Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab, di dalam legenda sufi disebutkan sebagai seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya – mirip dengan kisah Gautama Budha – lalu mengembara kearah Barat untuk menjalani hidup pertapaan yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga meninggalkannya di negeri Persia kira-kira tahun 165 H/782 M. beberapa sumber mengatakan bahwa Ibrahim terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium. Pertaubatan Ibrahim merupakan sebuah kisah klasik di dalam hagiografi kaum Muslimin.
Legenda Mengenai Diri Ibrahim Bin Adham
Ibrahim Bin Adham adalah raja Balkh yang sangat luas daerah kekuasaannya. Ke mana pun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buah tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya. Pada suatu malam ketika ia tertidur di kamar istananya, langit-langit kamar berderak-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Ibrahim terjaga dan berseru, “Siapakah itu?!”
“Seorang sahabat, “terdengar sahutan-sahutan, “Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atas atap ini”.
“Bodoh! Engkau hendak mencari unta di atas atap?”seru Ibrahim.
“Wahai manusia yang lalai”, suara itu menjawab, “Apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas ranjang emas?”
Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Ia sangat gelisah dan tak dapat meneruskan tidurnya. Ketika hari telah siang, Ibrahim kembali ke ruang pertemuan dan duduk di atas singgasananya sambil berpikir-pikir, bingung, dan sangat gundah. Para menteri telah berdiri di tempat masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Kemudian dimulailah pertemuan terbuka.
Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke dalam ruangan pertemuan itu. Wajahnya demikian menyeramkan sehingga tak seorang pun di antara anggota-anggota maupun hamba-hamba istana yang berani menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki itu melangkah ke depan singgasana.
“Apakah yang engkau inginkan?” Tanya Ibrahim.
“Aku baru saja sampai persinggahan ini”, jawab lelaki itu.
“Ini bukan sebuah persinggahan para kafilah. Ini adalah istanaku. Engkau sudah gila!” Ibrahim menghardik.
“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” Tanya lelaki itu.
“Ayahku!” jawab Ibrahim.
“Dan sebelum ayahmu?”
“Kakekku!”
“Dan sebelum kakekmu?”
“Ayah dari kakekku!”
“Dan sebelum dia?”
“Kakek dari kakekku!”
“Ke manakah mereka sekarang ini?” Tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah mati”, jawab Ibrahim.
“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”
Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sesungguhnya ia adalah Nabi Khidir a.s. Kegelisahan dan kegundahan hati Ibrahim semakin menjadi-jadi. Ia dihantui bayang-bayangan pada siang hari dan mendengar suara-suara pada malam hari, keduanya sama-sama membingungkan. Akhirnya karena tidak tahan lagi, pada suatu hari berserulah Ibrahim, “Persiapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tak tahu apa yang telah terjadi terhadap diriku belakangan ini. Ya Allah, kapan semua ini akan berakhir?”
Kudanya telah dipersiapkan lalu berangkatlah ia berburu. Kuda itu dipacunya menembus padang pasir, seoalah-olah ia tak sadar akan segala perbuatannya. Dalam kebingungan itu ia terpisah dari rombongannya. Tiba-tiba terdengar olehnya sebuah seruan; “Bangunlah!”
Ibrahim pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk kedua kalinya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tak memperdulikannya. Ketika suara itu untuk ketiga kalinya berseru kepadanya, Ibrahim semakin memacu kudanya. Akhirnya untuk yang keempat kali, suara itu berseru, “bangunlah; sebelum engkau kucambuk!’
Ibrahim tidak dapat mengembalikan dirinya. Saat itu terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu tetapi binatang itu berkata kepadanya, “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat menangkapku. Untuk inilah engkau diciptakan atau inikah yang diperintahkan kepadamu!”
“Wahai, apakah yang menghadang diriku ini ?” seru Ibrahim. Ia memalingkan wajahnya dari rusa itu. Tetapi dari pegangan pelana kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa, Ibrahim panik dan ketakutan. Seruan itu semakin jelas karena Allah Yang Maha Kuasa hendak menyempurnakan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru pula dari mantelnya. Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu surga terbuka bagi Ibrahim. Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. Ibrahim turun dari tunggangannya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air matanya. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.
Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat seorang gembala yang mengenakan pakaian dan topi terbuat dari bulu domba. Sang penggembala sedang menggembalakan sekawanan ternak.
Setelah diamatinya ternyata si gembala itu adalah sahaya yang sedang menggembalakan domba-domba miliknya pula. Kepada si gembala itu Ibrahim menyerahkan mantelnya yang bersulam emas, topinya yang bertatahkan batu-batu permata dan domba-domba itu, sedang dari si gembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi bulu domba yang sedang dipakainya. Ibrahim lalu mengenakan pakaian dan topi bulu milik si gembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan penuh kekaguman.
“Betapa megah kerajaan yang diterima putera Adham ini”, malaikat-malaikat itu berkata, “Ia telah mencampakkan keduniawian yang kotor lalu menggantinya dengan jubah kepapaan yang megah”.
Dengan berjalan kaki, Ibrahim mengelana melalui gunung-gunung dan padang pasir yang luas sambil meratapi dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah ia di Merv. Di sini Ibrahim melihat seorang lelaki terjatuh dari sebuah jembatan. Pastilah ia akan binasa dihanyutkan oleh air sungai.
Dari kejauhan Ibrahim berseru, “Ya Allah, selamatkanlah dia!”
Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di udara sehingga para penolong tiba dan menariknya ke atas. Dan dengan terheran-heran mereka memandang kepada Ibrahim. “manusia apakah ia itu?”seru mereka.
Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai ke Nishapur. Di kota Nishapur Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil di mana ia dapat tekun mengabdi kepada Allah. Akhirnya ditemuinyalah sebuah gua yang di kemudian hari menjadi amat termasyhur. Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri selama Sembilan tahun, tiga tahun pada masing-masing ruang yang terdapat di dalamnya. Tak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang maupun malam di dalam gua itu, karena hanya seorang manusia luar biasa perkasanya yang sanggup menyendiri di dalam gua itu pada malam hari.
Setiap hari Kamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua itu untuk mengumpulkan kayu bakar. Keesokkan paginya pergilah ia ke Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. Setelah melakukan shalat Jum'at ia pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya. Roti itu separuhnya diberikannya kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk pembuka puasanya. Demikianlah yang dilakukannya setiap pekan.
Pada suatu malam pada musim salju, Ibrahim sedang berada dalam ruang pertapaannya. Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci Ibrahim harus memecahkan es. Sepanjang malam badannya menggigil namun ia tetap melaksanakan shalat dan berdoa hingga fajar menyingsing. Ia hampir mati kedinginan. Tiba-tiba teringat pada api. Di atas tanah dilihatnya ada sebuah kain bulu. Dengan kain bulu itu sebagai selimut ia pun tertidur. Setelah hari terang benderang barulah ia terjaga dan badannya terasa hangat. Tetapi segeralah ia sadar bahwa yang disangkanya sebagai kain bulu itu adalah seekor naga dengan biji mata berwarna merah darah. Ibrahim panik ketakutan dan berseru, “Ya Allah, Engkau telah mengirimkan makhluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihatlah bentuk sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tak kuat menyaksikannya”.
Naga itu segera bergerak dan meninggalkan tempat itu setelah dua atau tiga kali bersujud di depan Ibrahim.
Ibrahim Bin Adham Pergi Ke Makkah
Ketika kemasyhuran perbuatan-perbuatannya tersebar luas, Ibrahim meninggalkan gua itu dan pergi ke Makkah. Di tengah padang pasir, Ibrahim berjumpa dengan seorang tokoh besar agama yang mengajarkan kepadanya Nama Yang Teragung dari Allah dan setelah itu pergi meninggalkannya. Dengan Nama Yang Teragung itu Ibrahim menyeru Allah dan sesaat kemudian tampaklah olehnya Nabi Khidir a.s.
“Ibrahim”, kata Khidir kepadanya, “Saudaraku Dawud-lah yang mengajarkan kepadamu Nama Yang Teragung itu”.
Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai berbagai masalah. Dengan seizin Allah, Nabi Khidir adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim.
Mengenai kelanjutan perjalanannya menuju Makkah, Ibrahim mengisahkan sebagai berikut: Setibanya di Dzatul Irq, kudapati tujuh puluh orang yang berjubah kain perca tergeletak mati dan darah mengalir dari hidung dan telinga mereka. Aku berjalan mengitari mayat-mayat itu, ternyata salah seorang diantaranya masih hidup.
“Anak muda, apakah yang telah terjadi?” aku bertanya kepadanya.
“Wahai anak Adham”, jawabnya padaku, “beradalah di dekat air dan tempat shalat, janganlah menjauh agar engkau tidak dihukum, tetapi jangan pula terlalu dekat agar engkau tidak celaka. Tidak seorang manusia pun boleh bersikap terlampau berani di depan Sultan. Takutilah sahabat yang membantai dan memerangi para peziarah ke tanah suci seakan-akan mereka itu orang-orang kafir Yunani. Kami adalah rombongan sufi yang menembus padang pasir dengan berpasrah kepada Allah dan berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata pun di dalam perjalanan, tidak akan memikirkan apa pun kecuali Allah, senantiasa membayangkan Allah ketika berjalan maupun beristirahat, dan tidak perduli kepada segala sesuatu kecuali kepada-Nya”.
“Setelah kami mengarungi padang pasir dan sampai ke tempat di mana para peziarah harus mengenakan jubah putih, Khidir a.s. datang menghampiri kami. Kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam kami. Kami sangat gembira dan berkata, ‘Alhamdulillah”, sesungguhnya perjalanan kita telah diridhai Allah, dan yang mencari telah mendapatkan yang dicari, karena bukankah manusia suci sendiri telah datang untuk menyambut kita!’. Tapi, di saat itu juga berserulah sebuah suara di dalam diri kami, ‘Kalian pendusta dan berpura-pura! Demikianlah kata-kata dan janji kalian dahulu? Kalian lupa kepada-Ku dan memuliakan pada yang lain. Binasalah kalian! Aku tidak akan membuat perdamaian dengan kalian sebelum nyawa kalian kucabut sebagai pembalasan dan sebelum darah kalian kutumpahkan dengan pedang kemurkaan! manusia-manusia yang engkau saksikan terkapar di sini, semuanya adalah korban dari pembalasan itu. Wahai Ibrahim, berhati-hatilah engkau! Engkau pun mempunyai ambisi yang sama. Berhati-hatilah atau menyingkirlah jauh-jauh!”.
Aku sangat gembira mendengar kisah itu. Aku bertanya kepadanya, “Tetapi mengapakah engkau tidak turut dibinasakan?”
“Kepadaku dikatakan, “Sahabat-sahabatmu telah matang sedangkan engkau masih mentah. Biarlah engkau hidup beberapa saat lagi dan segera akan menjadi matang. Setelah matang engkau pun akan menyusul mereka”.
