Selain cerita sebagaimana yang telah diuraikan di muka dalam pembahasan Gus Ud Pagerwojo dan KH. Hamid Pasuruan, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan KH. Ahmad Siddiq. KH. Ahmad Siddiq, yang kebetulan istrinya dari Tulungagung, bila berada di Tulungagung, dalam pidato-pidatonya juga selalu menyerang Gus Miek sebagai seorang kiai yang kebiasaannya tidak sesuai dengan syari’at. Mungkin KH. Ahmad Siddiq lupa pada peristiwa 16 tahun sebelumnya saat dia sowan kepada Gus Ud, Pagerwojo, Sidoarjo, di mana secara tersirat Gus Ud menunjukkan bahwa Gus Miek adalah yang sulit diterima nalar biasa. Bahkan KH. Ahmad Siddiq sendiri oleh Gus Ud justru disuruh meminta doa Al-Fatehah kepada Gus Miek.
Bila mendengar semua itu, Gus Miek hanya tersenyum dan berkomentar: “Kiai ini berani. Sungguh kiai ini pemberani,” sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Kepada Amar Mujib (adik ipar KH. Ahmad Siddiq) Gus Miek berpesan: “Mar, apakah kamu hobi pidato? Kamu jangan suka pidato! Sebab, orang itu bila pidato, kalau hakikat-nya tidak kuat, akan berbahaya. Orang itu yang baik di dalam-nya, bukan luar-nya.” KH. Ahmad Siddiq saat berada di Tulungagung pernah bertanya kepada: “Amar, jawablah dengan jujur, sejujur-jujurnya, dan jangan ada yang kau sembunyikan: benarkah Gus Miek itu bila menghadiri undangan perkawinan, selalu langsung menuju tempat kaum perempuan dan mengambil tempat berbaur bersama mereka?”
Amar yang sejak pertama sudah tahu bahwa KH. Ahmad Siddiq sangat anti dengan Gus Miek merasa terpanggil untuk membela Gus Miek.
“Benar,” jawab Amar.
“Bukankah itu tidak pantas dilakukan oleh seorang kiai?” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
”Lalu, mengapa kau masih mengikutinya dan memujanya!” Tanya KH. Ahmad Siddiq.
“Semua pendapat Mas Ahmad benar. Hanya saja Gus Miek pernah berkata kepada saya bahwa bila berdakwah di sebuah keluarga, kalau tidak bisa masuk dari pintu depan maka berusahalah masuk dari pintu belakang. Kalau tidak bisa kepada suaminya maka berdakwahlah kepada istrinya. Sehingga bila suaminya lalai menjalankan shalat karena malas atau kesibukan kerja, istri bisa mengingatkannya. Sebab yang paling dekat dengan suaminya dalam ibadah dan rumah tangga adalah istri. Bukan kiai, “jawab Amar.
KH. Ahmad Siddiq hanya diam merenungkan jawaban Amar Mujib. Amar Mujib pun diam di samping kakak iparnya. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengikut Gus Miek bahwa setiap santri yang dekat dengan Gus Miek, seolah merasakan suatu kekuatan dan keberanian yang luar biasa dalam menghadapi siapa saja, termasuk tokoh besar.
Setiap berada di Tulungagung, KH. Ahmad Siddiq mencoba mencari tahu siapakah Gus Miek yang sebenarnya dari adik iparnya. Ini tentu saja sebuah proses pergolakan batin yang panjang dan berat bagi KH. Ahmad Siddiq. Di samping karena dahulunya dia sudah dikenal luas sangat memusuhi Gus Miek, juga karena harus merombak persepsinya tentang sosok wali yang selama ini dipahaminya dan diyakininya dari kitab ketika harus berhadapan dengan sosok kewalian Gus Miek.
Berikutnya, mulai timbul kegalauan di hati KH. Ahmad Siddiq. Hal ini terjadi karena Gus Miek membantu menyelesaikan persoalan anaknya, meski bukan karena keinginannya. Terlebih lagi dengan adanya pernyataan-pernyataan KH. Hamid Pasuruan (yang masih saudaranya) yang sangat menghormati dan mendukung Gus Miek, sebagaimana yang telah diceritakan di muka.
Setelah beberapa hari berlalu, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib.
“Amar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq.
“Untuk apa bertemu Gus Miek?” Tanya Amar curiga karena dia tidak ingin terjadi permasalahan antara KH. Ahmad Siddiq sebagai kakak iparnya dengan Gus Miek sebagai gurunya.
“Aku hanya ingin bertanya apakah yang telah aku pahami dari kitab-kitab dan aku jalankan selama ini sudah benar,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Beberapa hari kemudian, Amar bertemu Gus Miek dan menyampaikan permintaan KH. Ahmad Siddiq. Gus Miek hanya diam dan tidak memberi jawaban.
