Mistikus Cinta

0

Nama kecil KH. Zainal Mustafa adalah Umri, dan terkadang dipanggil Hudaemi. Perihal tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tidak ada informasi valid. Ada yang menyebut tahun 1901, sebagian lagi mengatakan tahun 1899.

Ayahnya bernama Nawapi, seorang petani Muslim di Kampung Bageur-Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sementara ibunya bernama Ratmah, seorang ibu rumah tangga.

Umri mulai belajar serius belajar ilmu-ilmu Islam di Pesantren Gunung Pari dibawah bimbingan kakak sepupunya Dimyati atau Ajengan Zainal Mukhsin.

Setelah 7 tahun di Gunung Pari, Umri mondok di Pesantren Jamais, diteruskan ke Pesantren Sukaraja, Garut. Setelah itu meneruskan ke Pesantren Sukamisikin, Bandung. Di pesantren ini Umri mengubah nama menjadi Hudaemi.

Dari Sukamiskin ini Hudaemi balik ke Tasikmalaya dan berguru ke Kyai Muttaqien di Pesantren Cilenga, Singaparna. Kecerdasannya yang menonjol membuatnya dipercaya sebagai asisten Kiai Muttaqien.

Pada 1927 sebuah pesantren berdiri di Kampung Bageur Cikembang Girang, Desa Cimerah, Singaparna. Semula pesantrennya memiliki tiga pondok, dan kemudian berkembang menjadi enam pondok.

Pada tahun 1937 Hudaemi pun menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji ia mengubah namanya menjadi Zainal Mustafa.

Lewat ibadah haji ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan yang mendorongnya mendirikan sebuah pesantren. Ia meneruskan pesantren yang telah dirintis kakak iparnya KH Zainal Muhsin.

Dalam buku Ulama-Ulama Oposan, Subhan SD menyatakan, sekembali dari Mekkah, KH Zainal Mustafa melakukan aktivitas keilmuan, di antaranya, menerjemahkan Al-Qur'an dan kitab-kitab lain ke dalam bahasa Sunda.

Meski begitu kepada para santrinya, KH Zainal Mustafa tetap mewajibkan bahasa Arab sebagai bahasa utama yang dipelajari dalam belajar ilmu-ilmu Islam. Di pesantrennya juga diajarkan Sejarah Indonesia dengan materi kecintaan dan pembelaan Tanah Air. Karena langkahnya ini KH Zainal Mustafa diawasi polisi intelijen kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst), dan beliau tahu tentang ini. Prinsip yang dipegangnya adalah hubbul wathon minal iman; cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Pada tahun 1933 KH. Zainal Mustafa masuk anggota organisasi Islam tradisional Nahdlatul Ulama (NU) dan dipercaya sebagai Wakil Rais Syuriah NU Tasikmalaya. Di masa itu, NU merupakan organisasi Islam yang berani bersikap kritis dan mengecam beberapa kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Demikian halnya dengan KH Zainal Mustafa. Beliau pernah melontarkan kritik terhadap Ordonansi Guru tahun 1925. Peraturan pemerintah kolonial lain seperti wewenang pencatatan nikah dan waris oleh Landraad (Pengadilan Kolonial), program Milisi Bumiputera (Indische Werbaar), dan Artikelen 177 dan Artikelen 178 Indische Staatreegeling tentang hak istimewa yang diberikan kepada kaum Kristen, juga tidak luput dari kritik dan kecamannya.

Pemerintah kolonial jelas terganggu dengan kritik-kritik itu. Pada 17 November 1941 KH. Zainal Mustafa bersama KH. Ruchiyat, KH. Sirodj, Hambali, dan Syafii ditangkap dan dimasukkan ke penjara Tasikmalaya, kemudian dipindah ke penjara Sukamiskin, Bandung.

Meski kemudian dibebaskan, tapi kecamannya terhadap pemerintah kolonial tetap saja dilontarkan. Akibatnya, bersama KH. Rukhiyat, dari pesantren Cipasung, beliau ditangkap lagi pada Februari 1942, dan ditahan di penjara Ciamis.

Situasi politik berubah cepat. Pada 8 Maret 1942 pemerintah kolonial Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Selanjutnya yang menjadi penguasa di Indonesia adalah Jepang.

Pada 31 Maret 1942 Jepang membebaskan semua tahanan politik yang sebelumnya ditahan Belanda, termasuk KH. Zainal Mustafa. Jepang nampaknya ingin bekerja sama dengan beliau dan para kiai lain di Tasikmalaya dan wilayah Priangan Timur. Tapi KH Zainal Mustafa tidak tertarik dengan ajakan itu dan ingin mengurusi pesantren.

Beliau menolak bekerja sama karena alasan adanya ketentuan Seikerei, yaitu sikap membungkuk ke arah timur di pagi hari sebagai penghormatan terhadap Kaisar Jepang (Tenno Haika). Gerakan Seikerei mirip gerakan ruku' dalam shalat. Tidak hanya sebagai penghormatan, Seikerei juga sebagai pengakuan bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan "Dewa Matahari" (Ameterasu). Dalam ajaran Islam tindakan itu berarti musyrik.

