Mistikus Cinta

0
Fudhail Bin Iyadh
Abu ‘Ali al-Fudhail bin Iyadh at Talaqani lahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih remaja, Fudhail adalah seorang penyamun. Setelah bertaubat, Fudhail pergi ke Kufah kemudian ke Makkah, di mana ia tinggal beberapa tahun lamanya hingga wafatnya pada tahun 187 H/803 M. Nama Fudhail cukup terkenal sebagai seorang ahli hadits, dan keberaniannya mengkhutbah Khalifah Harun ar Rasyid sering diperbincangkan orang.

Fudhail, Pembegal, dan Kisah Pertaubatannya. 

Sewaktu masih remaja, Fudhail mendirikan kemah di tengah-tengah padang pasir, yaitu di antara Merv dan Baward. Jubahnya terbuat dari bahan kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan di lehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fudhail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh, dan membawa hasil rampasan mereka kepada Fudhail karena ia adalah ketua mereka. Fudhail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan sisa harta rampasan itu kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fudhail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka.

Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. Fudhail dan sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah itu. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantung emas yang dimilikinya?

“Kantung emas ini kusembunyikan,” ia berkata di dalam hati, “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan.”

Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaiannya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantung emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu yang sebenarnya adalah Fudhail sendiri.

“Taruhlah kantungmu itu di pokok kemahku,“ Fudhail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fudhail. Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fudhail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fudhail untuk mengambil kantung emasnya. Ia melihat Fudhail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka.

“Celaka ! ternyata aku telah menitipkan kantung emasku kepada seorang maling,” lelaki itu mengeluh.

Tetapi Fudhail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri.

“Apakah yang engkau kehendaki?” lelaki itu bertanya kepada Fudhail.

“Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini.”

Lelaki itu segera berlari ke kemah Fudhail, mengambil kantung emas dan meninggalkan tempat itu.

Dengan keheran-heranan, teman-teman Fudhail berkata, “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun di dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?”

Fudhail menjawab, “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula.”

Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fudhail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya, “Siapakah pemimpin kalian?”

Kawanan perampok itu menjawab, “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu.”

“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat.” Lelaki itu berkata.

“Ia sedang melakukan shalat sunnat, “salah seorang di antara pembegal-pembegal itu menjelaskan.

“Dan ia tidak makan bersama-sama kalian?” lelaki itu melanjutkan.

“Ia sedang berpuasa, “jawab salah seorang.

“Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?”

“Ia sedang berpuasa sunnat.”

Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fudhail yang sedang khusyu’ di dalam shalatnya. Setelah selesai berkatalah ia kepada Fudhail, “Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat, dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”

“Apakah engkau memahami Al-Qur’an?” Fudhail bertanya kepadanya.

“Ya,” jawab lelaki itu.

“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berfirman, “Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukan perbuatan-perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?”

Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa.

Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fudhail adalah seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya. Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fudhail. Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta bendanya yang dirampasnya. Sebenarnya semua kecenderungan Fudhail tertuju kepada perbuatan yang baik.

Pada awal petualangannya, Fudhail tergila-gila pada seorang wanita. Fudhail selalu menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fudhail sering memanjat dinding rumah si wanita itu tanpa peduli keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara berbuat demikian, ia selalu menangis.

Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya itu, lewatlah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Terdengarlah oleh Fudhail ayat yang berbunyi, “Belum tibalah saatnya hati orang-orang yang percaya merendah untuk mengingat Allah?”

Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fudhail, seolah sebuah ancaman yang berseru kepadanya, “Wahai Fudhail, berapa lama lagikah engkau akan membegal para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!”

Fudhail terjatuh dan berseru, “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terlambat!”

Fudhail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata, “Marilah kita melanjutkan perjalanan.” Tetapi salah seorang di antara mereka mencegah, “Tidak mungkin, Fudhail sedang menanti dan akan menghadang kita.”

Mendengar pembicaraan mereka itu Fudhail berseru, “Berita gembira! Fudhail telah bertaubat!”

Setelah berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membenci dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fudhail meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa seorang Yahudi di Baward. Fudhail meminta agar janji setia di antara mereka berdua dihapuskan namun si Yahudi tidak mau dibujuk.

