Syekh H. Abdusshamad Bakumpai bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan pada tanggal 24 Dzulqa'idah 1237 H bertepatan dengan tanggal 12 Agustus 1822 M di Kampung Penghulu Tengah Marabahan.
Dari seorang ibu Sholehah yang bernama Samayah binti Sumandi, seperti cucu-cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masa kecil berlimpahan ilmu dari keluarganya hingga ketika dewasa ia cuma belajar dengan orang tuanya sendiri yang sangat alim, tapi setelah dirasa cukup barulah ia dikirim kepada pamannya di dikampung Dalam Pagar Martapura, setelah beberapa tahun di Martapura iapun kembali ke Marabahan untuk mengemban misi dan menyebarkan ajaran Islam keberbagai pelosok daerah sekitarnya, beliau kawin dengan seorang perempuan yang bernama Siti Adawiyah binti Buris dan melahirkan 4 orang anak masing-masing bernama:
Dari seorang ibu Sholehah yang bernama Samayah binti Sumandi, seperti cucu-cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masa kecil berlimpahan ilmu dari keluarganya hingga ketika dewasa ia cuma belajar dengan orang tuanya sendiri yang sangat alim, tapi setelah dirasa cukup barulah ia dikirim kepada pamannya di dikampung Dalam Pagar Martapura, setelah beberapa tahun di Martapura iapun kembali ke Marabahan untuk mengemban misi dan menyebarkan ajaran Islam keberbagai pelosok daerah sekitarnya, beliau kawin dengan seorang perempuan yang bernama Siti Adawiyah binti Buris dan melahirkan 4 orang anak masing-masing bernama:
- Zainal Abidin
- Abdurrazak
- Abu Thalhah
- Siti Aisyah
Meskipun sudah mempunyai anak 4 orang namun hasrat beliau belajar ilmu-ilmu agama makin membara yang mana kemudian membawa beliau ke sumbernya ilmu yakni ke Tanah Suci Mekkah, beliau berangkat dengan anaknya yang bernama Abdurrazak, sedangkan anaknya yang bernama Abu Thalhah dibawa ke Martapura oleh sepupu beliau H. Muhammad Thasin bin Mufti H. Jamaluddin untuk dididik ilmu agama, setibanya di Mekkah beliau berjumpa dengan keponakan beliau yang bernama H. Jamaluddin bin H. Ahmad Kusyasyi yang telah menimba ilmu sekitar 20 tahunan di Tanah Suci, adapun diantara guru-guru beliau waktu disana adalah:
- Syekh Sulaiman al-Zuhdi an-Naqsyabandi (guru dalam ilmu hakikat dan dari guru beliau inilah mendapatkan ijazah Tareqat Naqsyabandiyah Qadiriyah)
- Syekh Sulaiman Muhammad Sumbawa (salah seorang murid Maulana Syekh Muhammad Saleh Rais asy-Syafi'i Mufti Mekkah mendapatkan ijazah Thareqat Syadziliyah)
- Syekh Khatib Sambas
Setelah 8 tahun beliau mengaji di Mekkah maka keluarlah ijin dari guru-gurunya agar mengajarkan ilmu-ilmu ke masyarakat dikampung halamannya, kemudian beliau menyampaikan hal ini kepada keponakannya yakni H. Jamaluddin, betapa terkejutnya keponakan beliau ketika mendengar hal ini, karena menurut hematnya pamannya ini belum lama menuntut ilmu hingga belum banyak ilmu yang pamannya dapatkan di Mekkah, ia kemudian berkata "Wahai paman.. mengapakah paman ingin sekali segera pulang, sedangkan paman baru 8 tahun berada disini, sedangkan ananda yang sudah hampir 30 tahun belum terbersit untuk pulang kampung, karena ananda merasa masih sedikit mempunyai ilmu" kata sang keponakan. Menurut riwayat setelah terjadi pembicaraan itu keduanya bersama-sama melaksanakan sholat berjamaah, selaku imam adalah Syekh Abdush Shamad, pada saat Syekh Abdush Shamad mengangkat takbir maka hilanglah jasadnya, namun ketika menjelang salam tampaklah kembali jasad Syekh Abdush Shamad dihadapan keponakannya, sangatlah kaget dan heran H. Jamaluddin melihat peristiwa ini akhirnya mengertilah ia akan keadaan pamannya yang sudah mencapai maqam para Aulia, maka setelah sholat selesai mereka berdua bermudzakarah atau berbincang-bincang tentang ilmu agama, saat itulah beliau mengatakan bahwa guru-guru Syekh Abdush Shamad memberikan ilmu-ilmu kepadanya tidak seperti layaknya orang-orang kebanyakan, namun dengan cara menumpahkan seluruh ilmunya kedadanya (baluruk istilah bahasa Banjar) sehingga dengan demikian ia dapat dengan cepat menghimpun ilmu-ilmu Syariat, Thariqat, Hakikat dan Ma'rifat dalam waktu yang relatif singkat.
Sepulang dari Tanah Suci beliau langsung pulang kekampung halamannya di Marabahan, kemudian ia mengajarkan serta berdakwah di Marabahan dan sekitarnya hingga ramailah para penuntut ilmu yang datang kepadanya dan tak terhitung masyarakat suku Dayak disepanjang sungai Barito yang akhirnya memeluk Islam dihadapan beliau, tak lupa beliau membangun sebuah langgar dan pemondokan untuk para muridnya tak jauh dari rumahnya, selain itu beliau juga membangun tempat khalwat dibelakang rumahnya (sekarang menjadi tempat kubah maqamnya), setiap bulan Ramadhan banyak berdatangan para ulama dari Martapura, Banjarmasin, Rantau dan Hulu Sungai serta dari berbagai daerah untuk mempelajari ilmu Thareqat serta ikut berkhalwat, pada akhirnya karena keluasan ilmu beliau maka diangkatlah beliau menjadi Qadhi Bakumpai hingga masyur nama beliau dipanggil Qadhi H. Abdush Shamad Bakumpai.
Diantara murid-murid beliau yang terkenal diwilayah itu adalah:
- H. Syibawaihi (H. Bawai)
- H. Asqalani (salah satu keturunan beliau)
Diantara isteri-isteri beliau yang lain adalah:
- Hj. Ayu binti Khalifah Hasanuddin (tidak dikarunia anak)
- dengan Arfiyah binti Sailillah (juga tidak mempunyai keturunan)
- dengan Markamah mendapatkan anak:
- Siti Hafsah
- Siti Maimunah
- Qadhi H. Jafri
Setelah beberapa lama mengajar, berkiprah meneruskan jejak langkah orang tua dan kakeknya akhirnya pada malam Rabu 13 Syafar 1317 H / 22 Juni 1899 rohnya yang suci dipanggil yang Maha Kuasa dalam usia 80 tahun. Qadhi al-Mursyid fit Thariqah Haji Abdush Shamad Bakumpai al-Banjari yang banyak jasanya menyebarkan Islam kepada suku Dayak dipesisir daerah aliran Sungai Barito di makamkan di Kampung Tengah Marabahan.
Kalau ada kekurangan dalam penyampaian riwayat ini al faqir mohon maaf ampun sebesar-besarnya kepada saudaraku semua, wabillahi taufik wal hidayah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sumber : Ulama Berpengaruh Kalimantan Selatan (Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan)
Post a Comment Blogger Disqus