Menggemakan Maulid di Masjid Raya Bandung
”Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”
Putra pasangan Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaf dan Syarifah Atikah binti Hamid bin Ahmad Al-Kaf ini punya gebrakan dakwah yang patut mendapat apresiasi: menggelar majelis Maulid Nabi SAW di Masjid Raya Bandung. Betapa tidak, langkahnya ini mungkin terasa berat, mengingat komunitas masyarakat di kota itu yang tidak seberapa familiar dengan amaliah semacam mengadakan Maulid, membaca ratib, dan semacamnya.
Tahun ini, sudah yang keempat kalinya ia berhasil menggemakan Simthud Durar di masjid kebanggaan masyarakat kota Bandung itu. Alhamdulillah, gebrakannya itu lambat laun mendapat sambutan dari berbagai pihak. Tidak hanya warga, bahkan juga sampai pihak pemerintahan kota. Aparat kepolisian setiap tahunnya juga berperan aktif dengan turut mengisi dan memeriahkan acara yang digelarnya.
Habib Naufal lahir di kota Palembang, 21 Januari 1979. Pendidikan awalnya diterimanya dari dalam keluarganya sendiri. Ayahnya mendidiknya dengan didikan dasar-dasar agama yang menjadi bekal baginya untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya.
Memasuki usia sekolah ia masuk Madrasah Al-Haramain, yang kala itu diasuh Habib Novel bin Hamid Al-Kaf, yang masih terhitung pamannya sendiri, sepulangnya dari menuntut ilmu kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di kota Makkah. Sekarang, Habib Novel sendiri telah berdomisili di Sukabumi, menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya, Darul Habib, di Parung Kuda, Sukabumi.
Usai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Diniyah Al-Haramain, Palembang, sambil ikut bantu-bantu mengajar di sana, Habib Naufal menimba ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Habsyi, yang kini menjadi pengasuh lembaga dakwah Al-Mawarid. Ia juga mengaji kepada kakak Habib Muhammad, yaitu Habib Ali bin Ahmad, yang di kemudian hari menjadi mertuanya.
Tahun 1997 ia memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Awalnya, ia tinggal di kota Tangerang, tempat ayahnya. Di sana ia mulai merintis dakwahnya dan di sana pula majelisnya pertama kali berdiri. Sekitar enam tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Cikupa, Bandung. Di sinilah awal mula langkah dakwahnya hingga saat ini.
Terbitnya Cahaya Keluhuran
Majelis yang diasuh Habib Naufal, yaitu Majelis Ilmu dan Dzikir Nur ‘Alawi, berdiri sejak tahun 1998 di Tangerang, Banten.
”Majelis ini didirikan oleh ayahanda Sayyidil Walid Alhabib Alwi bin Ahmad Al Kaff,” tutur Habib Hamid.
Bersama sang ayah, lewat Nur ’Alawi, ia pun membaktikan dirinya dalam medan dakwah.
Didirikannya Nur ‘Alawi tak lepas dari pandangan sang ayah, dirinya, serta sejumlah muhibbin yang dekat dengan dirinya saat melihat kerusakan moral dan akhlaq para pemuda di tempat hijrahnya itu. ”Mereka condong kepada hal-hal yang diharamkan agama, seperti minum minuman keras, berjudi…,” ujar Habib Naufal.
Melihat pemandangan yang sedemikian itu, ayah Habib Naufal berinisiatif mendirikan majelis ilmu. Dan setelah mendapat isyarah dari beberapa sesepuh dari kalangan habaib, didirikanlah Majelis Ta’lim Nur ‘Alawi, yang tepatnya berdomisili di wilayah Teluknaga, Tangerang.