Setelah berkata demikian ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
***
Empat belas tahun lamanya Ibrahim mengarungi padang pasir, dan selama itu pula ia selalu berdoa dan merendahkan diri kepada Allah. Ketika hampir sampai ke kota Makkah, para sesepuh kota Makkah sudah mendengar kedatangan Ibrahim, mereka keluar kota hendak menyambutnya. Ibrahim mendahului rombongannya agar tidak seorang pun dapat mengenali dirinya. Hamba-hamba yang mendahului para sesepuh tanah suci itu melihat Ibrahim, tetapi karena belum pernah bertemu dengannya, mereka tak mengenalnya. Setelah Ibrahim begitu dekat, para sesepuh itu berseru, “Ibrahim bi Adham hampir sampai. Para sesepuh tanah suci telah datang menyambutnya”.
“Apakah yang kalian inginkan dari si Bid’ah itu?” Tanya Ibrahim kepada mereka. Mereka langsung meringkus Ibrahim dan memukulinya.
“Para sesepuh tanah suci sendiri datang menyambut Ibrahim tapi engkau menyebutnya bid’ah?” hardik mereka.
“Ya, aku katakan bahwa dia adalah seoarang bid’ah?” Ibrahim mengulangi ucapannya.
Ketika mereka meninggalkan dirinya, Ibrahim berkata pada dirinya, “Engkau pernah menginginkan agar para sesepuh itu datang menyambut kedatanganmu, bukankah telah engkau peroleh beberapa pukulan dari mereka? Alhamdulillah, telah kusaksikan betapa engkau memperoleh apa yang engkau inginkan!”.
Ibrahim menetap di kota Makkah. Ia selalu dikelilingi oleh beberapa orang sahabat dan ia memperoleh nafkah dengan memeras keringat sebagai tukang kayu.
Ibrahim Dikunjungi Oleh Puteranya
Ketika berangkat dari Balkh, Ibrahim bin Adham meninggalkan seorang putera yang masih menyusu. Suatu hari, setelah si putera telah dewasa, ia menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya.
“Ayahmu telah hilang!”si ibu menjelaskan.
Setelah mendapat penjelasan ini, si putera membuat sebuah maklumat bahwa barangsiapa yang bermaksud menunaikan ibadah haji, diminta supaya berkumpul. Empat ribu orang datang memenuhi panggilan ini. Kemudian ia lalu memberikan biaya makan dan unta selama dalam perjalanan kepada mereka itu. Ia sendiri memimpin rombongan itu menuju kota Makkah. dalam hati ia berharap semoga Allah mempertemukan dia dengan ayahnya. Sesampainya di Makkah, di dekat pintu Masjidil haram, mereka bertemu dengan serombongan sufi yang mengenakan jubah kain perca.
“Apakah kalian mengenal Ibrahim bin Adham?” si pemuda bertanya kepada mereka.
“Ibrahim bin Adham adalah sahabat kami. Ia sedang mencari makanan untuk menjamu kami”.
Pemuda itu meminta agar mereka sudi mengantarkannya ketempat Ibrahim saat itu. Mereka membawanya ke bagian kota Makkah yang dihuni oleh orang-orang miskin. Di sana dilihatnya betapa ayahnya bertelanjang kaki dan tanpa penutup kepala sedang memikul kayu bakar. Air matanya berlinang tapi ia masih dapat mengendalikan diri. Ia lalu membuntuti ayahnya sampai ke pasar. Sesampainya di pasar si ayah mulai berteriak-teriak, “Siapakah yang suka membeli barang yang halal dengan barang yang halal?!”.
Seorang tukang roti menyahut dan menerima kayu api itu dan memberikan roti kepada Ibrahim. Roti itu dibawanya pulang lalu disuguhkannya kepada sahabat-sahabatnya.
Si putera berpikir-pikir dengan penuh kekuatiran, “Jika kukatakan kepadanya siapa aku, niscaya ia akan melarikan diri”. Oleh karena itu ia pun pulang meminta nasihat dari ibunya, bagaimana cara yang terbaik untuk mengajak ayahnya pulang. Si Ibu menasihatkan agar ia bersabar hingga tiba saat melakukan ibadah haji.
Setelah tiba saat menuanaikan ibadah haji, sang anak pun pergi ke Makkah, Ibrahim sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya.
“Hari ini di antara jama’ah haji banyak terdapat perempuan dan anak-anak muda”, Ibrahim menasihati mereka, ‘Jagalah mata kalian”.
Semuanya menerima nasihat Ibrahim itu. Para jama’ah memasuki kota Makkah dan melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, Ibrahim beserta para sahabatnya melakukan hal yang serupa. Seorang pemuda yang tampan menghampirinya dan Ibrahim terkesima memandangnya. Sahabat-sahabat Ibrahim yang menyaksikan kejadian ini merasa heran namun menahan diri sampai selesai thawaf.
“Semoga Allah mengampunimu”, mereka menegur Ibrahim. “Engkau telah menasihati kami agar menjaga mata dari setiap perempuan atau kanak-kanak, tetapi engkau sendiri telah terpesona memandang seorang pemuda tampan”.
“Jadi kalian telah menyaksikan perbuatan itu?”
“Ya, kami telah menyaksikannya”, jawab mereka.
“Ketika pergi dari Balkh”, Ibrahim menjelaskan, “Aku meninggalkan seorang anakku yang masih menyusu. Aku yakin pemuda tadi adalah anakku sendiri”.
