Sejarah Ki Ageng Gribig
Ki Ageng Gribig yang bernama asli Wasibagno Timur atau ada yang menyebutkan Syekh Wasihatno, merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dari Majapahit.
Yang mana disebutkan bahwa beliau adalah putra dari Raden Mas Guntur atau Prabu Wasi Jaladara atau Bandara Putih, putra dari Jaka Dolog adalah putra Prabu Brawijaya V raja terakhir kerajaan Majapahit.
Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam di pulau Jawa, tepatnya di Desa Krajan, Jatinom, Klaten.
Namun menurut Buku Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962 terbitan Departemen Penerangan RI disebutkan bahwa Ki Ageng Gribig masih keturunan Maulana Malik Ibrahim yang berputra Maulana Ishaq, yang berputra Maulana 'Ainul Yaqin (Sunan Giri), yang berputra Maulana Muhammad Fadhillah (Sunan Prapen) yang berputra Maulana Sulaiman alias Ki Ageng Gribig.
Jadi jika ditarik kesimpulan, KH Achmad Dahlan yang bernama lahir Muhammad Darwis pendiri Muhammadiyah itu masih keturunannya Ki Ageng Gribig.
Dakwah Ki Ageng Gribig sangatlah mengena pada masyarakat yang pada saat itu masih banyak memeluk agama Hindu dan Budha.
Syiar beliau tidak hanya di daerah Klaten saja, namun menyebar luas sampai ke daerah Boyolali dan Surakarta.
Ki Ageng Gribig sangat pandai dalam strategi dakwah, hingga masyarakat yang pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu besar, menjadi beriman pada Allah SWT.
Keluhuran serta jasa beliau senantiasa terkenang dan melekat pada masyarakat, terutama yang tinggal di daerah Klaten dan Boyolali.
Ki Ageng Gribig juga termasuk ke dalam tokoh yang berpengaruh, karena dekat dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma penguasa Mataram.
Ki Ageng Gribig berhasil memadamkan niat Adipati Palembang yang ingin "mbalela" kepada Mataram tanpa melalui pertumpahan darah.
Oleh karenanya, kemudian Sultan Agung bermaksud untuk mengangkat Ki Ageng Gribig sebagai Bupati Nayaka.
Namun, Ki Ageng Gribig tidak bersedia dan lebih memilih menjadi ulama dari pada jadi pejabat.
Meskipun menolak, hubungan Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung tetaplah baik, bahkan semakin dekat.
Karena kemudian Ki Ageng Gribig menikah dengan adik Sultan Agung yang bernama Raden Ayu Emas Winongan, dan diberikan kekuasaan penuh sebagai ulama dan pemimpin atas tanah perdikan Mutihan di Jatinom.
Mesjid Alit, mesjid pertama yang dibangun di Jatinom, adalah buah tangannya.
Dan bahkan selang tak lama kemudian, atas perintah Sultan Agung, Ki Ageng Gribig mendirikan mesjid baru yang jauh lebih besar.
Mesjid yang berjarak hanya 100 meter dari Masjid Alit ini diberi nama Mesjid Besar Jatinom.
Banyak peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Ki Ageng Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya.
Salah satu peninggalannya adalah Masjid Besar Jatinom yang dulu dijadikan pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai sekarang dijadikan sebagai tongkat Khotib ketika shalat Jum'at, serta kolam wudhu yang konon adalah tempat wudhu Ki Ageng Gribig beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari Masjid yang bernama Sendang Plampeyan, Gua Suran dan juga Gua Belan.
Gua Suran letaknya tak jauh dari Mesjid Besar Jatinom. Gua ini, dulunya, adalah tempat bersemedi Ki Ageng Gribig.
Konon, ular dan macan menjadi penjaganya, saat ia bersemedi.
Meski berbentuk terowongan, Gua Suran ini tidak terlalu dalam, bahkan lebarnya hanya selebar tubuh manusia.
Tingginya, memaksa orang yang masuk ke dalam untuk merunduk, agar tak terantuk atap gua.
Tak jauh dari Gua Suran ini, Ki Ageng Gribig sempat memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai tempat ibadah, saat ia pertama kali datang ke Jatinom.
