(21 Desember 1916 – 17 September 2001)
A. Sejarah Kelahiran dan Tanda Kekhalifahan yang ada pada Dirinya
Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan merupakan putra (anak laki-laki) tertua dari Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Beliau dilahirkan pada tanggal 21 Desember 1916 M bertepatan dengan 26 Safar 1334 H di daerah Cidahu, Tasikmalaya.
Pendidikan awal beliau diperoleh langsung dari ayahandanya. Kemudian Sekolah Rakyat Melayu di Singapura. Sepulang Syekh Abdul Fattah ke tanah air pada tahun 1932 beliau disekolahkan di Madrasah ‘Unwanul Falah, Habib Ali Kwitang dan Madrasah Jami’atul Khair Tanah Abang, Jakarta. Setelah menimba ilmu di dua madrasah tersebut, ia mendapatkan tugas untuk mempersiapkan kitab-kitab ayahnya manakala membahas suatu persoalan, menunggunya sampai selesai dan mengembalikan kitab tersebut ke tempatnya semula. Pendidikan model terakhir inilah menurut beliau sangat besar pengaruhnya terhadap diri dan kehidupan beliau selanjutnya.
Berbagai kabar mengenai kebesaran beliau telah tercium di masa kanak-kanak oleh beberapa orang yang telah dianugerahi Mukasyafah. Di antaranya Habib Jamalulail yang menjadi Guru ayahanda beliau, yakni Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah yang menyatakan bahwa bayi ini (Muh. Dahlan) adalah Wali Akbar. Pernyataan itu juga dilontarkan oleh Habib Ali Al-Habsyi[1] Kwitang sewaktu beliau masih belajar di sana.
Pernah suatu peristiwa, ketika Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah bersama beberapa orang murid beliau mengadakan perjalanan berziarah ke tempat-tempat Awliya untuk bertabarruk (mengambil berkah) di daerah Jawa, khususnya Jawa Barat. Sampailah seluruh rombongan di sebuah daerah keramat, yakni di Banten, yang terkenal dengan Keramat Batu Quran. Tempat tersebut merupakan peninggalan seorang Awliya yang bernama Syekh Maulana Manshur Nasharudin (sezaman dengan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan). Di tempat itu Syekh Abdul Fattah memerintahkan beberapa murid-muridnya itu untuk berenang di sebuah kolam yang mengelilingi sebuah gundukan batu. Gundukan batu itu dikenal sebagai Batu Quran, sebab apabila ada seorang yang mampu mengitari batu itu sambil berenang di kolam itu tanpa berhenti (tidak bernafas) sebanyak 7 (tujuh) kali putaran, maka akan muncullah sebuah Quran di atas batu itu. Dan apapun yang dihajatkan olehnya pasti terkabul dengan Izin Allah Ta’ala.
Satu persatu murid Syekh Abdul Fattah mencobanya, kesemuanya tidak berhasil kecuali Syekh Muhammad Dahlan yang pada waktu itu masih muda. Menurut seorang murid beliau yang turut bersama mengikuti jalannya peristiwa itu, selama ini sejak masa dahulu belum ada yang berhasil menempuhnya kecuali beliau (Syekh Muh. Dahlan). Dan ini bisa ditanyakan langsung kepada kuncennya. Dengan demikian kejadian tersebut merupakan isyarat (pertanda) bakal diserahkannya kekhalifahan Thariqat kepada beliau kelak.
Seorang Ulama besar di Jakarta yakni Muallim Syafi’i Hadzami pada masa kecil sering dibawa oleh kakeknya yang bernama Husin mendatangi majelis dzikir di Masjid Al-Fattah Jl. Batu Tulis, pada masa Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah. Ketika ia mengikuti dzikir beberapa kali mengalami jadzbah. Saat itu kakeknya meminta do’a kepada Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah agar cucunya itu dijadikan orang yang alim dan berguna bagi masyarakat. Lalu ia dido’akan.
