Mistikus Cinta

0
Antara Islam dan Kaum Muslimin

Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang tengah dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi titik awal dari fase baru dalam kehidupannya.

Gagasan sang Guru Mulia Habib Umar Bin Hafidz beberapa tahun silam untuk membentuk sebuah wadah bersama bagi para ulama agar dapat duduk bersama dalam mengatasi berbagai problematik umat mendapat sambutan hangat di berbagai tempat. Kini, Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, nama lembaga yang mewadahi para ulama tersebut, telah memasuki tahun kelima. Meski masih seumur jagung, lembaga tersebut sedemikian cepat melesat dan memiliki gaung yang besar, baik di Nusantara maupun mancanegara.

Sebagaimana yang pernah disampaikan Habib Umar sendiri, lembaga ini diharapkan dapat mengorganisir semua unsur yang terkait untuk kepentingan umat dengan didasari kerangka dan landasan agama yang lurus dan terbuka tanpa sikap fanatisme berlebihan atau hal yang membingungkan umat agar semua usaha dakwah dari semua unsur dapat lebih tercurahkan untuk kebutuhan yang terpenting bagi umat dalam menjaga tegaknya persatuan dan kebersamaan dengan mendahulukan sikap lentur dan menghargai yang lain. Karena, memang, Islam bukanlah agama yang sempit.

Mensinergikan berbagai unsur umat yang terkait dalam lembaga ini tentu bukan perkara yang mudah. Di sini berkumpul para ulama yang datang dari berbagai latar belakang. Perlu kesungguhan yang ekstra keras, di samping pengalaman yang teruji dan wawasan yang luas bagi para penggiatnya agar kesemua unsur potensial itu dapat secara maksimal saling bersinergi. Amanah berat tersebut kini terutama diemban Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid, yang duduk sebagai mudir (direktur) Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin.

Menguasai Empat Bahasa

Terlahir pada tahun 1965 di Hadhramaut, Habib Muhammad melewati masa kecil yang kurang beruntung. Saat memasuki usia bersekolah, negerinya kala itu tengah dalam cengkeraman penguasa komunis, yang sangat membatasi ruang gerak para ulama. Rubath-rubath (lembaga-lembaga pendidikan agama) di kota Tarim maupun kota-kota lainnya di Hadhramaut tak boleh beraktivitas.

Akibatnya, ia pun melewati pendidikan dari masa kecil hingga remajanya hanya di madrasah umum di kota kelahirannya itu. Bahkan selepas pendidikan setingkat SLTA, ia sempat ikut pelatihan wajib militer selama tiga tahun. Di sela-sela waktunya, bila situasinya memungkinkan, ia menyempatkan diri menghadiri majelis ilmu di tempat Habib Masyhur Bin Hafidz, kakanda Habib Umar Bin Hafidz.

Langkah kaki Habib Muhammad berikutnya mengantarkannya hingga sampai ke Ukraina. Di sana, selama enam tahun, ia menjadi mahasiswa di negeri yang saat itu menjadi salah satu negara bagian Uni Soviet itu. Ilmu kimia, itulah jurusan yang dipilihnya hingga ia lulus dan menggondol gelar sarjana sebagai seorang insinyur ilmu kimia.

Selepas pendidikan di Ukraina, tahun 1993, ia kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdikan diri sebagai salah seorang tenaga pengajar pada sebuah institusi pendidikan di sana. Tentunya, dalam bidang studi yang telah digelutinya selama bertahun-tahun di Ukraina, yaitu ilmu kimia. Saat itu negerinya, Yaman Selatan, telah bersatu dengan Yaman Utara, dan hingga kini gabungan dua negara menyebut negara mereka sebagai Republik Yaman.

Kesungguhannya dalam belajar dan perjalanan hidupnya yang akrab dengan dunia akademis membuatnya memiliki kemampuan berbagai bahasa dunia secara aktif. Setidaknya, selain bahasa Arab tentunya, ia menguasai dengan baik bahasa Inggris, bahasa Rusia, dan bahasa Spanyol. Karena saat ini ia sering bolak-balik Hadhramaut-Jakarta dan kemudian memiliki banyak aktivitas di sini, yaitu dalam kapasitasnya sebagai mudir di Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, tak mustahil bila ke depannya ia dapat pula berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Mematikan Hati?

Selain bekerja sebagai seorang pengajar, ternyata Habib Muhammad adalah seorang pebisnis. Di negerinya sana, dulu, ia memiliki usaha sampingan, yaitu membuka sebuah toko yang menjual perlengkapan suvenir khas Yaman. Sehari-hari, tokonya banyak dikunjungi turis mancanegara yang ingin membawa oleh-oleh suvenir setelah berkunjung ke Yaman.

Saat itu, yaitu ketika ia mempunyai usaha toko suvenir itu, sesekali ia mendengar ceramah agama yang disampaikan beberapa pendakwah di sana. Namun hatinya terkadang bimbang dengan perkataan beberapa dai yang didengarnya pernah menyatakan bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir itu dapat mematikan hati.