KH. Ahmad Siddiq yang belum mendapat kepastian, kembali meminta bantuan Amar Mujib untuk dipertemukan dengan Gus Miek. Pada masa itu, Gus Miek memang sulit ditemui dan selalu berpindah-pindah sehingga hanya orang-orang terdekat seperti Amar Mujib saja yang bisa menemui Gus Miek. Amar pun melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Akan tetapi Gus Miek masih tetap belum memberikan jawaban. Baru pada permintaan yang ketiga, Gus Miek menyanggupi. Kebetulan Gus Miek saat itu berada di rumah Mulyadi, Jember. Tetapi Gus Miek mengancam Amar, bila undangan itu hanya untuk memperolok dirinya, Gus Miek akan membunuh Amar.
Hal ini terjadi karena pada saat itu KH. Ahmad Siddiq telah mulai membuka diri untuk mendukung perjuangan Gus Miek dan dengan menimbang potensi KH. Ahmad Siddiq sebagai orang penting dalam jajaran NU wilayah Jawa Timur. Apalagi, pada masa itu, KH. Mahrus Ali sebagai anggota PBNU, menentang keberadaan Gus Miek dan perjuangannya. KH. Mahrus Ali adalah ulama yang sangat kuat (keras) dalam memegang syariat dan kitab kuning, sedangkan Gus Miek dianggap menyimpang dari ketentuan kitab-kitab dan syariat oleh KH. Mahrus Ali. Belum lagi pembelaan Gus Miek kepada perjuangan Wahidiyah di masa lalu. Penentangan KH. Mahrus Ali terhadap Wahidiyah sedemikian kerasnya, bahkan ia membuat larangan tertulis bagi seluruh santri Lirboyo agar tak ikut mengamalkan Wahidiyah. Larangan itu masih tetap dijadikan pegangan sampai sekarang.
Sebenarnya, ketidakcocokan itu bukan hanya muncul dari KH. Mahrus Ali saja. Banyak juga ulama lain yang sama dengan pemikiran KH. Mahrus Ali. Bahkan keluarga Ploso yang awalnya mendukung Gus Miek, pada akhirnya memisahkan diri dan melarang sebagian jama’ahnya mengamalkan Wahidiyah.
Jadi, perseteruan (lebih tepatnya kesalahpahaman) antara KH. Mahrus Ali dengan Gus Miek ini, di samping persoalan syari’at yang secara kasat mata Gus Miek memang tidak menerapkannya, juga bisa jadi lantaran KH. Mahrus Ali belum tahu bahwa Gus Miek telah berpisah dengan Wahidiyah karena Gus Miek belum menyatakan secara terbuka. Meskipun demikian, beberapa putra Lirboyo telah akrab dengan Gus Miek, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
Keterbukaan KH. Ahmad Siddiq ini membuat Gus Miek tidak menyia-nyiakan kesempatan sehingga Gus Miek memfokuskan konsentrasinya untuk berdakwah di Jember dan sekitarnya. Ada sebuah rencana besar yang disusun Gus Miek pada KH. Ahmad Siddiq untuk mendukung kesuksesan dakwahnya sehubungan dengan keluarganya dan NU karena Gus Miek sama sekali tidak mungkin untuk bermain di dalam NU disebabkan ia bukan bagian dari jajaran pengurus NU. Gus Miek juga memilih untuk tidak terlibat dalam hiruk pikuknya para ulama NU, terutama dalam hal politik.
Gus Miek diantar oleh Amar, akhirnya menemui KH. Ahmad Siddiq. Setelah berbasa-basi keduanya terlibat pembicaraan empat mata yang sangat serius selama hampir tujuh jam. Sementara Amar menunggu di luar karena sungkan dengan KH. Ahmad Siddiq; walaupun kakak iparnya, tetapi KH. Ahmad Siddiq adalah ulama besar. Di luar kamar, Amar gelisah menunggu, hatinya berdebar-debar penuh kecemasan terhadap apa yang akan terjadi antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq. Kemudian, Gus Miek keluar dari ruangan dengan bintik-bintik keringat di wajahnya, lalu mengajak Amar kembali ke rumah Mulyadi.
Selang beberapa bulan, KH. Ahmad Siddiq kembali menemui Amar Mujib di Tulungagung.
“Mar, pertemukan aku dengan Gus Miek,” kata KH. Ahmad Siddiq. “Mau apalagi, Mas? Bukankah dulu sudah bertemu?” Tanya Amar.
“Ibarat aku berada di puncak gunung, aku ingin memastikan, bila Gus Miek diibaratkan telaga itu dalam, aku hendak terjun ke dalamnya. Bila ternyata dangkal, aku tidak mau mati bunuh diri,” jawab KH. Ahmad Siddiq.
Akhirnya, Amar kembali melaporkan hal itu kepada Gus Miek. Semenjak saat itu, Gus Miek menjadi semakin akrab dengan KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Ahmad Siddiq sering menemui Gus Miek tanpa melalui perantaraan Amar Mujib lagi. Perlu diketahui bahwa sejak 1968, antara Gus Miek dengan KH. Ahmad Siddiq telah mulai terlibat pembicaraan serius mengenai NU kembali ke khittah 1926. Baru pada 1984, pemikiran tersebut diterima oleh NU dalam muktamar di Situbondo.