Dan pada kesempatan lain Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah menyatakan, ‘Dia (Syafi’i Hadzami) kelak akan besar di luar, sedangkan anakku (Muhammad Dahlan) akan besar di dalam’. Hal ini ternyata terbukti benar. Syafi’i Hadzami menjadi Ulama besar Betawi yang mempunyai banyak muridnya di berbagai pelosok Jakarta. Dan Muhammad Dahlan setelah terdidik di lingkungan Thariqat akhirnya menjadi Khalifah Thariqat Al-Idrisiyyah sepeninggal Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.
B. Pergi Haji yang terakhir kali
Lebih kurang setahun sebelum uzurnya, beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, dengan ditemani beberapa orang murid. Ada beberapa kisah ruhaniyah yang terjadi pada diri beliau, yang pernah diceritakan langsung di tengah-tengah majelis. Di antaranya adalah ketika berziarah ke makam Rasulullah Saw di Madinah.
Pada saat itu begitu banyak kaum muslimin berjejalan dan berebut tempat terdepan, mengharapkan tempat yang teramat mulia, yakni Ar-Raudhah[2]. Dengan demikian karena begitu banyaknya orang yang telah masuk ke areal maqam Nabi yang mulia, maka beliau hanya mampu menggelar sajadah di halaman Masjid. Pada saat itulah muncul Rasulullah Saw menghampiri beliau, karena beliau adalah tamu yang diistimewakan oleh Rasulullah Saw, di antara tamu-tamu lainnya, sehingga Rasulullah sendiri yang mendatangi beliau. Serta merta beliau bersujud mencium kaki Rasulullah Saw yang mulia, dikarenakan rasa khudhu’ dan hormat beliau kepadanya.
Satu kisah lagi diceritakan bahwasanya ketika hendak shalat di Makkah Al-Mukarramah, tampak oleh beliau barisan para malaikat dan para Nabi dalam jajaran shaf yang sudah diatur. Tampak di depan shaf, Rasulullah dan beberapa sahabat beliau yang utama, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada saat itulah Rasulullah memerintahkan Asy-Syekh Al-Akbar menjadi Imam shalatnya, sehingga beliau semakin bertambah Haya’ di hadapan Rasulullah Saw. Namun dikarenakan perintah, maka beliau menuruti apa yang diisyaratkan Rasulullah Saw kepadanya.
Ada suatu kejadian menarik bahwasanya tatkala beliau bersama Rasulullah Saw pada waktu itu terlihatlah ruhani murid-murid beliau dengan berghamis putih berselendang hijau. Menjadi heranlah beliau, lalu bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, junjunganku, mengapakah murid-muridku telah sampai di sini?” Maka Rasulullah Saw menjawab, “Karena mereka senantiasa bersholawat kepadaku ketika hendak sholat Isya berjama’ah, itulah yang menyebabkan aku mencintainya”.
Semenjak pergi haji terakhir itu beliau merasakan Rasulullah senantiasa mengiringi keberadaan beliau ke manapun. Bahkan ketika dalam suasana mengajar di majelis, ketika kisah ini diceritakan. Bayang-bayang ruhani Rasulullah Saw selalu menyertainya.
C. Beberapa Ujaran-ujaran Beliau
Suatu saat di Majelis, beliau bertanya: ”Mengapa Iblis menangis disambit ketika para jama’ah melontar jumrah, padahal Iblis tidak kelihatan, dan manakah bisa para jama’ah haji melempari batu ke arah Iblis yang tidak kelihatan itu?” Beliau lalu berkata: “Yang membuat Iblis menangis adalah turut perintahnya, bukannya sakit karena lemparan batu. Dikarenakan Iblis itu dahulu tidak turut perintah sehingga menjadi hina dan dilaknat”.
