Mistikus Cinta

0
Pemahaman Mengenai Hadhrah
1. Maulana Jalaluddin Rumi Sang Maestro Hadhrah.

Hadhrah pertama kali di perkenalkan oleh seorang tokoh tasawuf yang sampai sekarang karya-karyanya masih di perbincangkan oleh pakar-pakar serta sarjana-sarjana di dunia timur maupun barat, beliau adalah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207, Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain.

Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi Tabriz. Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba seorang lelaki asing—yakni Syamsi Tabriz—ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari. Sultan Walad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya. ”Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair-syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz. Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase. 

WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit. ”Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya

1.1. Hadhrah di Nusantara.

Mengenai kapan datangnya Hadhrah di bumi nusantara ini memang belum banyak keterangan kapan tepatnya adanya Hadhrah, namun adanya Hadhrah atau yang lebih populer di kenal dengan musik terbangan (rebana bahasa Jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam wali songo di nusantara ini dikatakan bahwa menurut adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konprensi besar para wali, diserambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana menurut irama seni Arab. Penggunaan rebana tersebut diadopsi oleh wali songo dengan kebiasaan didaerah asal wali songo tersebut (Hadhramaut) yang di jadikan media berdakwah, menurut keterangan dari ulama besar Palembang yaitu Al’Alimul ’Alamah Al”arifbillah Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab” adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir (kakek dari wali songo kecuali Sunan Kalijogo) waktu beliau hijrah ke Yaman (Hadhramaut) maka beliau mendapati seorang Darwisy (pengikut thoriqot sufi) yang sedang asyik memainkan Hadhrah (rebana) serta mengucapkan syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga maka bersahabatlah sang Imam dengan Darwisy tersebut”. Maka sejak itu apabila Imam Muhajir mengadakan majlis maka disertakan Darwisy tersebut, hingga sekarang keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan Hadhrah disaat mengadakan suatu majlis.

Pada saat sekarang ini Hadhrah berkembang dengan pesatnya sebagai musik pengiring maulid Nabi Saw serta acara-acara keagamaan lainnya seperti haul, isra mi’raj dan sebagainya, sehingga banyak bermunculan grup-grup Hadhrah, Pada akhirnya Hadhrah merupakan salah satu minhaj atau cara berdakwah yang dapat di terima oleh banyak lapisan masyarakat.

2. Hadhrah 

Banyak orang yang belum kenal betul apa itu Hadhrah dan sangat ironis sekali banyak pula para pemain Hadhrah pun yang belum tahu apa Hadhrah itu, ada pepatah mengatakan ”tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”, maka dari karena itu simak penjelasan kami berikut ini;

2.1. Makna Hadhrah.

Dari segi bahasa, hadhrah terambil dari kata hadhoro – yuhdhiru – hadhron – hadhrotan yang berarti kehadiran, namun didalam istilah kebanyakan orang Hadhrah ini di artikan sebagai irama yang di hasilkan oleh bunyi rebana.