Bagaimana tidak bimbang, ia memiliki usaha toko suvenir yang pelanggannya terbanyak adalah kalangan turis mancanegara, yang notabene non-muslim. Lalu, agar ia tak sampai memiliki hati yang mati, apakah ia harus menutup usaha toko suvenirnya itu?

Dalam kebimbangan hati yang ia alami, suatu ketika ia menghadiri sebuah majelis ilmu yang diisi oleh Habib Umar Bin Hafidz. Saat itu kebimbangan hati yang tengah melandanya tampak jelas dari raut wajahnya. Rupanya, Habib Umar memperhatikan hal itu.

Usai majelis, saat berdekatan dengannya, Habib Umar pun mengatakan kepadanya bahwa sejak tadi sepertinya ia sedang bingung memikirkan sesuatu. ”Ada apa gerangan?” tanya Habib Umar kepada Habib Muhammad.

Habib Muhammad pun mencurahkan isi hatinya saat itu. Ia menuturkan, ia tengah dilanda kebimbangan hati. Di satu sisi ia memiliki usaha yang konsekuensinya ia harus sering-sering berinteraksi dengan para turis dari Eropa dan berbagai belahan dunia lainnya yang kebanyakan mereka adalah non-muslim, sementara pada sisi lain ia juga mendengar bahwa sering berinteraksi dengan orang-orang kafir dapat mematikan hati. ”Ya Habib...,” ia pun bertanya kepada Habib Umar, ”...apakah saya harus menutup usaha toko suvenir saya ini?”

Fase Baru Kehidupannya

Habib Umar tersenyum. Ia mencoba memahami kebimbangan hati Habib Muhammad sekaligus mencoba menenangkan hatinya. Sejurus kemudian Habib Umar berkata, ”Perkataan itu adalah bagi kebanyakan awam, bukan dalam konteks umum yang membuat setiap kita dapat dikenai perkataan itu. Bagi orang awam, yang tidak memiliki bekal agama yang cukup, sering berinteraksi dengan orang kafir dapat membawa alam berpikir mereka kepada pola pikir yang mengakrabi kekafiran, mengingkari ajaran syari’at. Itu artinya membuat hati mereka menjadi mati.

Sedangkan bagi kita, yang telah dapat mengetahui dan meyakini hakikat kebenaran agama ini, berinteraksi dengan mereka tidak menjadi masalah. Bahkan, semestinya kita memandang setiap pihak, termasuk orang-orang kafir itu, sebagai lahan dakwah bagi kita. Di situlah peluang kita untuk dapat berdakwah terhadap mereka, setidaknya dengan menunjukkan akhlaq mulia kita sebagai muslim.”

Jawaban bijak Habib Umar itu bagai air sejuk yang membasahi kerongkongannya yang tengah dahaga di tengah padang sahara. Jawaban itu pula yang seakan menjadi titik awal dari fase baru dalam kehidupannya.

Dalam kesempatan itu pula, Habib Umar menghadiahinya buku-buku karangan Syaikh Nuh Hamim Keller, seorang mualaf asal Amerika yang menjadi seorang ulama besar dan terkenal. Tak tanggung-tanggung, saat itu ia sampai menerima 27 naskah karya Syaikh Nuh Hamim Keller. Di dalam buku tersebut, banyak hal yang ia dapat, seperti keyakinan terhadap kebenaran ajaran agama suci ini hingga hal-hal yang dapat membawa inspirasi dakwah dalam kehidupan setiap insan muslim.

Keluar dari majelis Habib Umar itu, di dadanya tumbuh bergumpal-gumpal semangat dakwah yang kian hari kian membesar, menguat, dan menggelora. Ada tekad yang membara di hatinya saat itu. Ya, tekad dakwah, di mana pun dan kapan pun. Sejak itu, ia pun bertekad untuk berada dalam barisan dakwah bersama sang guru mulia, Habib Umar Bin Hafidz. Sejak itu pula, ia semakin intens terlibat dalam setiap majelis dan kegiatan dakwah yang digerakkan Habib Umar.

Tak seberapa lama, ia pun sampai menyewa sebuah gedung untuk dijadikan tempat baginya dalam membantu gerak langkah dakwah sang guru, di antaranya dengan menerbitkan sejumlah media dakwah yang dapat beredar di tengah masyarakat.

Allah SWT telah mentaqdirkannya sebagai seorang ahli dalam ilmu kimia, yang ternyata hal itu sangat bermanfaat dalam salah satu aktivitasnya melestarikan naskah-naskah kitab tua yang masih dapat terselamatkan.

Berbasiskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, bahkan ia berhasil menciptakan metode dan mesin tersendiri dengan formula kimia yang ia temukan, cara untuk memperbaiki kondisi naskah-naskah kitab tua yang masih dapat diselamatkan. Ia pun tercatat sebagai salah seorang mudir di Markaz An-Nur, sebuah lembaga yang bergerak secara khusus dalam penelitian dan pelestarian kitab-kitab atau manuskrip kuno di Hadhramaut.

