Jihad Al Akbar, dari buku "Islamic Beliefs and Doctrine According to Ahl al-Sunna
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani
Bismillahhirrahmannirrahim
Ahli Hadits Mulla 'Ali al-Qari meriwayatkan dalam kitabnya al-Mawdu'at al-kubra, yang juga dikenal sebagai al-Asrar al-Marfu'a: Suyuti berkata: al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dalam "Sirah"-nya dari Jabir, ketika Nabi saw kembali dari salah satu peperangannya, beliau saw bersabda: "Kalian telah tampil ke depan dengan cara terbaik. Untuk tampil kedepan, kalian telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar." Mereka berkata: "Dan apakah jihad yang lebih besar itu?" Beliau menjawab: "Perjuangan (Mujahadat) hamba-hamba Allah atas Hawa Nafsu / EGO mereka."
Ibn Hajar al-'Asqalani berkata dalam Tasdid al-qaws: "Perkataan ini tersebar luas, dan ini adalah perkataan Ibrahim ibn Ablah menurut Nisa'i dalam al-Kuna. Ghazali menyebutnya dalam Ihya' 'Ulumuddin-nya dan al-'Iraqi berkata bahwa Bayhaqi meriwayatkannya dari Jabir dan berkata: Ada kelemahan dalam rantai periwayatannya." dikutip dari `Ali al-Qari, al-Asrar al-marfu`a (Beirut 1985 ed.) hal. 127 Referensi dan rujukan ke hadits di atas (hadits tentang kembalinya Rasulullah s.a.w. dari jihad asghar ke jihad akbar) mencakup beberapa paragraph. Jika dikutip nampaknya memang, penyandarannya pada Nabi, Salla Allahu 'alayhi wa Sallam, adalah lemah, tapi maknanya dapat disarikan pula dari sumber-sumber lain dari Hadits dan Quran. Sebagai catatan, Imam Nawawi telah mengatakan, sebagaimana dikutip dari sebelumnya: [Ulama dari kalangan Muhaddits, fuqahaa, dan lainnya berkata: Adalah diizinkan dan dianjurkan untuk beramal berdasarkan hadits lemah (dha'if), yang tidak dimodifikasi, yang berkaitan dengan fadhilah dan keutamaan amal, penganjuran dan peringatan (targhib wat tarhib). Tetapi, jika berkaitan dengan hukum seperti masalah halal dan haraam, jual dan beli, pernikahan dan perceraian, dan selain dari itu, maka tidaklah boleh dipakai hadits lemah kecuali jika berkaitan dengan pengambilan alternatif teraman (setelah tak adanya dalil-dalil yang lebih sahih, penj.) dalam hal-hal tersebut].
Al-Hafiz Ibn Abu Jamra al-Azdi al-Andalusi (wafat 695 H) berkata dalam kitab Syarah Bukhari-nya yang berjudul Bahjat al-Nufus: 'Umar ra meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang pada Nabi sallallahu alaihi wassalam meminta izin untuk pergi berjihad. Kemudian Nabi saw bertanya: "Apakah orang tuamu masih hidup?" Ia menjawab bahwa mereka masih hidup. Nabi kemudian menjawab: "Jika demikian berjihadlah untuk memenuhi hak-hak mereka" (fihima fa jahid) .Dalam hadits ini ada bukti bahwa Sunnah Rasul saw dalam memasuki Tariqah (jalan) dan menjalani disiplin diri adalah untuk melakukannya di bawah bimbingan seorang ahli, sehingga ia akan ditunjukkan jalan yang terbaik baginya untuk diikuti, dan tersahih untuk penempuh jalan tersebut. Karena ketika sahabat itu ingin pergi berjihad, ia tidak memuaskan dirinya dengan pendapatnya/ ego nafsunya sendiri dalam masalah itu, tapi mencari nasihat dari seseorang yang lebih berilmu daripada dia dan lebih ahli.
Jika hal ini kasusnya untuk Jihad kecil (peperangan fisik), bagaimana pula untuk Jihad Akbar atau Peperangan Melawan Hawa Nafsu atau Ego? (dari Ibn Abu Jamra, Bahjat al-nufus sharh mukhtasar sahih al-bukhari 3:146.) Hal ini penting: untuk mengetahui dan belajar dengan tujuan untuk mengamalkannya! Tidak sekedar untuk tahu, atau untuk memiliki ilmu -- tidak! Kita membutuhkan lebih banyak pengetahuan hanya untuk bisa mengamalkannya dan untuk menggunakannya dalam perjuangan kita melawan ego / nafsu kita. Kalian mencari ilmu dengan tujuan untuk mencapai hikmah, karena tanpa hikmah, tidak mungkin untuk menghentikan ego kalian. Ego menyerang dan melawan diri kalian.
Hikmah adalah bagaikan bom-bom atom bagi ego kalian, sedangkan ilmu dan pengetahuan lainnya hanya seperti senjata-senjata sederhana yang di zaman kita ini mereka tidak akan bekerja; senjata-senjata sederhana tidak berarti apa-apa sekarang, atau ilmu tidak berarti apa-apa dibandingkan Hikmah yang dibawa Awliya Pewaris Nabi saw. Dengan mendekatnya hari akhir, senjata-senjata iblis, senjata-senjata Setan, juga meningkat, untuk mengeluarkan manusia dari iman dan kepercayaan. Tetapi, sebagaimana Setan meningkatkan serangan-serangan dan metode-metode yang ia gunakan untuk membuat manusia tak percaya dan tanpa iman, awliya' (kekasih-kekasih Allah) pun menggunakan "Hikmah" untuk mengalahkan Setan dan pembantu-pembantunya serta penolong-penolongnya.
