Santri As’ad kala itu menjadi penyampai pesan Kiai
Cholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. As’ad yang saat itu menjadi santri
Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng diutus untuk menemui Kiai Cholil di Bangkalan,
Madura. Sebelumnya, As’ad juga nyantri di Pesantren Kademangan asuhan KH Cholil
Bangkalan.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri
As’ad diminta oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke
Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an
Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri
As’ad kembali diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih
lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar). Berarti menyebut
nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang
sama yaitu KH Hasyim Asy’ari.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan
tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk
mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin
mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin
menyentuh tasbih sebagai amanah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang
perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, KH Hasyim Asy’ari bertanya
kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya
menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad
hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. KH Hasyim Asy’ari kemudian berkata,
“Allah swt telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyah”. (Choirul Anam,
Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 72)
Pendidikan dan sanad keilmuan
Awalnya, As’ad dan keluarganya tinggal di pondok
pesantren keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun,
mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat itu masih
berupa hutan belantara.
Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH
Syamsul Arifin mengirim As’ad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH
Itsbat Hasan pada tahun 1785 M. Ketika As’ad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh
oleh KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, As’ad nyantri
selama tiga tahun (1910-1913).
Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren
Banyuanyar, As’ad kemudian dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan
yang cukup terkemuka di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad bertemu dengan
beberapa santri dari Indonesia seperti Zaini Mun’im, Ahmad Thoha, Muhammadun,
dan Baidlowi Lasem.
Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad berguru kepada
Sayyid Abbas al-Maliki (ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki), Syekh Hasan
al-Yamani, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif
Syanqithi. Setelah beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, As’ad kembali ke
Indonesia dan berguru kepada KH Nawawi (Pesantren Sidogiri), KH Khazin
(Pesantren Panji Siwalan), KH Cholil Bangkalan (Pesantren Kademangan), dan KH
Hasyim Asy’ari (Pesantren Tebuireng).
Perjuangan dan kiprah
Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR
As'ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari
Madura "membabat alas" (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk
didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua
ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, dua tokoh
yang juga guru Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Usaha As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya
terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil,
mushola, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.
Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para
santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya
dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun
1951, kepengasuhan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah diberikan kepada Kiai
As’ad. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah mengalami
perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah sebuah
Universitas Syafi’iyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah (saat ini
Universitas Ibrahimy) juga sejumlah layanan pendidikan formal di berbagai
jenjang.
Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh
putera-puteri KH As’ad Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafi’ah,
Mukarromah, Makkiyah As'ad, Isyaiyah As'ad, Raden Fawaid As’ad, dan Raden
Kholil As’ad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy (cucu KH As’ad Syamsul Arifin)
menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Melawan penjajah Belanda dan Jepang
Di era pergerakan nasional melawan penjajah
Belanda dan Jepang, KH As’ad Syamsul Arifin aktif memberikan perlawanan. Ia
ikut dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Dalam
perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya berhasil merampas
senjata-senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso
(sekitar akhir Juli 1947).
Adapun pada 10 November 1945, Kiai As’ad Syamsul
Arifin membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan
pasukan Sabilillah Situbondo dan Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan
yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah Surabaya.
Kemudian pada September dan awal Oktober 1945,
Kiai As’ad memimpin pelucutan senjata para serdadu Jepang di Garahan, Jember,
Jawa Timur. Tindakan tersebut dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau
menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai As’ad Syamsul
Arifin.
Mengomando santri hingga preman
“Perang itu harus niat menegakkan agama dan
‘arebbuk negere’ (merebut negara), jangan hanya ‘arebbuk negere! Kalau hanya
‘arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan
agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk
surga!”
Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi
perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) kepada pasukan santri
(Hizbullah dan Sabilillah) dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman,
brandal, bajingan, dan jawara (Pelopor) untuk melawan penjajah Belanda.
Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para
brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo,
Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan (2003) yang
dikutip Munawir Aziz. Kiai As’ad Syamsul Arifin mengumpulkan para bandit dan
jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor, seperti dijelaskan di atas.
Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam.
Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh
barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan
rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada
di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul
Arifin.
Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang
Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan
Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan
Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar
gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri.
Tokoh Khittah NU 1926
KH As’ad Syamsul Arifin bersama tokoh-tokoh lain
di antaranya KH Achmad Siddiq, KH Abdurrahman Wahid serta lainnya turut
berjuang dalam mewujudkan NU kembali Khittah 1926. Naskah Khittah NU tersebut
dibahas dan dimatangkan dalam Munas NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo, Situbondo selain memutuskan perumusan naskah hubungan Pancasila dan
Islam serta menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sehingga pada
tahun 1983, NU resmi Kembali ke Khittah NU.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul
Ulama (2010) menjelaskan bahwa kegelisahan Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk
mengembalikan NU rel pendirian awal (Kembali ke Khittah 1926) juga disebabkan
karena NU selama dipimpin KH Idham Chalid terlalu tenggelam dalam aktivitas
politik. Paham keulamaan yang terwujud dalam representasi syuriyah juga
mengalami pergeseran nilai.