Keesokkan harinya tanpa sepengetahuan Ibrahim, salah seorang sahabatnya pergi mengunjungi perkemahan jama’ah dari Balkh. Di antara semua kemah-kemah itu ada sebuah yang terbuat dari kain brokat. Di dalamnya berdiri sebuah mahligai dan di atas mahligai itu si pemuda sedang duduk membaca al Quran sambil menangis. Sahabat Ibrahim itu meminta izin untuk masuk.
“Dari manakah engkau datang?” tanyanya kepada si pemuda, “Dari Balkh”, jawab si pemuda.
“Putera siapakah engkau?”
“Si pemuda menutup wajahnya lalu menangis, “Sampai kemarin aku belum pernah menatap wajah ayahku”, katanya sambil memindahkan al Quran yang sedang dibacanya tadi, “Walaupun demikian aku belum merasa pasti apakah ia ayahku atau bukan. Aku kuatir jika kukatakan kepadanya siapa aku sebenarnya, ia akan menghindarkan diri kembali dari kami. Ayahku adalah Ibrahim bin Adham, raja dari Balkh”.
Sahabat Ibrahim lalu membawa si pemuda bertemu dengan ayahnya. Ibunya pun turut menyertai mereka. Ketika mereka sampai ke tempat Ibrahim, Ibrahim sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya di depan pojok Yamani. Dari kejauhan Ibrahim telah melihat sahabatnya datang beserta si pemuda dan ibunya. Begitu melihat Ibrahim, wanita itu menjerit dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.
“Inilah ayahmu!”
Semuanya gempar. Semua orang yang berada di tempat itu serta sahabat-sahabat Ibrahim menitikkan air mata. Begitu si pemuda dapat menguasai diri, ia segera mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salam anaknya kemudian merangkulnya.
“Agama apakah yang engkau anut?” Tanya Ibrahim kepada anaknya.
“Agama Islam”.
“Alhamdulillah”, ucap Ibrahim”, dapatkah engkau membaca al Quran?”
“Ya”, jawab anaknya.
“Alhamdulillah. Apakah engkau sudah mendalami agama ini?”
“Sudah”.
Setelah itu Ibrahim hendak pergi tetapi anaknya tidak mau melepaskannya. Ibunya meraung keras-keras. Ibrahim menengadahkan kepalanya dan berseru, “Ya Allah, selamatkanlah diriku ini!”
Seketika itu juga anaknya yang sedang berada dalam rangkulannya menemui ajal.
“Apakah yang terjadi, Ibrahim?” sahabat-sahabatnya bertanya.
“Ketika aku merangkulnya”, Ibrahim menerangkan, “Timbullah rasa cintaku kepada anakku, dan sebuah suara berseru kepadaku, “Engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Aku, tetapi nyatanya engkau mencintai seorang lain di samping Aku. Engkau telah menasihati sahabat-sahabatmu agar mereka tidak memandang wanita dan perempuan, tetapi hatimu sendiri lebih tertarik kepada wanita dan pemuda itu!” Mendengar kata-kata itu aku pun berdoa, ‘Ya Allah Yang Maha Besar, selamatkanlah diriku ini! Anak ini akan merenggut seluruh perhatianku sehingga aku tidak dapat mencintai-Mu lagi. Cabutlah nyawa anakku atau cabutlah nyawaku sendiri”. Dan kematian anakku itu merupakan jawaban doaku”.
Anekdot-anekdot Mengenai Diri Ibrahim bin Adham
Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Apakah yang telah terjadi terhadap dirimu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?”
“Pada suatu hari aku sedang duduk di atas tahta dan sebuah cermin dipegangkan di hadapanku. Aku memandang cermin itu, tiba-tiba yang terlihat olehku adalah sebuah kuburan sedang didalamnya tak ada teman-teman yang kukenal. Sebuah perjalanan yang jauh terbentang di depanku sedang aku tak punya bekal. Kulihat seorang hakim yang adil sedang aku tidak mempunyai seorang pun yang akan membela diriku. Setelah kejadian itu aku benci melihat kerajaanku”.
“Mengapa pula engkau meninggalkan Khurasan?” sahabat-sahabatnya bertanya.
“Di Khurasan banyak kudengarkan kata-kata mengenai sahabat sejati”, jawab Ibrahim.
“Mengapa engkau tidak beristri lagi?”
“Maukah seorang wanita mengambil seorang suami yang akan membuatnya lapar dan tak berpakaian?’ Ibrahim balik bertanya.
“Tidak!”, jawab mereka.
“Itulah sebabnya aku tidak mau menikah lagi”, Ibrahim menjelaskan, “Setiap wanita yang kunikahi akan lapar dan bertelanjang seumur hidupnya. Bahkan seandainya sanggup, aku ingin menceraikan diriku sendiri. Bagaimanakah aku dapat membawa seorang lain di atas pelana kudaku?”
Kemudian ia berpaling kepada seorang pengemis yang turut mendengarkan kata-katanya itu dan bertanya kepada pengemis itu, “Apakah engkau mempunyai seorang istri?”
“Tidak”, jawab si pengemis.
“Apakah engkau mempunyai seorang anak?”
“Tidak”.
“Baik sekali! Baik sekali!” seru Ibrahim.
“Mengapa engkau berkata demikian?” si pengemis bertanya.
“Seorang pengemis yang menikah adalah seperti seorang yang menumpang sebuah perahu. Apabila anak-anaknya lahir, tenggelamlah ia”.