Pihak Jepang mencoba merayu KH Zainal Mustafa dengan jabatan anggota Sandenbu (Badan Propaganda) di Priangan Timur. Tawaran ini ditolaknya. Karena kekukuhan itu, Jepang menempatkan polisi rahasia (Kenpeitai) untuk mengawasi kegiatan Pesantren Sukamanah dan KH Zainal Mustafa.

Hal lain yang membuat beliau benci pada Jepang adalah tindakan kejam terhadap rakyat Indonesia. Badan pangan Jepang yang bernama Kumiai, bertindak melampaui batas dengan merampas hampir semua hasil panen dan pangan pangan milik rakyat. Akibatnya bencana kelaparan terburuk sepanjang sejarah terjadi di hampir masyarakat pedesaan.

Para santri juga terkena dampak karena mereka tidak bisa lagi membawa bekal sebab persediaan beras di rumah orang tua habis dijarah Jepang, atau bekal dirampas di pos pemeriksaan Jepang di Kudang, Singaparna.

Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol; Studi tentang Perubahan Sosizl Pedesaan di Jawa 1942-1945, dengan mengutip Sjarif Hidajat menyatakan, kegeraman KH Zainal Mustafa terhadap Jepang mulai muncul tidak lama setelah Tentara ke-16 Kekaisaran Jepang menduduki wilayah Jawa dan membentuk pemerintahan militer.

Disebutkan pada tahun 1943 KH Zainal Mustafa diam-diam melakukan persiapan perlawanan. Untuk tujuan ini, telah dilakukan kontak dengan beberapa pesantren di Tasikmalaya.

Selain itu juga dilakukan hubungan dengan kesatuan batalyon PETA (Pembela Tanah Air) yang dipimpin Daidancho Maskun. Nama terakhir ini disebut memiliki hubungan yang erat dengan Pesantren Sukamanah yang dipimpin KH Zainal Mustafa.

Daidanco Maskun berjanji bahwa ia dan anak buahnya akan datang ke Sukamanah/Cimerah untuk memberi latihan militer untuk para santri. Rupanya hubungan dan rencana itu tercium pihak Jepang. Tidak lama kemudian kesatuan tentara PETA dipindahkan ke bagian selatan wilayah Tasikmalaya.

KH Zainal Mustafa pun tahu persis pihak Jepang telah dan selalu mengawasinya bahkan mengancamnya. Meski begitu suara-suara keras tetap saja ditujukan kepada Jepang. Beliau dan para santri siap dengan semua kemungkinan. Persiapan yang dilakukan adalah membentuk barisan santri dan rakyat untuk melindungi area pesantren. Jumlahnya sebanyak 509 orang.

Bagi KH Zainal Mustafa dan santri, mereka bersikap akan melawan jika Jepang menyerang meski sadar bahwa Jepang sangat kuat dan kejam. Tujuan utamanya bukan untuk mengalahkan Jepang, tapi untuk menunjukkan bahwa rakyat Indonesia akan bangkit dan melawan jika selalu ditindas.

Pada 23 Februari 1944 Jepang mengirim utusan ke pesantren. Mereka mengancam KH Zainal Mustafa, para santri, dan penduduk desa. Esoknya, 24 Februari, Jepang mengerahkan pasukan Kempetai yang dipimpin pejabat lokal yang memihak Jepang seperti Camat Cakrawilaksana, Sastramaun (Lurah Cimerah), Suhandi (juru tulis), dan Muhri (Kepala Kampung Punduh). Mereka ingin meringkus KH Zainal Mustafa.

Terjadi bentrok fisik dengan para santri. Senjata-senjata Jepang berhasil direbut yaitu 12 senapan, 3 pucuk pistol, dan 25 senjata tajam.Senjata-senjata itu disimpan dan tidak digunakan. KH Zainal Mustafa sadar, Jepang pasti akan datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar.

Pada 25 Februari 1944 sebelum pelaksanaan Shalat Jum'at, KH Zainal Mustafa menyampaikan hal itu, kemudian memberi kebebasan pilihan jika ada santri memilih mengundurkan diri atau pulang ke kampung masing-masing. Semua santri ternyata lebih memilih ikut melawan.

Saat khutbah Jum'at, Jepang mengepung rapat pesantren dan masjid. KH Zainal Mustafa meminta jamaah tenang dan menyelesaikan Shalat Jum'at. Setelah itu ditemuinya pasukan Kempeitai di Gunung Bentang. Seorang perwira Jepang minta agar berbicara di masjid. Tapi ketika bicara, nadanya begitu congkak sambil mengancam KH Zainal Mustafa akan dihukum berat.