Dari segi istilah/definisi, Hadhrah menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke “hati”, karena orang yang melakukan hadhrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir dan senantiasa meliputi, pada asalnya Hadhrah ini merupakan kegiatan para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat-sifat Allah Yang Maha Hidup (Al-Hayyu), dapat dilakukan sambil berdiri, berirama dan bergoyang dalam kelompok-kelompok. Sebagian kelompok berdiri melingkar, sebagian berdiri dalam barisan, dan sebagian duduk berbaris atau melingkar, pria di satu kelompok, dan wanita di kelompok lain yang terpisah. Kebanyakan tarekat sufi mempraktikkan dzikrullah dengan berirama atau menyanyi, dengan sekali-sekali menggunakan instrumen musik, terutama genderang. Musik telah memasuki praktik tarekat sufi secara sangat terbatas, dan sering untuk jangka waktu sementara di bawah tuntunan seorang syekh sufi. Di anak-benua India, kaum sufi mendapatkan bahwa orang Hindu sangat menyukai musik, sehingga mereka pun menggunakan musik untuk membawa mereka ke jalan kesadaran-diri, dzikrullah dan kebebasan yang menggembirakan. Maka walaupun peralatan musik digunakan untuk maksud dan tujuan itu, namun pada umumnya mereka dianggap sebagai penghalang yang tak perlu. Kebanyakan bait-bait yang dinyanyikan adalah mengenai jalan rohani dan tak ada hubungannya dengan nyanyian biasa. Sering merupakan gambaran tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggunya sendiri dan bagaimana agar terbangun. Jadi, nyanyian dan tarian sufi merupakan bagian dari praktik menumpahkan kecemasan duniawi dan menimbulkan kepekaan dalam diri dengan cara sama' (mendengar). Dalam konteks sufi, sama' ini artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian yang dimaksudkan untuk peningkatan rohani dan penyucian-diri. Tidak ada arti lain yang dikandung semua praktik ini selain menimbulkan suatu keadaan netral dalam diri sendiri dan pembukaan hati. Dan, tidak dilakukan demi hiburan sebagaimana musik biasa yang ritmis dan menggairahkan secara fisik. Tarian itu adalah untuk Allah, bukan untuk orang lain. Sering kita dapati bahwa bilamana seorang syekh sufi sejati tidak hadir, musik dan nyanyian tak dapat dikendalikan lagi dan melenceng dari tujuan yang diniatkan. Musik adalah alat, dan bila dipegang oleh orang yang tahu bagaimana menggunakannya, akan bermanfaat untuk tujuan yang diniatkan. Apabila sebaliknya maka ia bisa lepas kendali dan menyebabkan kerusakan.

Kesimpulannya adalah Hadhrah itu merupakan kegiatan/ praktik membuka jalan masuknya hidayah Allah kedalam hati dengan jalan mandengarkan syair-syair religius atau keagamaan dengan diiringi alunan irama-irama yang di hasilkan oleh instrumen alat-alat musik terutama rebana.

3. Hadhrah & Syariat Islam.

Hadhrah di dalam pandangan syariat agama terjadi kontroversi artinya masih menjadi perdebatan dikalangan umat, dan tidak sedikit pula banyak orang yang mendiskriditkan atau memojokkan Hadhrah ini merupakan suatu hal yang di haramkan oleh agama sehingga banyak juga dari mereka yang mengatakan orang yang melakukannya dianggap telah melakukan kemusyrikan dan sebagainya, oleh karena itu kami sertakan dalil-dalil serta pendapat-pendapat para ulama salaf (terdahulu) dan ulama Mutaakhirin (sekarang) agar kita mendapatkan penjelasan mengenai di benarkannya Hadhrah didalam syariat islam dan juga untuk menepis pandangan-pandangan yang negatif tentang Hadhrah yang membuat perpecahan diantara umat islam.

3.1 Dalil – dalil yang memperbolehkan Rebana (Hadhrah).

Hadits dari A'isyah R.A. :

Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: ... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi.), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini. (HR. Bukhari).

Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: 

Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan. (Hadits shahih riwayat Ahmad).

Adapun pernikahan, maka disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu pernikahan, yang didalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk sesuatu yang diharamkan, yang dikumandangkan pada malam hari khusus bagi kaum wanita guna mengumumkan pernikahan mereka agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang dibenarkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahualaihi wa sallam Sedangkan genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup hanya dengan memukul rebana saja. Juga dalam mengumumkan pernikahan maupun melantunkan lagu yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan pernikahan.

[Bin Baz, Majalah Ad-Dakwah, edisi 902, Syawal 1403H] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]_________Foote Note[1] Al-Bukhari tentang minuman dalam bab ma ja่ช• fi man yastahillu al-khamr wa yusmmihi bi ghairai ismih

Ada satu jenis alat musik yang diterangkan kebolehannya secara jelas, yaitu rebana (Arab : duff atau ghirbal), sesuai sabda Nabi SAW :

“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, II/52).

Adapun selain rebana, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. pendapat Nashiruddin al-Albani yang mengatakan hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if (lemah).

Memang benar, ada beberapa ahli hadits yang memandang hadits-hadits itu shahih. Seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawy dalam Fathul Mughits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Tetapi al-Albani lebih setuju pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah munqathi’ (terputus sanadnya) (Nashiruddin al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (VI/59) berkata :

“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).

Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum asalnya, sesuai kaidah fiqih : Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalilu at-tahrim [Hukum asal benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya].