Suatu hari Ibrahim menyaksikan seorang pengemis sedang meratapi nasibnya.
“Aku menduga bahwa engkau membeli pekerjaan ini dengan gratis”, kata Ibrahim kepadanya.
“Apakah pekerjaan mengemis diperjual belikan?” si pengemis bertanya heran.
“Sudah tentu”, jawab Ibrahim, “Aku sendiri telah membelinya dengan kerajaan Balkh. Dan aku merasa sangat beruntung!”
***
Seseorang datang hendak memberi uang seribu dinar kepada Ibrahim, “Terimalah uang ini,” katanya kepada Ibrahim.
“Aku tak mau menerima sesuatu pun dari para pengemis,“ jawab Ibrahim.
“Tetapi aku adalah seorang yang kaya, “ balas orang itu.
“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.
“Ya,” jawabnya.
“Bawalah kembali uang ini! Engkau adalah ketua para pengemis. Engkau bahkan bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat papa dan terlunta-lunta.”
Kepada Ibrahim dikabarkan mengenai seorang pertapa remaja yang telah memperoleh pengalaman-pengalaman menakjubkan dan telah melakukan disiplin diri yang sangat keras.
“Antarkanlah aku kepadanya karena aku ingin sekali bertemu dengannya,“ kata Ibrahim.
Mereka mengantarkan Ibrahim ke tempat si pemuda bertapa.
“Jadilah tamuku selama tiga hari,“ si pemuda mengundang Ibrahim. Ibrahim menerima undangannya dan selama itu pula Ibrahim memperhatikan tingkah lakunya. Ternyata yang disaksikan Ibrahim lebih menakjubkan daripada yang telah didengarnya dari sahabat-sahabatnya. Sepanjang malam si pemuda tidak pernah tertidur atau terlena. Menyaksikan semua ini Ibrahim merasa iri.
“Aku sedemikian lemah, tidak seperti pemuda ini yang tak pernah tidur dan beristirahat sepanjang malam. Aku akan mengamati dirinya lebih seksama,” Ibrahim berkata dalam hati, “Akan kuselidiki apakah syetan telah merasuk ke dalam tubuhnya atau apakah semua ini wajar sebagaimana yang semestinya. Aku harus meneliti sedalam-dalamnya. Yang menjadi inti persoalan adalah apa yang dimakan oleh seseorang.”
Maka diselidikinyalah makanan si pemuda. Ternyata si pemuda memperoleh makanan dari sumber yang tidak halal.
“Maha Besar Allah, ternyata semua ini adalah perbuatan syetan,” Ibrahim berkata dalam hati.
“Aku telah menjadi tamumu selama tiga hari,” kata Ibrahim. “Kini engkaulah yang menjadi tamuku selama empat puluh hari!”
Si pemuda setuju. Ibrahim membawa si pemuda ke rumahnya dan menjamunya dengan makanan yang telah diperolehnya dengan memeras keringatnya sendiri. Seketika itu juga kegembiraan si pemuda hilang. Semua semangat dan kegesitannya buyar. Ia tidak dapat lagi hidup tanpa beristirahat dan tidur. Ia lalu menangis.
“Apakah yang telah engkau perbuat terhadapku?” tanya si pemuda kepada Ibrahim.
“Makananmu engkau peroleh dari sumber yang tak halal. Setiap saat syetan merasuk ke dalam tubuhmu. Tetapi begitu engkau menelan makanan yang halal, maka ketahuanlah bahwa semua hal-hal yang menakjubkan yang dapat engkau lakukan selama ini adalah pekerjaan syetan.
***
Sahl Bin Ibrahim berkisah: Ketika melakukan perjalanan dengan Ibrahim Bin Adham aku jatuh sakit. Ibrahim menjual segala sesuatu yang dimilikinya dan mempergunakannya untuk merawat diriku. Kemudian aku memohon sesuatu dari Ibrahim maka ia menjual keledainya dan hasil penjualan itu diperuntukkannya padaku. Setelah sembuh aku bertanya kepada Ibrahim, “Dimanakah keledai-keledaimu”
“Telah kujual,” jawab Ibrahim.
“Apakah tungganganku sekarang?” tanyaku
“Saudaraku,” jawab Ibrahim, “naiklah ke atas punggungku ini.” Kemudian ia mengangkat tubuhku ke atas punggungnya dan menggendongku sampai ke persinggahan yang ketiga dari tempat itu.
***
Setiap hari Ibrahim pergi keluar rumah untuk menjual tenaganya, bekerja hingga malam, dan seluruh pendapatannya digunakan untuk kepentingan sahabat-sahabatnya. Suatu hari, ia membeli makanan setelah selesai shalat ‘Isya dan kembali kepada sahabat-sahabatnya ketika hari telah larut malam.
Sahabat-sahabatnya berkata sesama mereka, “Ibrahim terlambat datang, marilah kita makan roti kemudian tidur. Hal ini akan menjadi peringatan kepada Ibrahim, agar lain kali ia pulang lebih cepat dan tidak membiarkan kita lama menunggu-nunggu.”
Niat itu mereka laksanakan. Sewaktu Ibrahim pulang, dilihatnya sahabat-sahabatnya sudah tertidur. Mengira bahwa mereka belum makan dan tidur dengan perut kosong, Ibrahim lalu menyalakan api. Ia membawa sedikit gandum. Maka dibuatnyalah makanan untuk santapan sahabat-sahabatnya itu, apabila mereka terbangun nanti, dengan demikian mereka dapat berpuasa esok hari. Sahabat-sahabatnya terbangun, melihat Ibrahim sedang meniup api, janggutnya menyentuh lantai dan air matanya meleleh karena asap yang mengepul-ngepul di sekelilingnya.
