Mistikus Cinta

0


Umumnya dari kita mencari jalan menuju Tuhan dengan membawa kriteria kita sendiri. Seorang mursyid haruslah berwajah cerah, berseri, tampak simpatik, dan sebagainya. Kita membawa waham kita sendiri dalam mencari pembimbing. Mungkin penampilannya berjubah dan berjanggut, atau apapun lah, yang biasa kita asosiasikan dengan penampilan seorang ’soleh’.

Sahabat, jika sekarang, misalkan di pasar dekat rumah kita, ada seorang yang penuh penyakit kulit. Kemana-mana dirubungi lalat dan belatung. Ia tinggal di gubuk sebagai seorang gelandangan. Jika ia mengatakan bahwa ia membawa risalah Allah, maukah kita mengikutinya? Mungkin tidak, karena penampilannya sangat jauh dari ’soleh’.

Jika tetangga kita sekarang, di RT sebelah misalkan, seorang yang dikucilkan oleh masyarakat. Di atap rumahnya membangun perahu, dan setiap hari kerjanya berteriak-teriak bahwa 6 bulan lagi akan banjir. Setiap hari ia menjadi bahan ejekan masyarakat dan tetangga anda. Akankah kita mengikutinya? Atau ikut menertawakan?

Seorang tua yang hidup di tepian padang gersang, menggembala kambing-kambingnya. Setiap hari hanyalah beternak, dan menimba sumur untuk ternaknya. Hidup di gubuk, jauh dari kota. Miskin, tua renta. Tidak punya apapun yang bisa ditawarkan. Jika ia mengatakan bahwa ia bisa membimbing anda menuju Allah, apakah anda mau menjadi muridnya?

Seorang gelandangan, pakaiannya bau dan kotor. Setiap hari hanya meniup seruling dan bermain catur di pojok pasar. Hanya kadang ia membantu membersihkan mesjid supaya boleh tidur di dalamnya. Maukah anda mengangkatnya sebagai pembimbing spiritual?

*******

Tahukah anda, bahwa kakek berpenyakit kulit, bau dan penuh belatung yang hidup di pinggir pasar tadi seperti Nabi Ayyub as pada zamannya? Tetangga yang membangun perahu di atap rumahnya, ditertawakan dan dibodoh-bodohi masyarakat, bahkan kita juga akan ikut menertawakan seperti Nabi Nuh as.

Anak muda antisosial, yang pendiam dan kaya mendadak karena menikahi janda tua yang kaya kemudian mengaku bertemu malaikat, adalah Rasulullah SAW. Gelandangan bau dan kotor, yang hanya membawa-bawa seruling dan ‘nongkrong’ di pasar, adalah Shamsuddin Tabriz, mursyid dari wali besar Jalaluddin Rumi.

Coba posisikan diri kita sebagai masyarakat yang ada pada zaman mereka. Mampukah kita melihat kebenaran yang mereka bawa? Percayakah kita, jika kita hidup di zaman itu, bahwa mereka adalah para kekasih Allah, yang bisa menunjukkan pada kita ruas jalan taubat? Akankah kita mengikuti mereka?

Siapakah kita, yang berani menentukan kriteria kekasih Allah? Dia berhak menyukai siapa saja, sesuka-Nya. Mengatur para kekasihNya berpenampilan seperti kehendakNya. Kenapa kita berani mengatur, apalagi dengan standar yang kita buat sendiri, bahwa seorang kekasih Allah pastilah berseri-seri, ramah, selalu tersenyum? Berjubah, atau berjanggut? Pasti hidupnya berhasil secara duniawi maupun ukhrawi? Alangkah sombongnya kita.

Kita sendirilah yang menciptakan penghalang, filter yang kita ‘bikin-bikin’, sehingga justru menutup kita dari jalan kebenaran. Kita menciptakan ‘waham kesolehan’ sendiri. Waham, ilusi, yang justru dapat menjauhkan kita dari gerbang-Nya. Kita telah tertipu oleh ’standar jaminan mutu kesolehan’ yang dibangun dunia ini.

Belum tentu seorang yang mampu menuntun kita menuju Allah, sesuai dengan kriteria yang kita buat sendiri. Belum tentu. Memang ada para kekasihnya yang berpenampilan seperti yang kita golongkan sebagai ‘yang baik-baik’, tapi ada pula yang sama sekali tidak demikian. Mereka disamarkan-Nya (tasyrif) karena dilindungi Allah. Dilindungi dari para peminta berkah, dari orang-orang yang sedikit sedikit meminta tolong dan bantuan, minta dagangannya laku, minta didoakan supaya dapat jodoh, minta sakitnya disembuhkan, diobati saudaranya yang kesurupan, konsultasi posisi politik, dan segala permintaan tetek bengek lain yang sifatnya ‘menghilangkan derita’ saja, bukan minta dibimbing menuju Allah. Bukan minta diajarkan bertaubat.

