Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya Wahai Abu al-Faidl! begitu ia memanggil demi menghormatinya. Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah Swt? Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu. Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku.
Lalu Dzunnun berkata: Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji.
Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas.
Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: Cukup aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah Swt. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Kasih berkenan menerimaku.
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufipun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.
Post a Comment Blogger Disqus