“Apakah yang sedang engkau lakukan?” tanya mereka.
“Kulihat kalian sedang tertidur,” jawab Ibrahim, “Kukira kalian belum memperoleh makanan dan tertidur dalam keadaan lapar, karena itu kubuatkan makanan untuk kalian jika terbangun.”
“Betapa ia memikirkan diri kita dan betapa kita berpikir yang bukan-bukan mengenai dirinya,” mereka saling berkata.
***
“Sejak engkau menempuh kehidupan yang seperti ini, apakah engkau pernah mengalami kebahagiaan?” seseorang bertanya kepada Ibrahim.
“Sudah beberapa kali,” jawab Ibrahim, “Pada suatu ketika aku sedang berada di atas sebuah kapal dan nahkoda tak mengenal diriku. Aku mengenakan pakaian yang lusuh dan rambutku belum dicukur. Aku sedang berada dalam suatu ekstase spiritual namun tak seorang pun di atas kapal itu yang mengetahuinya. Mereka menertawai dan memperolok-olokanku. Di atas kapal itu ada seorang pembadut. Setiap kali ia menghampiriku ia menjambak rambutku dan menampar tengkukku. Pada saat itu aku merasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku merasa sangat bahagia karena dihinakan sedemikian rupa.”
“Tanpa terduga-duga, datanglah gelombang raksasa. Semua yang berada di atas kapal kuatir kalau-kalau mereka akan tenggelam. “Salah seorang di antara penumpang harus dilemparkan ke luar agar muatan jadi ringan!” teriak juru mudi. Mereka segera meringkusku untuk dilemparkan ke laut. Tetapi untunglah seketika itu juga gelombang mereda dan perahu itu tenang kembali. Pada saat mereka menarik telingaku untuk dilemparkan ke laut itulah aku merasakan bahwa keinginanku telah tercapai dan aku merasa sangat berbahagia.”
“Dalam peristiwa yang lain, aku pergi ke sebuah masjid untuk tidur di sana. Tetapi orang-orang tidak mengizinkan aku tidur di dalam masjid itu sedang aku sedemikian lemah dan letih sehingga tak sanggup berdiri untuk meninggalkan tempat itu. Orang-orang menarik kakiku dan menyeretku ke luar. Masjid itu mempunyai tiga buah anak tangga. Setiap kali membentur anak tangga itu, kepalaku mengeluarkan darah. Pada saat itu aku merasa bahwa keinginanku telah tercapai. Sewaktu mereka melemparkan diriku ke anak tangga yang berada di bawah, misteri alam semesta terbuka kepadaku dan aku berkata di dalam hati, ‘Mengapa masjid ini tidak mempunyai lebih banyak anak tangga sehingga semakin bertambah pula kebahagiaanku?’.
“Dalam peristiwa lain, aku sedang asyik dalam ekstase. Seorang pembadut datang dan mengencingiku. Pada saat itu aku pun merasa bahagia.”
“Dalam sebuah peristiwa, aku mengenakan sebuah mantel bulu. Mantel itu penuh dengan tuna yang tanpa ampun lagi mengganyang tubuhku. Tiba-tiba aku teringat akan pakaian bagus yang tersimpan di dalam gudang, tetapi hatiku berseru, ‘Mengapa? Apakah semua itu menyakitkan?’ Pada saat itu aku merasa bahwa keinginanku telah tercapai.”
***
Ibrahim berkisah, “Pada suatu hari ketika aku sedang mengarungi padang pasir dan aku berpasrah diri kepada Allah. Telah beberapa hari lamanya aku tidak makan. Aku teringat kepada seorang sahabat tetapi aku segera berkata kepada diriku sendiri, ‘Jika aku pergi ke tempat sahabatku, apakah gunanya kepasrahanku kepada Allah?’ Kemudian aku memasuki sebuah masjid sambil bibirku bergerak-gerak menggumamkan, ‘Aku telah mempercayakan diriku kepada Dia Yang Hidup dan tak pernah mati, Tidak ada Tuhan selain-Nya.’ Sebuah suara berseru dari langit, ‘Maha Besar Allah yang telah mengosongkan bumi bagi orang-orang yang berpasrah diri kepada-Nya.’ Aku bertanya, ‘Mengapakah demikian?’ Suara itu menjawab, ‘Betapakah seseorang benar-benar berpasrah diri kepada Allah, melakukan perjalanan jauh demi sesuap makanan yang dapat diberikan sembarang sahabatnya, kemudian menyatakan ‘Aku telah memasrahkan diriku kepada Yang Hidup dan tidak pernah mati?’ Engkau telah memberikan ucapan berpasrah kepada Allah kepada seseorang pendusta.”
***
Ibrahim berkisah; Pada suatu ketika aku membeli seorang hamba. “Siapakah namamu?” tanyaku kepadanya.
“Panggilanmu terhadapku, ‘jawabnya.
“Apakah yang engkau makan?”
“Makanan yang kau berikan untuk kumakan.”
“Pakaian apakah yang engkau pakai?”
“Pakaian yang engkau berikan untuk kukenakan.”
“Apakah yang engkau kerjakan?”
“Pekerjaan yang engkau perintahkan kepadaku.”