Gus Miek juga pernah mengajak KH. Ahmad Siddiq ziarah ke makam Gunungpring. Sampai di lokasi makam, Gus Miek memberikan amalan bacaan agar dibaca KH. Ahmad Siddiq saat ziarah, lalu Gus Miek pergi entah ke mana. KH. Ahmad Siddiq yang saat itu belum begitu percaya akan kelebihan Gus Miek, terutama dalam hubungannya dengan para wali, lalu membaca bacaan itu.
KH. Ahmad Siddiq menjadi gemetar karena yang terlihat di matanya, semua makam itu terbuka dan penghuni makam itu keluar, berbaju putih melayang ke angkasa. Sementara di angkasa telah menunggu Pangeran Diponegoro yang naik kuda lengkap dengan kerisnya, diiringi beberapa Wali Songo. Rombongan itu kemudian beriringan melesat ke arah timur. Setelah rombongan itu tak terlihat, KH. Ahmad Siddiq tergagap dengan tubuh gemetar dan keringat dingin. Sementara suasana makam sangat sepi. Beberapa saat kemudian Gus Miek datang, sebelum KH. Ahmad Siddiq yang kebingungan menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya. Gus Miek berkata: “Benar, Kiai, rombongan Pangeran Diponegoro dan Wali Songo itu akan menghadiri sidang para wali di Ampel.” Sebenarnya, masih banyak cerita mengenai kedekatan Gus Miek dengan beberapa tokoh besar yang lain. Misalnya, Gus Miek dengan keluarga KH. Ashari. Suatu hari, Gus Miek mengajak Mulyadi, yang punya Fiat, bersama Sunyoto ke Lempuyangan, Yogyakarta, untuk menghadiri haul KH. Ashari yang ke-8. Tiba di Lempuyangan, KH. Hamid Kajoran telah menyambutnya di depan pintu. Kemudian mereka bersama masuk ke ruang tamu. Tiba-tiba, Nyai Ashari muncul dari dalam, bersalaman dengan Gus Miek dan minta doa darinya. Gus Miek yang telah menganggap Nyai Ashari sebagai ibunya yang ketiga setelah Nyai Rodhiyah dan Nyai Mujib, hanya mengiyakan saja.
Gus Miek, 15 hari sebelum wafatnya Nyai Ashari (ibu dari KH. Daldiri), telah datang ke Lempuyangan. Kepada Muhyidin dan Ambar (putri Nyai Ashari), Gus Miek memberikan secarik kertas bertuliskan Khodijah binti Muhyidin dan Hadi bin Ismail sambil berkata: “Ini, aku terakhir kali sowan Bu Nyai.” Semua keluarga Lempuyangan bertanya-tanya tentang maksud Gus Miek: apakah Gus Miek tidak akan datang lagi ke Lempuyangan atau ada maksud lain? Nyai Ashari, yang oleh Gus Miek telah dianggap sebagai ibunya yang ketiga setelah ibunya sendiri dan Nyai Mujib, ternyata 15 hari kemudian wafat. Dan, Khodijah binti Muhyidin berpuluh tahun kemudian benar-benar menikah dengan Hadi bin Ismail.
Pada 1980, Gus Miek kembali melanjutkan safarinya. Dari Jember bersama jama’ah berangkat ke Yogyakarta. Tiba di Klaten, Gus Miek mengajak mampir ke KH. Mansyur, Popongan, Klaten. Saat jama’ah sowan dan ziarah, Gus Miek jalan-jalan entah kemana. Setelah jama’ah berwudhu dan berkumpul di makam, tiba-tiba Gus Miek muncul di belakang, berjalan sambil memimpin tawasulan Al-Fatihah.
Dari Popongan, Gus Miek mengajak ke makam KH. Abdurrahman bin Hasyim, Krapyak. Di rumah KH. Abdurrahman bin Hasyim (Mbah Benu), yang menyambut adalah putranya yang telah lama tidak bertemu Gus Miek sejak Gus Miek masih berambut panjang. Keduanya berpelukan, setelah itu ziarah ke makam KH. Abdurrahman.
Di pinggir sungai, Gus Miek berkata kepada Sunyoto dan Jupri: “Mbah Benu itu memang tidak mau makamnya dirawat. Pernah salah seorang santrinya yang sukses datang membawa kayu dan genting tanpa membicarakan terlebih dahulu dengan keluarga Mbah Benu. Dari pagi hingga Ashar, bangunan itu akhirnya jadi, tetapi waktu subuh bangunan itu sudah berada di tengah sungai. Akhirnya, oleh keluarganya diberi tahu bahwa Mbah Benu tak berkenan.” Demikianlah ajaran “kemiskinan” yang di ambil Gus Miek dari KH. Abdurrahman untuk jama’ahnya yang saat itu kebanyakan pegawai pemerintah. (Dunia Pesantren)
Menambah wawasan dan pengetahuan seputar dunia Sufi. Silahkan kunjungi Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik SUFIPEDIA
ijin simpan fotonya..
ReplyDelete