Maka jika ada dalil syar'i tertentu yang mengharamkan, pada saat itu suatu alat musik hukumnya haram dimainkan. Misalnya :

(1). Jika suatu alat musik diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban, hukumnya haram. Sebab kaidah fiqih menetapkan : al-wasilah ila al-haram haram [Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga]. Misalnya saja alat musik yang dimainkan mengakibatkan ikhtilath (campur baur pria wanita) atau dilalaikannya shalat wajib.

(2). Jika suatu alat musik digunakan untuk mengiringi lagu yang syairnya bertentangan dengan Islam, hukumnya haram. Sebab syair yang dinyanyikan wajib syair Islami atau yang dibolehkan Islam. Jika suatu alat musik digunakan mengiringi lagu yang syairnya tidak dibolehkan Islam, hukumnya haram.

(3) Jika suatu alat musik digunakan secara khusus oleh orang kafir dalam upacara keagamaan mereka, hukumnya haram. Sebab haram hukumnya muslim menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil-kuffar), sesuai hadits Nabi SAW, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud)

3.2. Alat-alat yang dipukul atau diketuk

1. Ad-Duff (Rebana Kecil)

Duf adalah sejenis alat musik yang disepakati oleh para ulama keharusan penggunaannya. Hukum ini berdasarkan kepada hadith-hadith Rasulullah SAW yang secara terang menyebut keharusan penggunaan alat ini. Di antaranya:

a. Hadith riwayat Muhammad bin Hatib dari Rasulullah SAW:
“...Pemisah antara halal dan haram ialah pukulan duf.”

b. Hadith riwayat Khalid bin Zakuan dari Ar-Rabie’ binti Mu’awwiz bin ‘Afra’ :
“Masuk Nabi SAW – ketika mula-mula berkesedudukan denganku (selepas perkawinan)- lalu duduk di atas hamparan seperti kedudukan kamu (Khalid bin Zakuan) daripada aku. Di ketika itu beberapa hamba perempuanku sedang memukul duf dan meratapi kematian bapa-bapaku dalam Peperangan Badar. Salah seorang daripada mereka mendendangkan kata-kata: Di sisi kami Nabi yang mengetahui perkara akan datang. Lantas Nabi SAW menegur: “Tinggalkanlah kata-kata ini dan teruskan nyanyianmu.” (Riwayat Bukhari)

c. Hadith yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi di dalam Sunannya:
“... Keluar Nabi SAW dalam satu peperangan. Apabila pulang, datang seorang hamba perempuan hitam lalu berkata: “ Wahai Rasulullah, aku telah bernazar sekiranya engkau pulang dengan selamat, aku akan memukul duf sambil menyanyi”. Nabi SAW menjawab: “Sekiranya engkau telah bernazar, buatlah sebagaimana dinazarkan, sekiranya tidak, maka tidak perlu”.

Hukum Lelaki Yang Memukul Duf

Para ulama sepakat bahwa wanita dibenarkan memukul duf. Tetapi mereka berselisih pendapat pada hukum lelaki menggunakan alat ini, adakah harus atau sebaliknya. Dalam hal ini terdapat dua pandangan:

1. Pendapat yang mengatakan haram lelaki memukul duf. Mereka menyandarkan pandangan ini kepada adat dan ‘uruf. Di mana memukul duf (di zaman dahulu) hanya dilakukan oleh kaum wanita saja. Oleh itu, lelaki yang memukul duf dianggap meniru perbuatan kaum wanita dan termasuk di dalam golongan yang disifatkan oleh Nabi SAW: “Rasulullah SAW melaknat lelaki-lelaki yang menyerupai (meniru) wanita” – hadith dikeluarkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas. Dikeluarkan juga oleh Ahmad di dalam Musnadnya dari hadith Ata’ bin Abi Rubah dari Abu Hurairah. (Sahih Bukhari 8/305, Al-Fathul Bari 19/322)

Mereka juga berdalil hadith-hadith yang hanya menyebut kaum wanita dan hamba-hamba perempuan saja memukul duf tanpa ada riwayat yang menyebut kaum lelaki di zaman salaf memukul duf.

Pendapat ini ialah pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i, jumhur ulama mazhab Hanbali dan Asbagh – seorang ulama mazhab Maliki.