Jika semua dibuka dengan mudahnya, bayangkan berapa orang yang datang mengantri setiap saat dengan tujuan tak jelas? Tanpa biaya pula.

Allah pun, dari 99 namanya, terbagi menjadi dua jenis. Yang ‘Jamal’, yang ‘ramah’, yang indah, yang enak kedengarannya. Contohnya adalah Maha Penyayang, Maha pengampun, Maha sabar, dan semacamnya. Tapi Dia juga memiliki nama-nama yang ‘jalal’, yang ‘agung’, yang keras, yang ‘menyeramkan’ dalam sudut pandang kita, seperti Maha Pedih Siksanya, Yang Maha Membalas, Yang Maha Keras, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menghinakan, Yang Maha Memaksa, dan sebagainya.

Setiap makhluk membawa potensi kombinasi dari 99 nama-namaNya, termasuk pula para kekasih-Nya. Mengapa kita melabelkan pada diri kita sendiri bahwa ‘Kekasih Allah pastilah ramah, enak, baik, wangi, bersih, bla-bla-bla?’ Ada yang demikian, ada pula yang tidak.

Perhatikan QS. Al Furqon: 20,
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh-sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

Seharusnya ini cukup.

Sedangkan manusia terkadang sombong, merasa perlu malaikat atau mu’jizat untuk meyakinkan dirinya. Mereka menolak Rasul yang ‘wajar’. Inginnya yang ‘malaikati’ atau ‘mukjizati’. Padahal jika dia tidak mengikuti pun, kemuliaan Allah sama sekali tidak akan berkurang. Allah tidak rugi apapun.

Pada QS. Al Furqon: 7,
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?”

Pada Hadits Riwayat Muslim 1972 (8: 154):
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Banyak sekali orang yang kelihatannya compang-camping (hina di mata masyarakat), tidak diperkenankan memasuki pintu seseorang, tetapi kalau dia berdoa kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Muslim)

*******

Ciri utama dari seorang yang harus anda ikuti bukanlah senyumnya, wajahnya yang bersih, dan sebagainya. Fir’aun pun sangat gagah dan tampan. Iblis pun, apakah akan datang ke kita selalu bertanduk, berpakaian api, membawa tombak trisula dan berekor panah? Dia tidak sebodoh itu. Jika penampilannya monoton dan tidak kreatif seperti itu, tentu saja kita akan dengan sangat mudah mengetahui bahwa dia adalah iblis, dan tidak untuk diikuti.

Syarat dan ciri utama seorang yang harus diikuti sudah dicantumkan dalam Qur’an, yaitu QS. Yasin: 21, “Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ “

Apakah ‘Muhtaduun’? Muhtadun, asal katanya dari tsummahtada, yang berarti ‘telah tetap menapak di atas petunjuk (dari Allah)’. Al-Muhtaduun adalah mereka yang sudah ditetapkan-Nya melangkah hanya di atas petunjuk-Nya saja.

Jadi, ciri pertama adalah, tidak pernah minta balasan apapun, baik pertolongan, status sosial, kerjasama manajemen, saling membantu, dan lain-lain. Dia yang bisa membantu kita, dan kita tidak bisa membantunya sama sekali. Dia sudah tidak membutuhkan apapun.

Yang kedua, orang itu sudah ‘tetap di atas petunjuk’. Dia membimbing anda murni seratus persen berdasarkan petunjuk Allah yang datang ke qalbnya, bukan berdasarkan pendapat, teori pendidikan, EQ, AQ, Acceleration Learning, kebiasaan umum, budaya, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, coret juga orang yang belum mampu mendapat petunjuk Allah setiap saat di dalam qalb-nya.

Beberapa rambu Al-Qur’an yang perlu kita cermati juga:

“Kami tidak mengutus seorang Rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka." (QS. Al-Isra': 4)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut." (QS. An-Naml: 36)

Perhatikanlah, bahwa pada dasarnya tiap-tiap ummat ada Rasulnya (penyampai risalah, pengajak menuju Allah). Dan, dengan bahasa kaumnya pula.

