang utuh dan kukuh yang didaki oleh
setiap pencinta ilmu untuk menggapai ilmu beliau.
Secara akademis, Akidah beliau adalah
Al-Asya’irah, bermazhab As-Syafi’i serta bertariqat Naqsyabandi dan
Syatariyyah.
Menurut pengkaji ilmu yang mempunyai kredibilitas ilmu antaranya Azra dan Oman Fathurahman menyatakan bahwa beliau adalah “Bapak Ilmu Islam” di Nusantara.
Hampir keseluruhahan kitab pada
masanya dan setelahnya yang membicarakan tentang Al-Kurani menyatakan bahwa
beliau merupakan “Alim Besar” sehingga digelari sebagai “Ghazali Besar”.
Al-Azhimabadi seorang Ulama’ India
yang profesional juga mengukuhkan lagi bahwa beliau adalah Mujaddid Islam yang
sangat prolifik.
Al-Hamawi seorang sejarawan terkenal menyatakan
majlis ilmu beliau sebagai “Taman Syurga” yang penuh dengan pengisian ilmu
serta dihadiri oleh penuntut ilmu dari pelbagai kota.
Sejarawan Intelelektual yang
menghabiskan masa hidupnya untuk kajian sejarah, Al-Muradi yang hidup sezaman
Al-Kurani menyatakan bahwa beliau sebuah “Gunung Raksasa” di antara pergunungan
ilmu dan juga “Samudera Ilmu Irfan Hakikat” yang perlu diambil ilmunya. Jikalau
ahli sejarah sudah mengatakan demikian, maka fitnah dari golongan yang menentang
ditolak mentah-mentah, ia bagaikan angin lalu yang tiada nilai ilmu dan nilai
adab.
Hampir keseluruhan ilmuwan Islam yang
berada di Nusantara juga mempunyai jalur dari beliau. Abah Anom yang merupakan
syeikh Tariqat juga mewarisi keilmuwan Al-Kurani.
Abdul Rauf Singkel (W. 1693) penulis
pertama terjemahan Al-Quran dalam Bahasa Jawi yaitu Turjuman Mustafid. Mufti
kesultanan Aceh penulis pertama Mazhab Syafi’i pertama terlengkap yaitu
Mir’atul Tullab. Juga merupakan murid langsung Al-Kurani. Demikian Yusuf
Makassari (w 1699) juga murid langsung beliau. Jikalau Al-Kurani yang merupakan
Guru Besar kepada Abdul Rauf Singkel ini sesat dan dituduh sebagai pengajar
Batiniyyah dan Khurafat, maka rantai Melayu ini jadi khurafat. Hakikatnya keilmuwan
Al-Kurani yang dibawa oleh ulama’-ulama’ Nusantara telah membangunkan Tamadun
Kesultanan Melayu Aceh di Nusantara.
Antara lain murid beliau juga Abdul
Syakur Al-Banten (Waliullah), Abdul Mahmud Mataram, Muhammad Abdul Latif
Al-Banten, dan selainnya seperti di dalam kitab Al-Umam Li Liqazh Al-Himam.
Hampir keseluruhan ulama’ Nusantara
bersambung sanad garis keilmuan kepada Al-Kurani. Jikalau Al-Kurani dikatakan
sesat dan mengajar khurafat, maka hampir keseluruhan ulama’ Nusantara juga
khurafat. Tetapi hakikatnya tidak sedemikian.
Sesungguhnya Syeikh Ibrahim Al-Kurani telah menyeimbangkan antara teori dan praktik. Menggabungkan Fiqih (Zahir) dan Tasawwuf (Batin). Memadukan antara Syariat dan hakikat. Maka dengan inilah golongan yang cenderung ke arah pemikiran Zahiriyyah telah menuduhnya sebagai Batiniyyah. Hakikatnya mereka tidak menjangkaui pemikiran yang sangat dalam dari Syeikh Ibrahim Al-Kurani.
Post a Comment Blogger Disqus