Sehingga Munas NU tahun 1983 yang tidak dihadiri
oleh KH Idham Chalid berupaya mengembalikan kewibawaan ulama, mengembalikan
peran dan fungsi serta otoritas ulama. Dengan kata lain, Kembali ke Khittah
1926 berarti menjaga dan melestarikan paham keulamaan sebagai salah satu sistem
nilai yang selama ini berlaku di NU. Paham keulamaan sebagai ruh di NU juga
sebagai konsekuensi dari perwujudan akidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Karya-karya KH As’ad Syamsul Arifin
Selain kesaktian dan karomah-karomah yang
dimilikinya, KH As’ad Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di
bidang akidah, tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah
sehari-hari. Berikut buku dan kitab karya KH As’ad Syamsul Arifin:
1.Tsalats Risail, kitab setebal 21 halaman ini
ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal
dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain.
Tiga bahasan dalam Tsalats Risail, pertama masalah
hakikat Asyariyah (paham pemikiran Imam al-Asyari dan pengikutnya). Kedua,
tentang Qodaniyah atau Ahmadiyah. Ketiga, membahas sekelumit akidah, syariat,
dan akhlak Ahlussunnah wal Jamaah.
2. Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman
ini ditulis dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat
ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm, Fiqh
al-Madzahib al-Arba’ah, dan Nihayah al-Muhtaj) tanpa di terjemahkan. Kiai As’ad
kemudian memaparkan (dengan bahasa Madura) sejarah sholat Jumat di satu masjid.
Kemudian karena beberapa alasan (Kiai As’ad
menyebut enam sebab), maka di sebuah daerah yang luas dan padat penduduknya
diperbolehkan sholat Jumat di beberapa tempat. Kitab ini berakhir pada halaman
13. Sedangkan halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah.
3. At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa
al-Harokah, kitab setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam.
KH As’ad Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum
pertama dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955.
Kitab ini berisi beberapa ayat Al-Qur’an dan
Hadits Nabi Muhammad tentang asal-usul kehidupan, bercocok tanam, mencari
rezeki, dan muamalah lainnya. Dalam kitab ini Kiai As’ad Syamsul Arifin lebih
memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran konsep dan
strategi bermuamalah dalam hal-hal tersebut.
4. Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini
ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang
ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas
tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat,
dan waliyullah.
Dalam kitab ini Kiai As'ad Syamsul juga
mengingatkan agar kita tidak usah meminta menjadi orang yang keramat dan
terkenal. Tapi kita berdoa agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada
Allah. Menurut Kiai As'ad kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya
orang tersebut bukan wali.
5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal
43 halaman ini ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku
membahas tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau
Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin setelah Nabi
Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke
berbagai negara.
Dalam buku ini, Kiai As’ad juga membahas tentang
kunci sukses dakwah Wali Songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada
masyarakat dengan penuh ikhtiar dan tawakal yang disertai sabar, qonaah, wara’,
zuhud, dan lain-lain.
6. Isra’ Mi’raj, buku setebal 21 halaman ini
ditulis dengan huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal
1391 H atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi
Muhammad saw.
7. Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232
baris oleh KH As’ad Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura.
Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini
memberikan informasi bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan
memiliki cita rasa seni.
Hal itu mengingatkan kepada sosok KH Hasyim
Asy’ari, guru Kiai As’ad. KH Hasyim Asy’ari yang selama ini dikenal
kepakarannya di bidang hadits ternyata juga seorang sastrawan. Hal itu
diungkapkan oleh Muhammad Asad Syihab dalam bukunya Hadlratussyaikh Muhammad
Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri
(1994).
Asad Syihab (1994: 30) menjelaskan bahwa Kiai Hasyim
Asy’ari merupakan seorang pembicara yang fasih dan termasuk sastrawan yang
menonjol. Beliau dalam berbagai kesempatan sering membacakan syair dan beliau
mempunyai kumpulan puisi-puisi panjang yang beliau baca sendiri dalam berbagai
forum. KH Hasyim Asy’ari juga memiliki banyak karangan dalam bidang sastra
budaya.
KHR As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990
di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada usia 93 tahun. Beliau dimakamkan di
kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.
Post a Comment Blogger Disqus