“Apakah yang engkau inginkan?”
“Apakah hak seorang hamba untuk menginginkan?” jawabnya, “hidup engkau adalah hamba Allah. Kini ketahuilah bagaimana seharusnya menjadi seorang hamba.”
Sedemikian lamanya aku menangis sehingga aku tidak sadarkan diri.
***
Tak seorang pun pernah menyaksikan Ibrahim duduk bersila.
“Mengapa engkau tak pernah duduk bersila?” tanya seseorang kepadanya.
Ibrahim menjawab, “Pada suatu hari ketika aku duduk bersila terdengar olehku suara yang berkata kepadaku, ‘Wahai anak Adam, apakah hamba-hamba duduk seperti itu di hadapan tuan mereka?’ Segeralah aku duduk tegak dan memohon ampunan.”
***
Ibrahim berkisah: Pada suatu ketika aku berjalan menempuh padang pasir sambil memasrahkan diri kepada Allah. Sudah tiga hari lamanya aku tidak makan. Kemudian syetan datang kepadaku dan menggoda, “Apakah engkau meninggalkan kerajaanmu beserta kemegahan-kemegahan yang demikian banyak hanya untuk pergi ke tanah suci dalam keadaan lapar seperti ini? Sesungguhnya engkau dapat melakukan hal yang serupa tanpa penderitaan ini.”
Setelah mendengar kata-kata syetan itu aku tengadahkan kepalaku dan berseru kepada Allah, “Ya Allah, apakah Engkau lebih suka mengangkat musuh-Mu daripada sahabat-Mu untuk menyiksa diriku? Kuatkanlah diriku karena aku tak sanggup menyeberangi padang pasir ini tanpa pertolongan-Mu.”
Maka terdengarlah olehku sebuah seruan, “Ibrahim, campakkanlah yang di dalam sakumu itu sehingga kami boleh mendatangkan karunia kami dari alam ghaib.”
Aku rogoh sakuku, kudapatkan empat buah mata uang perak yang tanpa sengaja terbawa olehku. Begitu aku melemparkan uang itu, si syetan lari meninggalkan diriku dan secara ghaib di depanku telah terhidang makanan.
***
Aku pernah bekerja menjaga sebuah kebun buah-buahan. Pada suatu hari pemilik kebun itu datang kepadaku dan berkata, “Ambilkanlah padaku beberapa buah delima yang manis rasanya.” Maka kuambilkan beberapa buah tetapi ternyata rasanya asam.
“Bawakanlah buah-buahan yang manis,” si pemilik kebun mengulangi perintahnya. Maka kubawakan delima sepinggan penuh, namun buah-buahan itu asam pula rasanya.
Si pemilik kebun berseru, “Masya-Allah, telah demikian lama engkau bekerja di kebun ini namun engkau tidak mengenal buah delima yang telah masak?”
“Aku menjaga kebunmu namun aku tak tahu bagaimana rasanya buah delima karena kau tak pernah mencicipinya,” jawabku.
Maka berkatalah si pemilik kebun, “Dengan keteguhan yang seperti ini, aku mengira bahwa engkau adalah Ibrahim bin Adham.”
Setelah mendengar kata-kata itu segeralah aku meninggalkan tempat itu.
***
Ibrahim mengisahkan: Pada suatu malam, dalam sebuah mimpi kulihat Jibril turun ke bumi membawa segulung kertas di tangannya.
Aku bertanya kepadanya ; “Apakah yang hendak engkau lakukan?”
“Aku hendak mencatat nama sahabat-sahabat Allah,” jawab Jibril.
“Catatlah namaku,” aku memohon kepadanya.
“Engkau bukan salah seorang di antara sahabat-sahabat Allah,” jawab Jibril.
“Tetapi aku adalah seorang sahabat dari sahabat-sahabat Allah itu,” aku memohon hampir putus asa.
Beberapa saat Jibril terdiam. Kemudian ia berkata, “Telah kuterima sebuah perintah: “Tuliskanlah nama Ibrahim di tempat paling atas karena di dalam jalan ini harapan tercipta dari keputusasaan.”
***
Suatu hari ketika Ibrahim sedang berada di sebuah padang pasir, seorang tentara menegurnya, “Siapakah engkau?”
“Seorang hamba,” jawab Ibrahim.
‘Manakah jalan ke perkampungan?” tanya tentara itu. Ibrahim lalu menunjuk ke sebuah pemakaman.
“Engkau memperolok-olokkan aku!” hardik si tentara, kemudian memukul kepada Ibrahim hingga luka dan berdarah. Setelah itu ia mengalungkan tali ke leher Ibrahim dan menyeretnya. Beberapa orang dari kota yang terletak di dekat tempat kejadian itu kebetulan lewat. Menyaksikan hal ini mereka berhenti dan berseru, “Hai orang bodoh, orang ini adalah Ibrahim bin Adham, sahabat Allah!...”
Serdadu cepat-cepat berlutut di depan Ibrahim, memohon agar ia dimaafkan.
“Engkau mengatakan bahwa engkau adalah seorang hamba,” si serdadu mencoba membela diri.
“Siapakah orangnya yang bukan hamba?” tanya Ibrahim.
“Aku telah melukai kepalamu tetapi engkau malah mendoakan keselamatanku.”
“Aku mendoakan agar engkau memperoleh berkah karena perlakuanmu terhadap diriku,” jawab Ibrahim. “Imbalan terhadap diriku karena perlakuanmu itu adalah Surga dan aku tidak tega jika imbalan untukmu adalah neraka.”