2. Pendapat yang mengharuskan lelaki memukul duf, karena tiada nas yang mengharamkannya. As-Subki (seorang ulama Syafii) mengatakan: “...dari segi asalnya, lelaki dan wanita bersekongkol dalam hukum-hakam melainkan ada nas yang membedakan antara keduanya. Adapun dalam masalah ini tiada nas yang membedakan antara lelaki dan wanita dari sudut keharusan memukul duf. Tambahan pula, memukul duf tidak hanya dikhaskan untuk wanita semata-semata.”

Mereka yang berpendapat sedemikian ialah Jumhur ulama Maliki, Jumhur Mazhab Syafii dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dari sebagian pengikutnya.

Bilakah Diharuskan Lelaki Memukul Duf?

Berlaku perselisihan pendapat di kalangan fuqaha’ pada tujuan dan keadaan yang dibenarkan memukul duf. Mereka terbagi kepada dua mazhab:

Pendapat pertama: Harus memukul duf untuk melahirkan rasa kegembiraan dan mewujudkan suasana kemeriahan di dalam upacara-upacara atau sambutan yang dibenarkan oleh syara’. Umpamanya perkawinan, berkhatan, sambutan hari raya, menyambut kepulangan musafir (haji dan lain-lain) dan sebagainya. Mereka yang berpendapat demikian ialah sebagian ulama mazhab Hanafi, Jumhur mazhab Syafii, sebagian ulama mazhab Hanbali, sebagian ulama mazhab Maliki dan Ibn Hazm Al-Andalusi.

Pendapat kedua: Memukul duf diharuskan untuk upacara perkawinan saja. Ia adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, jumhur fuqaha’ mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Hanbali dan salah satu pendapat fuqaha’ Syafii.

2. Gendang (Tabla)

Para fuqaha’ berikhtilaf pada hukum memukul gendang dan mendengar bunyinya. Pendapat-pendapat mereka adalah seperti berikut:

I. Fuqaha Hanafi dan sebagian Fuqaha’ mazhab Syafii:
Haram memukul gendang yang bertujuan untuk bersuka ria semata-mata. Sementara fuqaha’ Syafii bersepakat mengharamkan sejenis gendang yang dinamakan ‘Kubah’, sama ada bertujuan untuk bersuka ria semata-mata atau maksud-maksud yang lain.

II. Fuqah’ Maliki:
Haram memukul gendang dan mendengar pukulannya (dan seluruh jenisnya) melainkan di dalam upacara perkawinan.

III. Ulama Hanafi:
Memukul gendang untuk tujuan-tujuan selain daripada bersuka ria seperti gendang perang, perkawinan, dan gendang menyambut kedatangan musafir adalah diharuskan. Termasuk di dalam hukum ini, juga gendang sahur yang digunakan pada bulan Ramadhan untuk membangunkan umat Islam pada waktu sahur.

IV. Fuqaha’ Syafii:
Harus memukul gendang-gendang selain dari kubah, gendang-gendang untuk bersuka ria semata-mata dan Al-Kabar. Yaitu harus memukul gendang perang, gendang haji, gendang sahur dan gendang hari raya.

V. Fuqaha’ Hanbali:
Haram menggunakan keseluruhan alat yang melalaikan melainkan duf. Mengikuti mazhab mereka, haram memukul gendang sama ada dalam upacara perkawinan atau sebagainya.

3. As-Safaqataan, Sejenis alat yang terdiri dari dua piring tembaga yang disatukan untuk mengeluarkan bunyi.

Para fuqaha’ dalam menentukan hukumnya terbagi kepada 4 mazhab :

I. Hanafi, Hanbali dan yang muktamad di dalam mazhab Syafii, yaitu haram memukul dan mendengar iramanya.
II. Sebagian ulama mazhab Syafii, Ibn Hazm Al-Andalusi, Abdul Ghani An-Nablusi dan Ibn Tahir Al-Qaisarani, harus memukul dan mendengar bunyinya.
III. Maliki, harus menggunakannya di dalam upacara perkawinan saja.
IV. Sebagian fuqaha’ mazhab Syafii, tidak memutuskan hukumnya sama ada halal atau haram.