“Sekarang kita dapat memperolok-olokkan pengikut Muhammad,” si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambil tergelak-gelak.

“Jika engkau menginginkan aku untuk menghapuskan janji setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu,” si Yahudi berkata kepada Fudhail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit itu tidak mungkin dapat dipindahkan oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang sangat lama. Fudhail yang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi sedikit, tetapi bagaimanakah tugas itu dapat diselesaikan? Pada suatu pagi, ketika Fudhail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir itu hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu telah menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub itu berkata kepada Fudhail, “Sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. Oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Dengan demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia di antara kita dapat dihapuskan.”

Fudhail masuk ke dalam rumah orang Yahudi itu. Sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah ke bawah permadani itu. Tetapi ketika Fudhail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas ini diserahkannya kepada si orang Yahudi tadi.

“Islamkanlah aku!” si Yahudi berseru kepada Fudhail. Fudhail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim.

Kemudian si Yahudi berkata kepada Fudhail, “Tahukah engkau mengapa aku mau menjadi seorang Muslim? Hingga sesaat yang lalu aku masih ragu, yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat, “Jika seseorang benar-benar bertaubat, kemudian menaruh tangannya ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas.” Sesungguhnya ke bawah permadani tadi telah kutaruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu, tahulah aku bahwa engkau benar-benar telah bertaubat dan bahwa agamamu adalah agama yang benar.”

Fudhail memohon kepada seseorang, “Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan Sultan agar ia mengadiliku karena berbagai kejahatan yang pernah kulakukan”.

Orang itu memenuhi permohonan Fudhail. Ketika Sultan melihat Fudhail, terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya.

“Aku tidak dapat mengadilinya“, Sultan berkata. Kemudian ia memerintahkan agar Fudhail diantarkan pulang dengan segala hormat. Ketika sampai di rumahnya Fudhail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras.

“Dengarlah Fudhail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa”, orang-orang berkata.

“Memang benar, aku sedang disiksa!”Fudhail menjawab.

“Apakah yang dipukuli?” mereka bertanya.

“Batinku!”, jawab Fudhail.

Kemudian Fudhail menjumpai isterinya. “Istriku”, katanya, “Aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan kubebaskan”.

Tetapi isterinya menjawab, “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Kemana pun engkau pergi aku akan menyertaimu”.

Maka berangkatlah mereka ke Makkah. Allah Yang Maha Kuasa telah memudahkan perjalanan mereka. Di kota Makkah mereka tinggal di dekat Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang suci. Untuk beberapa lama Fudhail bergaul rapat dengan Imam Abu Hanifah. Dan mengenai kekerasan disiplin diri Fudhail, telah banyak kisah-kisah yang dituliskan orang. Di kota Makkah ini terbukalah kesempatan bagi Fuzaik untuk berkhutbah dan penduduk kota senantiasa berbondong-bondong untuk mendengarkan kata-katanya. Nama Fudhail segera menjadi buah bibir di seluruh pelosok dunia, sehingga sanak keluarganya meninggalkan Baward menuju Makkah untuk menemuinya. Mereka mengetuk pintu rumah Fudhail namun Fudhail tidak menjawab. Mereka tidak mau meninggalkan tempat itu, maka naiklah Fudhail keatap rumahnya dan dari sana ia berseru kepada mereka, “Wahai penganggur-penganggur, semoga Allah memberikan pekerjaan kepada kalian!”

Berkali-kali Fudhail mengucapkan kata-kata pedas seperti itu sehingga semua sanak keluarganya menangis dan lupa diri. Akhirnya karena putus asa untuk dapat bercengkrama dengan Fudhail, mereka pun meninggalkan tempat itu. Fudhail masih tetap di atas atap dan tidak mau membukakan pintu rumahnya.

Fudhail Dan Khalifah Harun Ar-Rasyid

Pada suatu malam, Harun ar Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar Rasyid berkata kepada Fazl, “Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan”.

Fazl membawa Harun ar Rasyid ke rumah Shofyan al Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut, “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum muslimin”, Jawab Fazl.