“Mengapakah engkau menunjukkan pemakaman ketika aku menanyakan jalan ke perkampungan?” tanya si serdadu.
Ibrahim menjawab, “karena semakin lama, pemakaman semakin penuh sedang kota semakin kosong.”
***
Suatu hari Ibrahim bertemu dengan seorang yang sedang mabuk. Mulutnya berbau busuk. Segera Ibrahim mengambil air dan dibasuhnya mulut si pemabuk itu sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Apakah akan kubiarkan mulut yang pernah mengucapkan nama Allah di dalam keadaan kotor. Itu namanya tidak memuliakan Allah.”
Ketika si pemabuk siuman, orang-orang berkata kepadanya, “Pertapa dari Khurasan telah membasuh mulutmu.”
Si pemabuk menjawab, “Sejak saat ini aku bertaubat!”
Setelah bertaubat demikian, Ibrahim di dalam mimpinya mendengar sebuah seruan kepada dirinya, “Engkau telah membasuh sebuah mulut demi Aku dan Aku telah membasuh hatimu.”
***
Rajah berkata: Ketika aku dan Ibrahim sedang menumpang sebuag perahu, tiba-tiba angin topan datang menerpa dan bumi menjadi kelam. Aku berteriak: “Perahu kita akan tenggelam!.”
Tetapi dari langit kudengar sebuah suara, “Jangan kuatirkan perahu akan tenggelam karena Ibrahim bin Adham ada beserta kalian.”
Segera setelah itu angin mereda dan bumi yang kelam menjadi terang kembali.
***
Ibrahim menumpang sebuah perahu tetapi ia tidak mempunyai uang. Kemudian terdengar sebuah pengumuman: “Setiap orang harus membayar satu dinar.”
Ibrahim segera shalat sunnat dua raka’at dan berdoa, “Ya Allah, mereka meminta ongkos tetapi aku tak mempunyai uang.”
Mendadak lautan luas berubah menjadi emas. Ibrahim mengambil segenggam dan memberikannya kepada mereka.
***
Suatu hari Ibrahim duduk di tepi sungai Tigris menjahit jubah tuanya. Jarumnya terjatuh ke dalam sungai. Seseorang bertanya kepadanya, “Engkau telah meninggalkan sebuah kerajaan yang jaya, tetapi apakah yang engkau peroleh sebagai imbalan?”
Sambil menunjuk ke sungai, Ibrahim berseru, “Kembalikanlah jarumku!”
Seribu ekor ikan mendongakkan kepala ke permukaan air, masing-masing dengan sebuah jarum emas di mulutnya. Kepada ikan-ikan itu Ibrahim berkata, “Yang aku inginkan adalah jarumku sendiri.”
Seekor ikan yang kecil dan lemah datangh mengantarkan jarum kepunyaan Ibrahim di mulutnya.
“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang kuperoleh karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedang yang lain-lainnya belum engkau ketahui.”
***
Suatu hari Ibrahim pergi ke sebuah sumur. Timba diturunkannya dan ketika diangkat ternyata timba itu penuh dengan kepingan emas. Emas-emas itu ditumpahkannya kembali ke dalam sumur. Kemudian timba diturunkan dan ketika diangkat ternyata penuh pula dengan butiran-butiran mutiara. Dengan jenaka mutiara-mutiara itu ditumpahkannya pula. Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau menganugerahiku dengan harta karun. Aku tahu bahwa Engkau Maha Kuasa, tetapi Engkau pun tahu bahwa aku tak ingin terpesona oleh harta benda. Berilah aku air agar aku dapat bersuci.”
***
Ketika Ibrahim menyertai sebuah rombongan yang hendak berziarah ke tanah suci. Mereka berkata, “Tak seorang pun diantara kita yang mempunyai unta maupun perbekalan.”
“Percayalah bahwa Allah akan menolong kita,” kata Ibrahim. Setelah diam sebentar, ia menambahkan, “Pandanglah pohon-pohon di sana. Jika emas yang kalian inginkan, maka pohon-pohon itu niscaya akan berubah menjadi emas.”
Dan seketika itu juga pohon-pohon akasia itu, dengan kekuasaan Allah Yang Maha Besar, berubah menjadi emas.
***
Ibrahim sedang berjalan dengan sebuah rombongan, mereka tiba di sebuah benteng. Di depan benteng itu banyak terdapat semak belukar.
“Baiklah kita bermalam di sini karena di tempat ini banyak semak belukar sehingga kita dapat membuat api unggun,” kata mereka.
Mereka pun menghidupkan api dan duduk di sekelilingnya. Semuanya memakan roti kering ketika Ibrahim sedang berdiri dalam shalatnya. Salah seorang di antara mereka berkata, “Seandainya kita mempunyai daging yang halal untuk kita panggang di atas api ini!”
Setelah selesai shalat, Ibrahim berkata kepada mereka, “Sudah pasti Allah dapat memberikan daging yang halal kepada kamu sakalian.”
Setelah selesai berkata demikian Ibrahim bangkit dan shalat kembali. Tiba-tiba terdengarlah auman seekor singa yang menyeret keledai liar. Singa itu menghampiri mereka. Keledai itu mereka ambil, mereka panggang untuk kemudian mereka makan sementara si singa duduk memperhatikan segala tingkah laku mereka.
Sumber: Tadzkiratul Awliya’ (Kisah Teladan Kehidupan Para Wali Allah) – Fariduddin al Attar
Post a Comment Blogger Disqus