3.3. PENDAPAT ABU HAMID AL-GHAZALI

Al-Imam Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali telah membahas permasalahan hukum nyanyian dan musik dengan panjang lebar dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin dalam juz yang kedelapan pasal Al-Adat. Al-Ghazali di dalam perbincangannya telah membahas hukum musik dan alatnya dari pelbagai sudut sebelum mengeluarkan pandangannya. Beliau tidak hanya berpegang dengan zahir nas malah coba menggali di balik nas, sebab dan ‘illah diharamkan beberapa alat musik sebagaimana yang disabdakan oleh junjungan besar Nabi SAW dalam hadith-hadith Baginda. Ini bertitik tolak dari pegangan beliau bahwa nyanyian dan musik adalah kelezatan-kelezatan dunia yang asalnya adalah halal dan harus. Sebab itulah beliau memasukkan perbincangan beliau tentang hukum nyanyian dan musik dalam pasal adat (rub’ul adat). Adat-adat sebagaimana dimaklumi hukum asalnya adalah harus dan halal. (Al-Aslul fil Adat Al-Ibahah – asal di dalam adat adalah harus)

Al-Ghazali menyatakan bahwa irama boleh dihasilkan melalui alat seumpama serunai, kecapi dan gendang atau melalui kerongkong hewan atau manusia. Alat musik yang direka cipta pada asalnya adalah meniru makhluk-makhluk Allah SWT. Seruling yang direka adalah meniru suara yang dikeluarkan oleh kerongkong hewan. Seandainya mendengar irama-irama merdu yang dikeluarkan oleh hewan atau manusia diharuskan maka mendengar irama alat-alat musik tiada berbeda hukumnya yaitu harus dan halal. Patut dikiaskan suara (irama) yang dihasilkan oleh alat seumpama gendang, rebana, seruling dengan suara hewan dan manusia karena semuanya adalah suara atau bunyi.

Al-Ghazali menegaskan sebab pengharaman alat yang dipetik dan ditiup (seperti seruling) sebagaimana yang disebut dalam hadith Nabi SAW bukan karena alat tersebut menimbulkan kelezatan kepada pendengar. Sekiranya demikian sudah tentulah diharamkan semua jenis suara atau irama yang membangkitkan kelezatan kepada pendengar, gendang, rebana kecil (duf) dan binatang-binatang seperti burung mempunyai potensi untuk menghasilkan irama-irama merdu yang mampu membangkitkan kelezatan di dalam sudut hati pendengar. Walau bagaimana pun Islam tidak mengharamkan suara-suara tersebut. Oleh itu Al-Ghazali menyatakan sebab pengharaman alat yang disebut di dalam hadith-hadith Nabi SAW adalah karena alat-alat tersebut biasa digunakan oleh ahli-ahli fasiq, maksiat dan peminum-peminum arak dan menjadi syiar mereka. Al-Ghazali seterusnya menguraikan sebab tersebut di dalam pernyataan-pernyataan di bawah:
  1. Irama alat tersebut mengajak pendengar kepada arak karena kelezatan iramanya disempurnakan dengan meminum arak. Hal ini ada persamaannya dengan pengharaman meminum sedikit arak walaupun ia tidak memabukkan karena dapat membawa kepada meminum kadar arak yang memabukkan.
  2. Kepada orang yang baru kenal dengan arak, bunyi-bunyi alat tersebut dapat mengingatkannya kepada tempat-tempat maksiat. Perlakuan “mengingat” ini boleh membawa kepada perlakuan meminum arak.
  3. Alat-alat tersebut adalah syiar ahli fasiq dan maksiat. Mereka menggunakan alat tersebut untuk bersuka ria di dalam majlis-majlis mereka. Berdasarkan kepada sebab ini, dianjurkan meninggalkan perkara-perkara sunnah yang menjadi syiar ahli bid’ah untuk mengelakkan menyerupai mereka. Pengharaman al-kubah adalah karena ia biasa digunakan oleh lelaki-lelaki pondan. Sekiranya tidak sudah tentu tiada beda antaranya dengan gendang haji, gendang perang dan seumpamanya.
Begitulah pandangan Imam Al-Ghazali tentang hukum penggunaan alat-alat musik. Beliau melihat di sana wujudnya sebab diharamkan alat-alat yang disebut pengharamannya melalui lisan Nabi SAW. Sekiranya hilang (gugur) sebab tersebut sudah tentulah gugur hukum pengharamannya. Bagi beliau semua perkara yang baik (At-Thayyibat) adalah halal melainkan perkara-perkara yang boleh membawa kepada kerusakan. 

