Beliau adalah wali pendiri pesantren tarekat, di Tasikmalaya Jawa Barat, yang kini menjadi salah satu pusat penyebaran Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN) dan terkenal di bawah kepemimpinan putranya yang juga kharismatik, Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN atau Abah Anom. Syekh Abdullah Mubarok juga dikenal dengan nama Abah Sepuh, Ajengan Godebag atau Kyai Godebag.
Syekh Abdullah Mubarok lahir pada 1836 di kampung Cicalung, Bojongbentang, Kecamatan Tarikolot (kini masuk Kecamatan Pagerageung). Ayahandanya adalah Raden Nurmuhammad, alias Nurapraja alias Eyang Upas, sedangkan ibundanya adalah Ibu Emah. Syekh Abdullah Mubarok ini memiliki lima saudara kandung. Sang ayah memiliki kedudukan sosial-ekonomi yang tinggi di kawasan itu. Sejak kecil Syekh Abdullah Mubarok sudah gemar mengaji dan belajar ilmu agama, bertani, menjala ikan, menyumpit burung, dan berburu. Pendidikan awalnya ditempuh di sebuah pesantren di Sukamiskin, Bandung. Belakangan beliau semakin sering mendalami ajaran tasawuf dan tarekat. Sebelum Syekh Mubarok ke Cirebon untuk mendalami agama, beliau sudah sering berziarah ke makam wali Allah terkenal, Syekh ABDUL MUHYI PAMIJAHAN, yang terletak di Pamijahan, sekitar 50 kilometer selatan kota Tasikmalaya.
Di sini beliau bermimpi melihat seorang Syekh di Cirebon. Kemudian bersama sahabatnya, Madraji, beliau berangkat ke Cirebon dan bertemu Syekh TOLHAH, dan menjadi santrinya di Pesantren Begong, Kalisapu, Cirebon. Selain itu beliau juga menyempatkan diri berguru kepada Syekh KHOLIL BANGKALAN di Madura, seorang wali Allah yang amat terkenal. Saat berguru kepada Mbah Kholil ini beliau mendapat banyak ilmu, salah satunya ijazah Shalawat Hasyimiyah yang kini sering dibaca oleh para ikhwan TQN.
Selama di Pamijahan Abah Sepuh banyak menjalani laku-tirakat dan riyadhah. Di antaranya adalah tidak makan nasi, hanya daun-daun segar yang tumbuh di pinggir kali, dan memakannyapun tidak dipetik, tetapi langsung dengan mulut. Beliau juga tidak minum air apapun kecuali dari tebu atau buah mentimun. Semua tirakat ini dijalankan selama 40 hari penuh. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa suatu ketika beliau menyelesaikan puasanya dan kebetulan ada jamuan makan untuk perayaan Mauludan, di mana setiap orang membawa nasi tumpeng sendiri-sendiri ke masjid. Beliau merasa senang karena berpikir bisa makan enak, dan karenanya beliau datang ke acara sebagai tamu.
Namun setelah makanan itu didoakan oleh kyai masjid, tumpeng itu dibawa pulang lagi oleh orang yang membawanya, sehingga Abah Sepuh tidak mendapat makanan apa-apa. Sejak itu Abah Sepuh bertekad bahwa beliau tidak akan membiarkan para tamu yang masuk rumahnya diizinkan pulang jika belum diberi makanan. Tekad ini terwujud sampai sekarang. Terutama selama acara manaqiban, Pesantren Suryalaya selalu menyediakan makanan nasi lengkap dengan lauk-pauknya secara gratis kepada para tamu, sehingga dapur pesantren itu tetap beroperasi penuh selama hampir 24 jam.
Pada tahun 1908, Syekh Tolhah mengangkat Syekh Abdullah Mubarok sebagai khalifahnya. Dari 1910 sampai 1930 Abah Sepuh ditunjuk menjadi penasihat bupati Tasikmalaya, Ciamis dan Bandung, dan menjadi penasehat pasukan TNI selama perang kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949, dan berlanjut hingga tahun 1959. Pada tahun 1952 beliau memperoleh gelar Abah Sepuh. Pada saat yang sama beliau sudah menyiapkan putranya yang kelima, Abah Anom, untuk menggantikannya sebagai pimpinan pesantren tarekat ini. Menjelang akhir hayatnya Abah Sepuh tinggal di Tasikmalaya, di rumah keluarga Haji O. Sobari. Di rumah inilah Abah Sepuh meninggal pada 25 Januari 1956 dalam usia hampir 120 tahun; sepanjang hayatnya beliau menikah beberapa kali, namun hanya satu istri pada saat yang sama.
Ajaran dan Karamah
Selain mengajarkan Tarekat Qadiriyah wa Naqasyabandiyah, Abah Sepuh juga memberi banyak ajaran agama, sosial dan kemasyarakatan. Salah satu ajaran yang senantiasa dirujuk dan dibaca di setiap acara manakiban di TQN adalah Tanbih, atau wasiat beliau yang ditujukan kepada khususnya ikhwan/murid TQN. Secara garis besar wasiat ini mengajak segenap ikhwan TQN untuk mengamalkan ajaran Islam pada umumnya dan tarekat pada khususnya dengan sekuat-kuatnya dan penuh kesungguhan. Dalam Tanbih ini juga dipaparkan beberapa prinsip hubungan sosial, baik di level antar individu, masyarakat maupun negara. Menurut Abah Sepuh, seorang pengamal TQN harus menunjukkan kebajikan sosial (amal saleh dan kebaikan) yang dilandaskan pada kesucian hati. Jadi:
- Terhadap orang yang lebih tinggi daripada kita, baik lahir maupun batin, harus kita hormati; begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga-menghargai;
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong-royong dalam melaksanakan perintah agama dan negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firman-Nya, ‘adzabun alim,’ yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia sampai akhirat
- Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
- Terhadap fakir miskin harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Mengenai tujuan pengamalan TQN, Abah Sepuh menyatakan, (Tiada lain amalan kita, TQN, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebajikan lahir dan batin, menjauhi segala kejahatan lahir dan batin yang berhubungan dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti nafsu dan digoda oleh tipu daya setan.
Sebagaimana lazimnya wali Allah, Abah Sepuh juga memiliki beberapa kelebihan di luar kebiasaan atau khawariq al-adat (karamah). Dikisahkan, Bupati Ciamis berencana mengalihfungsikan Rawa Lebok menjadi lahan pertanian. Namun rawa ini terkenal angker, dan tak sedikit pekerja yang membuka rawa itu jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia. Akhirnya Bupati Ciamis meminta bantuan kepada Ajengan Godebag. Berkat karamahnyalah maka, sejak beliau ikut membantu dengan caranya sendiri, tidak ada lagi pekerja yang jatuh sakit atau tewas.
Diceritakan ketika Syeikh Abdullah Mubarok pulang berguru dari pulau Madura kepada Syeikh Kholil Bangkalan Abah Sepuh langsung naik perahu tanpa dibekali dayung atau layar, dengan hanya bekal sholawat Bani Hasyim yang dibacanya sepanjang perjalanan, beliau sampai ke Cirebon. Artinya perahunya dijalankan hanya dengan bacaan sholawat Bani Hasyim yang beliau dapatkan dari gurunya Syeikh Kholil Bangkalan. wa Allaahu a’lam.
Post a Comment Blogger Disqus