Setelah itu perwira Jepang itu membujuk lagi; KH Zainal Mustafa tidak akan dihukum asal mau minta ampun. Jamaah pun tersinggung karena perkataan perwira Jepang, bahwa jika satu orang Jepang mati maka harus ditebus seribu nyawa orang Indonesia. Suasana pun berubah gaduh, dan Jepang telah bersiap. Saat itu juga KH Zainal Mustafa mengeluarkan komando perlawanan. Perkelahian pun pecah!

Dalam perkelahian di persawahan, tiga polisi Jepang tewas dan satu melarikan diri. Melihat ini Jepang pun marah besar. Selanjutnya dikirim 6 kompi tentara, dan Desa Sukamanah pun dikepung dari tiga arah; selatan, timur, dan utara. Menjelang Ashar, Jepang dengan menggunakan kendaran lapis baja berusaha menerjang pesantren. Mereka juga sengaja memaksa beberapa penduduk desa berdiri di barisan depan.

Cara licik ini membuat para santri menjadi ragu karena berhadapan dengan rakyat sendiri. Melihat hal ini KH Zainal Mustafa memerintahkan untuk tidak melakukan perlawanan dulu.

Tentara Jepang sempat tertahan karena rintangan yang dipasang di jalan. Sementara di pesantren dibuat barikade tumpukan batu. Di tengah riuhnya tembakan, para santri dan penduduk desa menghadapi serangan dengan persenjataan seadanya seperti golok, pedang, parang, bambu runcing, dan batu. Duel jarak pendek pun terjadi.

Karena kalah senjata, KH Zainal Mustafa dan para santri mundur pada menjelang malam. Tentara Jepang selanjutnya merangsek ke pesantren. Mertua KH Zainal Mustafa, H. Syamsuddin, dibunuh Jepang di tempat itu.

Malam itu juga, KH Zainal Mustafa yang mundur ke Kampung Cihaur, ditangkap bersama dengan Kyai Najamuddin, Kyai Umar, Domon, A. Hidayat, serta 27 santri. Dari 26-29 Februari 1944 banyak penduduk desa disekitar pesantren yang ditangkap tentara Jepang.

Penjara Tasikmalaya menjadi penuh, dan KH Zainal Mustafa sendiri menjalani proses interogasi selama 3 bulan. Interogasi itu dilakukan dengan siksaan-siksaan berat. Setelah itu, keberadaannya tidak jelas karena KH Zainal Mustafa dipindahkan ke Cipinang, Jakarta.

Secara politik, akibat yang ditimbulkan dari meletusnya perlawanan itu membuat pemerintah militer (Gunseikan-bu) Jepang di Jakarta merasa was-was karena khawatir perlawanan seperti itu akan ditiru kyai-kyai lain.

Hal ini dikarenakan pada masa itu Gunseikan-bu Jepang sedang aktif melakukan upaya mendekati dan menarik simpati kaum Islam Indonesia, khususnya kaum Islam tradisional. Jepang kemudian mencopot Kepala Shumubu (Kantor/Departemen Agama masa Jepang) yang berlatar belakang priayi yaitu Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat. Dalam sebuah versi yang bersangkutan dianggap gagal terkait dengan meletusnya perlawanan KH Zainal Mustafa itu.

Untuk selanjutnya jabatan Kepala Shumubu atau Shumubu-cho dipercayakan kepada KH Hasyim Asy'ari, seorang kyai kharismatik dan pimpinan Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

Tidak hanya Hussein Djajadiningrat saja yang diberhentikan. Bupati Tasikmalaya, Raden T.A. Wiradipoetra, juga dipecat. Pejabat lainnya, Raden Otong Natakoesoema (Wedana Singaparna) mendapat teguran keras. Sementara gaji pimpinan Pos Kepolisian Tasikmalaya diturunkan 10% hingga bulan Mei 1944.

Ada penilaian, pengangkatan KH Hasyim Asy'ari sebagai Shumubu-cho, tidak lebih sebagai ketakutan terselubung Jepang yang tidak menginginkan timbulnya perlawanan masif rakyat dan umat Islam Indonesia.

Jika hal itu terjadi, semakin berat beban yang ditanggungnya. Di satu sisi, mereka (Jepang) berhadapan dengan perlawanan rakyat dan umat Islam Indonesia, dan di sisi lain mereka juga sedang terdesak oleh gerak maju pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II di Asia-Pasifik.

Hingga Indonesia merdeka, keberadaan KH Zainal Mustafa masih kabur. Baru pada tahun 1970 didapatkan keterangan; KH Zainal Mustafa dan para santri telah dibunuh Jepang pada 25 Oktober 1944.

Kemudian pada 23 Maret 1970 keberadaan makam para syuhada bangsa itu ditemukan, yakni di Pemakaman Ereveld, Ancol, Jakarta Utara. Makamnya kemudian dipindahkan ke Taman Pahlawan Sukamanah Tasikmalaya pada tahun 1973. Sebagai pengakuan atas perjuangannya, Pamerintah Republik Indonesia menganugerahi KH Zainal Mustafa sebagai pahlawan Nasional.


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca KH. Zainal Mustafa, Singa Jantan Dari Singaparna | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top