*******

Sahabat, banyak orang yang mengaku mursyid, merasa mursyid, atau dianggap mursyid. Tapi yang teramat sulit adalah mencari mursyid yang sesungguhnya, yang tugas kelahirannya memang sebagai seorang mursyid, seorang yang memang bermisi hidup sebagai mursyid dan telah dibekali Allah dengan Ruh Al-Quds sebagai legitimasi Ilahiyah atas tugasnya. Kita harus setiap saat memohon untuk diantarkannya ke ’seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk/wali mursyid’, sebagaimana QS. Al-Kahfi: 17 menyebutkan,

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkanNya, maka kamu tak akan mendapatkan ‘Waliyyan Mursyida’ (seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk).”

Kita harus setiap saat memohon untuk ditunjuki-Nya kepada seorang ‘Waliyyan Mursyida’ ini.

Namun demikian, banyak orang yang ingin bertemu mereka, tapi setelah bertemu mereka justru berbondong-bondong berlari meninggalkannya. Kenapa? Karena bersama seorang mursyid memang tidak mudah. Dia akan memotong semua jalur-jalur perbudakan syahwat dan hawa nafsu pada diri kita. Dia akan mengajari dan memaksa kita untuk berani mengenal, mempelajari dan menguasai semua jenis hawa nasfu dan syahwat yang ada dalam diri kita sendiri. Dia akan memaksa kita untuk murni bergantung pada Allah, bahkan bukan bergantung pada dirinya sebagai mursyid. Itu adalah tugasnya.

Karena dengan terkuasainya seluruh balatentara syahwat dan hawa nafsu kita, maka kalbu kita akan semakin bening, dan kita pun pada akhirnya akan mampu mendapatkan petunjuk dari qalb kita sendiri.

Memang dia akan menolong kita jika ‘terjepit’ dalam kehidupan, menjelaskan persoalan dengan gamblang, tapi bukan berarti memanjakan terus menerus. Dia tidak akan mendidik kita untuk menjadi orang yang tidak mau menghadapi persoalan, sedikit-sedikit menangis minta tolong pada mursyidnya. Dia akan memaksa kita untuk berani menghadapi persoalan, karena dengan demikian kita akan mengenal segala kekurangan diri yang perlu diperbaiki, mengenal dan menyempurnakan kelebihan diri yang ada, menghadapi semua hawa nafsu dan syahwat (misalnya: rasa takut, cemas, inferior, bangga, sombong, iri, minder, tidak percaya diri, dan sebagainya) demi untuk mengenal segala aspek dalam diri kita sendiri (’arafa nafsahu), supaya kelak kita bisa mengenal Rabb kita (’arafa rabbahu).

Maka dari itu, bermursyid bukan seperti datang ke pengajian sekali seminggu. Menghilangkan kepenatan dan kemumetan, mencari kesejukan sesaat, bukan dan sekedar menghafal Al-Qur’an, setelah lega kembali ke kehidupan masing-masing. Bukan pula untuk berorganisasi, berharap dapat mengembangkan potensi diri demi karir di sana. Juga bukan seperti dukun, minta doa supaya sukses, minta amalan, dan semacam itulah. Bukan juga datang ke sana untuk bersosialisasi, mencari kelompok maupun kegiatan saja.

Bermursyid itu, bukan pula seperti ke pasar. Ingin membeli pencerahan, ingin membeli keajaiban, ingin membeli maqom ataupun pencapaian spiritual. Tapi begitu malam tiba, semua pembeli pergi ke rumah masing-masing dan kembali kepada kenyamanan tempat tidurnya di rumah, lupa pada perjuangan penyucian diri.

Demikian pula, jangan bermursyid pada orang yang mengangkat kita sebagai murid karena kita memiliki ‘potensi’ manfaat untuk dirinya, bisnisnya, partai politiknya, maupun organisasinya. Ini guru yang ‘berbisnis’, karena orang seperti ini, jika ia ingin susu maka ia akan mencari sapi untuk dipelihara.

Hubungan dengan mursyid itu tidak mudah, karena konsekuensinya adalah, setiap saat dimanapun kita berada, kita dituntut untuk bertaubat dan memperbaiki diri, sesuai QS. Al-Ma'idah: 39, bahwa Allah hanya menerima taubat dari orang-orang yang taubatnya dilanjutkan dengan memperbaiki dirinya.

“Dan barangsiapa bertaubat setelah melakukan kejahatan (menzalimi dirinya) dan kemudian memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 39)

Sekali lagi, inilah rambu utama dari Al-Qur’an yang harus kita ikuti:

“Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ (orang yang tetap diatas petunjuk)” (QS. Yasin: 21).

Semoga bermanfaat...



Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Perjalanan Mencari Mursyid (Pembimbing Sejati) | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top