Firman Allah SWT:
“Katakanlah wahai Muhammad, siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hambaNya dan mengharamkan rezeki yang halal.” (Surah Al-A’raaf : 3)
Justru itu suara dan irama yang dihasilkan melalui alat-alat musik, tidak haram ain atau zatnya tetapi ia menjadi haram hukumnya disebabkan unsur-unsur luar sebagaimana diterangkan di atas.

3.4. PENDAPAT ULAMA-ULAMA MASA KINI TENTANG MUSIK

Ulama-ulama Islam masa kini tidak ketinggalan menyumbangkan pandangan-pandangan mereka terhadap hukum musik yang menjadi titik perbedaan pendapat di kalangan ulama sejak zaman kezaman. Mereka terbagi kepada dua golongan, yaitu golongan yang mengharuskannya dan golongan yang mengharamkan. Mereka yang mengharamkan berpegang kepada nas-nas Al-Quran dan sunnah serta ‘illah yang disebut oleh ulama-ulama terdahulu. Cuma ada juga khilaf di kalangan mereka tentang alat-alat yang diharuskan. Ada juga yang menghadkannya kepada duf saja. Mereka ini pula berikhtilaf lagi pada keadaan-keadaan dibenarkan memukul duf dan siapakah yang diharuskan menggunakannya.
  1. Pendapat pertama menyatakan bahwa duf hanya boleh digunakan di dalam upacara-upacara perkawinan, hari raya, dan suasana-suasana kegembiraan yang lain seperti berkhatan. Hanya kaum perempuan saja yang dibenarkan memukul duf. Pendapat ini ialah pendapat Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Saleh Fauzan, Syeikh Muhammad bin Saleh Al-‘Usaimin dan Syeikh Nasiruddin Al-Albani. Mereka bersandarkan kepada mazhab Hanbali.
  2. Pendapat kedua pula menyatakan duf boleh digunakan dalam semua keadaan dan boleh dipukul oleh kaum lelaki dan wanita.
Golongan yang lain pula ialah ulama-ulama masa kini yang mengharuskan penggunaan duf dan gendang saja bersandarkan kepada pendapat-pendapat ulama terdahulu.

Seterusnya ada ulama-ulama masa kini yang mengharuskan penggunaan seluruh alat musik tanpa ada pengecualian tetapi mereka meletakkan syarat-syarat dan batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antaranya ialah:
  1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
  2. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam Al-Mar’ah wa Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
  3. Dr. Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
  4. Dr. Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.
Pendapat mereka sama dengan pandangan beberapa ulama terdahulu seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi, Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafii dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.

Sebagian dari mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian karena hadith-hadith yang mengharamkan alat-alat musik pada pandangan beliau sama ada sahih ghair sarih (sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata tetapi tidak sahih). Nas-nas yang seumpama ini tidak mampu untuk memutuskan hukum karena hukum mestilah diputuskan dengan nas yang sahih wa sarih (sahih dan nyata).

Sebagian yang lain pula seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab mempunyai pandangan yang sama dengan Al-Ghazali. Mereka menyatakan pengharaman alat-alat yang disebut di dalam nas-nas hadith adalah karena ia merupakan syiar ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan mereka musik tidak haram dari sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang menjadikannya haram ialah unsur-unsur eksternal yang lain yaitu ia adalah alat yang biasa digunakan di dalam majlis-majlis dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan batas syara’. Justru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan tempat dan masa. Penggunaan alat-alat ini juga seharusnya disesuaikan dengan lingkungan yang dibenarkan oleh syara’ yaitu:
  1. Niat penggunaan alat-alat tersebut dan pendengar iramanya hendaklah betul berdasarkan kaedah Al-umur Bimaqasidiha.
  2. Tujuan dan suasana digunakan alat-alat tersebut ialah tujuan dan suasana yang baik, mulia dan tidak bertentangan dengan batas-batas syara’.
Dr. Kaukab ‘Amir menyatakan: “Pada hakikatnya majlis-majlis maksiat pada hari ini seperti klab-klab malam menggunakan seluruh alat musik yang ada sekarang. Majlis-majlis tersebut tidak lagi menggunakan alat-alat tertentu (seperti zaman dahulu) malah keseluruhan alat digunakan. Oleh itu tidak mungkin untuk kita menghalalkan sebagian alat (seperti duf dan gendang) dan mengharamkan sebagian yang lain. Bahkan diharuskan kepada individu muslim mendengar irama alat-alat tersebut tetapi hendaklah menjaga adab-adab Islam serta tidak coba meniru kelakuan dan perbuatan ahli-ahli fasiq dan maksiat.