Beliau sering meneguhkan prinsip-prinsip sederhana yang harus dipertahankan oleh seluruh murid, sehingga berulang-ulang ajaran itu disebut agar tidak terlupakan. Di antaranya adalah:
Dasar (inti) ibadah adalah turut perintah. Orang yang tidak mau turut perintah adalah orang yang tidak mau beribadah. Kisah iblis adalah bukti tidak turut perintah (pembangkangan). Bukan masalah tidak mau sujudnya tetapi karena tidak turut peintah sehingga Allah murka padanya. Dengan dasar inilah seorang murid diwajibkan turut perintah kepada Mursyidnya dengan menafikan apa bentuk perintahnya dan tidak berhujjah dengan ilmu yang dimilikinya.
Hidup-mati atau maju mundurnya Iman itu terletak pada masalah perkara, yakni Wajib-Sunnah sebagai suatu yang diperintahkan dan Haram-Makruh sebagai yang dilarang dan dibenci Allah. Jika seseorang melaksanakan perintah, yakni Wajib-Sunnah, maka keimanannya sedang naik. Dan apabila ia mengerjakan perkara yang Haram-Makruh, berarti keimanannya sedang turun. Padahal bukti kedekatan seorang hamba dengan Rabbul ‘Izzah adalah bergantung dengan maqam imannya.
Nasehat itu susah menerimanya. Ilmu itu susah mengamalkannya. Amal itu susah ikhlas-nya.
Manusia dalam beribadah itu terbagi 3 tingkatan. Pertama: senang dipuji, takut dicela. Kedua: dipuji dan dicela sama saja dirasaknnya. Dan ketiga: senang dicela, takut dipuji.
Orang yang maju ibadahnya adalah orang yang mengetahui salah diri. Yakni memahami betul seluk beluk kekurangan/kesalahan dirinya. Maka sikap yang demikian ini membuat dirinya sibuk meneliti kekurangan dirinya ketimbang mencari-cari kekurangan/kesalahan orang lain, sehingga mempergiati dirinya menambal kekurangan/kesalahan dirinya sendiri dengan banyak-banyak beribadah (taqarub) kepada Allah Ta’ala.
Ibadah itu terbagi 2 (dua). Ibadah hasanah dan ibadah derajat. Yang dimaksud ibadah derajat adalah beribadah di bawah bimbingan (pengawasan) seorang Guru yang Mursyid dengan berthariqat. Sedangkan ibadah hasanah itu adalah ibadah dengan munfarid (sendiri), tanpa bimbingan seorang Mursyid (Guru Thariqat). Ibadah hasanah itu diibaratkan bekerja dengan imbalan gaji saja. Sedangkan derajat, diibaratkan bekerja dengan tambahan beberapa fasilitas, seperti bonus, tunjangan kesehatan, kendaraan, asuransi, gaji rutin, dsb. Istilahnya, ibadah derajat itu seperti bekerja di perusahaan resmi, sedangkan ibadah hasanah itu seperti bekerja di tempat tertentu, seperti kuli bangunan yang apabila borongannya selesai, maka selesai pulalah status bekerjanya.
Murid itu terbagi 2, murid yang Shadiq (benar) dan murid yang Kadzib (pembohong). Murid yang Shadiq itu mengamalkan, sedangkan yang Kadzib tidak mengamalkan, hanya mengaku-ngaku saja. Syarat murid Shadiq itu 2 (dua): Mahabbah (mencintai Guru) dan Taslim (menyerahkan dirinya/tunduk). Mahabbah saja tidak cukup. Karena banyak orang yang mengaku cinta tapi tidak menyerahkan dirinya.
Syarat menjadi murid Thariqat al Idrisiyyah ada 2, percaya (iman) dan mau (diperintah/dibimbing).
Murid itu terbagi 4, pertama: yang jauh (dari pandangan mata lahir) tapi dekat (dari pandangan mata batin), kedua: dekat tapi jauh, ketiga: jauh secara lahirnya juga jauh secara batinnya, dan keempat: dekat secara lahirnya juga dekat secara batinnya (inilah yang paling dicintai Guru Mursyid).