Shofyan berkata, “Mengapakah Sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?”

Mendengar ucapan itu Harun ar Rasyid berkata, “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatiku seperti yang lainnya”.

Mendengar kata-kata Sultan itu, Shofyan berkata, “Jika demikian, Fudhail bin Íyadh adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya”. Kemudian Shofyan membacakan ayat, “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa Kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang shalih?”

Harun ar Rasyid menimpali, “Seandainya aku menginginkan nasihat-nasihat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi”.

Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fudhail. Dari dalam Fudhail bertanya, “Siapakah itu?”

“Pemimpin kaum muslimin”, jawab Fazl.

“Apakah urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?” Tanya Fudhail.

“Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sela Fazl.

“Janganlah kalian menggangguku”, seru Fudhail.

“Perlukah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah Sultan?” Tanya Fazl.

“Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan”, jawab Fudhail.
“Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan”.

Harun ar Rasyid melangkah masuk. Begitu Harun menghampirinya, Fudhail meniup lampu sehingga padam agar ia tidak dapat melihat wajah Sultan. Harun ar Rasyid mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fudhail yang kemudian berkata, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!”

Setelah berkata demikian Fudhail berdiri dan berdoa. Harun ar Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya.

“Katakanlah sesuatu kepadaku“, Harun memohon kepada Fudhail.

“Leluhurmu, paman Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau SAW., “Jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian umat manusia”. Nabi SAW menjawab, “Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri”. Dengan jawaban ini yang dimaksudkan Nabi adalah, sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh umat manusia. Kemudian Nabi menambahkan, “Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari berbangkit nanti”.

“Lanjutkanlah”, Harun ar Rasyid meminta.

“Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz memanggil Salim bin Abdullah, Raja’ bin Hayat, dan Muhammad bin Ka'ab. Umar berkata kepada mereka, Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia. Salah seorang di antara ketiga sahabat Umar itu berkata, Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang remaja sebagai saudaramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya puteramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya, dan puteranya”.

“Lanjutkanlah!” Harun ar Rasyid meminta lagi.

Änggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka. Takutilah Allah dan taatilah perintah-perintahnya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari berbangkit nanti Allah akan meminta pertanggungjawabanmu sehubungan dengan setiap Muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, pada hari berbangkit nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu”.

Harun ar Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasir Fazl menyentuh Fudhail, “Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum muslimin!”

“Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang kulakukan ini suatu pembunuhan?”

Mendengar kata-kata Fudhail ini tangis Harun ar Rasyid semakin menjadi-jadi, “Ia menyebutmu Haman!” kata Harun ar Rasyid sambil memandang Fazl, “Karena ia mempersamakan diriku dengan Firaun”.

Kemudian Harun bertanya kepada Fudhail, “Apakah engkau mempunyai utang yang belum dilunasi?”

“Ya”, jawab Fudhail, “Utang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi utang ini, celakalah aku!”

“Yang kumaksudkan adalah utang kepada manusia, Fudhail”, Harun menegaskan.

“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh kesah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya”.

Kemudian Harun ar Rasyid menaruh sebuah kantung yang berisi seribu dinar di hadapan Fudhail sambil berkata, “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku”.

Tetapi Fudhail mencela, “Wahai pemimpin kaum muslimin, nasihat-nasihat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kedzaliman”.

“Perbuatan salah apakah yang telah kulakukan?” Tanya Harun ar Rasyid.

“Aku menyerumu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan? Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberikannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata”.

Setelah berkata demikian, Fudhail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar.

“Benar-benar seoarang manusia hebat!” Harun ar Rasyid berkata ketika ia meninggalkan rumah Fudhail, “Sesungguhnya Fudhail adalah seoarang raja bagi umat manusia. Ia sangat blak-blakan dan dunia ini terlampau kecil dalam pandangannya”.

Anekdot-Anekdot Diri Fudhail

Suatu hari Fudhail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fudhail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.

“Apakah Ayah cinta kepadaku?” si anak bertanya kepada Fudhail.
“Ya, “Jawab Fudhail.
“Apakah Ayah cinta kepada Allah?”
“Ayah.”
“Berapa banyakkah hati yang Ayah miliki?”
“Satu”, jawab Fudhail.
“Dapatkah Ayah mencintai dua hal dengan satu hati?” si anak meneruskan pertanyaannya.