Beberapa tahun terakhir, ia aktif terlibat dalam Majelis Muwasholah Antar Ulama Muslimin, dan bahkan kini dipercaya sebagai mudirnya. Sebuah tantangan dakwah yang amat berat, tentunya. Di bawah koordinasinya, kini Majelis Muwasholah banyak menjalin hubungan dengan berbagai instansi, baik swasta maupun pemerintah, dalam kerja sama demi kemaslahatan umat.

Saat berbincang dengan alKisah, ia mengkritisi pola hidup umat Islam yang tak lagi mencerminkan pola hidup seorang muslim. Hal ini membuat pandangan tak tepat kerap dialamatkan kepada ajaran Islam. Padahal, bukan Islam-nya yang bermasalah. Agama ini adalah agama yang sempurna, indah, dan mengagumkan bagi setiap orang yang mau dengan jujur menilainya. Tapi kini, seakan ada jurang yang amat dalam, yang memisahkan umat Islam dari ajaran agama Islam.

Kisah Syaikh Nuh di Mesir

Kembali pada buku-buku Syaikh Nuh yang pernah dihadiahkan Habib Umar kepadanya. Di antara buku-bukunya itu, Syaikh Nuh, yang pada awalnya adalah seorang Katholik taat yang berprofesi sebagai pelaut, menceritakan pengalamannya ketika suatu saat berada di tengah lautan mendapat guncangan ombak yang amat dahsyat dan luar biasa besar.

Saat itu, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Habib Muhammad, ia merasakan betapa dirinya begitu kecil dan tak berarti. Sedemikian tak berartinya, bahkan diri seorang manusia itu sesungguhnya tak memiliki kuasa apa pun dalam menentukan kehidupannya sendiri.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, ombak pun mereda. Ia selamat.

Setelah peristiwa itu, ia mulai melakukan pencarian terhadap tuntunan sebuah agama yang lurus dan benar. Ia mempelajari kajian berbagai agama, sampai ia pun tertarik pada ajaran agama Islam. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pun pergi ke Mesir.

Sampai suatu ketika, dalam pencariannya berjalan ke sana dan ke sini di Negeri Piramid itu, ia memperhatikan tingkah polah umat Islam yang ada di sana. Ia, yang saat itu berpakaian sangat lusuh, bertemu seorang nenek yang mendekatinya dan memberinya uang.

Ia terkejut. Ia katakan kepada nenek itu, ”Bu, kenapa Ibu memberi uang ini kepada saya? Ibu tak kenal saya dan saya pun tak memiliki hubungan apa-apa dengan Ibu.”

”Ini shadaqah,” jawab sang nenek dengan tegas. ”Saya tak berharap apa pun dari shadaqah dan shadaqah juga bukan karena masalah dekat atau jauh dengan siapa pun. Saya hanya berharap balasan dari Allah SWT.”

Hatinya terperanjat mendengar jawaban si nenek. Betapa kuatnya jalinan hati antara nenek itu dan Tuhannya. Begitu mungkin yang saat itu ada dalam pikirannya.

Di lain kesempatan, salah seorang kawan yang banyak menemaninya di perjalanan, yang dikenalnya bukanlah seorang muslim yang taat, tengah mengangkut banyak barang dengan semacam troli, kereta dorong. Saat membawa troli itu, tiba-tiba ada salah satu barangnya yang terjatuh.

Keller ingin membantu temannya itu. Secara refleks, ia membungkukkan badannya dan ingin memungut barang milik temannya yang jatuh itu.

Namun, secara refleks pula, sang teman cepat mencegahnya. ”Jangan, ini Al-Qur’an!!!” teriak sang teman. Ternyata yang terjatuh itu adalah Al-Qur’an.

Sang teman segera mengambil air wudhu tak jauh dari lokasi itu, kemudian memegang dan mengangkatnya secara perlahan.

Sebelum meletakkan kembali di tempat semula dan lebih aman, sang teman mencium kitab suci umat Islam tersebut.

Bagai sedang menyaksikan sebuah drama, detik demi detik kejadian itu diperhatikannya dengan serius. Hatinya kagum, sekaligus terharu, betapa kawannya itu, yang notabene di matanya pun bukan termasuk seorang muslim yang taat, amat menghormati kitab sucinya. Pemandangan semacam ini tak pernah ia dapatkan bahkan pada komunitas Katholik yang taat sewaktu di negerinya dulu.

Sementara, pada tulisannya yang lain, Syaikh Muh Hamim mengisahkan pengalaman seorang mualaf, yang tertarik dengan Islam dan kemudian menjadi muslim, yang pernah mengatakan, ”Segala puji hanya milik dan bagi Allah, yang telah lebih dulu mempertemukanku dengan Islam sebelum mempertemukanku dengan kaum muslimin.” Sebuah ungkapan keprihatinan sang mualaf atas sikap hidup sebagian besar umat Islam di hari ini yang tak lagi mencerminkan ajaran agamanya. (Sumber : Majalah alKisah)

Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Al Habib Muhammad bin Abdullah Al-Junaid | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top