Orang yang melaksanakan perintah Wajib Sunnah itu adalah saudara kita, meskipun bukan murid. Dan orang yang mengerjakan haram makruh itu adalah musuh kita meskipun ia murid. Yang dicinta dan dibenci adalah kelakuannya.
Karcis ke syurga adalah amal Wajib-Sunnah dan karcis ke neraka adalah amal Haram-Makruh.
Lebih baik menjalankan ilmu Wali daripada mengaku dirinya Wali.
Wali itu mempunyai Raja-nya. Masakah jin-syetan mempunyai Raja, sedangkan Wali tidak?
Setiap zaman pemimpin Wali itu berganti-ganti, bukannya setelah meninggal tidak ada lagi Sulthan Awliya. Misalnya: Presiden Sukarno, yang berubah (diganti) adalah Sukarno-nya, bukannya Presiden tidak ada lagi. Demikian pula Pemimpin Wali, senantiasa berganti-ganti setiap masa.
Jika tidak ada Wali, dunia ini binasa.
D. Akhir Hayat Beliau
Tahun-tahun setelah beliau menunaikan haji, tampaklah penurunan beliau secara fisik. Waktu demi waktu beliau lalui dengan kelemahan daya fisik. Tugas dan tanggung jawab sebagai Guru Mursyid, tetap beliau laksanakan. Pergi pulang Jakarta – Tasikmalaya sudah menjadi rutinitas (kebiasaan), beliau masih lakukan meskipun dengan kelemahan dan keterbatasan fisik.
Mengenai penyakit yang cukup parah yang pernah dialami beliau adalah gangguan ginjal, sehingga pernah ketika mengajar beliau meminta izin untuk ke belakang. Beliau pernah dibopong oleh dua orang murid, di kanan-kiri beliau ketika memasuki ruangan majelis. Hal itu dialami menjelang akan dioperasi batu ginjal beberapa bulan kemudian.
Suatu hal aneh terjadi ketika beliau diperiksa oleh beberapa orang dokter, yang menyatakan bahwa organ-organ tubuh vital beliau dalam keadaan sehat, hanya masalah faktor usia saja yang menyebabkan beliau harus banyak istirahat. Bahkan ada cerita seorang murid yang keadaan penyakitnya sudah cukup parah, dibimbing pengobatannya secara ghaibiyah oleh beliau.
Inilah yang membuktikan bahwa bimbingan ruhaniyah Guru yang Wali Mursyid tetap berlangsung kepada murid-murid, meskipun secara jasad tidak berjumpa. Itulah yang menjadi keistimewaan berthariqat di bawah bimbingan Guru Mursyid. Bahkan baik dalam keadaan sehat maupun sakit jasmani seorang Guru Mursyid, ruhaninya tetap membimbing dan mengarahkan perjalanan Salik daripada murid-muridnya. Hal ini telah sering dialami oleh banyak murid Thariqat Al-Idrisiyyah.
Pada tanggal 17 September 2001 M,[3] beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir, dipanggil Kekasih beliau Yang Abadi.
************
Di penghujung akhir perjalanan kepemimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, ternyata tidak ada pernyataan secara terbuka kepada seluruh murid mengenai pergantian kepemimpinan Thariqat setelah beliau mangkat, yang ternyata secara lisan telah beliau ucapkan di hadapan beberapa orang murid tentang pergantian itu pada malam 17 Ramadhan tahun 1997, bahwa Abah Anom (Syekh Daud Dahlan) sebagai Khalifah (pengganti) Mursyid Thariqat.
Mengingat masih terjadinya pro-kontra atas penunjukkan itu, maka selama masih ada Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan Bapak Muh. Daud Dahlan masih dipandang sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah, yakni yang mengatur dan memimpin jalannya organisasi Thariqat. (Dikutip dari Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’)
Post a Comment Blogger Disqus