Sementara Gua Belan, yang letaknya di sebelah timur Gua Suran, juga merupakan tempat bersemedi Ki Ageng Gribig, yang terkadang dijadikan tempat bertemu dengan Sultan Agung.
Disebut-sebut, ia mampu melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya di Jatinom, ke Makkah al- Mukarromah, dalam waktu singkat, bak orang melempar batu.
Sehingga hampir setiap hari, ia dapat pergi ke Tanah Suci, dan kembali ke kampungnya.
Suatu hal yang mustahil di zaman itu dan saat ini.
Suatu Jum’at di Bulan Safar (ada yang menyebutkan tanggal 15 Safar), Ki Ageng Gribig kembali dari perjalanannya ke Tanah Suci.
Ia membawa oleh-oleh, 3 buah penganan dari sana.
Sayangnya saat akan dibagikan kepada penduduk, jumlahnya tak memadai.
Bersama sang istri, ia pun kemudian membuat kue sejenis.
Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat, yang berebutan mendapatkannya.
Sambil menyebarkan kue-kue ini, iapun meneriakkan kata "Ya Qowiyyu", yang artinya "Tuhan, Berilah Kekuatan" atau bisa juga berarti "Allah Yang Maha Perkasa (Kuat)".
Secara utuh, Ki Ageng Gribig berucap: Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin”.
Yang Artinya, Ya Tuhan Yang Maha Kuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin.
Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimin.
Penganan ini kemudian dikenal dengan nama apem, saduran dari bahasa Arab "Affan", yang bermakna Ampunan.
Tujuannya, agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta.
Sejak saat itu, tepatnya sejak tahun 1589 Masehi atau 1511 Saka, Ki Ageng Gribig selalu melakukan hal ini.
Ia pun mengamanatkan kepada masyarakat Jatinom saat itu, agar di setiap Bulan Safar, memasak sesuatu untuk disedekahkan kepada mereka yang membutuhkan.
Amanat inilah yang mentradisi hingga kini di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yang kemudian dikenal dengan "Yaqowiyu".
Sebutan Ki Ageng Gribig melekat pada diri beliau konon dikarenakan kesukaan Ki Ageng Gribig untuk tinggal di rumah beratap gribig (anyaman daun nyiur).
Makam Ki Ageng Gribig dibuat dari batu merah dan kayu, terletak di Dukuh Jatinom, Kelurahan Jatinom, Kecamatan Jatinom, yang berjarak sekitar 9 km dari kota Klaten, Jawa Tengah.
Versi lain tentang Ki Ageng Gribig juga terdapat di Malang, Jawa Timur.
Hanya saja Ki Ageng Gribig ini disebutkan sebagai putra dari Pengeran Kedawung yang juga salah seorang keturunan Lembu Niroto, pemilik panembahan Bromo.
Lembu Niroto sendiri adalah putra ketiga dari Raja Brawijaya XI yang memerintah Majapahit pada 1466-1478.
Jadi Ki Ageng Gribig itu cicit Raja Brawijaya XI.
Ki Ageng Gribig ini konon disebut-sebut sebagai salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga yang ada di Malang.
Tak heran jika Ki Ageng Gribig menjadi salah seorang ulama yang tersohor di Malang pada tahun 1650.
Makam Ki Ageng Gribig ini kini terletak di Jalan Ki Ageng Gribig Gg. II, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Makam seluas satu hektar itu berada persis di sebelah sebuah masjid yang berdiri di jalan itu yang juga bernama Masjid Ki Ageng Gribig.
Di antara susunan batu nisan dan bangunan kijing yang ada di kompleks makam terdapat sebuah bangunan berukuran sekitar 7 x 4 meter di sisi barat.
Berbeda dengan bangunan lain, dua pintu yang menghadap utara selalu tertutup rapat. Bahkan digembok dari luar. Di dalam bangunan itu terdapat dua buah makam. Itulah makam Ki Ageng Gribig dan istrinya.
LOKASI:
Masjid Besar Jatinom
Makam Sunan Gribig (Ki Ageng Gribig)
Jalan Masjid Besar Jatinom, Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57481
Masjid Besar Jatinom
Makam Sunan Gribig (Ki Ageng Gribig)
Jalan Masjid Besar Jatinom, Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah 57481
Post a Comment Blogger Disqus