4. PENUTUP

Sebagai penutup kami mengutip dari kalam Imam Ghazali didalam kitab Kimiya' As Sa’adat pada bab yang berjudul ‘pembahasan tentang mendengarkan musik (samaa’) dan penjelasan tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang ‘sebagai berikut:

‘Ketahuilah bahwa Tuhan, yang mahaagung, memiliki rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaaimana api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka dengan mendengarkan musik yang menyenangkan dan harmonis menyebabkan esensi (hati) manusia bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya. Alasan untuk ini adalah adanya hubungan antara esensi hati (nurani) manusia dengan dunia transeden (alam arwah), yang disebut alam ruh (arwah). Dunia transeden adalah dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber kecantikan dan keindahan adalah keselarasan (tanaasub). Semua yang selaras mewujudkan keindahan didunia karena seluruh kecantikan, keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati di dunia ini adalah pantulan kecantikan dan keindahan dunia tersebut (alam arwah).

‘Oleh karena itu, nyanyian yang menyenangkan dan harmonis mempunyai kemiripan tertentu dengan keajaiban dunia tersebut (alam arwah), dan karenanya timbullah kesadaran dalam hati, dan juga gerakan (harakat) serta gairah, dan sangat miungkin bahwa diri manusia sendiri tidak mengetahuinya. Maka inilah kebenaran bagi hati manusia, yang sederhana, yang bebas dari berbagai cinta dan gairah yang dapat mempengaruhinya. Namun, apabila ia tidak bebas dari hal-hal itu, dan ia terisi sesuatu, maka sesuatu itu akan bergerak dan berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar. Mendengarkan musik (samaa’) penting bagi seseorang yang hatinya di kuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api asmara kian semakin berkobar; namun bagi yang hatinya dipenuhi kecintaan kepada yang fana (hubbu dunya), mendengarkan musik merupakan racun yang mematikan, dan karenanya haram baginya. 

Akhinya kami hanya hamba Allah yang dhoif yang tak luput dari salah, hanya kepada Allah ‘azza wajallah kami memohon pertolongan, petunjuk serta selalu dilimpahkan rahmat-Nya, dan kami mengharapkan syafa’atil ‘Uzhma dari Nabi Muhammad yang mulia agar kiranya terlimpahkan kepada umatnya yang lemah. Amin ……. Wa Shollollohu ‘Al Sayyidina Muhammad Wa Aalihi Wa Shohbihi Wa Sallama…. Wallohu a’lam Bi Showab.

Ketika hati menikmati konser musik spiritual (sama’)
Ia ‘kan merasakan kehadiran sang kekasih serta membawa jiwa
Ke persemayaman Rahasia Ilahi Melodi adalah tunggangan jiwamu;
Ia ‘kan mengembannya serta dengan suka ria membawanya ke dunia sang sahabat.
(Syeikh Sa’d Al Din Hamuuyah)
Jum’at 17 Robiustani 1428 H
Alfaqir ila Robbil jalil.


DAFTAR PUSTAKA

m,dat, diedit oleh Ahmad Ara-yi Sa’a• Al-Ghazali, Kimiya Teheran, 1345, hlm. 370.
• Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Al-Adat Juz VIII. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
• (al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, II/52).
• Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-Ilam bi Anna Al- Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh รข€˜Ala Al-Madzahib Al-Arbaah. Juz II. Qism Al-Muamalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
----------.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya :
• Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim : Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Maktabah Wahbah 1993
• ----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
----------.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. www.alsofwah.or.id
Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? www.sidogiri.com
Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. www.syariahonline.com
Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. www.pesantrenvirtual.com
Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Syair, dan WaktuMusik. www.ashifnet.tripod.com
Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. www.ummigroup.co.id
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara (Taarudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Hadhrah Dalam Sejarah Dan Pemahaman | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top