Dalam tasawuf, riyadhoh berarti latihan kerohanian dengan menjalankan ibadah dan menundukkan keinginan nafsu syahwat.
Menurut kalangan penempuh jalan tasawuf, riadat dalam arti tersebut pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ber-khalwat di Gua Hira dengan melatih diri, mengasah jiwa, berzikir, merenung, memperhatikan kejadian alam dan susunannya, serta memperhatikan segala keadaan masyarakat yang penuh kejahilan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan keprihatinan Nabi SAW yang mendalam. Kemudian datanglah wahyu yang dibawa oleh Jibril.
Setelah menjadi rasul, beliau tetap menjalankan riadat, melawan hawa nafsu (mujahadah) dan tekun beribadat seperti melakukan shalat tahajud sampai jauh malam sehingga kakinya membengkak. Ketika ditanyakan Aisyah, istrinya, mengapa beliau beribadah sekuat itu, Nabi SAW menjawab bahwa ia ingin mejadi hamba Allah SAW yang bersyukur, bukan karena ingin diampuni dosa-dosanya (HR Ahmad bin Hanbal).
Riadat dalam tasawuf ada dua macam, yaitu riadat badan dan riadat rohani. Riadat badan dilakukan oleh seorang sufi atau pengamal tarekat dengan jalan mengurangi makan, mengurangi minum, mengurangi tidur dan mengurangi berkata-kata. Riadat rohani biasanya melalui ibadah, seperti senantiasa dalam keadaan berwudlu, rajin melakukan shalat (baik fardu maupun sunnah) dan rajin mengamalkan zikir dan aneka ragam wirid.
Adapun riadat yang dilakukan para sufi berbeda-beda sesuai dengan tarekat yang dianutnya. Riadat dilakukan para sufi untuk dapat dekat dan berma'rifat kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan kekuatan bathin masing-masing. Seseorang yang akan melakukan riadat diharuskan untuk terlebih dahulu mempersiapkan kesucian lahiriah melalui iman, Islam dan ihsan.Ia harus pula memahami dengan sebaik-baiknya apa yang dimaksud dengan rukun iman, pengetahuan mengenai sifat-sifat Tuhan yang wajib dan jaiz, yang mustahil dan yang mungkin, serta pengetahuan tentang nubuat dan yang berhubungan dengan nabi-nabi, seperti sifat-sifatnya, mukjizat dan syafaatnya. Selain itu, juga pengetahuan mengenai malaikat, kitab suci, hari kiamat, dan qada serta qadar.
Ia juga harus mengamalkan ajaran Islam yang wajib, seperti shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, dan berupaya memahami hikmah-hikmah dari ibadah itu. Ia melakukan segala sesuatu dengan ikhlas kepada Allah SWT.
Sedangkan Khalwat artinya menyendiri, mengasingkan diri dan memencilkan diri. Menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah lainnya.
Kalangan sufi di antaranya Al-Ghazali berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di Gua Hira sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Saur sesudah menjadi rasul. Khalwat Rasulullah di Gua Hira adalah tafakur tentang segala mahluk ciptaan Allah SWT. Sedang khalwat Nabi setelah menjadi rasul adalah memohon kepada Allah SWT agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena Nabi SAW berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai hakekat roh tanpa mengatakan insya Allah.
Disebutkan bahwa Imam Ghazali pernah melakukan khalwat tiga kali, masing-masing selama 40 hari. Dalam 'Awarif al-Ma'arif (Ahli Ilmu Pengetahuan) kaum sufi, ia menasehatkan untuk ber-khalwat selama 40 hari setiap tahun dan menjalankannya dengan shalat dan puasa. Khalwat yang dinamai al-Arba'iniyah (sifat 40) ini mempunyai tujuan etis (khuluqiyyah) yaitu penyucian jiwa dan penyingkiran tabir-tabir (hijab) jasmani. Khalwat ini bukan untuk mencapai mukasyafah atau untuk meminta keluarbiasaan dan keajaiban yang kadang-kadang muncul.
Seorang murid tarekat yang berkhalwat hendaklah melepaskan diri untuk sementara waktu dari alam sekitar, seluruh harta miliknya, dan keluarganya serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat jamaah atau shalat Jumat. Dalam keadaan seperti itu ia harus terus menerus mengingat Allah dan tidak memperhatikan apa yang didengar dan dilihatnya agar dirinya tidak terganggu. Selama itu pula ia harus tetap bersuci dengan wudlu, tidak tidur kecuali amat letih, dan tidak putus-putusnya berdzikir.
Amaliah yang dilakukan seseorang selama berkhalwat dan tatacaranya tergantung pada aliran tarekat dan ajarannya. Misalnya, tarekat Naksyabandiah menetapkan tata cara khalwat sebagai berikut:
Pertama, khalwat itu dilakukan dengan iktikaf dalam masjid.
Kedua, orang yang melakukan khalwat harus senantiasa berwudlu. Setiap batal wudlunya, ia harus berwudlu kembali dan kemudian shalat tobat dua rakaat karena meninggalkan khalwat dipandang telah melakukan dosa.
Ketiga, mengerjakan dzikir. Dalam tarekat Naksyabandiah, zikir itu terbagi atas dzikir derajat dan dzikir hasanat.
Keempat, dalam berkhalwat hendaklah si pelaku memisahkan diri dari orang banyak.
Kelima, shalat berjamaah.
Keenam, hendaknya selama melakukan khalwat mengurangi makan, minum, tidur dan berkata-kata. Yang terutama dikurangi adalah perkataan lidah dan hati; hati hanya berdzikir kepada Allah SWT.
Ketujuh, dalam berkhalwat memakai baju, kain sarung, dan tutup kepala putih karena warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas bila terkena najis.
Kedelapan, selama khalwat, si pelaku meninggalkan pekerjaan jual beli dan segala pekerjaan duniawi lainnya yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT.
Kesembilan, mengurangi makan daging karena daging dapat membuat sifat manusia menjadi buas.
Kesepuluh, sedapat mungkin berkhalwat itu memakai kelambu agar selain mencegah nyamuk, lalat dan lainnya yang mengganggu pikiran dalam berdzikir, juga dapat mengingatkan orang yang berkhalwat seolah-olah ia berada dalam lubang kubur atau liang lahat.
Kesebelas, muka dan dadanya selalu dihadapkan ke arah kiblat.
Keduabelas, berkhalwat melatih rasa sabar dan qana'ah
Post a Comment Blogger Disqus