Saat ditanya mengapa majelisnya ini dinamakan Nur ‘Alawy, Habib Naufal menjawab, “Nur dalam bahasa Arab bermakna ‘cahaya’, sementara ‘Alawiy dari kata ‘ulu, yaitu tinggi atau luhur. ‘Alawy juga bisa diartikan orang yang bernisbat kepada Ali. ’Alawy pun berarti anak-cucu ’Alwiy bin ’Ubaydillah, leluhur kaum Alawiyyin, yang dimakamkan di kota Hadhramaut, yang menjadi kakek moyang habaib. Kepada Alwi bin Ubaidillah inilah dinisbahkan keluarga Ba'alwiy atau Bani ’Alawy, anak keturunan Sayyidina Husain bin Ali yang masuk ke Hadhramaut.”-
Cabang di Beberapa Kota
Awalnya, majelis hanya dihadiri sekitar empat atauwww.majalah-alkisah.com lima orang. Lambat laun, karena dakwah yang mengedepankan perilaku yang baik dan akhlaq mulia, simpati masyarakat pun mulai berdatangan.
Saat pertama kali berdiri, majelis hanya membuka kegiatan ta’lim sekali dalam sepekan. Isinya pun hanya pembacaan ratib, Maulid, dan penyampaian taushiyah. Namun, melihat antusiasme masyarakat yang semakin kuat, Majelis Ta’lim Nur Alawiy kemudian secara bertahap mengadakan majelis harian, mingguan, dan bulanan. MT Nur ’Alawy juga mengadakan peringatan-peringatan hari-hari besar Islam.
Majelis rutin harian yang diadakan Nur ’Alawy adalah, setelah shalat Maghrib berjama’ah pembacaan Ratib Al-Aththas, kemudian Ratib Al-Haddad setelah shalat Isya, lalu taushiyah. Demikian pula majelis mingguannya, yang diadakan setiap malam Jum’at, juga dibacakan ratib, Maulid Nabi, dan penyampaian taushiyah.
Sementara pada majelis bulanan, yang diadakan setiap tanggal 10, dibacakan Maulid dan pengajian kitab kuning, yang biasanya dihadiri habaib dan ulama dari dalam atau luar Tangerang.
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, bahkan tidak sedikit nonmuslim yang kemudian masuk Islam dan nyantri di Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy.
Para santri Nur ‘Alawy, selain belajar dan menghafal kitab seperti Safinatunnajah dan belajar bahasa Arab,juga dididik dengan akhlaqul karimah. Diharapkan, kelak mereka tidak keluar dari majelis itu kecuali dengan iringan ilmu dan amal.
Kemudian, Nur 'Alawiy pun mulai membuka majelis bagi pemudi dan ibu-ibu, yang diberi nama “Al-Mar’atussolihah”, yang dipimpin oleh Ummi Syarifah, ibunda Habib Naufal.
Selain itu, di bawah asuhan Habib Naufal, Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy juga terus membuka cabang di berbagai daerah, seperti di Cikupa, Karawaci, Kampung Besar, Tangerang, sampai akhirnya pada tahun 2004 putra tertua Habib Alwiy ini menetap di daerah Bandung sekaligus menjadikan kota Bandung sebagai pusat Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy,
Kini, untuk wilayah Tangerang, Bandung, dan sekitarnya, nama Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy semakin dikenal luas. Puluhan masjid di kota Bandung menjadi ramai dengan aktivitas majelis ini, khususnya Masjid Raya Bandung. Aktivitas majelis ini bahkan telah sampai ke daerah Garut, Tasikmalaya, dan sekitarnya.
Memungkasi penuturannya kepada alKisah, ayah Athiyaul Haniyyah dan Maryam Zainab Labibah, hasil pernikahannya dengan Syarifah Lulu binti Ali Al-Habsyi, ini mengutip perkataan Al-Imam Al-Haddad, “Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”
Ketiga hal yang disebutkannya itu memang harus ada dalam diri setiap muslim. Dan ketiga hal itu pula yang menjadi landasan bagi Majelis Ta’lim Nur ’Alawy dalam sepak terjang dakwahnya selama ini. (Sumber: www.majalah-alkisah.com, Foto: http://nuralawy.blogspot.co.id/)
Post a Comment Blogger Disqus