Fudhail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fudhail memukul-mukulkan kepalanya sendiri dan memohon ampun kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata.

~~~

Pada suatu hari Fudhail sedang berada di Padang Arafah. Semua jamaáh yang berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri dan memohonkan ampun dengan segala kerendahan hati.

“Maha Besar Allah!”seru Fudhail, “Jika manusia sebanyak ini secara serentak menghadap kepada seseorang dan mereka semua meminta sekeping uang perak kepadanya, apakah yang dilakukannya? Apakah orang itu akan mengecewakan manusia-manusia yang banyak ini?”

“Tidak”, orang ramai menjawab.

“Jadi”, Fudhail melanjutkan, “Sudah tentu bagi Allah Yang Maha Besar untuk mengampuni kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang tadi untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di antara yang kaya, dank arena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia akan mengampunkan kita semua”.

~~~

Putera Fudhail menderita penyakit susah buang air kecil. Fudhail berlutut di dekat anaknya dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu sembuhkanlah ia dari penyakit ini”.

Belum sempat Fudhail bangkit dari duduknya, si anak telah segar bugar kembali.

~~~

Di dalam doanya Fudhail sering mengucapkan, “Ya Allah, ampunilah aku karena Engkau Maha Tahu bahwa aku telah bertaubat, dan janganlah Engkau menghukumku karena Engkau Maha Berkuasa atas diriku”. Kemudian ia melanjutkan, “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan telah membuat anak-anakku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah membuat anak-anakku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepadaku apabila hari telah gelap. Semua itu telah Engkau lakukan terhadap sahabat-sahabat-Mu. Karena keluhuran spiritual, apakah Fudhail telah menerima kehormatan-Mu ini?”

~~~

Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat Fudhail tersenyum kecuali ketika puteranya meninggal dunia. Pada waktu itulah orang-orang melihat Fudhail tersenyum. Seseorang menegurnya, “Guru, mengapakah engkau justru tersenyum di saat-saat yang seperti ini?”

“Aku menyadari bahwa Allah menghendaki agar anakku mati. Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana”, jawab Fudhail.

~~~

Fudhail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya Fudhail menyampaikan wasiat terakhir kepada isterinya, “Apabila aku mati bawalah anak-anak kita ke gunung Abu Qubais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah, “Ya Allah, Fudhail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu; ketika aku hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah kulindungi dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, mereka kuserahkan kepada-Mu kembali”.

Setelah Fudhail dikebumikan, isterinya melakukan seperti yang dipesankan kepadanya. Ia pergi ke puncak gunung Abu Qubais membawa kedua anak perempuannya. Kemudian ia berdoa kepada Allah sambil menangis dan meratap. Kebetulan pada saat itu, pangeran dari negeri Yaman beserta kedua puteranya melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu, sang Pangeran bertanya, “Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?”

Isteri Fudhail menerangkan keadaan mereka. Kemudian si Pangeran berkata “Jika kedua puterimu kuambil untuk kedua puteraku ini dan untuk masing-masing di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya, apakah engkau merasa cukup puas?” ”Ya”, jawab si ibu.

Segeralah sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu, permadani-permadani dan brokat-brokat kemudian membawa si ibu beserta kedua puterinya ke negeri Yaman.


Sumber : Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar


Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Mistikus Blog dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE:




Anda sedang membaca Fudhail Bin Iyadh | Silahkan Like & Follow :
| | LIKE, SHARE, SUBSCRIBE Mistikus Channel
| Kajian Sufi / Tasawuf melalui Ensiklopedia Sufi Nusantara, klik: SUFIPEDIA.Terima kasih.
Sudah berapa lama Anda menahan rindu untuk berangkat ke Baitullah? Melihat Ka’bah langsung dalam jarak dekat dan berkesempatan berziarah ke makam Rasulullah. Untuk menjawab kerinduan Anda, silahkan klik Instagram | Facebook.

Post a Comment Blogger Disqus

 
Top