Hikmah bagaikan bahan bakar, sementara ilmu bagaikan pesawat terbang. Banyak orang yang mengagumi ilmunya, tetapi tanpa bahan bakar, maka pesawat tersebut tak akan dapat terbang. Allah berfirman: "Mereka yang berjuang (berjihad) demi Kami, akan Kami bimbing mereka ke dalam jalan-jalan Kami" (29:96). Allah swt telah membuat petunjuk atau bimbingan (Hudan) bergantung pada jihad. Karena itulah, orang-orang yang paling sempurna adalah mereka yang berjuang paling gigih demi-Nya, dan di antara jihad yang paling wajib (afrad al-jihad) adalah jihad terhadap ego, jihad atas hawa nafsu, jihad atas setan, dan jihad atas dunia yang rendah (jihad al-nafs wa jihad al-hawa wa jihad al-shaytan wa jihad al-dunya). Siapa saja yang berjihad melawan keempat hal ini, Allah akan membimbing mereka menuju jalan-jalan kebaikan-Nya yang menuju pada Surga-Nya, dan siapa saja yang meninggalkan jihad, maka ia telah meninggalkan petunjuk sebesar ia telah meninggalkan jihad.
Al-Junayd berkata dalam menafsirkan ayat di atas: "Mereka yang berjihad atas hawa nafsu mereka dan bertaubat demi Kami, Kami akan membimbing mereka pada jalan Ketulusan, dan seseorang tak akan dapat berjihad melawan musuhnya di luar dirinya (yaitu dengan pedang) kecuali ia yang telah berjihad melawan musuh-musuh ini dalam dirinya. Kemudian, siapa yang telah menang atas musuh-musuh dalam dirinya akan pula menang atas musuh-musuhnya (di luar), dan siapa yang kalah oleh musuh-musuh dalam dirinya, maka musuh di luar dirinya akan mengalahkannya." (dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jawziyya, al-Fawa'id, ed. Muhammad 'Ali Qutb, Alexandria: dar al-da'wa. 1412/1992, halaman 50).
Kompetisi dan berlomba diizinkan dalam meraih keunggulan dalam ibadah. Dalam rangka inilah, Allah menerangkan tingkatan-tingkaan di antara hamba-hamba-Nya yang beriman dalam Kitab-Nya, dan ini pun dijelaskan dalam berbagai hadits. Pahala Jihad adalah sedemikian tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Hadits Nabi bahwa, jika ia dapat, ia akan minta Allah untuk menghidupkannya kembali sehingga ia dapat mati kembali sebagai syahid berkali-kali. Sekalipun demikian, berkaitan dengan isu ini, Para Pengingat Allah (Adz-Dzakirin) termasuk ulama-ulama sempurna yang mengetahui (ma'rifat) akan Allah ('Arifin)adalah lebih mulia daripada mujahidin. Sebagai contoh, sekalipun Zayd bin Haritsah dan Khalid bin Walid adalah jenderal-jenderal besar, kematian mereka tidaklah dirasakan seberat kematian Abu Musa al-Ash'ari atau Ibn 'Abbas (dua sahabat yang merupakan 'ulama besar dan 'arifin), jika diukur dari kerugian yang dirasakan oleh ummat Islam sebagai akibat kematian sahabat-sahabat tersebut.
Untuk alasan inilah, Nabi saw secara eksplisit menyatakan superioritas para mudzakkirin dalam dua hadits sahih di bawah: Nabi salla-Allahu 'alayhi wasallam bersabda: "Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang terbaik di antara semua amal, merupakan amal salih terbaik di mata Tuhan kalian, meninggikan derajat kalian di akhirat, dan memiliki keutamaan lebih besar daripada membelanjakan emas dan perak di jalan Allah, atau berperan serta dalan jihad dan membunuh atau terbunuh di jalan Allah?" Mereka (para sahabat) berkata: "Ya, mau!" Beliau bersabda: "Dzikr Allah (Mengingat Allah)". Diriwayatkan dari Abu al-Darda' oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Abi al-Dunya, al-Hakim yang menyatakannya sahih, dan adz-Dzahabi mengkonfirmasikan kesahihannya, Bayhaqi, Suyuti dalam al-Jami' al-saghir, dan Ahmad juga meriwayatkannya dari Mu'adz bin Jabal. Beliau juga bersabda: "Meski seseorang menebas orang-orang kafir dan musyrikin dengan pedangnya sampai pedang itu patah, dan ia benar-benar terselimuti dengan darah mereka, Al-Mudzakkirin (Para Ahli Dzikir Pengingat Allah) ada di atas mereka satu derajat." Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri oleh Ahmad (3:75), Tirmidzi (#3376), Baghawi dalam Syarh al-Sunna (5:195), Ibn Katsir dalam Tafsirnya (6:416), dan lain-lainnya.
Wa min Allah at Tawfiq
Post a Comment Blogger Disqus